Pakar Bahasa Bidang Sosiolinguistik

Yayah BM Lumintaintang
 
0
2038
Lama Membaca: 5 menit
Yayah BM Lumintaintang
Yayah BM Lumintaintang | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Doktor Ilmu-Ilmu Sastra bidang Sosiolinguistik dari Universitas Indonesia ini turut berjasa dalam menjaga bahasa Indonesia agar digunakan dengan baik dan benar. Selain menjadi Peneliti Ahli Pusat Bahasa, peraih penghargaan Satyalancana Karya Satya 2004 ini juga bekerja di sejumlah media, menjadi juri di berbagai kompetisi, menjadi pengajar bahasa di sejumlah perusahaan besar, bahkan menjadi saksi ahli (bahasa) untuk beberapa kasus di pengadilan. Ratusan karya tulisnya sudah disajikan dalam berbagai pertemuan ilmiah seperti seminar, konferensi, dan lokakarya.

Bahasa tak sekadar alat berkomunikasi tapi juga berkaitan erat dengan kondisi sosial masyarakat. Ilmu yang lebih dikenal dengan istilah sosiolingustik itulah yang ditekuni Yayah Bachria Mugnisjah Lumintaintang atau yang lebih dikenal dengan nama Yayah BM Lumintaintang ini.

Perempuan kelahiran Cikampek, 9 Maret 1944 dari pasangan H. Abdul Mugnie dan Hj. Siti Aisjah ini menempuh pendidikan menengahnya di SGA Negeri Purwakarta. Empat tahun setelah tamat dari SGA Negeri Purwakarta, tepatnya di tahun 1966, Yayah hijrah ke Bandung guna meneruskan pendidikannya di Universitas Padjajaran, Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Di kampus itulah, ia mulai serius mendalami ilmu tentang bahasa dan sastra. Di sela-sela waktunya, Yayah bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di SMP dan SMA Ampera, Bandung. Selain dikenal sebagai staf pengajar, Yayah juga termasuk salah seorang pendiri yayasan sekolah tersebut. Meski kuliah sambil bekerja, Yayah cukup pandai membagi waktu sehingga kuliahnya tak terbengkalai. Hingga akhirnya pada 1970, ia berhasil merampungkan studinya sekaligus menyabet gelar doktoranda. Judul skripsinya pada saat itu adalah “Tinjauan Morfologis atas Kata-Kata Indonesia yang Dipengaruhi Bahasa Belanda”.

Begitu lulus kuliah, Yayah langsung mengaplikasikan ilmu bahasanya di Lembaga Bahasa Nasional/LBN, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/PDK. Lembaga tersebut kemudian berganti nama menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan kini dikenal dengan nama Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Awalnya, istri dari M. Rudy Lumintaintang ini bekerja sebagai staf biasa di Bidang Bahasa Indonesia dan Daerah. Kemudian baru di tahun 1985, ia diangkat menjadi Kepala Kelompok Kerja Pembinaan dan Pengembangan Bahasa di Bidang Pengembangan Bahasa Indonesia dan Daerah. Selanjutnya pada tahun 1992, ia dipercaya memangku jabatan sebagai Kepala Bidang (Penelitian) Bahasa Indonesia dan Daerah. Terakhir, ia tercatat sebagai tenaga fungsional peneliti di Pusat Bahasa dengan pangkat Ahli Peneliti Utama (A.P.U.)

Untuk menambah wawasannya, Yayah mendalami ilmu lain meski masih berkaitan dengan bahasa. Misalnya pada Mei 1977, ia pernah mengikuti kursus intensif Bahasa Belanda di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, serta sederet kursus lain diantaranya, kursus Dialektologi dari Prof. Dr. Bern Nothofer, Qualitative Method dari Prof. Dr. Sidney, kursus Statistik dari Drs. Sjamsuddin R. Endah, M.A., dan tak ketinggalan kursus Bahasa Inggris dari Prof. Dr. Bryan Smith.

Keahliannya di bidang bahasa membuat Yayah juga diberi kepercayaan untuk menulis serta menyunting buku Istana Kepresidenan Jakarta, Istana Kepresidenan Bogor berikut Pesanggrahan Tenjoresmi, Istana Kepresidenan Cipanas, Istana Kepresidenan Yogyakarta, dan Istana Kepresidenan Tampaksiring Bali di bidang seni dan budaya, Istana Negara Republik Indonesia (2003) serta menyunting naskah “Koleksi Benda Seni Istana Kepresidenan Republik Indonesia” (2004)

Pada 1978, Yayah dinyatakan berhak mengikuti Post Graduate Training Programme for General Austronesian Linguistics di Universitas Leiden, Belanda setelah melewati proses penataran bertahap tingkat nasional di bidang sosiolinguistik yang diadakan selama lima tahun. Nama Yayah bahkan masuk dalam daftar “Lima Peserta Terbaik”. Setelah melalui tahapan tersebut, akhirnya ia berhasil meraih gelar doktor Ilmu-Ilmu Sastra (bidang Sosiolinguistik) dari Universitas Indonesia pada tahun 1990. Disertasinya berjudul “Pola Pemakaian Bahasa dalam Perkawinan Campuran Jawa-Sunda di DKI Jakarta: Kasus Karyawan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Ilmu-ilmu tadi memuluskan kiprahnya di berbagai instansi lain selain Pusat Bahasa. Selama 25 tahun, perempuan yang sudah bergelar hajjah ini pernah menjadi pengasuh, penyaji, penulis, dan pembimbing penulisan naskah Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI dan RRI. Ia juga berkiprah di surat kabar Republika sebagai pengasuh dan penulis rubrik “Bahasa Kita”. Sekitar tahun 2003 hingga 2004, Yayah bekerja sebagai penatar pada penyegaran bahasa tutur untuk reporter, presenter, editor, produser, pemimpin redaksi untuk tayangan Liputan 6 dan Buser SCTV.

Peraih penghargaan Certificate Career Woman Award 2002 dan Satyalancana Karya Satya 2004 ini juga beberapa kali ditunjuk sebagai dewan juri pada berbagai kompetisi, diantaranya “Sepuluh Tembang Tercantik” Radio Prambors Rassisonia, Lomba Pariwara Tingkat Nasional, serta Lomba Pidato/Surat Dinas untuk organisasi Kowani, Perwari, HWK, dan Dharma Wanita.

Sejumlah perusahaan besar juga memanfaatkan jasanya sebagai penceramah, pembicara, sekaligus pelatih Bahasa Indonesia dalam Technical Report Writing Course untuk diklat PT Jasa Marga, Pertamina, PT Muladaya Adipratama, PT Kalimanis, PT Humanindo, PT Pilar, PT Ashahi Mas, serta PT Jenilu. Yayah juga pernah diminta menjadi saksi ahli (bahasa) untuk beberapa kasus di pengadilan.

Advertisement

Keahliannya di bidang bahasa membuat Yayah juga diberi kepercayaan untuk menulis serta menyunting buku Istana Kepresidenan Jakarta, Istana Kepresidenan Bogor berikut Pesanggrahan Tenjoresmi, Istana Kepresidenan Cipanas, Istana Kepresidenan Yogyakarta, dan Istana Kepresidenan Tampaksiring Bali di bidang seni dan budaya, Istana Negara Republik Indonesia (2003) serta menyunting naskah “Koleksi Benda Seni Istana Kepresidenan Republik Indonesia” (2004); di samping masih tetap menjadi penyuluh “Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Keprotokolan” di Departemen Dalam Negeri sejak tahun 1990.

Sepanjang karirnya, Yayah telah menghasilkan ratusan karya tulis berupa hasil penelitian, penyusunan, dan makalah yang disajikan pada berbagai pertemuan ilmiah, seperti seminar, konferensi, lokakarya, kongres, dan siaran radio/televisi. Sedikit dari ratusan karya-karya Yayah BM Lumintaintang adalah Kualitas Bahasa Indonesia dalam Karya Ilmiah, Fenomena Alih Kode dalam Wacana Peradilan DKI Jakarta, Kendala Situasional dalam Pemakaian Bentuk Sangkal Bahasa Indonesia di Ranah Peradilan, Majas dalam Wacana Politik: Kasus Pemakaian Bahasa dalam Kampanye Pemilu 1997, dan masih banyak lagi.

Sebagai pakar di bidang sosiolinguistik, Yayah kerap menyoroti sejumlah masalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti pada saat ia menjadi pembicara di depan peserta lokakarya kode etik jurnalistik (KEJ) Dewan Pers dan Lembaga Pers Dr. Soetomo di Makassar. Acara yang digelar pada Agustus 2009 itu mengangkat tema Kalimat Ofensif Dalam Berita Pemicu Konflik.

Dalam lokakarya yang dihadiri setidaknya 30 orang jurnalis itu, Yayah menyampaikan pandangannya, “Media kita masih dominan menggunakan kalimat-kalimat ofensif, bias dan konotatif dalam pemberitaannya. Padahal itu sangatlah berbahaya,” kata Yayah seperti dikutip dari situs berita antara.com.

Kalimat-kalimat ofensif atau yang bersifat menyerang dalam pemberitaan menurut Yayah sangat berpotensi memicu konflik. Untuk itu, ia berharap media massa di Indonesia hendaknya mempertimbangkan untuk memilih kalimat yang lebih bijak. Yayah menambahkan, untuk situasi kebahasaan di Indonesia yang warga negaranya sangat majemuk baik dari segi etnik, bahasa, budaya dan agama, seharusnya penulisan berita dengan menggunakan istilah atau variasi kalimat yang mengandung makna ofensif, bias dan konotatif tidak dilakukan. Sebab, interpretasi kata-kata seperti itu belum tentu bisa diterima pada etnik, bahasa, budaya dan agama yang satu dengan yang lainnya.

Demikian pula penggunaan variasi kalimat yang berasal dari bahasa daerah, sebaiknya dihindarkan kecuali disertakan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia. Menurutnya, Pusat Bahasa Depdiknas menemukan banyak sekali kalimat-kalimat pemberitaan di media massa yang dinilai melanggar Pasal 1, Pasal 3 dan Pasal 4 KEJ.

Pasal-pasal tersebut antara lain menyebutkan, wartawan Indonesia menempuh cara profesional dalam tugas jurnalistik, memberitakan secara berimbang dan tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, sadis dan cabul. Oleh karena itu, Yayah berpendapat Lembaga Pers perlu melakukan kajian lintas etnik, bahasa dan budaya terhadap penggunaan unsur-unsur kebahasaan, seperti diksi bahasa pers, baik media cetak maupun elektronik. “Dengan begitu, dapat dilihat sejauh mana faktor interpretasi berkolerasi dengan potensi konflik,” ujar pakar bahasa bidang sosiolinguistik itu. muli, red

Data Singkat
Yayah BM Lumintaintang, Pakar bahasa bidang Sosiolinguistik / Pakar Bahasa Bidang Sosiolinguistik | Ensiklopedi | Unpad, Dosen, universitas indonesia, pakar bahasa, bahasa Indonesia, sosiolinguistik

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini