Nyaris Tertangkap Belanda
Aisyah Aminy
[ENSIKLOPEDI] Pemerintah memberinya gelar Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indone-sia. Ia punya banyak kenangan ketika ikut berjuang dalam kancah pertempur-an saat Agresi Militer Belanda II.
Aisyah masih duduk di bangku terakhir di KMI Diniyah Puteri (setingkat SMU), saat agresi militer Belanda kedua terjadi tahun 1948, yang disebut juga Perang Kemerdekaan. Sekolahnya di KMI pun tidak sempat selesai, karena ia ikut terjun membantu perjuangan.
Di masa itu, Aisyah dipercaya menjadi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) dan ketua Badan Penolong Kecelakaan Korban Perang (BPKKP) yang tugasnya selain membantu masyarakat yang menjadi korban perang, juga membantu tentara menyediakan nasi bungkus.
Bukan perkara mudah menyiapkan ransum makanan kala itu. Orang-orang yang mengelola dapur umum harus sangat hati-hati. Tidak boleh ada makanan tercecer, tersisa dan bungkus nasi yang tertinggal.
Jika Belanda mengadakan patroli dan di sebuah rumah mereka menemukan ada tanda-tanda bekas dapur umum, seperti ceceran makanan atau daun-daun pisang bekas membungkus, maka tanpa banyak cingcong mereka akan membakar rumah-rumah penduduk desa yang membantu para pejuang dan menembaki mereka membabi buta.
Sewaktu aktif di PMI dan BPKKP, Aisyah muda seolah-olah ditempa menjadi perempuan yang tegar dan berani. Ia banyak menyaksikan pembunuhan keji yang dilakukan Belanda kepada penduduk desa, juga kontak senjata antara pasukan penjajah dengan para pejuang.
Di masa itu, obat-obatan dan peralatan medis yang tersedia pun sangat minim dan seadanya. Aisyah pernah menolong seorang korban kontak senjata yang lehernya tertembak namun masih hidup. Keadaannya sangat memilukan, namun apa daya peralatan medis yang ada tidak bisa mengatasi luka-lukanya yang parah itu. Aisyah merasa sangat sedih. Korban itu akhirnya meninggal dunia dengan luka-lukanya yang parah dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa itu.
Kepedulian Aisyah terhadap perjuangan kala itu mendorongnya untuk ikut membantu para gerilyawan dengan menjadi wartawan perang. Ia tergabung dalam Wartawan Perang Sumatera Tengah sekaligus anggota Tentara Pelajar Sumatera Tengah.
Tugas para wartawan perang kala itu adalah menginformasikan posisi Belanda dan perkembangan situasi garis depan kepada masyarakat dan pejuang. Ini bukan tugas enteng. Taruhannya adalah nyawa. Karena itu, dalam setiap aksinya, Aisyah selalu berhati-hati dan waspada. Dengan informasi yang diberikan para wartawan perang ini, masyarakat selalu tahu perkembangan situasi suatu daerah yang dimasuki Belanda dan keberadaan pemerintah Republik Indonesia.
Nyaris Tertangkap
Tugas ini bukan main-main, amat berbahaya, apalagi buat seorang gadis muda seperti Aisyah. Pamannya sempat mengingatkannya untuk mengungsi ke desa yang lebih aman. Tetapi Aisyah memilih tinggal di rumahnya, karena ia lebih mudah mengetahui perkembangan situasi dan memperoleh informasi berharga bagi para pejuang.
Kekhawatiran pamannya terbukti. Pada suatu hari, Belanda datang mengobrak-abrik kampungnya. Penduduk berlarian menyelamatkan diri dan berusaha bersembunyi. Situasi saat itu sangat mencekam. Para pemuda banyak yang bersembunyi di antara rumpun semak ilalang di pinggir sungai. Namun, pesawat Capung Belanda yang terbang mengitari desa bisa melihat mereka. Pesawat itu memuntahkan ribuan peluru ke arah persembunyian mereka. Tercatat 35 orang pemuda gugur dan mereka dikuburkan secara massal di halaman sebuah masjid.
Tentara Belanda pun memasuki kampung dan mendobrak rumah-rumah penduduk. Rumah keluarga Aisyah tak luput dari penggeledahan Belanda. Untunglah keluarganya sudah keburu mengungsi, namun Aisyah yang bersikeras bertahan tak sempat lari keluar rumah ketika Belanda mendobrak masuk ke rumahnya.
Aisyah gemetaran mencari akal. Akhirnya, ia bersembunyi di balik pintu sebuah kamar. Belanda mendobrak pula kamar tempatnya bersembunyi. Aisyah sangat ketakutan. Ia tak putus-putus membaca doa sambil memperhatikan dari balik pintu bagaimana seorang serdadu Belanda masuk dengan senter di tangannya dan memandangi foto datuk (kakeknya).
Untungnya, serdadu itu tidak memeriksa dengan seksama sampai ke balik pintu. Ia hanya mengambil lampu stromking di kamar itu dan langsung pergi. Tuhan YME masih memberi keselamatan bagi Aisyah. Padahal, sepupunya yang sedang sakit di rumah sebelah malah diangkut Belanda.
Di masa clash kedua ini, gerilyawan kita sangat sulit dilumpuhkan. Ketika pasukan Belanda melintasi perbukitan, mereka diserang para pejuang dari atas bukit sehingga mereka kocar-kacir. Namun akibatnya, Belanda sering balas menyerang dengan membabi buta ke desa-desa sekitarnya, bahkan sampai membakar rumah-rumah penduduk.
Namun karena Belanda tidak setiap hari melakukan penyerangan, para pelajar yang berasal dari berbagai sekolah dan perguruan berinisiatif mengundang guru untuk memberi kursus. Untuk mengawasi gerak-gerik Belanda, ada sukarelawan yang bertugas mengintai di atas bukit. Jika Belanda datang, para pengintai akan memberikan peringatan dengan meniup puput kerbau, yakni sebuah terompet yang terbuat dari tanduk kerbau. Mereka meniupnya dengan keras, sehingga penduduk kampung segera bersembunyi ke bukit-bukit.
Pengalaman selama tahun 1949 itu begitu mendalam di hati Aisyah. Tidak heran jika akhirnya Aisyah tumbuh dewasa dengan prinsip dan keyakinan untuk terus mempertahankan kemerdekaan dan berjuang penuh pengorbanan demi kebenaran. rh-hs (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 22)