Raja Ampat: Mewarnai Surga dengan Debu Nikel
Pertarungan sengit antara warisan alam dan narasi hilirisasi

Raja Ampat bukan hanya soal keindahan alam, tapi tentang nilai yang dipertaruhkan saat ambisi melampaui batas. Tak semua kemajuan mewarnai masa depan. Ada yang justru menghapus warisan.
Coba bayangkan: kamu berdiri di tepi tebing karst, dan udara pagi mengantar wangi lumut basah yang menempel di bebatuan. Dari jajaran pohon tropis di lereng batu curam yang menyentuh sempadan laut, angin membawa nafas tanah dan asin laut yang menyusup perlahan ke sela-sela napasmu. Di sela kabut yang perlahan terangkat dari permukaan air, embusan itu seolah mengajakmu merasakan detak alam yang masih murni, belum tersentuh ambisi manusia.
Raja Ampat tidak hanya terlihat indah, ia bisa dihirup, dirasakan, dihayati. Ada sesuatu yang nyaris spiritual dalam udaranya, seolah alam masih percaya bahwa manusia bisa bersahabat dengannya. Tapi kepercayaan itu rapuh.
Maka suara-suara pun menyeruak: untuk lingkungan, untuk keadilan, dan untuk menyadarkan kita bahwa warisan ini bisa hilang pelan-pelan, lalu diam-diam lenyap. Sebelum airnya menjadi keruh karena logam berat, sebelum plankton mati dan rantai kehidupan runtuh. Keindahan Raja Ampat tak bisa direduksi menjadi profit, karena ia milik bersama.
Kini, ancaman datang bukan dari bencana, melainkan dari keputusan yang mengatasnamakan pembangunan. Apakah kita sedang merintis masa depan, atau justru mempercepat hilangnya warisan yang tak tergantikan?
Dalam beberapa bulan terakhir, Raja Ampat menjadi sorotan karena aktivitas tambang nikel yang muncul di wilayah yang selama ini dipromosikan sebagai kawasan konservasi dan ekowisata unggulan. Pemerintah mencabut izin empat perusahaan tambang nikel yang dinilai bermasalah. Namun satu perusahaan tetap dibiarkan beroperasi, karena statusnya sebagai anak usaha BUMN pertambangan, dan karena mengantongi kontrak karya sejak akhir 1990-an.
Secara administratif, perusahaan itu beroperasi di Pulau Gag, sekitar 40 kilometer dari gugusan wisata utama seperti Piaynemo. Namun secara ekologi, jarak 40 kilometer tidak menjamin bahwa kerusakan yang terjadi tidak akan merambat ke perairan lebih luas. Apalagi, wilayah Raja Ampat dikenal memiliki ekosistem laut yang sangat terhubung dan sensitif terhadap perubahan lingkungan. Dampak sedimentasi, rusaknya habitat ikan, atau terganggunya pola migrasi laut bisa menyebar dan menimbulkan efek berantai bagi komunitas pesisir.
Yang menjadi perhatian bukan hanya persoalan izin dan lokasi, tapi nilai yang dikorbankan. Pemerintah selama ini menjadikan “hilirisasi” sebagai narasi utama pembangunan ekonomi nasional, khususnya untuk komoditas nikel yang dibutuhkan dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik. Namun, pertanyaannya: apakah semua wilayah layak dijadikan lokasi tambang, hanya karena menyimpan nikel di bawah tanahnya? Jika ya, apakah kita bersedia menukar setiap jengkal tanah yang kaya nilai ekologis dengan ambisi industrialisasi yang belum tentu merata manfaatnya?
Raja Ampat bukan kawasan biasa. Statusnya sebagai geopark dunia, kawasan konservasi laut, dan pusat ekowisata berbasis masyarakat, seharusnya menjadi garis batas yang jelas bagi industri ekstraktif. Ketika kawasan seperti ini pun tidak sepenuhnya bebas dari aktivitas tambang, maka publik wajar bertanya: apa sebenarnya nilai yang ingin dijaga oleh negara?
Beberapa masyarakat adat dan aktivis lingkungan menyampaikan penolakan mereka secara terbuka. Mereka tidak menolak pembangunan. Tapi mereka mempertanyakan pilihan bentuk pembangunan. Ekowisata, jika dikelola dengan baik, telah terbukti memberi manfaat ekonomi yang berkelanjutan dan menyebar ke banyak pihak. Sebaliknya, tambang adalah kegiatan jangka pendek yang menyisakan dampak panjang, baik bagi alam, sosial, maupun ruang hidup generasi mendatang.
Tagar #SaveRajaAmpat pun merebak di berbagai kanal media sosial sepanjang awal Juni 2025, dengan ribuan unggahan yang menyuarakan kekhawatiran atas tambang nikel di kawasan itu. Pemantauan independen mencatat lebih dari 23 ribu percakapan daring dalam kurun waktu sepekan, dengan sebagian besar (sekitar 95 persen) menyuarakan penolakan. Gelombang suara ini datang dari berbagai kalangan, mulai dari warga lokal, aktivis lingkungan, hingga tokoh nasional seperti Susi Pudjiastuti yang secara terbuka meminta Presiden menghentikan aktivitas tambang di Raja Ampat.
Di tengah derasnya penolakan, sempat muncul narasi yang menyebut kekhawatiran itu sebagai hoaks, didorong oleh sejumlah akun pemengaruh. Namun narasi tandingan itu tak mampu membendung dukungan publik yang tumbuh secara alami. Lebih dari 60 ribu orang telah membubuhkan tanda tangan dalam petisi yang mendesak pemulihan ekosistem Raja Ampat, sebuah isyarat bahwa kepedulian terhadap warisan alam ini bukan reaksi sesaat, melainkan kesadaran yang mengakar.
Ironi lain muncul ketika sejumlah pengguna internet menyadari bahwa lokasi tambang di Pulau Gag tampak buram di citra satelit Google Maps. Sementara di platform peta lain seperti Bing, area itu terlihat lebih jelas. Ini menambah kesan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan atau sengaja tidak ingin diperlihatkan. Padahal transparansi adalah kunci dalam menjaga kepercayaan publik, terlebih dalam isu yang menyangkut ruang hidup dan keberlanjutan. Di tengah derasnya narasi kemajuan, publik perlu lebih kritis terhadap cara negara menyampaikan cerita: apakah pembangunan ini benar-benar inklusif, atau sekadar agenda elite?
Pemerintah memang telah mencabut sebagian izin tambang. Tapi satu perusahaan tetap beroperasi, dan celah hukum masih terbuka bagi perusahaan lain untuk kembali beraktivitas jika menang di pengadilan. Dalam situasi seperti ini, yang diuji bukan hanya kekuatan hukum, tapi keberpihakan nilai. Apakah negara benar-benar menjadikan keberlanjutan dan warisan alam sebagai prioritas, atau hanya sebatas jargon yang mudah disesuaikan dengan kepentingan ekonomi? Sayangnya, ini bukan kasus pertama. Kita telah melihat bagaimana regulasi sering berubah arah ketika berhadapan dengan investasi besar, meninggalkan masyarakat dalam posisi menunggu keadilan yang tak kunjung datang.
Dan pada titik ini, mari kita jujur bertanya.
Apakah yang terjadi di Raja Ampat benar-benar tentang kemajuan?
Ataukah sekadar kerakusan yang dibungkus rapi dalam narasi pembangunan?
(Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)