Pejuang Manusia Setara
Benny Susetyo
[ENSIKLOPEDI] Romo Antonius Benny Susetyo Pr, pastor dan aktivis penggerak manusia merdeka dan setara. Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia, dan Pendiri (Founding Partner) Setara Institute (Institute for Democracy and Peace), ini lahir di Malang, 10 Oktober 1968. Alumni Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang tahun 1996, ini seorang pastor muda pengusung gerakan moral bangsa.
Pastor aktivis di berbagai forum dan lembaga ini pernah dianiaya oleh orang barbar[1] yang anti pada perjuangan moral, kemanusiaan, kesetaraan, keberagaman dan kebebasan beragama, yang diperjuangkannya. Dia dianiaya hingga tak sadarkan diri Senin (11/8/2008) malam di dekat rumahnya di Bintaro. Dia memang seorang aktivis pejuang di Forum Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Indonesia (FKDHI), dan Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB). Juga, bersama Romo Sandyawan di Forum Kemanusiaan, dan Gerakan Moral Nasional. Aktivis yang tak kenal lelah mengadvokasi masyarakat lemah, korban bencana dan korban kekerasan, ini juga ikut memajukan Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPèK) Averroes.
Dia adalah Pendiri Pergerakan Manusia Merdeka. Pergerakan ini, tampaknya menjadi embirio berdirinya Setara Institute, yang didirikannya bersama sejumlah tokoh dan aktivis, di antaranya KH. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Hendardi, Rocky Gerung, M. Chatib Basri dan Zumrotin KS. Dalam kepengurusan (manajemen), Romo Benny sendiri aktif sebagai Sekretaris Dewan Nasional, yang diketuai Azyumardi Azra. Sementara Badan Pengurus diketuai Hendardi, Wakil Ketua Bonar Tigor Naipospos dan Sekretaris R. Dwiyanto Prihartono.
Setara Institute adalah perkumpulan individual/perorangan yang didedikasikan bagi pencapaian cita-cita di mana setiap orang diperlakukan setara dengan menghormati keberagaman, mengutamakan solidaritas dan bertujuan memuliakan manusia. Didirikan oleh orang-orang yang peduli pada penghapuskan atau pengurangan diskriminasi dan intoleransi atas dasar agama, etnis, suku, warna kulit, gender, dan strata sosial lainnya serta peningkatan solidaritas atas mereka yang lemah dan dirugikan.
Setara Institute percaya bahwa suatu masyarakat demokratis akan mengalami kemajuan apabila tumbuh saling pengertian, penghormatan dan pengakuan terhadap keberagaman. Namun, diskriminasi dan intoleransi masih terus berlangsung di sekitar kita bahkan mengarah pada kekerasan. Karena itu langkah-langkah memperkuat rasa hormat atas keberagaman dan hak-hak manusia dengan membuka partisipasi yang lebih luas diharapkan dapat memajukan demokrasi dan perdamaian. Setara Institute mengambil bagian untuk mendorong terciptanya kondisi politik yang terbuka berdasarkan penghormatan atas keberagaman, pembelaan hak-hak manusia, penghapusan sikap intoleran dan xenophobia.
Organisasi ini mengusung visi: Mewujudkan perlakuan setara, plural dan bermartabat atas semua orang dalam tata sosial politik demokratis. Serta menganut nilai-nilai kesetaraan, kemanusiaan, pluralisme dan demokrasi. Dengan visi dan anutan nilai tersebut Setara Institute mempunyai misi: 1. Mempromosikan, pluralisme, humanitarian, demokrasi dan hak asasi manusia; 2. Melakukan studi dan advokasi kebijakan publik dibidang pluralisme, humanitarian, demokrasi dan hak asasi manusia; 3. Melancarkan dialog dalam penyelesaian konflik; dan, 4. Melakukan pendidikan publik.[2]
Penempatan Benny di Paroki Situbondo hanya berselang sepekan setelah terjadinya kerusuhan hebat di kota santri di kawasan tapal kuda ini. Sedikitnya selusin gereja dibakar habis, termasuk Gereja Katolik Situbondo.Benny yang baru beberapa hari ditahbis menjadi pastor diamanatkan oleh Uskup Malang Mgr HJS Pandoyoputro, OCarm untuk ‘membangun persaudaraan sejati’ dengan para tokoh dan kaum muslim di Situbondo dan Bondowoso. Penugasan ini membuatnya punya banyak pengalaman baru bertemu dengan para kiai, dan berkunjung ke beberapa pesantren. Dia pun menggelar sejumlah acara bersama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh masyarakat sipil, pelopor dialog antariman, yang sulit dicari tandingannya.Sebagai pastor, Romo Antonius Benny Susetyo Pr. ditahbiskan pada 1996, dan pertama kali ditempatkan melayani sebagai pastor pembantu di Paroki Situbondo dan Bondowoso. Penempatan Benny di Paroki Situbondo hanya berselang sepekan setelah terjadinya kerusuhan hebat di kota santri di kawasan tapal kuda ini. Sedikitnya selusin gereja dibakar habis, termasuk Gereja Katolik Situbondo.Benny yang baru beberapa hari ditahbis menjadi pastor diamanatkan oleh Uskup Malang Mgr HJS Pandoyoputro, OCarm untuk ‘membangun persaudaraan sejati’ dengan para tokoh dan kaum muslim di Situbondo dan Bondowoso.
Penugasan ini membuatnya punya banyak pengalaman baru bertemu dengan para kiai, dan berkunjung ke beberapa pesantren. Dia pun menggelar sejumlah acara bersama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh masyarakat sipil, pelopor dialog antariman, yang sulit dicari tandingannya. Dia pun sering diundang bicara tentang kerusuhan Situbondo serta menyikapi persoalan sosial-politik menjelang akhir rezim Orde Baru. Selain itu, dia pun aktif sebagai pembina kaum muda Katolik di Keuskupan Malang. Juga sebagai pembina Frater-frater Praja di Malang. Selain itu, dia aktif sebagai Penggiat Dialog Antaragama di Malang. Di Surabaya dia aktif dalam berbagai kegiatan, di antaranya mengisi pekan suci, pelatihan, dialog,dan seminar.[3]
Kala itu, sebelum reformasi 1998, Romo Benny dengan berbagai aktivitas kemanusiaanya telah diundang ke mana-mana. Dia membina hubungan akrab dengan para tokoh lintas agama, khususnya aktivis muslim dan pemuka Islam. Ketua Pengurus Besar Nahdaltul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun menjadi sahabat dekatnya. Begitu juga KH Hasyim Muzadi, KH Ali Maschan Moesa, KH Said Aqil Siradj hingga Ulil Abshar-Abdalla. Ketika itu, Gus Dur sering mengajak Benny untuk diskusi atau ceramah di pesantren atau komunitas Islam. Sebaliknya, Gus Dur pun mampir, makan siang atau makan malam, di Pastoran Situbondo. Setiap Lebaran pun, Romo Benny bersama sejumlah rohaniawan Katolik, Protestan, serta Konghuchu bersilaturahmi ke rumah-rumah para tokoh Islam.
Kemudian, pada akhir 1990-an, Konferensi Waligereja (KWI) mengembangkan gerakan ‘membangunan persaudaraan sejati’ di Indonesia. Forum persaudaraan sejati dan sejenisnya pun tumbuh di mana-mana. Apalagi, setelah Pak Harto lengser pada 21 Mei 1998, para aktivis civil society itu banyak terserap masuk ke ranah politik. Partai-partai baru muncul. Termasuk Gus Dur mendikrikan Partai Kebangkitan Bangsa, bahkan terpilih sebagai presiden keempat, 2001.
Aktivitas kemanusiaannya semakin meluas setelah dia ditugaskan sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Penugasan ini semakin memungkinkannya lebih leluasa bergerak ke mana-mana, menembus sekat-sekat agama, kepercayaan, serta latar belakang lainnya. Sebagai pastor kategorial, Benny Susetyo tidak punya paroki. Tidak secara langsung ‘menggembalakan domba-domba’ layaknya pastor biasa. Dia bisa ke mana-mana, kapan saja, bergerak di seluruh Indonesia. ”Yah, saya mendapat penugasan sebagai pastor kategorial. Saya berusaha melaksanakan itu dengan sebaik-baiknya,” ujarnya saat ditemui di Gereja Katedral Surabaya, Kamis (21/3/2008).[4]
Berbagai pengalamannya juga dia tuangkan dalam bentuk tulisan. Kebiasaan menulis memang sudah diminatinya sejak masih mahasiswa STFT Widya Sasana di Malang. Tiap hari, kalau ada ide, Benny menulis apa saja. Merespons isu-isu yang berkembang saat itu.Menurutnya, menulis itu kan pergumulan. Dia sangat mengidolakan Romo YB Mangunwiajaya, pastor budayawan, sastrawan, arsitek, aktivis sosial. Terlihat dari hampir di semua artikelnya, mengutip pandangan-pandangan Romo Mangunwijaya.
Romo Benny aktif menulis di beberapa koran nasional. Walaupun tidak semua artikel yang dikirimnya ke koran dimuat, dia terus aktif menulis. Sejumlah rekan aktivisnya meminta artikel-artikel tersebut dibukukan. Jadilah buku ‘Orde Para Bandit’ (Averroes Press dan LKiS, 2001) menjadi buku pertama Benny Susetyo. Selain itu, sebelumnya memang dia sudah ikut menulis dua buku sebagai kontributor yakni dalam buku ‘Melangkah dari Reruntuhan, Tragedi Sitobondo’ (Grasindo, 1998) dan ‘Indonesia di Persimpangan Jalan’ (1999).
Kemudian dia menulis nuku ‘Membuka Mata Hati Indonesia’ (Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2002), ‘Gerakan Moral sebagai Gerakan Pencerahan, Merefleksi Kemunduran Etika Elit Politik Pasca Reformasi’ (Proses terbit, 2003), ‘Kasih itu Pembebasan’ (Proses terbit, 2003) dan ‘Bimbingan Rohani Calon Pemimpin, Panduan bagi Pembimbing Rohani dalam pembinaan Kaderisasi’ (2003). Bio TokohIndonesia.com | ch. robin simanullang
Footnote:
[1] Penganiayaan atas Benny Susetyo Tindakan Barbar.
[2] Profil Setara Institute
[3] Benny Susetyo
[4] Benny Susetyo Pastor Aktivis