Al-Zaytun, Implementasi Pancasila
Al-Zaytun dan Pusaran Kontroversi (9)
AS Panji Gumilang Al-Zaytun dan Pancasila Al-Zaytun yang Terbaik Buku ASI untuk Semua Ajaran Illahi dan Ideologi Terbuka Al-Zaytun, Islam Milenium Ketiga Peringatan Lahirnya Pancasila di Al-Zaytun
Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang
Lebih bergejolak lagi dalam pikiran saya, bahwa saya tidak menemukan indikasi keterkaitan ponpes ini dengan NII (yang menolak dan mengkafirkan Pancasila dan NKRI, serta mengharuskan pemberlakuan hukum syariat Islam). Juga sama sekali tidak menemukan indikasi keterkaitan dengan aliran radikal, kekerasan, apalagi teroris. Mereka juga tidak mengkafirkan Pancasila. Tidak seperti NII yang memandang Pancasila dan NKRI sebagai thogut.
Bahkan di Ponpes ini, Pancasila tidak sekadar diajarkan atau dikhotbahkan, melainkan diimplementasikan dan dihabitualisasikan dalam keseharian. Mereka ini juga benar-benar antikekerasan. Sebagai contoh kecil, dalam hal penegakan disiplin yang sedemikian ketat di ponpes ini, kami mendapat penjelasan bahwa para guru dan siapa pun tidak dibenarkan melakukan kekerasan atau pemukulan kepada santri; bahkan sesama santri pun tidak.
@tokoh.id (Quote Version) AS Panji Gumilang: Hilangkan Kredo Mayoritas-Minoritas. Yang Ada, Persatuan Indonesia. #panjigumilang #alzaytun #mahadalzaytun #persatuanindonesia #pesantrenalzaytun
Selain itu, setiap berpapasan dengan santri atau siapa pun dalam ponpes tersebut, mereka selalu bersikap ramah dan santun. Penampilan dan suasana yang sangat universal, berbeda dengan umumnya ponpes yang eksklusif. Suasana di Al-Zaytun tersebut terasa sangat welcome, layaknya di lembaga-lembaga pendidikan umum modern universal. Sama sekali tidak terlihat kesan kumuh dan eksklusif, seperti kebanyakan pondok pesantren. Apalagi saat sore, terlihat ramai saat para santri giat bermain olahraga di beberapa lapangan yang ada di kampus itu.
Saya sendiri yang semula agak merasa sungkan dan waswas karena merasa mungkin berpenampilan berbeda, akhirnya merasa sangat diakrabi semua situasi dan kondisi di ponpes itu. Sesungguhnya, saat pertama kali berkeliling di berbagai sudut ponpes itu saya sudah mulai merasa tidak asing, tidak ada perbedaan penampilan. Bahkan dalam hati saya terbetik kata: Ini lebih bernuansa kampus, bukan seperti pondok pesantren umumnya! Benar, ini kampus toleransi dan perdamaian.
Itulah sebabnya saya menyebut pikiran saya bergejolak. Bergejolak bukan lantaran saya tidak percaya atas apa yang saya saksikan dan rasakan. Saya yakin bahwa apa yang saya saksikan dan rasakan adalah realitas kebenaran. Sungguh suatu kenyataan bukan persepsi, khayalan ataupun kamuflase. Bergejolak karena kenyataan itu sangat jauh berbeda dari gonjang-ganjing negatif yang dibombardir tentang ponpes ini. Gejolak itu muncul menjelang bertemu langsung dengan Syaykh Panji Gumilang. Saya berharap gejolak dalam pikiran itu akan terjawab dalam wawancara dengan beliau.
Setelah beristirahat sejenak dan makan malam. Barulah kami bertemu dengan Syaykh Panji Gumilang. Saat melihat sosok dan penampilannya yang pakai stelan biasa, tidak pakai sorban, kain sarung atau jubah putih, dan tidak pula memelihara jenggot panjang, pikiran saya langsung mengasosiasikannya sebagai seorang kiyai, ulama Indonesia, yang berpenampilan rektor dan guru besar, bahkan mirip Bung Karno.
Percakapan yang akrab dan terbuka pun berlangsung. Beliau kelihatan lepas, bersahaja dan terbuka mencurahkan isi hati dan pikirannya. Mungkin, beliau juga tidak merasa curiga kepada kami. Hal ini saya simpulkan, sebab rangkaian jawaban dan penjelasannya tidak terkesan defensif. Tampaknya beliau sangat percaya bahwa kami memang sangat ingin tahu tentang kebenaran apa saja yang ada di pesantren itu, bukan untuk mencari-cari dan menjustifikasi kesalahan. Tampaknya, Ustadz Abdul Halim yang selalu mendampingi kami dan menjawab berbagai pertanyaan (memberi penjelasan) di lapangan, sudah memberitahu tentang informasi apa saja yang telah kami kumpulkan dan bagaimana kami menyikapi apa yang kami saksikan dan rasakan selama peninjauan siang harinya.
Dari hasil peninjauan lapangan itu, sesungguhnya kami sudah cukup banyak mengenal lembaga pendidikan Islam Ma’had Al-Zaytun yang diasuh Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) tersebut. Namun hasil peninjauan itu rasanya tidak sempurna tanpa berdialog langsung dengan Syaykh Panji Gumilang selaku penggagas, pendiri dan pemimpinnya.
Maka kesempatan bertemu itu kami dayagunakan dengan bertanya tentang banyak hal. Termasuk hal-hal negatif yang diisukan terjadi di pesantren tersebut, seperti keterkaitan dengan NII, kekerasan dan teroris, bunker, pelatihan militer, isu penyimpangan perilaku santri, pendanaan dan lain sebagainya. Tak terkecuali isu kesesatan ajaran Islam. Walaupun memang kami sangat membatasi diri tentang akidah dan syariat. Selain, karena kurang memahami, juga merasa tidak ingin memasukinya terlalu jauh, bukan domain kami, kecuali menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan proses pendidikan, interaksi kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.
Bersambung: Sebagai seorang jurnalis yang ‘diperhadapkan’ dengan kompleksitas kontroversi tentang Al-Zaytun, saya merasa tertantang: Bagaimana mengurai (menulis) kerumitan itu?