Al-Zaytun Incompatible NII

Al-Zaytun dan Pusaran Kontroversi (11)

AS Panji Gumilang Al-Zaytun dan Pancasila Al-Zaytun Patut Dicontoh Al-Zaytun yang Terbaik Al-Zaytun, Islam Milenium Ketiga Al-Zaytun, Implementasi Pancasila
 
0
217
Indonesia Raya Tiga Stanza selalu dikumandangkan dalam berbagai kegiatan di Al-Zaytun

Catatan Kilas Ch Robin Simanullang

Sesungguhnya, sejak awal saya tidak begitu tertarik (memusatkan perhatian) tentang isu NII (Negara Islam Indonesia) yang sering kali dikait-kaitkan dengan Al-Zaytun. Sebab saya lebih tertarik dan yakin pada kata hati nurani[1] dan akal sehat[2] saya tentang visi dan tujuan baik lembaga pendidikan Islam modern ini, sebagaimana terpampang dengan tegas di gapura pintu gerbangnya: Ma’had Al-Zaytun Pusat Pendidikan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian; Serta terlihat dari ‘buahnya’ sebagaimana telah sering saya paparkan. Laksana pohon yang baik, tentu kelihatan dari buahnya.

Hati nurani dan akal sehat saya tersebut diperbendaharai atas apa yang saya pelajari, saksikan dan alami sendiri, baik selama berinteraksi intensif dengan keluarga besar Al-Zaytun, mulai dari Syaykh Al-Zaytun, para eksponen (pengurus yayasan), guru, santri, karyawan, relawan dan simpatisannya, dalam kurun waktu dua dasawarsa; dan/maupun dalam berinteraksi dengan masyarakat (muslim) lainnya dalam rangka kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Perayaan HUT RI 17 Agustus 2015 di Al-Zaytun

Bukan berarti saya tidak mau tahu atas isu NII tersebut. Bahkan sebagai seorang warga negara Republik Indonesia yang berprofesi jurnalis[3], saya membaca berbagai refrensi tentang NII, mengobservasi dan investigasi, juga mendalami (analisis) berbagai pemberitaan tentang isu keterkaitan Al-Zaytun dengan NII. Tetapi semua itu saya pahami dan maknai di bawah pencerahan hati nurani dan akal sehat saya sendiri yang dalam banyak hal, justru menjadi sumber inspirasi.

@tokoh.id

Ma’had Al-Zaytun: Menyanyi Indonesia Raya 3 Stanza #mahadalzaytun #indonesiaraya #indonesiaraya3stanza #indonesiaraya🇲🇨 #pesantrenalzaytun #alzaytunviral #azzaytun

♬ original sound – Tokoh Indonesia – Tokoh Indonesia

Apalagi menurut penelitian Kementerian Agama, sikap kontra (penyebar isu keterkaitan Al-Zaytun dengan NII) tersebut kalau dilihat dari latar belakang identitasnya adalah mereka yang pernah dan bahkan sampai sekarang masih aktif di NII atau berteman dengan anggota atau mantan anggota NII.[4] Juga menurut mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal TNI (Purn) Prof. Dr. HAM Hendropiyono, ST, MH, justru mereka yang menuduh itulah NII.[5] Mereka sangat kecewa karena Al-Zaytun (Yayasan Pesantren Indonesia) selain mencantumkan Pancasila dan UUD 1945 dalam Anggaran Dasarnya, juga mengajarkan dan mengejawantahkan Pancasila dalam kehidupan keseharian. Compatible Pancasila, yang oleh NII dianggap ideologi kafir.[6]

Jika dirunut (sejarah) ke belakang, inti masalah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan NKA-NII (Negara Karunia Allah – Negara Islam Indonesia) itu adalah ideologi. Sejak awal persiapan kemerdekaan Negara Republik Indonesia, telah muncul perbedaan mengenai apa yang menjadi dasar negara Indonesia merdeka. Sebagian menghendaki Islam menjadi ideologi (dasar) negara. Tapi sebagian lagi menghendaki nilai-nilai universal kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan menjadi nilai dasar negara.[7]

Kemudian dalam sidang BPUPKI disepakati bahwa dasar negara adalah Pancasila, sebagimana diistilahkan dalam pidato Bung Karno dan dibentuklah panitia sembilan yang ditugasi merumuskan rancangan Preambul Undang-Undang Dasar 1945, hal mana lima nilai dasar (Pancasila) tersebut termaktub di dalamnya. Rumusan dan urutan lima nilai dasar tersebut pun didiskusikan. Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan di urutan pertama, dan seterusnya. Dalam pembahasan itu muncul perdebatan tentang perlu tidaknya mencantumkan syari’at Islam. Sempat disepakati apa yang biasa disebut Piagam Jakarta (Rancangan Preambul UUD), di mana sila pertama piagam tersebut berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.”

Namun, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, tujuh kata di belakang Ketuhanan itu dihapus atas usul utusan dari Indonesia bagian Timur dan nonmuslim. Para bapak pendiri bangsa (founding fathers) akhirnya menyepakati penghapusan tujuh kata tersebut demi persatuan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tapi tampaknya, penghilangan tujuh kata pada sila pertama Pancasila (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya) tersebut bagi sebagian tokoh dan umat Islam masih menimbulkan kekecewaan. Mereka pun melakukan gerakan perlawanan Darul Islam, menuntut agar syari’at Islam diberlakukan dan mendirikan negara Islam di Indonesia. Di antaranya, Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) di Jawa Barat, yang kemudian pada 7 Agustus 1949 memproklamirkan Negara Karunia Allah – Negara Islam Indonesia (NKA-NII) di bawah kepemimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949. [8]

Advertisement

Tapi usaha Kartosoewirjo dkk mendirikan NII tersebut kandas, selain karena umat nonmuslim jelas tidak setuju, juga karena mainstream umat Islam Indonesia tidak mendukungnya. Pemerintah pun menumpasnya, Kartoseowirjo ditangkap dan dihukuman mati. Lalu pada 1 Agustus 1962 di Bandung, para mantan komandan Tentara Islam Indonesia (TII) berikrar bersama untuk setia kepada Pancasila dan UUD 45, menyesali diri dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perjuangan NII. Sejak itu, gerakan NII dianggap sudah berhenti.[9]

Namun, dengan telah berhentinya gerakan NII, bukan berarti tidak ada lagi umat Islam yang memendam cita-cita mendirikan negara Islam dan/atau ingin memberlakukan syariat Islam sebagai dasar negara. Sebagian memperjuangkannya dengan revolusi, perang, kekerasan bahkan nekad melakukan teror (teroris). Sebagian lagi memperjuangkannya secara politik, baik secara terbuka maupun tertutup (di bawah tanah).

Sebagian tokoh secara terbuka membentuk ormas dan partai politik untuk memperjuangkan syariat Islam sebagai dasar negara dan/atau mendirikan negara Islam di Indonesia. Buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, secara gamblang menyebut nama partai politik dan ormas tersebut serta pemimpinnya, terutama yang berpaham Wahabi atau Ikhwanul Muslimin yang telah mengubah wajah Islam Indonesia menjadi agresif, beringas, intoleran dan penuh kebencian.[10]

Jadi sangat bermacam adanya pikiran, gagasan, perlawanan, pemberontakan dan teror untuk memperjuangkan syariat Islam sebagai dasar negara dan/atau mendirikan negara Islam di Indonesia. Namun, bagi saya, hal itu tidak terlalu merisaukan karena melihat dan merasakan mainstream politik umat Islam Indonesia (Islam yang berakar di Indonesia), seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Zaytun dan lain-lainnya, sangat menjunjung nilai-nilai kebangsaan dan pluralisme, serta telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara final. Sebab, menggan­ti Pancasila dengan ideologi lain, berarti membubarkan NKRI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Walaupun terkadang, dengan adanya (eksistensi) kelompok, ormas dan parpol yang menolak Pancasila di negara ini menjadi sebuah pertanyaan dan perenungan pembanding bagi saya. Mengapa pemerintah (negara) justru masih mengakomodir mereka yang menolak Pancasila dan memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam sebagai hukum negara. Bukankah tugas pemerintah (negara) untuk taat asas dan menegakkan konstitusi?

Hal ini mengingatkan saya pada paparan Syaykh Al-Zaytun dalam diskusi bertema: “Mencari Format Ideologi yang Ideal bagi Generasi Muda Mathla’ul Anwar (Gema MA) Menghadapi Tantangan Zaman,” beliau menyebut: “Ideologi negara harus dijadikan ideologi oleh organisasi.”[11] Serta pernyataannya dalam beberapa kali berbincang perihal mutlak pentingnya ketaatan pemerintah dan warga negara pada asas dan konstitusi negara (Pancasila dan UUD 1945).

Saat diskusi dengan Gema MA tersebut seorang peserta dari Banten, mengajukan pertanyaan mengatakan: “Mencari ideologi yang tepat bagi Gema MA jika bicara tentang Pancasila, saya rasa sudah usang. Lihat saja ideologi yang digunakan oleh partai politik, jarang kita lihat asasnya Pancasila.” Saat itu, Syaykh Al-Zaytun menjawab dengan balik bertanya: “Kalau hari ini, Saudara memandang usang kepada nilai-nilai dasar negara Indonesia, na’udzubillah min dzalik. Ketuhanan YME, koq usang? Kemanusiaan yang adil dan beradab, koq usang? Kerakyatan, koq usang? Persatuan Indonesia, koq usang? Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, koq usang? Ini satu pertanyaan besar bagi bangsa besar ini.”[12]

Pertanyaan ini, semestinya dijawab oleh pemerintah. Jangan malah terjebak dalam sikap ambivalen. Begitu pula (sebaliknya), dalam konteks Al-Zaytun yang mengajarkan dan mengamalkan Pancasila, baik dalam organisasi dan proses pembelajaran, maupun dalam kehidupan keseharian, tapi kurang diayomi malah justru sering kali dipersulit dan dibiarkan diganggu pihak-pihak yang anti Pancasila. Sebagai contoh, bagaimana ambivalennya pemerintah dalam proses pendirian Universitas Al-Zaytun Indonesia. Mendiknas sendiri yang meresmikan universitas tersebut pada 2005, tapi Mendiknas juga yang mempersulit izin operasionalnya sampai sekarang belum dikeluarkan. Sementara ada saja perguruan tinggi ‘abal-abal’ yang dengan mudah diberikan izin.[13] Demikian pula isu keterkaitan NII dengan Al-Zaytun pun seperti dibiarkan liar. Sepertinya pemimpin di negara ini tak punya visi yang jelas.

 

Al-Zaytun Compatible Pancasila

Sikap pemerintah tersebut tak ubahnya seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan mereka yang sering menyudutkan Al-Zaytun dengan tuduhan keterkaitan dengan NII, malah menolerir (mengaminkan) perjuangan ormas dan partai politik yang mengharamkan dan berjuang melenyapkan Pancasila.

Parade Perayaan HUT RI 17 Agustus 2015 di Al-Zaytun

Contohnya, dalam buku Ilusi Negara Islam diuraikan:

“Salah satu contoh paling memprihatinkan adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam doktrinnya, HTI menyata­kan sebagai organisasi politik anti demokrasi, atau dalam bahasa agama mengharamkan demokrasi dan memper­juangkan Khilafah Islamiyah. HTI mengaku dan berusaha melenyapkan Pancasila dan meruntuhkan NKRI. Dengan demikian, dari sudut manapun HTI gerakan subversif, namun keberadaannya diakomodasi oleh MUI, bahkan anggota HTI menggurita di dalam struktur MUI dari pusat sampai daerah. Tidak bisa dibayangkan jika suatu saat HTI menjadi besar dan hampir pasti akan berhadapan dengan eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa.”[14]

Selama beberapa puluh tahun HTI dibiarkan bertumbuh, apalagi setelah Reformasi 1998; sampai kemudian Presiden Jokowi berani bersikap membubarkan HTI (19 Juli 2017), yang mendapat perlawanan bukan hanya dari pihak HTI sendiri melainkan juga Parpol Parlemen Gerindra, Partai Demokrat dan PKS (yang secara formal berazas Pancasi). Dalam kondisi seperti inilah saya lebih meyakini hati nurani dan akal sehat dalam memahami berbagai isu negatif yang ditujukan kepada Al-Zaytun. Bagaimana keterkaitan Al-Zaytun dengan NII? Benarkan Panji Gumilang pernah dibaiat menjadi Imam NII KW IX? Dari mana sumber pendanaan pembangunan Al-Zaytun? Dan berbagai isu (pertanyaan) negatif lainnya.

Bagaimana keterkaitan Al-Zaytun dengan NII? Saya mengutip pernyataan Menteri Agama Suryadharma Ali yang meyakini bahwa Al-Zaytun tidak terkait NII. Suryadharma Ali mengatakan tidak menemukan keterkaitan Al-Zaytun dengan NII KW 9 yang radikal. Dia pun memastikan kesimpulan tersebut juga bersumber dari penelitian Kementerian Agama yang komprehensif dan valid.[15]

Sementara terkait dugaan pengumpulan dana bagi Al-Zaytun dengan menggunakan metode pencucian otak para santrinya, Suryadharma yakin bahwa hal tersebut tidak benar. “Saya yakin tidak ada. Di sana ada ribuan santri, mereka baik-baik saja,” kata Suryadharma.

Menanggapi hal itu, Syaykh Al-Zaytun pun mengatakan supaya tidak dicuci otak, kembalilah kepada ajaran Illahi lima nilai dasar negara itu. “Kita selalu mengatakan Pancasila, Pancasila, Pancasila. Tapi prakteknya tidak ada. Praktekkan! Al-Zaytun mempraktekkan Pancasila. Kalau di sekolah-sekolah, Pancasila dipraktekkan, maka tidak ada itu bahasa cuci otak. Tidak ada bahasa-bahasa yang lain-lain. Karena Pancasila itu ajaran Ilahi,” jelasnya.[16]

Perihal apakah Panji Gumilang pernah dibaiat menjadi Imam NII KW IX? Syaykh Al-Zaytun berulangkali mengatakan bahwa dia tidak pernah masuk NII, dan karena tidak pernah masuk, tentu juga tidak pernah keluar dari NII. Lagi pula, NII itu pada 1962 sudah berikrar kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Dan isu-isu lain-lain, dan sebagainya yang amat panjang bila diuraikan. Namun, sekali lagi, saya sendiri tidak begitu merasa perlu menghabiskan perhatian untuk isu-isu negatif seperti itu. Apalagi sampai berbantahan soal itu. Saya juga merasa tidak perlu dan tidak punya kewenangan untuk mengatakan bahwa isu ini-itu benar dan isu ini-itu tidak benar. Sebab seandainya pun beberapa isu itu benar, misalnya bahwa Syaykh Panji Gumilang itu pernah dibaiat menjadi Imam NII, bagi saya itu masa lalu.

Atau jika mengikuti laporan penelitian Team MUI (2002), terutama penelitian Litbang Depag – INSEP (2004) – kendati masih debatable – yang menyebut ada perobahan strategi NII dari strategi revolusi kepada strategi pendidikan[17] dengan semboyan yang sekarang ada di Al-Zaytun yaitu “Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian”, bagi saya itu hal yang positif. Sangat baik!

Masa lalu tentulah merupakan rangkaian perjalanan hidup seseorang atau organisasi. Tapi ada saatnya seseorang atau organisasi itu mengubah haluan hidup dan perjuangannya. Perubahan haluan hidup itu bisa jadi seseorang itu dulu ulama atau pendeta, tetapi kini berubah menjadi preman jahat. Perubahan seperti ini dari positif menjadi negatif. Ini yang tidak baik. Sebaliknya, ada perubahan dari negatif menjadi positif: Misalnya, dulu dia preman, tetapi kini menjadi ulama atau pendeta. Atau sebuah organisasi, dulu revolusioner, perang, atau garis keras, anti dasar negara (Pancasila) dan konstitusi negara (UUD 1945), kemudian berubah menjadi membudayakan toleransi dan perdamaian melalui jalur pendidikan dengan ketaatan kepada asas dan konstitusi negaranya (Pancasila dan UUD 1945). Bukankah hal itu yang dikehendaki bangsa ini? Dalam konteks Negara Republik Indonesia, hanya mereka yang tidak menghendaki Pancasila sebagai dasar negaralah yang memandang hal tersebut sesat atau tidak baik.

Lagi pula, sangat kurang bijaksana jika menghakimi seseorang karena masa lalunya. Apalagi jika penghakiman itu hanya ditujukan kepada orang tertentu saja. Sebagai gambaran, jika disebut satu per satu, terlalu banyak nama tokoh yang dulu ingin memperjuangkan syariat Islam menjadi hukum negara dan Islam menjadi ideologi negara (atau anti Pancasila), namun kemudian menjadi pejabat negara Republik Indonesia. Teranyar, sebagai contoh saja, Menteri dan Panglima Tentara GAM, kini telah menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. AM Fatwa pernah dihukum 18 tahun dalam kasus subversi Lembaran Putih Tanjungpriok, lalu telah menjadi Anggota DPD RI tiga periode.

Jangankan masa lalu, kini Yusril Ihza Mahendra masih menegaskan Partai Bulan Bintang bertekad untuk tidak surut sedikit pun dari pendiriannya memperjuangkan Piagam Jakarta secara demokratis dan konstitusional untuk dimasukkan dalam Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sehingga bunyinya menjadi, “negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya”.[18]

Tetapi, anehnya justru Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang dan Al-Zaytun yang selalu mengajarkan dan menanamkan lima nilai dasar negara (Pancasila) dan ketaatan pada konstitusi (UUD 1945), serta mempraktekkannya dalam interaksi sosial keseharian, oleh beberapa pihak malah diberi stikma radikal, anti Pancasila, dan dipersepsikan sebagai (seolah) orang paling berbahaya bagi masyarakat, bangsa dan negara yang berasas Pancasila.

Edan! Maka jika hanya mengikuti apa kata orang dan apa yang ramai terjadi (diopinikan publik), timbul pertanyaan: Ideologi apa sesunguhnya yang menjadi pedoman (asas) bagi bangsa ini, terutama para penyelenggara negara di negeri ini? Apakah bangsa ini, terutama para pejabat tinggi negeri ini masih bersikap ambivalen terhadap Pancasila?

Maka saya merasa amat lebih bijak dan cerdas dalam kondisi, situasi dan opini edan seperti itu, lebih mempertajam hati nurani dan akal sehat untuk memahami, menganalisis, membedakan yang baik dan buruk, yang salah dan benar. Amsal Sulaiman (Misyle Syelomoh) menasehatkan: “Orang yang kurang berpengalaman percaya pada setiap perkataan, tetapi orang yang cerdik mempertimbangkan langkah-langkahnya” (Amsal 14:15).

Maka, bagi orang-orang yang cerdik, seluruh rangkain catatan ini, kiranya memadai dijadikan sebagai bahan untuk mempertimbangkan langkah-langkahnya, baik dalam memahami dan menyikapi isu negatif tentang Al-Zaytun, terutama untuk menjadikannya sebagai sumber inspirasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Seluruh rangkaian isi buku yang saya tulis yakni Al-Zaytun Sumber Inspirasi (2015), amat jelas menunjukkan bahwa Al-Zaytun Compatible Pancasila (NKRI) dan Incompatible NII. Ibarat perangkat teknologi komputer, apa pun cassing dan mereknya, yang terpenting adalah apakah prosesornya kompatibel dengan perangkat hardware dan software lainnya? Atau apakah perangkat hardware-nya kompatibel dengan software-nya? Atau apakah software yang satu kompatibel dengan software lainnya. Jika tidak kompatibel, tentu tidak dapat berfungsi dengan baik.

Jika disimak, bagaimana Al-Zaytun hanya compatible (kompatibel, mampu bergerak dan bekerja dengan keserasian, kesesuaian, laiknya mesin dan komputer) dengan Pancasila dan UUD 1945. Sebaliknya, sangat incompatible (tidak cocok, berlawanan, canggung, tidak sesuai, tidak serasi, bertentangan) dengan Negara Islam Indonesia (NII), yang memang memandang Pancasila dan Negara Republik Indonesia sebagai ideologi dan negara thoghut (kafir).

Kiranya Catatan Kilas ini berguna, tidak hanya bagi keluarga besar Al-Zaytun, melainkan juga berguna sebagai sumber inspirasi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bagi semua orang, terutama bagi orang-orang bijaksana.

Lebih lengkap tentang Al-Zaytun, baca buku AL-ZAYTUN SUMBER INSPIRASI Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara di Toko Buku Online TUHOR.COM dan/atau Toko Tuhor – Tokopedia

Footnote:

[1] Kata hati nurani, kata perasaan hati (jiwa) yang murni dan sedalam-dalamnya; nur cahaya jiwa manusia yang paling dalam (Nur, cahaya, nurani dari Tuhan).

[2] Akal sehat adalah kemampuan daya pikir (akal – aql, peralatan rohaniah, ikhtiar) manusia dalam memahami (menganalisis, membedakan yang baik dan buruk, yang salah dan benar) sesuai (output) dari pendidikan dan pengalaman seseorang. Jadi akal sehat sangat ditentukan gabungan dari pengalaman dan wawasan. Amsal Sulaiman (Misyle Syelomoh) mengatakan: “Orang yang kurang berpengalaman percaya pada setiap perkataan, tetapi orang yang cerdik mempertimbangkan langkah-langkahnya.” (Amsal 14:15).

[3] Jurnalis itu, bagi saya, selain sebagai pembawa suara kenabian, juga pengamat handal dan pemburu informasi (fakta) yang gesit (hunter) tanpa batas ruang dan waktu yang sering kali lebih jeli (intelek) dari seorang intelijen.

[4] Ma’had Al-Zaytun dalam Perspektif Hermeneutika, Op.Cit.

[5] Wawancara Penulis dengan Jenderal Prof. Dr. HAM Hendropiyono, ST, MH, Selasa, 16 Juli 2013.

[6]  Bagi NII, ideologi negara adalah Islam, dan hukum yang tertinggi adalah Al-Quran dan Hadits.

[7] Mohammad Yamin mengusulkan lima azas negara kebangsaan itu yakni: 1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; 5. Kesejahteraan Rakyat. Kemudian, pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno di hadapan sidang BPUPKI dalam pidatonya juga mengusulkan lima dasar yang disebutnya Pancasila (lima dasar), yakni: 1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa.

[8] Menyusul Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan (Oktober 1950); Gerakan DI/TII Qahar Muzakkar di Sulawesi Selatan (7 Agustus 1953); Gerakan DI/TII Daud Beureueh diproklamirkan 20 September 1953 di Aceh; Gerakan DI/TII Amir Fatah di Jawa Tengah juga menjadi bagian dari NII Kartosuwirjo. Jika dirunut lagi lebih jauh ke belakang, Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo tersebut, juga merupakan kelanjutan perjuangan yang telah dirintis Sarikat Dagang Islam (SDI) oleh KH Samanhudi (1905) yang dikembangkan menjadi Sarikat Islam (SI) oleh Haji Umar Said Cokroaminoto (1912) yang pada tahun 1930 SI diubah namanya menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

[9] Ikrar Bersama tersebut ditandatangani tiga puluh dua tokoh DI/TII yakni; Agus Abdullah, Djadja Sudjadi, Adah Djaelani, Hadji Zaenal Abidin, Ateng Djaelani, Danu Mohamad Hasan, Mohamad Ghozi, Toha Mahfudz, Dodo Muhamad Darda, Tachmid, Cholil, Hasan Anwar, Atjeng Abdullah Mudjahid, Maskun Sudarmi, Ateng Hadjar, Rachmat Slamet, Ules Sudja’i, Engkar Rusbandi, Hadji Yusuf, Usman, Syarif Muslim, Hadji Zakaria, Bakar Misbah, Emod Hasan Saputra, Ahmad Mustafa Hidayat, Sobir, Mubaroq, Zainudin Abd Rahman, Hadji Djunaedi, Tohir, Salam, dan OZ Mansyur. (Lihat Ma’had Al-Zaytun Sebuah Gerakan Keagamaan dalam Perspektif Hermeneutika, Oleh Tim Peneliti INSEP dan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Departemen Agama RI, 2004, Latar Belakang)

[10] Ilusi Negara Islam, Op.Cit.

[11] Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang, “Mencari Format Ideologi yang Ideal bagi Generasi Muda Mathla’ul Anwar (Gema MA) Menghadapi Tantangan Zaman,” Diskusi Musyawarah Nasional (Munas) III DPP Generasi Muda Mathla’ul Anwar (Gema-MA) di Pusat Pengembangan Pemuda dan Olah Raga Nasional (PP-PON), Cibubur, Jakarta, Jumat 25 Juni 2010, malam. (Lihat juga Majalah Berita Indonesia Edisi 78 | 15 Juli – 15 Agustus 2010).

[12] Ibid.

[13] Sebagian perguruan tinggi abal-abal tersebut terbukti memperdagangkan ijazah.

[14] Ilusi Negara Islam, Op.Cit., hlm.42.

[15] Konferensi Pers Menteri Agama Suryadharma Ali dan Syaykh AS Panji Gumilang, Op.Cit.

[16] Konferensi Pers Menteri Agama Suryadharma Ali dan Syaykh AS Panji Gumilang, Ibid.

[17] Laporan penelitian Team MUI (2002) dan Litbang Depag-INSEP (2004) yang didasari oleh cerita H Syarwani tentang bagaimana ASPG dan sejumlah eksponen melakukan perenungan di Multazam Masjidil Haram untuk meneruskan langkah “perjuangan” yang akhirnya menemukan jalan ke depan melalui pendidikan. Kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah dan tidak pernah menang, maka setelah kembali ke tanah air mulailah dirintis program MAZ.

[18] Perjuangkan Piagam Jakarta, http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/188-perjuangkan-piagam-jakarta. (Dalam Anggaran Dasar PBB, tidak satu kali pun Pancasila dicantumkan).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini