Mari Selamatkan MK

[OPINI] – CATATAN KILAS – KPK menangkap tangan ketua Mahkamah Konstitusi. Sebuah prestasi besar KPK, namun di sisi lain sebuah pertanda bangsa ini sudah semakin dekat lampu merah. Dahsyat sekaligus amat berbahaya! Bayangkan sebuah lembaga tinggi negara (satu-satunya) yang berwenang menafsirkan konstitusi dan putusannya bersifat final. Tetapi kini, terdelegitimasi secara masif karena ulah ketuanya sendiri.
Sejarahnya, bahwa ide pembentukan MK ini merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. MK di Indonesia berdiri dengan mengadopsi ide MK (Constitutional Court) yang diamanatkan dalam amandemen konstitusi (UUD 1945) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2001, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.
Kemudian, setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 mengangkat hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada 16 Agustus 2003.
Sesungguhnya, langkah yang paling ampuh, menurut hemat kami adalah: Karena proses pembusukan (delegitimasi) MK terjadi dari dalam MK sendiri, maka paling ampuh adalah kesadaran dan rasa tanggung jawab seluruh (8) hakim MK dengan sukarela menyatakan mengundurkan diri. Lalu, dalam tenggang waktu tertentu mereka masih aktif untuk mencegah kevakuman sampai Presiden, DPR dan MA memilih sembilan hakim MK yang baru melalui seleksi yang lebih cermat. Apakah hal ini memungkinkan? Jawabannya tergantung kesadaran delapan hakim MK itu sendiri.
Adapun Visi MK ini adalah tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Misinya: 1) Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya; 2) Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi.
MK berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. MK memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Kewenangannya, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Memutus pembubaran partai politik, dan; 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga: 1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa: a) penghianatan terhadap negara; b) korupsi; c) penyuapan; d) tindak pidana lainnya; 2. atau perbuatan tercela, dan/atau; 3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Begitu penting dan berkuasanya lembaga tinggi negara (MK) ini. Tetapi kini telah terjadi pembusukan oleh ulah mafia hukum yang bercokol dalam tubuhnya sendiri. Pembusukan dari dalam, di mana isu lama tentang mafia hukum dalam tubuh MK telah terverifikasi. Sebuah kejahatan yang amat sempurna (the perfect crime) yang dilakukan di balik jubah hakimnya sendiri yang dalam setiap putusannya berperan mengatasnamakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Laksana iblis berjubah malaikat.
Akibatnya, kepercayaan publik pun runtuh. Jika hal ini dibiarkan berlarut, tentu akan amat berbahaya dalam penegakan konstitusi (hukum) di negeri ini. Akan semakin dekat dengan lampu merah tanda bahaya.
Maka, mari segera menyelamatkan MK. Presiden telah berupaya dengan caranya sendiri untuk menyelamatkan MK melalui Perppu yang kemudian akan diuji (disahkan atau ditolak DPR). Demikian pula, delapan hakim MK telah melakukan langkahnya sendiri dengan memilih Ketua dan Wakil Ketua yang baru dan akan membentuk Dewan Etik tanpa mengacu pada Perppu. Sehingga kedua upaya ini masih belum mampu mengembalikan kepercayaan publik.
Sesungguhnya, langkah yang paling ampuh, menurut hemat kami adalah: Karena proses pembusukan (delegitimasi) MK terjadi dari dalam MK sendiri, maka paling ampuh adalah kesadaran dan rasa tanggung jawab seluruh (8) hakim MK dengan sukarela menyatakan mengundurkan diri. Lalu, dalam tenggang waktu tertentu mereka masih aktif untuk mencegah kevakuman sampai Presiden, DPR dan MA memilih sembilan hakim MK yang baru melalui seleksi yang lebih cermat. Apakah hal ini memungkinkan? Jawabannya tergantung kesadaran delapan hakim MK itu sendiri. Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang | Majalah Berita Indonesia Edisi 91 | Desember 2013
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA