Ketika Korban Pembunuhan Difitnah
Tinjauan Budaya Kasus Pembunuhan Brigadir J (1)
Hutabarat, Nofriansyah Joshua
Pembunuhan sadis Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. sangat menyita perhatian masyarakat luas. Perhatian publik tersebut selain dipicu oleh rilis kepolisian yang dinilai banyak kejanggalan, juga karena menyebut Brigadir J melakukan pelecehan (kekerasan seksual: perkosaan) terhadap istri atasannya. Keprihatinan publik menggelinding: Jangan-jangan Brigadir J korban pembunuhan justru difitnah pula!
Secara khusus kesedihan dan kepedihan hati kedua orangtua Brigadir J dan keluarganya, terutama Sang Bunda Rosti Boru Simanjuntak yang melahirkan dan membesarkannya. Sebagai keluarga yang berlatar budaya Batak, rilis kematian putranya yang dituduh melakukan kekerasan seksual kepada istri atasannya, adalah suatu aib terhina, yang meruntuhkan semua kehormatan keluarganya. Kepiluan tangisannya tidak hanya karena kematian tak wajar putranya, tetapi lebih lagi penistaan (tuduhan) sebagai pelaku kekerasan seksual. Bagi masyarakat budaya Batak, sejak leluhur, pelecehan dan kekerasan seksual (perkosaan) adalah kejahatan paling hina, yang tidak hanya menjadi aib busuk bagi Si Pelaku, melainkan juga aib besar bagi keluarga besar dan kerabatnya.
Tradisi leluhur Batak, jika ada seseorang melakukan perkosaan atau kekerasan seksual (apalagi kepada istri seorang Raja Huta/atasan), Si Pelaku akan diadili secara terbuka dan jika terbukti atau tertangkap basah akan dijatuhi hukuman terberat melalui proses ‘pengadilan’ bukan main hakim sendiri. Hukumannya: Hukuman mati, atau denda terberat serta diusir dari desanya. Proses peradilannya, Si Pelaku diikat di sebuah tiang yang ditancapkan di tengah halaman Kampung. Semua Raja Huta/Marga di suatu Bius (Distrik/Kecamatan) beserta semua penduduk setempat hadir. Pengadilannya dipimpin Raja Bius (primus inter pares). Bukan hanya Raja Huta/Marga yang punya hak menyatakan pendapat, tetapi masyarakat awam juga punya hak suara menyatakan pendakwaan atau pembelaan. Dalam proses alot itu, jika terbukti ada tindak kekerasan seksual, Si Pelaku divonis hukuman mati.
Namun, hukuman mati itu tidak serta-merta dieksekusi, apabila keluarga dan kerabat Si Pelaku mengajukan permohonan maaf dan menyatakan bersedia membayar denda untuk mencegah hukuman mati tersebut, maka perundingan dilanjutkan. Jika korban dan keluarganya bersedia menerima, maka hukuman mati diganti dengan pembayaran denda yang ‘eksekusinya’ dilakukan dalam suatu upacara adat dengan mengundang semua penduduk kecamatan (Bius) makan bersama: disebut Mangindahani Horja Bius. Denda yang disepakati dibayar urunan keluarga besar Si Pelaku (Dongan Sabutuha, Boru, bahkan Hulahula dan Dongan Sahuta). Solidaritas ini diumpamakan: Suhar bulu ditait dongan, laos suhar do taiton (Terbalik bambu ditarik teman, maka terbalik jugalah kita tarik). Bermakna apabila ada seorang saudara atau teman melakukan kesalahan, maka semua saudara dan temannya ikut bertanggung jawab; bukan untuk membenarkan kesalahannya tetapi menanggung beban (denda) atas kesalahannya. Setelah denda dibayar dalam upacara Mangindahani (Makan Bersama), Si Pelaku tidak diizinkan lagi tinggal di kecamatan itu; dia diusir harus pergi ke tempat antah berantah. Seseorang diusir dari kampungnya adalah salah satu hukuman terberat bagi orang (leluhur) Batak.
Lebih daripada ‘hukuman diniawi’ itu, dalam kepercayaan leluhur Batak, seseorang yang dihukum mati karena kekerasan seksual (perkosaan) adalah aib terhina, tidak hanya dalam kehidupan jasmani, lebih lagi dalam kehidupan roh setelah kematian jasmani. Leluhur Batak percaya bahwa manusia terdiri dari roh, tubuh dan wibawa (tondi, pamatang dan sahala); Tondi tinggal di dalam kalbu pamatang (hati), dan sahala adalah penampakan (ekspresi) tondi dalam kewibawaannya (sesuai perbuatannya) yang terekspresikan di pardompahan (dahi, kepala, otak). Ketika tubuh (jasad) manusia itu mati, tondi pergi meninggalkannya. Atau tubuh akan mati jika Tondi meninggalkan dan tidak mau kembali lagi ke dalam tubuh.
Jika seseorang itu selama hidupnya berperangai baik (berperangai Anak/Boru ni Raja), tondi-nya akan menghuni Banua Ginjang (Benua Atas, langit, sorga) mulai dari tingkat 1 sd 6 (dari 7 tingkat langit/sorga); tergantung tingkatan perangai dan kewibawaannya semasa hidup; dan tondi itu kemudian disebut Sumangot. Tetapi jika seseorang itu semasa hidup berperangai tidak baik, apalagi jika melakukan kejahatan kekerasan seksual, maka tondi-nya akan menjadi begu (hantu) yang akan menderita di Banua Toru (Benua Bawah); dunia bawah tanah dan samudra primordial gelap-gulita dalam segala bentuk penderitaan dan kengerian. Namun, baik Sumangot maupun Begu akan sering datang ke Banua Tonga (Benua Tengah, Bumi) pada malam hari terutama di mana dia dahulu bertempat tinggal.
Secara empiris, dalam kadar intensitas yang sudah dipengaruhi kepercayaan agama masing-masing, dalam keseharian orang Batak, hal eksistensi manusia (Tondi, Pamatang dan Sahala) dan keberadaan Sumangot dan Begu tersebut masih hidup. Begu masih ditakuti dan dimusuhi, Sumangot masih dihormati dan diakrabi. Maka, dalam konteks ini, kita bisa memahami betapa pedihnya perasaan Ayah-Bunda Bigradir Josua dan keluarga besarnya. Bahkan, betapa pedihnya perasaan suku bangsa Batak, yang dikenal dengan kekerabatan dalam suara darah Batak. Diistilahkan: Mangkuling mudarna (Darahnya bersuara). Suara darah mereka menjerit, sangat pilu: Benarkah Josua Hutabarat melakukan kejahatan terhina yakni kekerasan seksual kepada Ibu Putri Candrawathi? Atau tuduhan itu hanya rekayasa: Fitnah! Dari banyaknya kejanggalan yang dirilis kepolisian dan kesadisan main hakim sendiri yang dilakukan di rumah dinas atasannya sendiri Irjen Ferdy Sambo, menggelinding kesadaran bersama bahwa kejadian ini adalah pembunuhan keji dan ditambah lagi fitnah paling keji, yang jauh lebih keji dari pembunuhannya sendiri.
Terutama Sang Bunda Boru Simanjuntak, yang pasti lebih mendengar suara darah dan jeritan batin putra kesayangannya, Yoshua Hutabarat: “Inang, saya tidak melakukan kejahatan kekerasan seksual itu.” Boru Simanjuntak sangat yakin atas suara batin dan suara darah putranya bahwa Yoshua tidak mungkin melakukan perkosaan kepada PC. Dari beberapa kali diwawancara pers, Ibu Boru Simanjuntak selalu berharap kasus pembunuhan putranya, terutama tuduhan kekerasan seksual itu diungkap secara terang benderang. Dia sangat yakin putranya tidak sejahat yang dituduhkan. Tuduhan itu adalah fitnah. Sang Ayah Samuel Hutabarat pun mengatakan: “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.” Dengan terungkapnya kasus ini secara terang benderang, Ibu Boru Simanjuntak berharap roh putranya tenang di sorga, tidak menjadi hantu yang setiap hari menjerit-jerit di Banua Toru dan menjadi begu yang menakutkan di malam hari.
Sesungguhnya, Presiden Jokowi dalam kekuatan kesederhanaannya sudah menyuarakan jeritan hati Ibu Boru Simanjuntak ini. Dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi menegaskan supaya kasus terbunuhnya Brigadir Yoshua ini dibuka secara terang benderang. Tapi respon para pejabat berwenang belum sepenuhnya bersedia menurutinya. Masih ditandai indikasi tahapan-tahapan rekayasa untuk mengaburkan kasus ini, dengan menciptakan kompleksitas (kerumitan) kasus ini, antara lain: Merusak TKP, menghilangkan barang bukti, meretas bukti elektronik, HP dan CCTV dan tindakan rekayasa lainnya. Bahkan Menkopolhukam Mahfud D terindikasi beberapa kali menggiring kasus ini ke arah kerumitan; di antaranya menyebut, kasus ini ada hambatan hierarkis dan politis; dan terakhir menyebut motif kasus ini tidak perlu diungkap secara terang benderang karena menyangkut ‘konten dewasa’.
Dengan skenario yang diperumit itu, yang membuat publik semakin miris, adanya kesan hampir semua Lembaga Negara berkecenderungan memosisikan Brigadir J sebagai pelaku kejahatan kekerasan seksual, sebagai pelanggar HAM berat; sementara Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dan istri serta para ajudan dan sopirnya perlu dilindungi sebagai saksi dan korban. Mulai dari Kepolisian, Kompolnas, Komnas HAM, Komnas Perempuan dan LPSK. Berbeda dengan suara hati publik yang tidak lagi mudah dibohongi. Juga beberapa purnawirawan dan pengamat hukum dan kepolisian bersuara mempersoalkan rekayasa kebohongan yang disebut oleh Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso sebagai kebohongan sistematis, struktural dan massif. Juga puluhan advokat membentuk TAMPAK, dan beberapa Ormas dan elemen masyarakat, sama-sama menyuarakan: Selamatkan Polri dengan mengusut tuntas kasus ini. Suara publik ini memberi semangat kepada tim pengacara Keluarga Brigadir J yang dikoordinir Kamaruddin Simanjuntak; yang disebut Samuel Hutabarat (Ayahanda Brigadir J) pengacara yang ‘dikirim’ Tuhan untuk memperjuangkan keadilan dalam kasus ini.
Bersambung 2: Rangkaian Kebohongan: Dari Rekayasa Sambo Hingga Framing Mahfud