Tiran Bertopeng Rakyat: Ketika Penjahat Terpilih Jadi Wali Kota

Populisme Berwajah Tirani dalam Daredevil: Born Again

 
0
40
Populisme Berwajah Tirani
POPULISME BERWAJAH TIRANI: Ia menjanjikan ketertiban sambil menebar ketakutan; berbicara tentang cinta rakyat sembari memperkaya kelompoknya dan menguatkan cengkeramannya.

Dalam Daredevil: Born Again (2025), Wilson Fisk tak hanya merebut kota lewat hukum dan politik, tapi juga menenangkan publik dengan narasi cinta rakyat dan janji ketertiban. Di balik pidato tegas dan wajah tenangnya, tersembunyi kekuasaan yang membungkam, memperkaya kelompoknya, dan membajak hukum atas nama rakyat. Ini bukan sekadar kisah fiksi – ini cermin pahit tentang bagaimana populisme bisa menjelma menjadi wajah baru tirani. Dan hanya mereka yang bertahan di bayang-bayang, seperti Daredevil, yang masih berani melawan.

Di sebuah kota yang haus keadilan dan lelah dengan kekacauan, datanglah sosok dengan suara tenang, senyuman meyakinkan, dan janji-janji manis untuk memulihkan ketertiban. Ia tidak datang dengan kekerasan, melainkan dengan retorika cinta rakyat. Tidak membawa senjata, tapi membawa visi hukum dan stabilitas. Ia berbicara seolah mewakili suara rakyat, padahal diam-diam, ia telah merancang sistem untuk membungkam mereka.

Dialah Wilson Fisk.

Dalam serial Daredevil: Born Again (2025), kita tidak hanya melihat seorang penjahat terpilih menjadi Wali Kota New York. Kita menyaksikan bagaimana tirani bisa muncul melalui kotak suara, disertai sorak-sorai rakyat yang tak tahu mereka sedang memilih pemilik palu pembungkam masa depan mereka. Inilah alegori modern yang menggugah tentang bagaimana kekuasaan bisa digunakan – dan disalahgunakan – atas nama cinta rakyat dan ketertiban.

Wilson Fisk – nama yang dulu identik dengan kriminal kelas atas sekaligus pembunuh berdarah dingin – kini berdiri sebagai pemimpin sah. Terpilih secara demokratis, dielu-elukan massa, dan disebut sebagai penyelamat kota. Namun, seperti banyak kisah penguasa tiran lainnya, kemenangan Fisk bukanlah pertanda berakhirnya krisis. Justru, di sanalah tirani dimulai. Fisk dalam pidato perdananya sebagai Wali Kota berkata:

“Vanessa and I, we offer our deepest regards. It’s humbling to be sitting here, speaking to you as mayor… beginning of the new year, most importantly, a new era… The city that bore me, elected me. The city that I love.”
“Vanessa dan saya menyampaikan rasa hormat yang paling dalam. Merupakan sebuah kehormatan bisa duduk di sini dan berbicara kepada Anda sebagai wali kota… awal tahun yang baru, dan yang terpenting, awal dari sebuah era baru… Kota yang melahirkan saya, memilih saya. Kota yang saya cintai.”

Kata-kata itu terdengar tulus, bahkan menyentuh. Tapi di balik deklarasi cinta kepada kota, tersembunyi rencana yang lebih gelap. Fisk adalah tipe pemimpin yang tahu bagaimana membungkus niat jahat dengan narasi kemanusiaan. Ia tidak datang dengan ancaman, tapi dengan janji pemulihan. Tidak mengangkat pedang, tapi menunjuk pasal-pasal hukum. Ia mengadopsi strategi crisis manufacture: menciptakan ketakutan, memperbesar kesan krisis, lalu tampil sebagai pahlawan yang bisa memulihkan keadaan.

Daredevil: Born Again - Wilson Fisk
Wilson Fisk adalah tipe pemimpin yang tahu bagaimana membungkus niat jahat dengan narasi kemanusiaan.

Fisk mengenakan topeng populisme dengan sangat sempurna: membela rakyat, menjanjikan ketertiban, dan menyalahkan kelompok tertentu – dalam hal ini para vigilante – atas semua kekacauan kota. Ia berkata:

“The rule of law will return to New York City. That is what I will deliver…”
“Supremasi hukum akan kembali ke Kota New York. Itulah yang akan saya wujudkan…”

Tapi hukum yang dimaksud Fisk bukanlah alat keadilan, melainkan instrumen represi yang melegitimasi kekuasaan. Vigilante dijadikan musuh negara, bukan karena mereka membawa ancaman nyata pada masyarakat, tetapi karena mereka mengusik stabilitas kepalsuan yang dikonstruksi Fisk.

Advertisement

Kemudian dalam pidatonya setelah kerusuhan besar yang ia rekayasa sehingga ia terlihat seperti pahlawan (episode 9), Fisk menyatakan:

“We don’t need a gun-toting vigilante who wears a skull on his chest… or a guy who wears devil horns to save us.”
“Kita tidak membutuhkan seorang pembela jalanan bersenjata yang mengenakan lambang tengkorak di dadanya… atau pria yang mengenakan tanduk iblis untuk menyelamatkan kita.

Di sini dia memutarbalikkan fakta. Para pembela rakyat yang bekerja dalam bayang-bayang justru dijadikan ancaman oleh sistem. Hukum yang seharusnya menjadi penyeimbang, berubah menjadi alat represi. Dan ketika hukum menjadi senjata kekuasaan, maka tak ada keadilan yang bisa diharapkan dari pengadilan.

Sebagai pemimpin, Fisk tidak hanya memimpin dengan retorika, tapi juga membangun jaringan kekuasaan yang menyusup ke seluruh sendi pemerintahan. City Council dipenuhi loyalis dan kroni yang dibayar dengan proyek dan posisi strategis. Polisi dan jaksa disulap menjadi lengan represif, bukan lagi pelindung keadilan. Media massa dibungkam, dibeli, atau dibelokkan untuk hanya menyiarkan narasi tunggal tentang “kebangkitan New York” di bawah sang wali kota. Setiap keputusan tampak legal dan demokratis, namun sesungguhnya hanya legalisasi dari tirani yang telah tumbuh diam-diam. Undang-undang disesuaikan bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk mengamankan dominasi kekuasaan.

Ia menjanjikan ketertiban sambil menebar ketakutan; berbicara tentang cinta rakyat sembari memperkaya kelompoknya dan menguatkan cengkeramannya. Yang paling mengerikan, Fisk tak pernah terlihat marah. Ia tenang, sopan, bahkan memesona. Ia tahu, wajah otoriter yang membujuk lebih efektif dari pada yang mengancam. Dalam sistem seperti ini, rakyat menjadi objek pasif. Mereka hanya dituntut untuk percaya, tunduk, dan bersyukur. Bila perlu – sadar atau tidak sadar – ikut jadi agen propaganda penguasa.

Daredevil: Born Again
Daredevil: Born Again musim pertama tayang mulai 4 Maret 2025 dan terdiri dari 9 episode.

Namun, seperti yang kerap terjadi dalam sejarah, setiap mesin tirani selalu menyisakan satu ruang kosong – celah tempat tumbuhnya solidaritas masyarakat sipil, orang-orang yang tak bisa dibeli dan tak mau tunduk. Dalam dunia Daredevil, ruang kosong itu diisi oleh Matt Murdock, sang pejuang jalanan yang siang hari adalah pengacara, malam hari mengenakan kostum dan topeng dengan ‘tanduk iblis’ untuk membela keadilan di lorong-lorong gelap kota.

Ia tahu bahwa sistem telah rusak terlalu dalam, dan tidak bisa diperbaiki dari dalam. Maka ia memilih jalan yang berat: menjadi vigilante yang bertarung bukan demi popularitas, tapi demi keadilan yang masih tersisa. Di akhir episode ke-9 (season 1 finale), Daredevil bicara dengan suara rendah – bukan dari podium kekuasaan, tapi dari reruntuhan harapan. Sebuah monolog yang tak terdengar oleh siapa pun, tapi menggema di hati semua orang yang pernah merasa kehilangan suara dalam sistem yang dikendalikan penguasa.

“He thinks he’s won. That the city is his now. But he forgot one thing… New York doesn’t belong to tyrants. It belongs to the people. To the ones who fight in the shadows, bleed in the dark, and never stop swinging.”
“Dia pikir dirinya sudah menang. Bahwa kota ini sekarang miliknya. Tapi dia lupa satu hal… New York bukan milik para tiran. Kota ini milik rakyat. Milik mereka yang berjuang dalam kegelapan, terluka tanpa terlihat, dan terus bertarung tanpa henti.”

Di sinilah suara perlawanan akar rumput bergema. Daredevil bukan satu-satunya. Di sisinya ada Karen Page, Punisher, dan sekutu-sekutu lain yang tidak sempurna, bahkan rusak oleh luka dan trauma masa lalu, namun memilih untuk tetap melawan. Mereka adalah cermin masyarakat sipil di dunia nyata – aktivis, jurnalis independen, relawan, hingga warga biasa – yang menolak tunduk pada sistem korup.

Yang membuat Daredevil berbeda dari Fisk bukan hanya keberpihakannya, tapi juga kesadarannya akan luka dan keraguan diri. Ia sering bertanya dalam hati: apakah ia sudah berubah menjadi monster yang ia lawan? Apakah kekerasannya untuk membela kebenaran tidak menjadikannya sama brutalnya dengan tirani?

Di titik inilah dimensi manusiawi tokoh-tokohnya terasa: Matt Murdock sebagai manusia penuh luka, bergulat dengan moralitas dan iman, tetapi tetap memilih jalan sulit demi harapan. Karena pada akhirnya, niatlah yang membedakan pejuang dari tiran.

Kota New York dalam serial ini bukan hanya latar tempat. Ia adalah cermin dari masyarakat urban modern yang bisa dibujuk, dikendalikan, atau bangkit. Sebuah kota yang rakyatnya dibutakan oleh propaganda ‘optimisme’ dan ‘ketertiban’ dan menjadi alat penguasa untuk membungkam sesamanya. Setiap mural Daredevil yang dicoret, setiap bar diskusi bawah tanah, setiap selebaran yang dibagikan sembunyi-sembunyi, adalah bagian dari perlawanan akar rumput yang perlahan namun pasti membangun harapan.

Serial Daredevil: Born Again menjadi refleksi mendalam bagi kita semua. Banyak pemimpin di dunia nyata menggunakan narasi cinta rakyat, bicara soal hukum dan ketertiban, hanya untuk menyamarkan niat mengkonsolidasikan kekuasaan. Mereka memanipulasi hukum, membungkam media dan masyarakat sipil, dan membungkus tirani dengan senyum ramah. Dan ketika kita lengah, kita mengira ketegasan adalah keselamatan. Padahal bisa jadi, itulah awal dari hilangnya kebebasan. Sejarah manusia selalu menunjukkan, penindasan paling lama bertahan bukan yang diwarnai kekerasan fisik, melainkan yang dikemas dalam bahasa cinta rakyat dan janji populis.

Pada akhirnya, suara Daredevil di episode finale season satu, menjadi suara siapa saja yang pernah tertindas, dikhianati sistem, namun tetap memilih untuk melawan.

“We’ve been broken, beaten, but we’re still here. Stronger. Smarter. Ready… This is our city. And I’m taking it back.”
“Kita telah dihancurkan, dipukuli, tapi kita masih di sini. Lebih kuat. Lebih cerdas. Siap… Ini kota kita. Dan aku akan merebutnya kembali.”

Daredevil mungkin hanya fiksi. Tapi ia adalah simbol dari suara kecil yang tak bisa dipadamkan, nyala kecil yang tetap bertahan bahkan dalam kegelapan terdalam.

Karena seperti yang ditunjukkan oleh sejarah dan cerita ‘Daredevil: Born Again’: tirani selalu tampak tak tergoyahkan – sampai akhirnya runtuh oleh keberanian mereka yang tak pernah lelah memperjuangkan kebebasan. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini