Prof. Yohanes Surya: Rahasia yang Mengubah Anak Biasa Jadi Juara Dunia

0
159
Prof. Yohanes Surya: Mengajar dengan Hati
Prof. Yohanes Surya membeberkan satu rahasia sederhana namun berdampak besar: mengajar dengan hati.
Lama Membaca: 4 menit

Apa yang bisa membuat seorang anak dari pedalaman Papua, yang awalnya tak bisa menghitung, akhirnya menguasai kalkulus dan memberi kuliah di universitas? Apa yang mengubah murid madrasah yang dulu takut matematika menjadi pelatih yang disegani? Dalam Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 di Ma’had Al-Zaytun, Prof. Yohanes Surya membeberkan satu rahasia sederhana namun berdampak besar: mengajar dengan hati. Ia menunjukkan bahwa bukan kurikulum megah atau teknologi canggih yang menciptakan keajaiban dalam pendidikan, melainkan kehadiran guru yang hebat, metode yang baik, dan ketulusan untuk menjadikan ruang kelas sebagai tempat tumbuhnya kepercayaan diri, kasih, dan harapan. Dari sanalah, anak-anak biasa berubah menjadi juara dunia.

Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)

Di tengah derasnya arus kurikulum, target akademik, dan tuntutan administratif yang membebani dunia pendidikan, gagasan tentang “mengajar dengan hati” sering terdengar sebagai utopia yang lembut tapi tidak realistis. Namun dalam Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 yang digelar di Ma’had Al-Zaytun, Indramayu, 30 April 2025, Prof. Yohanes Surya hadir dan mengguncang anggapan itu. Ia menyatakan dengan mantap bahwa perubahan besar dalam pendidikan tidak harus dimulai dari sistem, anggaran, atau teknologi, melainkan dari keberanian guru untuk membuka hatinya.

Prof. Yohanes Surya | Tokoh Pendidikan Sains | Rahasia yang Mengubah Anak Biasa Jadi Juara Dunia

Prof. Yohanes Surya tidak datang hanya dengan konsep. Ia datang dengan metode konkret yang telah teruji di banyak pelosok Indonesia: Metode Gasing, singkatan dari Gampang, Asik, dan Menyenangkan. Meski dikenal luas karena berhasil membuat anak-anak menguasai matematika dalam waktu singkat, Gasing sesungguhnya adalah jalan untuk memanusiakan proses belajar. Bagi Prof. Yohanes Surya, inti dari Gasing bukan kecepatan berhitung, melainkan bagaimana membangun kepercayaan diri siswa, menciptakan ruang kelas yang penuh sukacita, dan menjadikan guru sebagai sahabat dalam belajar. Dan semua itu hanya bisa terjadi bila guru mengajar dengan hati.

Cerita dari para guru pelatih yang menyampaikan testimoni dalam simposium itu adalah bukti hidup dari kekuatan transformasi yang ditawarkan oleh pendekatan ini. Maria Galus, seorang guru SMP dari Kupang, dengan jujur mengakui bahwa dahulu ia bangga menjadi guru yang ditakuti. “Saat saya masuk ke kelas dan anak-anak tunduk, saya merasa disegani. Itu kebanggaan saya,” katanya. Tapi semua berubah ketika ia mengikuti pelatihan Metode Gasing. Di sanalah ia melepaskan atribut kekuasaan sebagai guru, belajar masuk ke dunia anak, dan mulai mengajar dengan pendekatan yang lembut. Ia tidak hanya melihat perubahan dalam cara murid-murid belajar, tetapi juga perubahan dalam dirinya sendiri. Anak-anak yang sebelumnya takut padanya, kini menangis ketika ia memutuskan meninggalkan sekolah untuk menjadi pelatih Gasing keliling Indonesia. “Saya terharu. Anak-anak menangis karena kehilangan saya. Itulah guru yang saya inginkan: guru yang dirindukan,” ujarnya.

Kisah serupa datang dari Jon, seorang guru fisika SMP di Ambon. Sebagai guru, ia dibentuk oleh sistem untuk menjadi tegas, kaku, dan tidak tersenyum. “Saya orangnya ekstrovert, tapi sistem membuat saya harus jadi menakutkan. Gasing membebaskan saya untuk menjadi diri sendiri. Ngajar dengan semangat, dengan tawa, dengan gerakan, dengan lagu,” tuturnya. Kini, Jon sudah melatih guru dan siswa di 11 kabupaten lebih, membawa semangat baru bahwa belajar itu bisa menyenangkan. Ia menemukan bahwa kehadiran guru yang ramah, ceria, dan hangat justru lebih didengarkan dan dihormati oleh siswa.

Kisah paling menyentuh dalam sesi Prof. Yohanes Surya adalah ketika ia menampilkan foto seorang guru yang berlutut di depan muridnya di Lanny Jaya, Papua, sambil mengajarkan operasi dasar matematika. “Ini yang mahal,” ujarnya penuh perasaan. “Guru yang rela merendahkan dirinya demi meninggikan muridnya.” Bagi Prof. Yohanes Surya, pendidikan bukan soal nilai, bukan soal ujian. Pendidikan adalah soal hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Dan dalam hubungan itu, hati harus hadir. “Selama ini yang hilang adalah hati. Kita sibuk dengan nilai, lupa pada hubungan,” katanya.

Salah satu hal yang membedakan pelatihan Gasing dengan pelatihan lainnya adalah suasana kelasnya yang dipenuhi tawa dan lagu. Bukan hanya anak-anak yang tertawa, tapi juga guru-guru. Menariknya, pendekatan ini ternyata tidak hanya menyenangkan, tapi juga ilmiah. Seorang dokter yang terlibat dalam pelatihan menjelaskan bahwa tertawa dan menyanyi berdampak positif pada kesehatan otak. Endorfin dan serotonin meningkat, adrenalin menurun, tekanan darah turun, bahkan fungsi memori meningkat. “Tertawa itu olahraga. Menyanyi itu latihan otak. Kelas yang tertawa itu kelas yang sehat dan cerdas,” demikian kesimpulannya. Maka tak heran bila suasana pelatihan Gasing terasa seperti pesta pengetahuan — penuh gairah, semangat, dan kesembuhan emosional.

Maria Galus Mengajar dengan Hati
Maria Galus, seorang guru SMP dari Kupang, dengan jujur mengakui bahwa dahulu ia bangga menjadi guru yang ditakuti.

Di tengah semua transformasi ini, Gasing menjadi benang merah yang mengikat perubahan-perubahan besar dan kecil yang terjadi. Metode ini tidak hanya efektif secara akademik, tapi juga menyembuhkan luka relasi antara guru dan murid. Dalam pelatihan-pelatihan di daerah, anak-anak yang semula disebut “tidak bisa apa-apa” berubah menjadi siswa yang percaya diri, bahkan ada yang bisa menguasai materi matematika setara olimpiade dalam hitungan bulan. Bahkan anak berkebutuhan khusus — yang sebelumnya tidak bisa menulis, tidak mau berbicara, dan menolak bersosialisasi — bisa menghitung, tersenyum, dan belajar bersama teman-temannya setelah mengikuti pelatihan selama dua minggu. “Kami hanya bawa dua hal: metode dan hati,” ujar Maria Galus, merangkum semangat seluruh gerakan ini.

Puncak dari semua ini adalah gagasan yang disampaikan Prof. Yohanes Surya dalam kalimat penutupnya: “Kalau kita ingin Indonesia Emas 2045, kita hanya perlu dua hal: guru yang hebat dan metode yang baik. Kurikulum boleh apa saja, tapi tanpa dua ini, semua sia-sia.” Ia yakin bahwa jika semua guru di Indonesia mengajar dengan hati, maka negeri ini akan melahirkan jutaan anak hebat — anak-anak dari kampung, dari desa, dari daerah tertinggal — yang akan menjadi ilmuwan, pemimpin, dan pelopor perubahan dunia. Tidak ada yang mustahil jika kita memulainya dari hati.

Advertisement

Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 itu pun ditutup dengan tepuk tangan meriah. Tapi lebih dari itu, ada getaran keyakinan baru yang tertanam di hati setiap peserta. Bahwa guru bukan hanya pekerjaan, tapi panggilan. Bahwa belajar bukan sekadar soal nilai, tapi soal rasa. Dan bahwa kebangkitan pendidikan Indonesia bukan harus dimulai dari atas, tapi dari ruang kelas — ruang sederhana di mana satu guru yang mengajar dengan hati bisa mengubah seluruh arah hidup seorang anak. (Atur/TokohIndonesia.com)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments