Yudi Latif di Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun
Yudi Latif mengajukan pertanyaan reflektif tentang posisi Indonesia saat ini. "Bagaimana dengan kita? Di mana posisi Indonesia?" tanyanya.
Lama Membaca: 6 menit

Prof. Yudi Latif, Ph.D., dalam kuliah umumnya pada peringatan 25 tahun Al-Zaytun, menekankan pentingnya merumuskan visi Indonesia hingga seribu tahun ke depan. Ia menyoroti perlunya keseimbangan antara kemajuan fisik dan pembangunan jiwa, serta pengembangan sumber daya manusia yang unggul dengan penguatan karakter bangsa yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, Pancasila akan tetap menjadi fondasi yang relevan untuk membawa Indonesia kembali ke panggung global sebagai pemimpin peradaban dunia.

Penulis: Mangatur L. Paniroy

Pada Sabtu, 24 Agustus 2024, Prof. Yudi Latif, Ph.D., hadir sebagai pembicara dalam acara Kuliah Umum Nasional yang diadakan di Al-Zaytun, untuk memperingati 25 tahun berdirinya lembaga tersebut. Dengan tema besar “Gagasan 1.000 Tahun Indonesia Raya ke Depan dengan Semangat Remontada from Within”, acara ini dihadiri lebih dari 4.500 peserta, termasuk santri, pengajar, wali santri, dan eksponen Al-Zaytun di Masjid Rahmatan Lil Alamin. Kuliah umum ini tidak hanya bertujuan merayakan ulang tahun ke-25 Al-Zaytun, tetapi juga memicu refleksi mendalam tentang masa depan bangsa Indonesia bahkan hingga 1.000 tahun ke depan.

Daftar Artikel Terkait Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25

Berdasarkan catatan TokohIndonesia.com, penulis buku “Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila” ini menyampaikan materinya selama sekitar 45 menit. Selama 35 menit, ia berbicara di atas podium, sementara 10 menit sisanya digunakan untuk menjawab pertanyaan dari peserta. Ini menciptakan suasana diskusi yang interaktif dengan komunikasi dua arah antara pembicara dan peserta.

Dalam pidato pembukaannya, pemikir keagamaan dan kenegaraaan ini mengungkapkan rasa terima kasih atas undangan sebagai pembicara, seraya menyoroti pentingnya tema yang diangkat dalam acara itu. “Imajinasi adalah elemen yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya,” ungkapnya, menggambarkan peran besar imajinasi dalam membentuk visi masa depan. Yudi Latif menekankan bahwa salah satu tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah pola pikir jangka pendek, terutama di kalangan para elit politik. “Para pemimpin kita terjebak dalam short-termism, di mana segala sesuatu harus diselesaikan untuk keuntungan hari ini saja,” kritiknya. Padahal, menurutnya, Indonesia memerlukan pemimpin yang memiliki visi panjang, mampu membayangkan dan merencanakan nasib bangsa hingga seribu tahun ke depan.

Yudi Latif menekankan bahwa manusia memiliki dua identitas penting, yaitu sebagai homo sapiens (makhluk yang tahu dan bijak) dan homo imaginatus (makhluk yang berimajinasi). Dengan kemampuan berimajinasi, manusia dapat melakukan perjalanan waktu, mengenang masa lalu, serta membayangkan masa depan. Hal ini, menurutnya, merupakan salah satu kekuatan besar manusia dalam memahami posisinya di dunia dan merencanakan masa depan bangsa.

Dalam kelanjutan pidatonya, Yudi Latif merujuk pada lagu kebangsaan Indonesia, “Indonesia Raya”, yang mengamanatkan pembangunan jiwa dan raga bangsa. “Bangun jiwanya, bangun badannya,” ujarnya, mengutip lirik lagu tersebut. Meskipun Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam aspek fisik – seperti infrastruktur dan postur tubuh generasi muda – Yudi Latif menekankan bahwa pembangunan jiwa adalah elemen yang lebih penting. Menurutnya, pembangunan fisik yang hebat akan sia-sia tanpa fondasi jiwa yang kuat.

“Kemajuan fisik tidak bisa menjadi ukuran kemajuan yang sesungguhnya,” tegas Yudi Latif. Dia menggambarkan bagaimana pertumbuhan tinggi badan generasi muda Indonesia menunjukkan adanya kemajuan dalam nutrisi dan kesehatan. “Saya generasi 60-an dengan tinggi rata-rata lebih pendek, tetapi anak-anak kita sekarang tumbuh tinggi,” jelasnya. Namun, kemajuan fisik semata tidaklah cukup. Yudi Latif menekankan bahwa pembangunan jiwa jauh lebih krusial, terutama dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.

Melihat capaian pembangunan fisik Indonesia, Yudi kemudian membandingkannya dengan negara-negara lain yang merdeka sekitar waktu yang sama dengan Indonesia, seperti Korea Selatan dan China. “Ketika kita merdeka, ekonomi Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Korea,” ungkapnya. Namun, Korea kini telah menjadi negara maju karena mereka mampu membangun manusia dengan jiwa yang unggul, bukan hanya pembangunan fisik semata.

Lebih lanjut, Yudi Latif mengingatkan bahwa kemajuan suatu negara tidak ditentukan oleh sumber daya alam semata, tetapi oleh kualitas manusia yang ada di dalamnya. Yudi Latif menyoroti contoh Korea Selatan yang, meskipun memiliki sumber daya alam yang terbatas, berhasil memajukan ekonominya dan kini tergabung dalam kelompok negara-negara kaya. Faktor kunci yang membedakan Korea dari Indonesia, menurut Yudi Latif, adalah fokus mereka dalam membangun human capital, atau modal manusia.

Advertisement

Selain Korea, Yudi Latif juga menyoroti kebangkitan pesat China dan India. “China baru terbentuk sebagai Republik Rakyat pada tahun 1949 dan masih sangat tertinggal pada awal tahun 90-an. Namun kini, China telah menjadi negara adidaya yang memimpin ekonomi dunia,” jelasnya. India, dengan populasi lebih dari satu miliar, juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Banyak CEO ternama dunia kini berasal dari India, menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia mereka telah berhasil dioptimalkan.

Sebaliknya, Yudi mengajukan pertanyaan reflektif tentang posisi Indonesia saat ini. “Bagaimana dengan kita? Di mana posisi Indonesia?” tanyanya. Menurutnya, meskipun Indonesia memiliki sejarah sebagai pelopor gerakan dekolonisasi dunia dan perintis Konferensi Asia-Afrika, hari ini Indonesia tampaknya kehilangan momentum dalam memimpin kebangkitan Asia. Pertanyaan besar yang diajukan oleh Yudi Latif adalah, “Apakah kita hanya akan menjadi pelengkap dalam kebangkitan Asia, atau kita akan kembali memimpin sebagai pelopor?”

Yudi Latif kemudian merujuk pada peran penting Indonesia dalam sejarah global, khususnya melalui Konferensi Asia-Afrika yang diadakan di Bandung pada tahun 1955. Dalam bukunya, Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World, David van Reybrouck menyoroti bahwa Indonesia adalah negara pertama yang mendeklarasikan kemerdekaannya setelah Perang Dunia II. Deklarasi kemerdekaan Indonesia tersebut menjadi contoh dan inspirasi bagi negara-negara lain di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dalam perjuangan mereka melawan penjajahan.

Melalui Konferensi Asia-Afrika, Indonesia tidak hanya memimpin solidaritas bangsa-bangsa bekas jajahan, tetapi juga memainkan peran penting dalam memicu berbagai gerakan besar di dunia, termasuk Pan-Afrikanisme, Pan-Arabisme, dan bahkan terbentuknya Uni Eropa. Yudi Latif mencontohkan bagaimana Konferensi Asia-Afrika menjadi pemicu nasionalisasi Terusan Suez oleh Presiden Mesir, Jamal Abdul Nasser, yang pada gilirannya mempercepat pembentukan Uni Eropa.

Yudi Latif Saat Menjawab Pertanyaan Peserta Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun
Yudi Latif (Pegang Mic) Saat Menjawab Pertanyaan Peserta Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun

Selain itu, dampak Konferensi Asia-Afrika juga terasa hingga ke Amerika Serikat, di mana gerakan hak-hak sipil, yang dipimpin oleh tokoh seperti Martin Luther King Jr., mendapatkan inspirasi dari semangat Bandung. “Pidato Martin Luther King yang terkenal, ‘I Have a Dream’, terinspirasi oleh semangat yang lahir dari Bandung,” ungkap Yudi Latif.

Untuk menjawab tantangan masa depan, Yudi Latif mengidentifikasi dua modal penting yang dimiliki Indonesia: inherited factors (faktor-faktor yang diwariskan) dan human capital (modal manusia). Faktor pertama, inherited factors, mencakup berbagai kekayaan alam dan geografi yang dianugerahkan kepada Indonesia. “Indonesia adalah salah satu negara dengan kekayaan alam yang melimpah, dari daratan hingga lautan,” ujarnya. Kekayaan ini termasuk keanekaragaman hayati yang luar biasa, sumber daya mineral yang melimpah, serta posisi geografis yang strategis sebagai “Mediterania Asia” dengan selat-selat yang terbuka.

Namun, Yudi mengingatkan bahwa kekayaan alam saja tidak cukup untuk membawa Indonesia menuju kejayaan di masa depan. “Bonus demografi yang kita miliki hanya akan menjadi berkah jika kita berhasil mendidik generasi muda dengan baik,” katanya. Jika gagal, bonus demografi ini justru akan menjadi bencana bagi Indonesia dalam beberapa dekade ke depan.

Faktor kedua yang lebih menentukan, menurut Yudi Latif, adalah human capital atau modal manusia. “Human capital adalah kunci untuk kemajuan suatu peradaban,” tegasnya. Indonesia harus fokus membangun kualitas manusianya agar mampu bersaing di panggung global. Modal manusia yang unggul akan memungkinkan Indonesia memimpin peradaban dunia di masa mendatang.

Menurut Yudi Latif, untuk membangun human capital yang unggul, Indonesia harus memprioritaskan tiga aspek utama: pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Pertama, pengetahuan (excellent in knowing). Yudi menekankan bahwa Indonesia harus memperbaiki literasi, logika, dan kemampuan matematika, terutama karena tingkat literasi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. “Ini adalah langkah pertama untuk membangun manusia yang unggul,” jelasnya.

Kedua, keterampilan (excellent in making). Yudi Latif menjelaskan bahwa keterampilan teknis (hard skills), seperti kemampuan dalam bidang teknik, teknologi, dan manajemen, sangat penting untuk kemajuan bangsa. Selain itu, keterampilan sosial (soft skills) juga harus dikuasai, termasuk kemampuan berkomunikasi, berorganisasi, dan bekerja sama. Yudi Latif juga menyoroti pentingnya life skills atau keterampilan hidup, yang menurutnya semakin memudar di kalangan generasi muda saat ini.

Yang ketiga, dan paling penting, adalah karakter (excellent in character). Yudi Latif menegaskan bahwa pembangunan karakter yang kuat sangat penting bagi kemajuan bangsa. “Karakter pribadi yang unggul akan menghasilkan warga negara yang baik dan tangguh,” katanya. Namun, karakter tersebut harus didukung oleh lingkungan kolektif yang baik pula. “Pribadi yang baik hanya akan tumbuh optimal jika berada dalam lingkungan yang baik,” tambahnya, merujuk pada pandangan Aristoteles tentang pentingnya tata kelola yang baik dalam menciptakan warga negara yang baik.

Sebagai penutup, Yudi Latif menekankan bahwa landasan utama untuk membangun karakter kolektif bangsa adalah Pancasila. “Pancasila adalah titik temu, titik tumpu, dan titik tuju dari keragaman nilai-nilai bangsa Indonesia,” jelasnya. Menurut Yudi, Pancasila bukan hanya sebuah ideologi politik, tetapi merupakan saripati dari seluruh nilai-nilai kemanusiaan yang ada di berbagai agama dan filsafat di dunia. “Pancasila menyatukan keseimbangan antara jasmani dan rohani, individu dan sosial, universal dan partikular,” paparnya.

Dalam penjelasannya, Yudi merujuk pada karya Martin Seligman, seorang ahli psikologi positif, yang menyimpulkan bahwa inti dari semua agama dan filsafat besar adalah lima nilai utama: spiritualitas, cinta kasih, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan. “Lima nilai ini tercermin dalam Pancasila,” ungkap Yudi, menjelaskan bahwa Pancasila adalah saripati dari nilai-nilai kemanusiaan yang akan tetap relevan di masa depan.

Yudi Latif menegaskan keyakinannya bahwa Pancasila akan terus menjadi landasan bagi masa depan Indonesia. “Seribu tahun, dua ribu tahun ke depan, Pancasila akan tetap relevan bagi kebahagiaan hidup bersama,” tutupnya, memberikan harapan besar bagi masa depan Indonesia yang lebih baik dan sejahtera. (atur, nita/TokohIndonesia.com)

Tim Reportase TokohIndonesia.com: Mangatur L. Paniroy (Koordinator), Yenita Tangdialla, Rigson Herianto, Rukmana, Wiratno

Video Tiktok (VT) @tokoh.id

Berikut daftar Video Tiktok (VT) di akun @tokoh.id seputar Perayaan Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25:

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini