Susno Duadji di Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun
Susno Duadji mengangkat isu penting mengenai ketidakadilan dalam penegakan hukum di Indonesia, termasuk fenomena "no viral, no justice" dan kriminalisasi tanpa bukti kuat.

Dalam Kuliah Umum Nasional di Al-Zaytun, Komjen Pol (Purn.) Susno Duadji mengangkat isu penting mengenai ketidakadilan dalam penegakan hukum di Indonesia, termasuk fenomena “no viral, no justice” dan kriminalisasi tanpa bukti kuat. Di hadapan ribuan peserta, Susno menyerukan reformasi sistem hukum, termasuk usulan penerapan sistem juri, serta mengkritik penangkapan tanpa dasar bukti yang cukup. Ia juga memuji semangat nasionalisme di Al-Zaytun, menyoroti pentingnya perbaikan sistem hukum demi masa depan yang lebih adil.

Penulis: Mangatur L. Paniroy

Komjen Pol (Purn.) Susno Duadji melakukan kunjungan pertamanya ke Al-Zaytun pada Senin, 26 Agustus 2024. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (24 Oktober 2008-30 November 2009) ini didaulat sebagai salah satu pembicara dalam acara Kuliah Umum Nasional Sempena Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25 dengan tema “Gagasan 1.000 Tahun Indonesia Raya ke Depan dengan Semangat Remontada from Within”.

Susno Duadji menyampaikan kuliah umum dengan tema “Pertahanan, Keamanan, dan Diplomasi” di hadapan lebih dari 4.500 peserta di Masjid Rahmatan Lil Alamin. Pencetus istilah “Cicak vs Buaya” ini berbicara selama kurang lebih 45 menit dimana separuhnya (23 menit)  melayani sesi tanya jawab. Jadi, ada diskusi interaktif, komunikasi dua arah antara pembicara dan peserta.

Daftar Artikel Terkait Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25

Dalam pemaparannya, Susno Duadji mengajukan satu pertanyaan besar, “Apakah penegakan hukum di Indonesia sudah adil?”. Susno Duadji juga membahas sejumlah praktik-praktik aparat penegak hukum yang membuat hukum belum menjadi panglima di negeri ini. Seperti praktik kriminalisasi, “no viral, no justice”, dan praktik “tangkap dulu, bukti belakangan”. Susno Duadji juga mengusulkan perlunya reformasi sistem penegakan hukum di Indonesia, termasuk mempertimbangkan penerapan sistem juri, di mana tokoh-tokoh masyarakat yang dinilai bijak dan kredibel dapat menilai apakah seseorang bersalah sebelum pengadilan menentukan hukuman.

Berikut ini uraian lengkap Komjen Pol (Purn.) Susno Duadji saat memberikan Kuliah Umum Nasional Sempena Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25 pada Senin, 26 Agustus 2024.

—–

Mantan Kabareskrim Polri, Susno Duadji, memulai pidatonya dengan membahas hal yang menarik terkait salam sapaan yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Al-Zaytun. Ia memperhatikan bahwa di lembaga pendidikan ‘pesantren spirit but modern system’ ini, digunakan dua jenis salam, yaitu salam keagamaan “Assalamualaikum” dan salam kebangsaan “Merdeka,” yang pernah dipopulerkan oleh Presiden Soekarno. Menurutnya, tradisi ini hanya ditemukan di Al-Zaytun. Ia juga menyoroti bahwa lembaga ini rutin menyanyikan lagu “Indonesia Raya” lengkap dengan tiga stanza dan mengapresiasi penggunaan bendera merah putih yang terlihat di mana-mana di lingkungan Al-Zaytun. “Lembaga pendidikan yang menyanyikan Indonesia Raya lengkap seperti tadi (3 Stanza) hanya di Al-Zaytun. Bendera merah putih dan warna merah putih tersebar dimana-mana, hanya di-Al-Zaytun. Masihkah ada yang ragu?,” kata Susno Duadji, menekankan kuatnya semangat nasionalisme di Al-Zaytun.

Selanjutnya, Susno Duadji menyampaikan kekagumannya terhadap Syaykh Panji Gumilang, pimpinan Al-Zaytun, yang ia anggap sebagai sosok luar biasa. Dengan nada bercanda, ia sempat mengungkapkan ‘protes’ karena baru diundang ke Al-Zaytun setelah lebih dari sepuluh tahun pensiun. Terkait hal tersebut, Syaykh Panji Gumilang menjawab dengan santai, “Adekku, Kapolda, kalau nggak salah Indramayu itu bagian Jawa Barat.”Mendengar jawaban tersebut, Susno Duadji tertawa dan berkata, “Nah lo,” lalu menambahkan, “Tapi kalau saya nggak diundang ke sini nanti dikira saya nginteli (mata-mata).” Dia kemudian menyapa berbagai tokoh lain yang hadir, termasuk Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zen serta para undangan terhormat dari Malaysia.

Susno Duadji di Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun
Susno Duadji sedang menyimak uraian Prof. Djagal Wiseso Marseno di Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun

Ketika diminta membahas penegakan hukum dan keamanan, Susno Duadji menghindari menjelaskan teori-teori dasar tentang hukum yang dianggapnya sebagai hal “level taman kanak-kanak”. Sebagai gantinya, ia memilih mengajukan pertanyaan kritis: Apakah penegakan hukum di Indonesia sudah adil? Ia membagikan pengalamannya sebagai mantan Kabareskrim Polri yang telah menangkap banyak orang dan terlibat dalam pembuatan sejumlah undang-undang penting, seperti UU Polri dan KPK. Namun, yang paling menarik baginya adalah pengalamannya ditangkap tiga kali, dan merasakan ketidakadilan dalam proses tersebut. “Kelebihan saya apa? Saya pernah ditangkap tiga kali. Di bandara masuk dan karena saya baik-baik dilepas, ditangkap lagi di Bandung lalu lepas lagi, dan ditangkap lagi, masuk dan itu masuk beneran,” kata Susno Duadji.

Advertisement

Ia melanjutkan, apabila ada yang beranggapan dirinya kritis hanya setelah pensiun, Susno Duadji menyebut orang itu sedang tidur. Menurutnya, ia sudah kritis sejak masih menjabat sebagai pejabat dengan bintang tiga di pundak. “Saya kritis itu waktu pejabat bintang saya enam, tiga di kiri tiga di kanan, Kabareskrim benaran, digaji, tapi saya kritis tidak sependapat dengan orang-orang di dalam. Dan saya bukan ditangkap KPK. tapi oleh anak buah saya sendiri. Makanya kalau orang tanya siapa kapolri sebelum yang sekarang, mereka berpikir siapa ya siapa, apalagi sebelum-sebelumnya, masih berpikir tapi kalau sebut “Pak Susno orang kenal. “Oh itu polisi gila, nah. Jadi hidup itu harus bermanfaat,” jelas Susno Duadji.

Dalam hal penegakan hukum, Susno berpendapat bahwa hukum akan berjalan baik jika semua aturan ditegakkan secara konsisten tanpa diskriminasi. Ia mempertanyakan apakah hukum di Indonesia telah benar-benar tegak, dan mengangkat masalah lambannya pelayanan hukum kepada masyarakat, terutama ketika rakyat kecil yang melapor.

Susno juga mengungkapkan kenyataan pahit di lapangan terkait penegakan hukum yang tidak adil, seperti kasus Sengkon dan Karta pada tahun 1980, di mana seseorang dipenjara puluhan tahun sebelum diketahui pelaku sebenarnya adalah orang lain. Ia juga menyebut beberapa kasus baru di Cirebon dan Surabaya, di mana orang yang jelas bersalah justru dibebaskan. “Sekarang terjadi di Cirebon, beberapa hari lalu terjadi di Surabaya, sudah jelas membunuh orang pacarnya tetapi dibebaskan. Ada lagi kasus racun sianida,” ujarnya.

Lebih lanjut, Susno menyoroti kasus kriminalisasi yang seringkali sulit dibuktikan, tetapi terus dicari-cari kesalahannya hingga ditemukan celah untuk dihukum, walaupun tidak relevan dengan dakwaan awal. “Membuat kapal, kapalnya itu bukan persoalan utama dia ditangkap, tapi karena tidak terbukti apa yang ditangkap jadi dicarikan, buat kapal tanpa ijin, nanti kapalnya sudah ada ijin lalu nebang kayunya tidak ada ijin. Sudah ada ijin tebang kayunya dicari lagi, oh belum ada SIM,” kata Susno Duadji memberikan contoh.

“Nah 1000 tahun yang akan datang kita masih perlu yang begini apa tidak, ya tergantung kita. Kalau orang baik tidak bersuara, jadi. Kalau orang baik masih takut sama jabatannya lepas, ya sudah. Saya ini pengangguran jenderal bintang tiga, empat tahun tidak ada jabatan, dicopot karena dianggap membahayakan. Tapi waktu saya masih dinas di konoha. Kalau Indonesia baik-baik saja. Nah hal-hal seperti itu tidak boleh terjadi,” kata Susno Duadji lagi.

Susno juga mengkritik fenomena “no viral, no justice”, di mana kasus-kasus hukum hanya mendapatkan perhatian setelah viral di media sosial. Seperti kasus di Cirebon, Surabaya, dan lain-lain. Ia menyayangkan bahwa hukum baru diperhatikan ketika sudah menjadi sorotan publik. Menurutnya, fenomena “no viral, no justice” seharusnya tidak terjadi di Indonesia.

“Kasus Cirebon yang heboh dan viral itu awalnya dikatakan geng motor, yang ditangkap ditahan dipenjara seumur hidup. Bagaimana geng motor punya motor saja nggak, untuk beli bensin satu liter saja tidak bisa. Penjaranya tidak tanggung-tanggung seumur hidup. Padahal saya sampai memberikan sayembara bahwa itu bukan pembunuhan, murni kecelakaan lalu lintas tunggal, siapa yang bisa membuktikan itu pembunuhan termasuk hakim, kalau dia bisa buktikan saya beri hadiah 10 juta, masih berlaku sampai sekarang. Uang dari hasil kebun halal dan uang dari hasil pensiun. Karena apa, saking kesalnya saya, jelas-jelas kecelakaan lalu lintas dikatakan pembunuhan,” kata Susno Duadji.

“Ada lagi yang katakan sepeda motornya tidak rusak berat. Padahal Itu menyenggol pembatas jalan. Yang tabrakan bukan sepeda motor tapi kepala ditabrakan ke tiang listrik jalan, ya hancur kepala, saksi yang melihat banyak, percakapan di telepon ada, tapi ya itulah hakim di negara konoha tidak baca berkas atau apa, demikian yakinnya jatuhkan hukuman. Kasihan rakyat mencari makan saja susah dihukum sekian tahun. Intinya hukum di negara Konoha itu tidak baik-baik saja. Lebih gampang menghukum orang yang tidak bersalah dari pada yang bersalah,” kata Susno Duadji dengan nada meninggi.

Susno juga melihat bahwa keadilan belum sepenuhnya tegak dan banyak orang baik yang masih diam melihat ketidakadilan. Pelayanan dan perlindungan hukum kepada masyarakat belum diberikan sepenuhnya. Banyak yang melapor sesuatu peristiwa, sampai dia meninggal tidak jelas prosesnya. Tetapi untuk orang-orang tertentu, baru lapor saja sudah diproses. Ia berharap penegakan hukum di masa depan bisa lebih adil dan profesional, tanpa harus menunggu perhatian dari media atau masyarakat luas.

Susno Duadji di Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun
Susno juga menyampaikan apresiasi kepada Al-Zaytun yang sudah memikirkan masa depan bangsa dalam jangka panjang.

Susno juga mengusulkan perlunya reformasi sistem penegakan hukum di Indonesia, termasuk mempertimbangkan penerapan sistem juri, di mana tokoh-tokoh masyarakat yang bijak dapat menilai apakah seseorang bersalah sebelum pengadilan menentukan hukuman.

Susno juga menyebutkan tentang perlunya penegakan aturan penangkapan di Indonesia. Menurutnya, seseorang tidak boleh ditangkap sebelum ada minimal dua alat bukti yang saling bersesuaian. “Pertama, jangan ada orang ditangkap sebelum minimal ada dua alat bukti. Sekarang hampir semua ditangkap dulu baru dicarikan alat bukti. Tidak boleh, dan itu sudah berlaku sudah ada aturan perundang-undangannya. Kalau ada yang ditangkap sebelum ada dua alat, dan alat bukti itu harus yang saling bersesuaian. Maka dia harus dipraperadilankan dan hakim harus memenangkan itu seperti Hakim Eman Sulaiman di Bandung,” kata Susno yang berharap sistem penegakan hukum di Indonesia ke depannya akan lebih adil dan transparan, serta lebih mengutamakan keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa pandang bulu.

Ia kemudian menutup pidatonya dengan pesan harapan agar Indonesia mampu mempersiapkan diri menghadapi tantangan penegakan hukum dalam 1000 tahun ke depan, dengan mencontoh sistem-sistem hukum yang lebih baik dan adil dari negara lain. Misalnya dengan menerapkan sistem juri seperti di negara-negara lain. Hal ini, menurutnya, dapat menjadi solusi bagi berbagai masalah penegakan hukum yang masih dihadapi Indonesia saat ini. “Ke depan kita minta ada perubahan sistem penegakan hukum di Indonesia yang menentukan seseorang bersalah atau tidak, kita ingin seperti di negara-negara Amerika dan sebagainya itu, memakai sistem juri,” kata Susno Duadji.

Susno juga menyampaikan apresiasi kepada Al-Zaytun yang sudah memikirkan masa depan bangsa dalam jangka panjang. (atur, nita/TokohIndonesia.com)

Tim Reportase TokohIndonesia.com: Mangatur L. Paniroy (Koordinator), Yenita Tangdialla, Rigson Herianto, Rukmana, Wiratno

Video Tiktok (VT) @tokoh.id

Berikut daftar Video Tiktok (VT) di akun @tokoh.id seputar Perayaan Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25:

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini