Akselerasi Transformasi dan Kepemimpinan UI
Gumilar R Somantri02 | Jadikan UI Mozaik Indonesia

Rektor Universitas termuda Universitas Indonesia Prof Dr der Soz Gumilar Rusliwa Somantri, yang dilantik Selasa 14 Agustus 2007 berjanji untuk tetap menjadikan UI sebagai kampus rakyat dan mozaik Indonesia. “Siapa saja yang berprestasi, termasuk mereka yang kurang mampu dari seluruh Indonesia, harus bisa kuliah di sini,” kata suami Dra Nenden DY W Wasita Kusumah itu.
Untuk mewujudkan hal itu, dia memaparkan beberapa skema, di antaranya beasiswa bebas sepenuhnya, bebas sebagian dengan hanya membayar beberapa beban kuliah, bantuan biaya hidup selama kuliah, hingga skema pinjaman lima tahun hampir tanpa bunga. Hal itu akan diprioritaskan kepada mahasiswa kurang mampu.
Beasiswa ini tentu membutuhkan dana yang besar. Untuk beasiswa sepanjang tahun 2006 saja mencapai Rp 25 miliar. Sehubungan dengan sumber pendanaannya, Gumilar menyatakan akan menggalang sumber dana baru. Salah satunya akan bertumpu pada sumber dari kedermawanan sosial (filantropi).
Gumilar juga diharapkan dapat mewujudkan Universitas Indonesia sebagai world class research university (universitas riset berkelas dunia). Harapan itu disampaikan Ketua Majelis Wali Amanat UI Purnomo Prawiro pada acara pelantikan Gumilar Rusliwa Somantri menjadi Rektor UI (2007-2001) di Balairung UI, Depok, Selasa 14 Agustus 2007. Pria kelahiran Tasikmalaya, 11 Maret 1963 itu menggantikan Usman Chatib Warsa
Gumilar terpilih menjadi Rektor UI, Jumat 20 Juli 2007, melalui pemungutan suara Majelis Wali Amanah Universitas Indonesia atau MWA-UI. Gumilar meraih 25 suara dari 30 suara MWA-UI, atau lebih dari 85 persen. Calon lain Sutanto Soehodho (guru besar Fakultas Teknik UI, saat ini Wakil Rektor I UI), meraih 4 suara dan Hasbullah Thabrany (guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI) tidak mendapat suara. Sementara satu suara abstain.
Rektor UI Termuda
Gumilar Rusliwa Somantri menjadi Rektor Universitas Indonesia termuda, di usianya yang masih 44 tahun. Dia mendobrak tradisi Rektor UI yang selalu berasal dari Fakultas Kedokteran. Dia menjadi rektor ke-3 UI (di antara 15 periode jabatan) yang berlatar belakang ilmu nonkedokteran. Dua rektor lainnya adalah Soemantri Brodjonegoro (1964-1973) dan Nugroho Notosusanto (1982-1985).
Walau saat terpilih menjabat Rektor UI periode 2007-2012, memang tidak lagi terlalu mengejutkan banyak pihak yang sejak awal mengikuti tahapan pemilihan calon rektor. Sebab, dari 7 kandidat yang mencalonkan diri, Gumilar mendapat bobot nilai paling tinggi oleh Senat Akademik UI. Nyaris sempurna, nilai yang diperolehnya 99, jauh melampaui calon rektor UI lainnya yang disingkirkan di pemilihan 3 besar, yakni Prof Dr Soetanto Soehodho yang hanya memperoleh bobot nilai 47, atau Prof Dr Hasbullah Tabrani yang cuma mendapat bobot nilai 30.
Dibandingkan doktor-doktor atau profesor-profesor UI lainnya yang telah sering tampil di media massa, sosok Gumilar memang belum terlalu dikenal publik. Namun, bagi yang mengenalnya, terutama setelah menjabat Dekan FISIP UI sejak 2002, pria yang akrab disapa Mas Gum oleh mahasiswa itu, dikenal sebagai seorang pemimpinan yang kreatif dan inovatif.
Dia selalu berani mencoba dan mencoba, serta tidak pernah mau menyerah pada kegagalan. Belajar dengan cepat tentang segala hal, berani mengambil keputusan, dan melihat jauh ke depan. Dia juga tipe pemimpin yang tidak puas dengan hasil yang sudah dicapai. Dia tipe orang yang mempunyai mimpi jauh ke depan dan bertumpu pada idealisme membangun peradaban dan kemanusiaan. Dia selalu dipenuhi imajinasi liar, di “luar kotak” (out of the box) rutinitas dan kemapanan.
Visinya membangun fakultas sering dinilai sebagai hal yang mustahil dan sulit dilakukan. Namun dia gigih meyakinkan hal tersebut dapat dicapai dan mengambil langkah (terobosan) penuh resiko.
Pengalamannya memimpin FISIP-UI diyakini akan mampu melakukan pembenahan di bidang akademik dan nonakademik di UI. “Saya siap mewujudkan transparansi administrasi keuangan universitas,” kata Gumilar. Termasuk di dalamnya mengembalikan citra UI sebagai kampus milik rakyat, namun kuat secara finansial serta akademis maju.
Beberapa hal yang menjadi fokus yang akan dibenahi adalah transformasi sistem pengelolaan SDM PNS menjadi BHMN, sistem remunerasi berbasis kinerja (rata-rata gaji Rp 10 juta bagi dosen, Rp 5 juta bagi karyawan), pembenahan infrastruktur serta fasilitas dan meningkatkan kemampuan pendanaan anggaran tahunan mencapai angka 1,5 triliun hingga 2 triliun.
Gumilar mempunyai tiga visi sebagai Rektor UI yang baru. Visi itu sejalan dengan keinginan Majelis Wali Amanat. Pertama, mentransformasi UI yang multifakultas menjadi universitas. ”UI secara historis dibentuk dari fakultas-fakultas. Tradisi fakultas sangat kuat, sehingga kepaduan sebagai universitas, menjadi agak sedikit tertinggal. Itu tecermin, yang namanya alumni UI, itu lebih dekat pada fakultasnya dari pada ke UI-nya.
Kedua, UI harus melakukan internasionalisasi. ‘UI di domestik, peringkat pertama. Tapi, internasional, masih ada tugas-tugas tertentu yang harus dilakukan.
Ketiga, manajemen dengan struktur yang birokratis ditransformasi menjadi lebih enterprise, enterpreneursing university. Enterpreneursing itu bukan komersialisasi, tapi dalam manajemen, bagaimana supaya diatur lebih efisien, lebih teratur. Jika UI menjadi universitas kelas dunia, akan menjadi preseden yang mampu mengubah rasa percaya diri bangsa, rasa percaya diri elite-elite politik, dan mengubah harga diri kita sebagai bangsa.
Guna mencapai hal itu, Gumilar menyadari tentu harus kerja keras, visioner, kreatif dan inovatif. Gumilar ingin meningkatkan pula jumlah guru besar. Kini, hanya 10 persen dari jumlah dosen. Guru besarnya harus menjadi 90 persen. Staf pengajar itu harus profesor, harus periset unggul. Dan, ini harus didukung oleh SDM pendukung, karyawan. Ini tidak kalah penting. Dua-duanya harus betul-betul profesional.
Dia pun menginginkan UI terus menjadi think tank kemajuan bangsa. Akan dibuat national think thank group. Lembaga ini, katanya, untuk memfasilitasi SDM dari berbagai disiplin ilmu. Kemudian, tiap tahun think thank group ini akan membuat semacam review tahunan dalam perjalanan bangsa. Mulai dari ekonomi, politik, dan sebagainya, dirangkum menjadi satu buku ringkas yang komprehensif, yang berisi analisis dan saran-saran bagaimana mengambil jalan keluar.
Sementara mengenai pendanaannya, Gumilar mengatakan tentu tidak bisa hanya mengandalkan sumber dari masyarakat berupa SPP dan BOP (biaya operasional perkuliahan). “Akan ditata kembali sumber pendanaan dari BOP, ditata ke arah tecerminnya subsidi silang yang adil, dan juga tecerminnya akses warga negara yang punya talenta. “Tidak peduli dia miskin atau kaya, kalau dia punya talenta, bisa masuk UI. Yang kaya bayar lebih, yang miskin tentu dibantu,” jelas suami Dra Nenden DY W Wasita Kusumah dan ayah tiga anak (Aisha Rasyidilla Kusuma Somantri, M Damara Suksma Kusuma Somantri dan M Germa Kencana Kusuma Somantri) itu.
Hal ini memang sudah dilakukan selama ini, walaupun masih lebih pada fondasi secara sistem untuk melakukan subsidi silang. Kemudian akan dikembangkan agar sistem subsidi silang itu betul-betul menjadi nyata dan menjadi bagian yang membangun kepercayaan dari semua pihak bahwa memang UI hirau dengan kualitas dan mempunyai aksesabilitas yang terbuka lebar bagi semua orang yang bertalenta.
Sehingga tidak terjadi penafsiran yang keliru seolah UI terbuka bagi orang-orang miskin, walaupun tidak punya kemampuan, tidak punya talenta. Hal ini harus dipahami bahwa konsepsi universitas sebagai private good itu artinya selektif. Bukan berarti bisa dimasuki oleh semua orang, tapi hanya orang yang punya kemampuan (berprestasi).
Harus juga dipahami bahwa operasional pendidikan itu mahal, kualitas pendidikan itu mahal. Maka orang yang mampu harus bayar lebih. Orang yang tidak mampu tapi pintar, bebaskan. Bahkan beri biaya hidup supaya dia bisa kuliah dengan tenang. Tapi, juga harus mendidik karena dia itu bibit unggul calon penerus pemimpin bangsa di masa depan yang harus punya mental baja, mental mandiri, mental yang sehat. Caranya, diberikan pinjaman yang harus dikembalikan setelah lima tahun bekerja atau luluslah. Juga bekerja di kampus, di unit-unit kegiatan, unit-unit usaha. Bekerjanya juga harus standar, yang normal, yang layak.
Jangan mentang-mentang terima beasiswa lalu dibayar murah. Akan dikembangkan semacam knowledge venture. Akan didayagunakan ahli-ahli UI yang hebat-hebat, membuat seminar-seminar tertentu di hotel-hotel berbintang.
Knowledge venture ini bagian dari academic venture, ada kegiatan seperti konsultasi, pelatihan-pelatihan, bahkan summer course, kuliah musim panas bagi mahasiswa-mahasiswa asing, dari Cina, Jepang. Selain itu ada commersial venture. Kita mengembangkan usaha-usaha yang cukup punya prospek ekonomi besar, misalnya ICT, lalu real estate.
UI juga punya aset banyak. Commersial venture dikaitkan dengan manajemen aset. UI itu punya aset luar biasa. Misalnya, bikin rumah sakit diintegrasikan dengan hotel. Bikin parkir yang terintegrasi. Bikin apartemen blok di dalam kampus untuk mahasiswa asing. Belum lagi strategi partnership. Sebagai contoh, kita membuat link and match center. R and D dan HRD dari industri ditarik ke kampus, mereka training di UI dengan fasilitas lengkap.
Tantang untuk mewujudkan hal ini justru mind set. “Kita sering berbicara mengenai world class, kualitas, tapi mind set dan perilaku kita masih perilaku yang sebelumnya,” katanya. Upaya yang harus segera dilakukan ialah memperbesar jumlah orang-orang yang memahami itu dan punya keinginan ke sana, sehingga tidak terlalu capek sosialisasi program.
Transformasi Pendidikan
Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri akhir Juni 2007 menerbitkan dua buku sekaligus yakni, “Transformasi Pendidikan Tinggi di Era Knowledge Based Society: Studi Kasus Universitas Indonesia” (170 halaman) dan “Transformasi Perguruan Tinggi Berbasis Riset dan Berdaya-Usaha: Catatan Pengalaman FISIP UI 2002-2006” (96 halaman).
Buku Transformasi persembahan lengkap untuk mengawal perubahan Universitas Indonesia (UI) jadi universitas riset dan berkewirausahaan. Gumilar sering menyebut “turbulensi” sebagai kata kunci untuk menggambarkan proses transformasi itu.
Tentang bukunya, Gumilar menuturkan: “Dukungan dana dari pemerintah turun seiring dengan otonomi pendidikan. Biaya pendidikan meningkat dan globalisasi serta kompetisi juga terus naik. Pasar juga butuh pelayanan pendidikan tinggi yang lebih baik. Inilah tantangannya.”
Dalam kerdua buku yang saling terkait, melengkapi, dan terprogram itu Gumilar menawarkan berbagai solusi konkret. Mulai dari masalah kepemimpinan di fakultas yang memiliki keunikan karena keberagaman ilmu (sosial, politik, administrasi, komunikasi, kriminologi, dan lain-lain) ke tingkat universitas. Menurutnya, kini zamannya ilmu-ilmu sosial dan politik. Setiap fakultas telah mempunyai sistem serupa, tinggal dikonvergensikan dengan kepemimpinan yang mengandalkan keberagaman.
Kemudian, keberagaman disiplin ilmu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) tentu akan membentuk inkorporasi yang lebih padu. Ini masalah capacity building. Contohnya fitur-fitur telepon genggam yang tak ada artinya jika berdiri sendiri-sendiri. Namun, kalau disajikan bersamaan, telepon genggam menjadi benda yang meledakkan perubahan besar.
Gumilar juga banyak mengulas good governance sebagai satu-satunya opsi dalam pengelolaan universitas sebagai lembaga pendidikan. Menurutnya, good governance telah menjadi tuntutan wajar. “Masalah tinggal bagaimana setiap fakultas dan juga universitas bersama-sama mengubah UI dari good menjadi great,” tambahnya.
Gumilar pernah ditunjuk jadi ketua Panitia Pengarah Hari Lahir Pancasila yang menghadirkan 600 intelektual dan tokoh dalam “Seminar Pancasila” tahun 2006. Acara itu dilanjutkan dengan pembacaan “Maklumat Keindonesiaan” dan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 1 Juni di Jakarta yang dihadiri sekitar 3.500 tokoh.
Di kalangan alumni dia dijuluki “The Green Dean” (Dekan Peduli Alam) karena kehirauan dia pada pelestarian lingkungan. Dia kolektor berbagai jenis ikan, aneka unggas, dan beragam tanaman. Kampus disulap menjadi taman asri yang membuat betah dosen, karyawan, serta mahasiswa.
Berpikir di Luar kotak
Sebagai dekan dia percaya pada moto “berpikir di luar kotak” alias artinya “tidak mau biasa”. Kampus yang jadi tempat sekitar 8.000 mahasiswa belajar kini bak hotel berbintang lima. Karyawan wajib berseragam, tetapi gaji mereka naik rata-rata 20 persen per tahun. Gaji dosen inti rata-rata Rp 9 juta per bulan (di luar gaji PNS) berkat kas fakultas yang terbesar kedua di UI—sekitar Rp 30 miliar per tahun.
Di kampus ada restoran masakan Korea, toko IT (information technology), toko suvenir, toko buku internasional, atau kantin yang menampung 20 pedagang kaki lima. Dari parkir motor saja FISIP UI mendapat penghasilan tambahan sekitar Rp 200 juta. FISIP terpilih sebagai kampus tebersih dan terindah UI, merebut Piala Rektor dalam lomba yang pertama kali diadakan tahun 2006.
Rasa mewah terasa di Miriam Budiardjo Resource Center atau Selo Soemardjan Research Center yang sudah empat tahun ber-“Wi-Fi”. Ruang kerja staf pengajar layaknya kantor eksekutif perusahaan raksasa yang bertebaran di Jalan Sudirman, Jakarta. Perpustakaannya lengkap dan dikunjungi 700-1.000 orang per hari.
Gumilar memelopori terselenggaranya Research Days yang di UI pertama kali diadakan FISIP tahun 2004. Waktu penyelenggaraan tahun 2006 dipresentasikan 200 karya ilmiah. Kesempatan itu juga dimanfaatkan jadi ajang pertemuan perdana dekan FISIP se-Indonesia dan berbagai kegiatan ilmiah domestik serta internasional lainnya. UI pun tak mau kalah dan akan menyelenggarakan Gelar Ilmu tanggal 29 Juli mendatang.
“Semua dekan, termasuk almarhum Pak Selo Soemardjan, almarhumah Ibu Miriam Budiardjo, atau Pak Juwono Sudarsono, sampai Pak Martani Huseini adalah para pelopor dengan cara masing-masing. Insya Allah saya hanya meneruskan saja,” ujar pria kelahiran 11 Maret 1963 ini. “Saya memakai pola ‘berpikir di luar kotak’ untuk memotong lingkaran setan. Bagi FISIP yang terpenting memperbaiki infrastruktur dulu, baru fokus ke berbagai upaya mencapai academic excellence,” ujar mantan ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah saat sekolah menengah atas (SMA) di Tasikmalaya itu.
Bagi sebagian orang ia mengganggu “harmoni”. “Saya banyak belajar mengendalikan perasaan dengan memasukkan rasionalitas dalam menilai keadaan. Akselerasi membutuhkan toleransi agar perubahan yang cepat juga menimbang cermat kondisi riil. Cara berpikir di luar kotak tak mudah dimengerti orang, saya juga selalu memeriksa kelemahan-kelemahan saya,” kata doktor lulusan Fakultas Sosiologi, Universitas Bielefeld, Jerman, itu.
Gumilar berobsesi menjadikan Universitas Indonesia (UI) dalam lima tahun ke depan masuk kelompok universitas terbaik ASEAN (5 besar), Asia (10 besar), dan dunia (100 besar). Namun, di visi itu, UI tetap menjadi aset nasional yang tidak tercabut dari akar Indonesia. e-ti, dari berbagai sumber
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)