Obsesi Perempuan Pejuang

Kemala Motik
 
0
824
Kemala Motik
Kemala Motik | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Kini telah bermunculan beberapa perempuan yang pantas disimbolkan sebagai perempuan pejuang. Salah satu di antaranya adalah Prof. Dr. Kemala Motik Abdul Gafur, SE, MM. Kini ia salah seorang calon presiden lewat konvensi Partai Golkar. Ia perempuan yang telah mengukir berbagai karya nyata, laksana Kemala (sebangsa batu yang mengandung banyak khasiat dan kesaktian) demi Motik (Majukan Olehmu Tanah air Indonesia Kita).

Pendiri IWAPI dan Rektor Universitas Indonusa Esa Unggul (UIEU), ini sungguh seorang perempuan pejuang, politisi, pengusaha dan guru besar pencetak kader bangsa.

Kartini telah menjadi simbol utama pejuang perempuan di negeri ini. Kendati bukan berarti Kartini adalah perempuan terbaik negeri ini. Sejalan dengan detak-detik sejarah perkembangan bangsa, kaum perempuan negeri ini makin menunjukkan kualitas kepejuangannya. Mereka-mereka adalah perempuan terbaik pada zamannya.

Sosok Kemala Motik, kini sudah terbilang menjadi sebuah simbol kepejuangan perempuan. Ia seorang perempuan, seorang ibu, seorang pengusaha, seorang politisi, seorang inovator, seorang cedekiawan dan guru besar.

Sebagai seorang perempuan dan seorang ibu, ia memancarkan kelembutan, kecantikan alamiah, kecantikan yang sesungguhnya dan kehangatan yang keibuaan. Kendati aktif dalam berbagai bidang usaha, organisasi sosial dan politik, perempuan yang selalu cantik dan lebih muda dari usianya ini, tetap juga membagi perhatian dan waktunya untuk suami, anak dan cucu-cucunya.

Sukses membina keluarga bagi seorang wanita mungkin bisa dinilai suatu kewajaran. Tetapi bila bekerja dan mencapai karier yang sangat tinggi adalah suatu hal yang luar biasa. Ibu Kemala, panggilan akrabnya, juga dikenal sebagai seorang pengusaha. Karena kecermelangan otak, kemauan, dan kemampuan berusaha, ia dapat menangkap berbagai peluang yang ada pada dunia usaha.

Ia tokoh pendiri IWAPI, Ketua IWAPI yang pertama (1975-1982), yang terus berjuang untuk memajukan kehidupan dan meningkatkan mertabat kaumnya terutama dibidang ekonomi dan bisnis. Wanita karir kelahiran Jakarta, 6 Oktober 1944, ini pada usia 28 tahun sudah menjabat Presiden Direktur PT. Rulan Jaya (1972 – 1979). Kemudian menjabat Presiden Direktur PT. Arrish Rulan (1979 – 1985).

Sebagai seorang politisi, ia telah dua kali menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1982 – 1987 dan 1997 – 1999. Sejak 1992, ia menjabat Ketua Umum Wanita Pembangunan Indonesia (WPI). Kini, dalam era reformasi, ia salah seorang yang gigih memperjuangkan kuota 30 persen kursi untuk perempuan di lembaga legislatif. Bahkan berbagai kalangan mendorong dan menginginkannya untuk ikut tampil dalam pentas politik Pemilu 2004.

Ia pun tampil sebagai seorang calon presiden melalui Konvensi Partai Golkar. Keikutsertaannya dalam konvensi Partai Golkar ini semata-mata tidak hanya bertujuan meraih kekuasaan sebagai presiden, melainkan juga sebagai pembelajaran politik. Memberikan pembelajaran dan inspirasi kususnya kepada kaum perempuan tentang partisipasi politik.

Sebagai seorang inovator, cedekiawan dan guru besar, sampai sekarang pun dia terus berinovasi. Pemikirannya mamandang jauh ke depan. Sebelum isu globalisasi merebak, ia sudah ingin membuka pendidikan yang bersifat global. Tahun 1986 ia mendirikan IEU Of Management. Kemudian mendirikan Universitas Indonusa Esa Unggul, sebuah universitas nasional yang berstandar internasional.

Advertisement

Keluarga Motik
Ia memang berasal dari keluarga mapan dan berjiwa pejuang. Ayahandanya Baharuddin Rahman, seorang keturunan keluarga pangeran di Palembang. Ibunya juga seorang putri pangeran yang tidak merasa betah tinggal di Palembang dan kemudian bersekolah di Jakarta.

Sejak tahun 1930 ayahnya merantau ke pulau Jawa dan bekerja sebagai seorang guru di Taman Siswa. Ayahya ikut dalam gerakan sumpah pemuda dari awalnya. Karena kebanggaan dan kecintaan Sang Ayah terhadap cita-cita terbentuknya sebuah bangsa dan negara yang pada waktu itu belum ada nama Indonesia, Sang Ayah mengubah nama dari Baharuddin Rahman menjadi Motik yang artinya “Majukan Olehmu Tanah air Indonesia Kita”.

Nama itu melekat dan menyatu dalam jiwa dan semangat Sang Ayah dan semua anak-anaknya. Mereka menyepuh diri menjadi manusia-manusia ‘Motik’, manusia yang berjuang memajukan tanah air Indonesia.

Sebagai anak tertua dari delapan bersaudara, Kemala Motik sejak kecil sudah dididik agar menjadi pemimpin dan teladan bagi adik-adiknya. Kehidupan masa kecilnya, tinggal di daerah Menteng yang berkecukupan, tidak membuat keluarga ini menjadi sombong dan hanya memikirkan diri sendiri. Mungkin karena nama ayah saya, itu yang membuat kami sekeluarga tidak mau hanya memikirkan diri sendiri,” katanya dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia DotCom.

Salah satu hal yang menarik dalam perjalanan kehidupan kami sekeluarga, saya berserta 7 saudara, kami dibimbing oleh ayah untuk menjadi manusia kompetitif yang sehat, tidak mudah menyerah dan tidak pernah membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan,” tutur ibu bijaksana yang berupaya menjadi teladan bagi adik-adinya ini. Ia memberi contoh, jika ia mendapat gelar doktor, adiknya juga berusaha untuk demikian. Selain itu, ayahnya tidak pernah berhenti menanamkan kepada mereka bukan saja berhasil dalam kehidupan pribadi tetapi terutama demi bangsa dan negara.

“Itu yang saya tidak lihat lagi di jaman yang disebut reformasi ini. Padahal ketika saya bertemu dengan calon-calon mahasiswa, anak-anak SMU, saya melihat masih ada harapan untuk mau menjadi orang-orang terbaik untuk bangsa ini. Ada yang mengatakan ingin menjadi hakim yang jujur, dokter yang baik dan sebagainya. Tetapi dengan keadaan masyarakat yang seperti ini, dimana setiap orang hanya mencari untuk dirinya sendiri. Suatu kondisi yang tidak mendukung ke arah sana,” katanya mengungkap kegelisahan.

Padahal, menurutnya, ketika kita menjadi orang yang melayani orang lain, secara langsung biasnya akan datang kepada kita. “Itulah yang diajarkan ayah saya kepada anak-anaknya, yaitu menjadi Majukanlah Olehmu Tanah air Indonesia Kita (Motik).” Untuk dapat menjadi seperti itu, ia belajar dari Sang Ayah, bahwa kita perlu mendorong anak-anak untuk berani tampil ke depan dan mempuyai cita-cita dan menangkap visi membangun negara ini. Bukan sekedar menjadi seorang pejabat tetapi kerjanya hanya sebagai “perampok” dan “preman”.

Pendiri IWAPI
Ia mengecap pendidikan SMU di Jakarta dan Amerika Serikat. Setelah setahun duduk di bangku SMU III Teladan, Jakarta, kemudian tahun 1963 ia dipindahkan ke Culver City High School di Amerika Serikat. Kemudian ia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1972.

Selepas menyelesaikan studi dari UI, ia masuk dalam dunia usaha, ikut bersama ayahnya. Jabatannya yang pertama sebagai Presiden Direktur PT. Rulan Jaya yang bergerak di bidang ekpor, impor dan trading.

Sejalan dengan perkembangan usaha yang dipimpinnya, pada tahun 1975 ia mendirikan IWAPI. Di tahun-tahun itu Indonesia baru sedang dalam tahap memulai pergerakan ekonominya yang sebelumnya banyak dipegang oleh masyarakat non-pribumi.

Pada waktu itu, ia melihat potensi yang besar di tengah-tengah wanita Indonesia sebagai penggerak ekonomi nasional. “Saya saksikan ketika pergi ke pasar, di mana-mana di seluruh pelosok nusantara ini terlihat pelaku ekonomi di garis paling bawah adalah perempuan,” katanya mengenang bagaimana ide mendirikan IWAPI itu muncul. Sehingga itulah yang mendorongnya bersama 10 orang termasuk adiknya Dewi Motik, untuk mendirikan kelompok pengusaha UKM Indonesia dalam wadah IWAPI.

Organisasi ini berkembang pesat hingga mencakup seluruh Indonesia. Kehadiran organisasi ini pula yang kemudian mengantarkannya menjadi anggota MPR (1982) mewakili pegusaha perempuan Indonesia yang saat itu masih sangat langka.

Ia memperhatikan bahwa pengusaha perempuan di Indonesia itu, muncul oleh karena insting dan kebutuhan hidup. Karena suami tidak dapat mencari nafkah sehingga isteri yang berinisiatif mencari nafkah. Kebanyakan perempuan yang berusaha ini tidak bersekolah. Dari kondisi tersebut, ia tahu kelemahan pengusaha perempuan Indonesia adalah pendidikan.

Sehingga ia tergerak mendirikan pusat pelatihan dan pendidikan. Di pusat pelatihan itu, perempuan-perempuan dilatih dalam mengembangkan keterampilannya dalam menciptakan usaha mandiri. Seperti mendidik dalam keterampilan memasak, menjahit, konsultan, interior dan berbagai keterampilan lainnya. “Dengan upaya tersebut kami dapat melatih dan membangkitkan sepuluh ribu pengusaha wanita di Indonesia pada tahun 1985,” kata mantan Ketua Kompartemen Pendidikan Kadin Indonesia (1982-1985) ini.

Pendidikan dan Golobalisasi
Tetapi sejalan dengan berdetaknya waktu, ia juga menyadari bahwa pria-pria Indonesia juga perlu dididik dalam metalitas kerjanya. “Karena kebanyakan dari masyarakat kita bekerja hanya untuk diperkerjakan saja, menjadi seorang pegawai atau pegawai negeri. Tidak mempunyai metalitas wirausaha,” ujar alumni KRA XVII (Kursus RegulerAngkatan XVII) Lembaga Pertahanan Nasional 1984 ini. Sehingga sejak tahun 1983, ia mendirikan pusat pendidikan Kadin Indonesia. Kemudian pada tahun 1986 mendirikan IEU Of Management bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan luar negeri.

Padahal pada waktu itu, tahun 1985, isu globalisasi belum terdengar. Namun, ia sudah mempuyai visi untuk membawa Indonesia ke era globalisasi itu. Bahwa suatu saat nanti suluruh negara-negara di dunia akan mengalami global. Maka ia ingin mendirikan program BBA-MBA pertama di Indonesia. Namun keinginan ini tidak bisa segera terwujud. Karena Depdiknas belum siap, dan mengharuskannya untuk mendirikan universitas terlebih dahulu.

Sebenarnya pada awalnya, ia tidak punya niat untuk mendirikan sebuah universitas. Namun karena diharuskan sebagai persyaratan memnuka program BBA-MBA, akhirnya ia mendirikan Universitas Indonusa Esa Unggul. Program BBA-MBA di UIEU ini sampai sekarang terus berkembang dan bahkan telah memiliki 23 perwakilan kebangsaan dari seluruh dunia.

Ketika pertama kali masuk di dalam dunia pendidikan, ia sudah bertekad bahwa lulusan Indonesia harus mampu bersaing di dunia global. Maka untuk dapat mencapai hal itu, ia berupaya mengembangkan UIEU, yang disebutnya sebagai Kampus Emas, setara dengan universitas di luar negeri. Ia menerapkan untuk setiap lulusan dari berbagai fakultas harus mengikuti ujian TOEFL dan harus mencapai 550 poin. Sehingga ia berharap lulusan dari Kampus Emas ini mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru, membuka usaha baru dan mandiri.

Pemikirannya tentang dunia pendidikan memang terbilang inovatif. Ketika dunia perguruan tinggi nasional sedang oleng dan nyaris kehilangan arah, dia menyerukan kepada jajaran perguruan tinggi nasional agar merubah paradigmanya. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan, ujarnya, sudah sepatutnya mengganti paradigma yang selama ini dipakai, dari teaching university menjadi research university.

“Hanya dengan perubahan itulah, sebuah perguruan tinggi tetap eksis dan mampu mempertahankan eksistensinya,” ujar doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (2002) yang sudah 10 tahun menjabat Rektor UIEU ini. Pemikiran ini diutarakannya ketika menyampaikan pidato ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Manajemen di Universitas Indonesia Esa Unggul, 25 Pebruari 2003 lalu.

Menurut pandangannya, peran perguruan tinggi secara global adalah memberikan ilmu pendidikan kepada mahasiswa. Tapi, ini saja tidak cukup, baik untuk mahasiswa maupun untuk perguruannya. Sebab, bila berkutat pada pemberian ilmu saja, bekal yang didapat mahasiswa tidak beranjak dari tahun ke tahun. Berkutat di situ-situ saja. Wacana inilah yang perlu dirombak.

Kegiatan perguruan tinggi, katanya, bukan hanya memberikan pendidikan. Lebih dari itu melakukan berbagai riset yang menyangkut segala aspek kehidupan masyarakat. Hal itu bukan saja berguna bagi mahasiswa, tapi memberi manfaat yang cukup besar terhadap kelangsungan proses pendidikan di perguruan tinggi. Di sinilah dituntut kemampuan manajemen sebuah perguruan tinggi untuk menjalin kerjasama dengan berbagai perusahaan multinasional. Tentunya, kerjasama yang saling menguntungkan.

Banyak manfaat yang diperoleh dari kerjasama itu. Paling tidak, perguruan tinggi bersangkutan mendapat suntikan dana untuk membiayai berbagai riset. Yang tidak kalah pentingnya, kata Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BM-PTSI) periode 1995 – 1999, ini diperlukan kemampuan manajemen perguruan tinggi dalam menenej keuangan, sehingga tidak terjadi stagnasi. Di samping kemampuan menerapkan strategi dalam menarik calon mahasiswa. Karena perguruan tinggi yang diminati mahasiswa, merupakan indikator eksistensi sebuah perguruan tinggi.

Selaian itu, menejemen perguruan tinggi dituntut untuk memberikan kepuasan atau kebahagiaan kepada seluruh jajarannya. Dengan demikian seluruh peserta, mahasiswa, dosen dan karyawan dapat meningkatkan kualitas. Alumni yang merasa puas dapat juga menjadi donatur bagi almamaternya. Dalam menawarkan program studi yang baik, kalau perlu dengan memberi bantuan keuangan bagi mereka yang berprestasi dan mencarikannya pekerjaan setelah lulus.

Menurutnaya, sudah keharusan bagi sebuah perguruan tinggi mempunyai keunggulan dalam setiap program studi di fakultas. Apalagi di era otonomi daerah, terbuka kesempatan bagi perguruan tinggi untuk menyesuaikan keunggulan program studi dengan potensi daerah masing-masing. Sehingga suatu saat, calon mahasiswa yang berminat mendalami teknologi kelautan, misalnya, akan mencari perguruan tinggi di daerah yang punya keunggulan dalam bidang tersebut. Demikian keunggulan dalam bidang pertanian dan kehutanan, akan menarik minat calon mahasiswa dari seluruh tanah air untuk kuliah di sana.

Mahasiswa dapat kuliah di daerah-daerah yang berbeda-beda di tanah air, sehingga penyebaran dalam demografi intelektual muda Indonesia yang akan mengabdi ke daerah akan merata.

Ia menggaris bawawahi, perguruan tinggi saat ini sedang memasuki era globalisasi. Dalam kondisi seperti ini diperlukan seorang pemimpin perguruan tinggi yang memiliki kemampuan dan dapat melihat perkembangan ke depan. Dia harus dengan cepat menyesuaikan program akademisnya dengan kebutuhan masyarakat.

Itu jugalah yang mendasari pemikirannya untuk mengembangkan program studi Fisioterapi di Fakultas Fisioterapi Universitas Indonusa Esa Unggul yang dipimpinnya. Ini adalah Fakultas Fisioterapi pertama di Indonesia. Tak berhenti di sini, di bawah kepemimpinannya, Indonusa membuka Akademi Gerakan Kesehatan.

Obsesi
Setelah menjabat sebagai Rektor UIEU selama hampir sepuluh tahun, ia merasa sudah saatnya berhenti. Niat ini akan diwujudkannya tahun depan (2004). Ia ingin kembali ke dunia politik. Ia berobsesi untuk ikut membela kaum perempuan, sehingga 30 persen kursi di DPR RI dan DPD sungguh diduduki perempuan.

Ia melihat perempuan Indonesia memiliki potensi yang besar. Penduduk perempuan di Indonesia terbesar keempat setelah Cina, India dan Amerika. Jumlahnya sekitar 100 juta lebih. Dari jumlah itu hanya baru sekitar 5-10 persen yang sudah empowerment dan mandiri.

Tentang perjuangan perempuan, menurutnya, harus dikerjakan terus apa yang patut dikerjakan. Salah satu hasil yang cukup baik adalah disahkannya 30 persen kuota perempuan dalam legislatif. Semua itu, menurutnya, tidak bisa diberi, tetapi harus diperjuangkan.

Ia kini sedang mempertimbangkan secara cermat, apakah akan masuk ke dalam partai politik (Parpol). Parpol yang mana? Atau mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Dulu ia menjadi anggota MPR melalui perwakilan golongan dari Kadin. Pada periode berikutnya ia menjadi anggota MPR melalui Golkar. Tetapi, saat ini ia ingin masuk di DPR atau DPD sebagai perempuan pejuang. Untuk mempejuangkan perempuan, bukan hanya di legislatif tetapi juga di eksekutif.

Menurutnya, kondisi Parpol saat ini sangat menyedihkan. Negara kita satu-satunya di dunia yag memiliki lebih dari 100 Parpol. Negara besar seperti Amerika saja hanya memiliki dua partai dan Inggris hanya tiga. Kita di sini berlomba-lomba untuk mendirikan partai. Semua orang ingin menjadi Presiden. Semua orang ingin menjadi penguasa. Akhirnya, lama-kelamaan tidak satu orangpun yang memikirkan bangsa ini, hanya memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya.

Kondisi ini pula yang ikut mendorongnya untuk terjun dalam dunia politik. Dengan obsesi menghadirkan wajah politik keibuan, yang cerdas dan memiliki kepedulian yang tinggi bagi kepentingan masyarakat banyak, terutama kaum perempuan yang masih sering kurang ditempatkan pada posisi yang selayaknya, sepadan dengan laki-laki.

Dalam dunia politik, ia ingin memperjuangkan hak-hak dan martabat kaum perempuan dari semua aspek. Itu yang pertama. Kedua, ia akan menyuarakan perbaikan pendidikan nasional yang selama ini terbaikan. Sebab, menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan bangsa ini tidak dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain, karena keadaan pendidikan nasional amburadul. Sistem pendidikan nasional, terutama perguruan tinggi, tidak berorientasi meluluskan sarjana yang siap pakai. Tetapi hanya membentuk lulusan yang hanya mau jadi pegawai atau karyawan, sehingga tidak heran ada mahasiswa fakultas teknik bekerja sebagai karyawan bank.

Ia melihat pisahnya Timor-timur dari Indonesia dimulai karena sistem pendidikan nasional yang salah. Ketika rakyat Timtim mendapat pendidikan di luar Timtim setelah lama dijajah oleh Portugis, kembali mereka dari pendidikan di Jawa, mereka sadar bahwa rakyatnya terbelakang dan menjadi tidak puas. Kemudian para orang-orang terdidik itulah yang akhirnya menjadi pemimpin pemisahan Timtim dari Indonesia. “Yang salah bukan kurikulumnya, namun perlu memberikan mata kuliah tambahan yaitu manajemen untuk semua fakultas,” ujarnya.

Dampak lain dari amburadulnya sistem pendidikan nasional, menurutnya, bisa juga dilihat dari kondisi para birokrasi yang belum memiliki karakter sebagai enterprenir, yaitu menggunakan input yang sekecil-kecilnya dan menghasilkan output yang sebesar-besarnya. Padahal, Singapura, negara yang jauh lebih kecil, mampu mendapat kepercayaan dari banyak negara, karena bisa memberikan keamanan dan kenyamanan serta memiliki karakter sebagai enterprenir.

Bahkan, ia berpikir, jika ia dapat menjadi Presiden, akan berupaya memberdayakan (empowerment) semua aspek bangsa. Contohnya, kekayaan laut, yang selama ini lebih dari ribuan ton ikan dicuri oleh negara lain. “Saya melihat sendiri ketika saya berunjung ke IDT. Kapal asing dari Tailand, Taiwan dan Hongkong berada di perairan kita dengan bebas,” ungkapnya.

Begitu juga ketika berkunjung ke Biak, ia melihat produksi ikan tongkol dan udang yang dikalengkan dengan harga 8 dolar AS untuk dijual ke Amerika dan Eropa. Untuk mengatasi hal ini, seharusnya, Pemda setempat memberikan modal kepada nelayan dalam penyedian kapal-kapal penangkap ikan.

Begitu juga dengan pertanian. Dahulu kita dikenal sebagai negara pertanian. Sekarang negara-negara tetangga kita lebih unggul. Contohnya, dulu Tailand tidak memiliki durian, namun setelah mereka belajar dari kita, durian mereka lebih baik dari kita.

“Saya bersama Pak Gafur pernah berkunjung ke Taiwan, kami tinggal di sebuah hotel di sana. Saya temukan sebuah buah yang asing bagi saya, bentuknya bulat besar, manis dan berwarna oranye. Saya tanyakan kepada pegawai hotel, ternyata buah tersebut berasal dari Indonesia yaitu buah kecapi. Kalau di Indonesia bentuknya lebih kecil dan asam. Sebenarnya, Indonesia harus lebih dari itu. lalu saya berpikir, Jika bangsa lain bisa, kenapa kita tidak bisa? Itu semua dimulai dari kemauan yang keras dari pemimpin bangsa,” ujar isteri Dr Abdul Gafur ini.

Maka untuk mengatasi kompleksnya persoalan bangsa ini, menurutnya, salah satu hal yang juga saat ini sedang ia kerjakan adalah mengubah paradigma Perguruan Tinggi. Pendidikan Tinggi bukan hanya sekedar pendidikan, tetapi juga penelitian. Ia memulai dari UIEU. Perlu lebih memperbanyak penelitian terhadap kekayaan bangsa kita. Seperti, masalah Otonomi Daerah, ia melihat hal ini sebenarnya perlu penelitian lebih lanjut. Jika ada pemekaran daerah, dalam rangka pemekaran apa?

Kemudian penelitian akan potensi-potensi setiap daerah, juga harus dikerjakan. Contohnya Bali, daerah ini memiliki objek parawisata. Kemudian Lombok, mungkin dengan perikanan dan sumber lautnya, walaupun berdekatan dengan Bali. Lalu Kupang, mungkin unggul dalam perternakan dan hasil hewan dan sebagainya. Dengan ini ada namanya spesifikasi hasil daerah. “Ini yang sampai sekarang belum saya lihat. Menghubungkan antara sumber daya alam (SDA) dengan sumber daya manusia (SDM) yang ada, antara penelitian dan pendidikan, maka kita akan memiliki SDM yang unggul,” ujarnya.

Menyinggung soal kondisi bangsa saat ini, ia mengemukakan rasa paling kesalnya melihat banyak orang mengidentifikasikan dirinya sebagai orang politik atau orang partai, bahkan sektarian. Bukannya berpikir sebagai satu bangsa yang besar, bahkan hanya berpikir bagaimana mendapatkan suara terbanyak. “Itu membuat saya sangat kesal. Hingga saya pernah mengatakan kepada rekan-rekan lulusan Lemhanas, jika seperti ini terus, bangsa ini bisa hancur,” kata lulusan International Marketing Institute, Cambridge Mass, USA (1975) ini.

Maka, menurutnya, siapapun yang akan terpilih menjadi presiden pada Pemilu mendatang, dia harus melepaskan jabatannya sebagai ketua atau keanggotaan partainya. Tidak bisa ada dwifungsi. Ketika seseorang masuk jajaran birokrasi lepas semua atribut partai. Karena sekarang kita harus berpikir sebagai bangsa, bukan kelompok apalagi pribadi.

Lalu ia pun bertekad akan memulainya ketika nanti masuk dalam dunia politik. Ia ingin jadi teladan dengan melepaskan atributnya terhadap kepentingan apapun, selain kepentingan bangsa dan negara. Karena dengan berpikir sempit dan sektarian, hanya akan membawa sebuah partai atau kelompok menjadi besar tetapi menghancurkan bangsa ini. Sehingga, harus lahir seorang pemimpin yang mau menjadi teladan. Baginya, seorang pemimpin adalah seseorang yang mampu memiliki visi dan misi yang besar. Mampu melihat ke depan dan mengerjakan apa yang dia lihat ke depan dengan sungguh-sungguh.

Kendati sibuk dengan berbagai aktifitasnya, ia selalu punya kesempatan untuk menjaga kesehatan agar tetap fit dan segar. Untuk itu ia tetap melakukan kegiatan olah raga dan menyalurkan hobbynya. Atur/Yusak

Data Singkat
Kemala Motik, Rektor Universitas INDONUSA Esa Unggul, 1993 / Obsesi Perempuan Pejuang | Ensiklopedi | Guru Besar, Pengusaha, MPR, Dosen, Dirut, Rektor, Lemhannas, UNJ

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini