Pemimpin Tanpa Menghukum
Soeparno Prawiroadiredjo
[ENSIKLOPEDI] Soeparno Prawiroadiredjo, Dipl.-Ing, lahir di Pasuruan, 4 Juni 1933. Mantan CEO PT Kodja (Persero), ini seorang pemimpin yang tak pernah menghukum (punishment) tetapi tidak sulit memberi penghargaan (reward). Kunci utama kepemimpinnnya adalah keteladanan, kebersahajaan dan kebersamaan, tentu saja plus integritas, intelektualitas dan kapabilitas yang memumpuni.
Penulis Ch. Robin Simanullang
Dengan gaya kepemimpinan seperti itu (keteladanan tanpa menghukum), dia memimpin (Direktur Utama) PT Kodja (Persero) selama 22 tahun (1966-1988). Sampai akhirnya dia diangkat menjabat Direktur Jenderal Industri Mesin, Logam Dasar dan Elektronika, Departemen Perindustrian RI (1988 – Maret 1994).
Peraih gelar Diploma-Ingenieur Teknik Perkapalan dari TechnisÂche Hochschule Hannover, Jerman, 1960, ini mengabdikan diri dalam dunia maritim sejak tahun 1960. Saat dia memulai karir sebagai Engineering SuperÂintendant di PT Pelni (1960-1962). Dia seorang pemimpin industri kapal yang mengutamaÂkan keteladanan daripada banyak memerintah. Dia juga seorang pemimpin yang bersahaja dan sangat tidak mau menonjol-nonjolkan diri, apalagi menonjolÂkan prestasi.
Sangat sulit menemukan artikel yang menguraikan profil atau jejak rekamnya, baik semasa masih menjabat Direktur Utama PT Kodja (Persero) selama 22 tahun (1966-1988) maupun sebagai Direktur Jenderal IndusÂtri Mesin, Logam Dasar dan Elektronika, Departemen PerinÂdusÂtrian RI (1988-Maret 1994).
Dia selalu mengelak jika berbicara tentang kisah dirinya sendiri. Maka, TokohIndonesia. com sangat berterimakasih karena mendapat kesempatan membuka pintu menggali pengÂalaman Soeparno, mulai dari masa kecil sampai usia emasnya. Karena pengalaman adalah guru yang terbaik, bukan hanya bagi diri sendiri tapi bagi orang lain (publik).
Soeparno Prawiroadiredjo yang sejak pensiun 1994 masih banyak melakukan kegiatan konsultasi, kegiatan sosial dan kegiatan organisasi, di antaranya aktif sebagai Anggota Dewan PenaseÂhat Forum Masyarakat Maritim Indonesia (FMMI)[1], itu dalam percakapan dengan WartaÂwan TokohIndonesia.com, Ch. Robin Simanullang dan Marjuka Situmorang, di rumah kediamanÂnya, Jalan Jambore, Villa CibuÂbur Indah Blok T1 Kav. 28-29, Cibubur, Jakarta, Kamis 29 Juli 2010, selalu menjawab merendah secara diplomatis, jika ditanya tentang prestasi atau keberhasilÂannya.
Dia tidak pernah merasa punya pengalaman besar yang perlu dibagikan kepada orang lain. Namun, bagi TokohIndonesia. com, sekecil apa pun pengalaman seseorang, apalagi pengalaman seorang pemimpin yang mengedeÂpankan kepemimpinan ketelaÂdanan, seperti Soeparno, pastilah berguna sebagai guru dan sekolah kehidupan bagi banyak orang yang mau belajar dari pengalamÂan orang lain.
Beruntung, TokohIndonesia. com, banyak menerima kesaksian dari mantan stafnya, di antaraÂnya Harjono, yang juga saat ini aktif sebagai Wakil Sekjen FMMI. Juga dari dokumen (tulisan) berjudul ‘Kodja Dalam Kenangan’ yang disusun oleh sebuah team yang dipimpin Drs. Suyanto S. Ica, mantan Sekretaris PerusahaÂan PT Kodja (Persero) yang memulai karirnya di PT Kodja sejak tamat SMA, binaan SoeÂparno.
Selain setelah memperoleh informasi dari hasil percakapan langsung dengan Soeparno, dan hasil pengamatan kami sebagai jurnalis terutama saat dia bertugas sebagai CEO Kodja dan Dirjen, kami juga mendapat bahan yang cukup dari orang-orang yang pernah amat dekat dengannya. Sehingga kami berkeyakinan mengapresiasi bahwa Soeparno adalah seorang pemimpin (tokoh) yang ketelaÂdanan kepemimpinannya, patut diukir sebagai sekolah kehidupan (pengalaman) yang berguna bagi siapa saja yang mau belajar dari pengalaman orang lain.
Kami mengapresiasinya sebagai seorang ‘Pemimpin Tanpa MengÂhukum’ – Leader Without Punishing. Tidak banyak orang yang mampu dan berhasil mengaplikaÂsikan pola kepemimpinan seperti ini. Sebab, pastilah lebih mudah memimpin dengan (ancaman) menghukum daripada memimpin tanpa menghukum.
Pola kepemimpinan atau sistem manajemen yang umumnya dianut, baik di lingkungan birokrasi maupun perusahaan adalah penerapan kombinasi reward (hadiah, penghargaan atau imbalan) dan punishment (hukuman atau sanksi).[2] Pola inilah menjadi rujukan banyak pemimpin.
Namun, bagi Soeparno, sistem punishment atau penerapan disiplin tradisional, tidak masuk dalam kamus manajemennya. Dia tampil dengan kepemimÂpinan, termasuk penerapan disiplin tanpa hukuman (punishment), namun di sisi lain tak pernah sulit memberikan reward.
Syarat utama kepemimpinan seperti ini adalah keteladanan, kebersahajaan dan kebersamaan. Di samping integritas, intelektuÂalÂitas, moralitas dan kapabilitas yang mumpuni. Jika syarat utama ini tidak atau kurang dimiliki seseorang, pastilah dia tidak mungkin tampil sebagai seorang pemimpin yang dipatuhi tanpa menghukum.
Soeparno, terutama saat memimpin PT Kodja (Persero) sebagai Direktur Utama, berhasil menerapkan pola kepemimpinan (manaÂjeÂmen) tanpa menghuÂkum tersebut. SoeparÂno berhasil menggalang kebersamaan, hubungÂan dekat, mulai dari tingkat pimpinan (direksi) dan staf hingga karyawan terbawah. Hubungan yang solid pun tercipta layaknya hubungan dalam satu keluarga. Hubungan dekat tersebut mendorong setiap anggota merasa bertanggung jawab untuk berkontribusi terhadap pengembangÂan perusahaan, sense of responsibility. Mereka juga sama-sama merasa ikut memilikinya, sense of belonging.
Keteladanan menjadi unsur utama dalam kepemimpinannya. Dia lebih menonjolkan keteladanan daripada banyak memerintah. Dia seorang pekerja keras, berdisiplin, kreatif dan inovatif, bertanggung jawab, punya prinsip etika dan moral, beriman dan hidup bersahaja.
Perihal keteladanan dan kebersahajaannya, sebagai contoh kecil, jika dia menjelasÂkan sesuatu, sambil menulis di papan tulis, dia selalu menghaÂpus sendiri, tidak mau memerinÂtah orang (bawahan). Dia merasa lebih baik menghapus sendiri, daripada menyuruh stafnya yang justru dia harapkan supaya lebih bisa konsentrasi menangkap penjelasannya. Lagi pula, bagi dia, sambil menghapus bisa sambil berpikir.
Contoh lainnya, sebagaimana dikemukakan Harjono, mantan stafnya di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, karena terbiasa sebagai pekerja keras, beliau itu kalau pagi melihat mobilnya kotor, nggak nunggu orang lain, beliau lap sendiri, padahal dia Dirut dan Dirjen.
Menurut Harjono, yang saat ini masih bersama dengan Soeparno di Forum Masyarakat Maritim Indonesia (FMMI), Soeparno adalah pimpinan yang tidak pernah merendahkan bawahan. “Jadi saya dulu masih paling bawah, tapi ke mana-mana oleh beliau diajak dan saya tidak pernah merasa bahwa saya orang bawahan,” kata Harjono yang menganggap Soeparno sebagai orang tua, sahabat, guru dan teman (lawan) diskusi. Soeparno tidak pernah menunjukkan diri sebagai orang yang hebat, apalagi paling hebat dari orang lain.
Kendati Soeparno tak pernah merasa hebat, di mata Harjono, sesungguhnya dia adalah orang besar dan hebat. Dia seorang pimpinan dan senior yang bisa didebat (diberi argumentasi alternatif) oleh bawahan dan juniornya. “Saya, walaupun seorang karyawan paling bawah, tidak pernah merasa sungkan, apalagi takut, untuk menyatakan pendapat yang berbeda,” ungkap Harjono.
Bukankah jika demikian, berarti sang atasan atau seniorÂlah yang hebat, bukan bawahanÂnya. Kalau senior tidak bisa didebat (tidak mau menerima pendapat bawahan atau orang lain), selain menunjukkan kelemahannya, juga itu menunÂjukÂkan kentalnya sifat feodal. Soeparno, sangat jauh dari sifat feodalistik, dia seorang pemimpin (orang tua) yang egaliter.
Dengan gaya kepemimpinan keteladanan, kebersahajaan dan kebersamaan seperti itu, SoeparÂno merasa tidak perlu mengedeÂpanÂkan perintah-perintah yang bersifat komando dan menerapÂkan disiplin keras, kaku dan menghukum (tradisional). BahÂkan dia nyaris tak pernah melaÂkuÂkan rapat direksi formal. Kalaupun ada rapat, pasti dilaÂkuÂkan dengan rileks, bersahaÂbat.
Dengan soliditas seperti itu, dia pun tidak sulit memberikan reward kepada yang berjasa, tetapi sebaliknya tidak pernah memberikan punishment, karena memang tidak perlu. “Saya nggak ada punnishment, wong kerjanya baik semua. Sebab semua sadar, kalau kita kerjanya salah, akan bangkrut. Makanya selama saya di sana (Kodja) nggak ada orang main korup,” ungkap Soeparno. Tentang pengawasan, Soeparno menerapkan bahwa setiap pimÂpinÂan diyakini menguasai dan mengawasi paling tidak dua tingkat ke bawahnya.
Dengan manajemen seperti itu, semuanya bekerja dengan kreatif, cerdas, bersemangat dan bertangÂgung jawab. Untuk mempertinggi etos kerja, Direksi di bawah kepemimpinannya, selalu bersiÂkap adil terhadap anggotanya. Kepada setiap anggota diberikan perumahan, kendaraan dan kesejahteraan yang diambil dari surplus usaha dan dibebankan kepada proyek-proyek yang dimenangkan.
Sehingga dengan kebersamaan dan kepemimpinan yang baik, kemampuan rancang bangun dan rekayasa, kemampuan manajeÂmen dan pelaksana lapangan, yang cekatan pula, maka PT Kodja selama 22 tahun dalam kepemimpinannya, secara bertaÂhap semakin menonjol di antara BUMN kapal, dan selalu menyajiÂkan keuntungan dan cashflow yang positif.
Sampai, akhirnya Menteri Perindustrian Ir. Hartarto SastroÂsoenarto[3] mengajaknya mengemÂban jabatan penting di DeparteÂmen Perindustrian. Ajakan itu, dia hormati dan syukuri sebagai amanah. Presiden Soeharto[4] pun menandatangani Surat KeputusÂan pengangkatannya menjadi Direktur Jenderal Industri Mesin, Logam Dasar dan Elektronika, Depperin (1988). Jabatan yang diembannya, sampai dia pensiun tahun 1994. Bersambung. Bio TokohIndonesia.com | crs
Footnote:
[1] Forum Masyarakat Maritim Indonesia (FMMI), sebagai tempat berkumpulnya para penggiat maritim ndonesia, dideklarisikan pembentukannya pada tanggal 9-9-1999, oleh sekelompok pemrakarsa “Peduli Maritim” di Akademi Maritim Indonesia, Jakarta. Kemudian, pertama kali Anggaran dasarnya disahkan pada tanggal 10 September 1999.
[2] Reward merupakan bentuk reinforcement yang positif, sedangkan punishment sebagai bentuk reinforcement yang negatif, yang keduanya dimaksudkan memotivasi karyawan (bawahan) agar bekerja lebih baik dan menghindari kesalahan.
[3] Ir. Hartarto Sastrosoenarto, lahir di Solo, Jawa Tengah, 30 Mei 1932. Dua periode menjabat Menteri Perindustrian yakni pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) dan Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Stelah itu dia menjabat Menteri Koordinator bidang Produksi dan Distribusi (Menko Prodis) pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) dan Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (Menko Wasbangpan) pada Kabinet Pembangunan VII (1998-1999). (www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/h/hartarto-sastrosoenarto/)
[4] Soeharto, bernama lengkap H. Muhammad Soeharto dan akrab dipanggil Pak Harto. Presiden Republik Indonesia selama 32 tahun (1966-1998). Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1983 memberinya penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional. Jenderal besar ini meletakkan jabatan presiden dan menyerahkannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie, Kamis 21 Mei 1998. Lahir di Kemusuk, Argomulyo, Godean, 1 Juni 1921 dan wafat di Jakarta, Minggu, 27 Januari 2008 serta dikebumikan di Astana Giribangun, Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah, Senin, 28 Januari 2008. (www.tokohindonesia.com/rumah/ soeharto/)