Perdana Menteri Indonesia Pertama
Sutan Syahrir
[ENSIKLOPEDI] Sutan Syahrir (Soetan Syahrir) adalah Perdana Menteri Republik Indonesia Pertama (14 November 1945 hingga 20 Juni 1947). Pria kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909, ini seorang politikus yang mendirikan Partai Sosialis Indonesia (1948). Ia wafat di dalam pengasingan sebagai tawanan politik (Zürich, Swiss, 9 April 1966) pada usia 57 tahun.
Suami dari Maria Duchateau, dan Poppy, ini menyelesaikan sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan pada 1926. Sejak remaja, ia sudah menggemari berbagai buku-buku asing dan novel Belanda. Juga senang seni, dimana kadangkala ia mengamen di Hotel de Boer, hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih.
Setamat dari MULO, ia masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung. Di sekolah ini, bakat seninya makin berkembang setelah dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis). Di sini, ia berperan sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor.
Hasil yang diperoleh dari pementasan itu digunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.
Tak heran bila di kalangan siswa AMS Bandung, Syahrir menjadi seorang bintang. Dia seorang siswa yang sangat sibuk dengan buku-buku pelajaran, sekaligus aktif dalam berbagai kegiatan seni dan klub debat di sekolahnya. Bahkan ia juga masih menyempatkan waktu dalam aktivitas pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit.
Kemudian Syahrir mulai memasuki dunia yang menjurus jadi politis. Pada 20 Februari 1927, Syahrir satu dari sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesie, yang kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia. Perhimpunan ini menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
Masih saat belajar sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir juga sudah aktif sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Sebagai Pemred, Syahrir sering dicari polisi karena memuat berita pemberontakan PKI 1926.
Setamat AMS, Syahrir melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam, Leiden, Belanda. Di sana, ia mendalami teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kemudian dinikahi Syahrir. Pernikahan dengan Maria memang hanya sebentar. Kemudian Syahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo.
Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional. Selain itu, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta.
Akhir tahun 1931, Syahrir kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Ia bergabung dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), yang kemudian pada Juni 1932 dipimpinnya. Ia pun mempraktekkan dunia proletar di tanah air. Ia terjun dalam pergerakan buruh. Juga banyak menulis tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Juga sering berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Kemudian, Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Hatta menyusul kembali ke tanah air pada Agustus 1932. Hatta tampil memimpin PNI Baru bersama Syahrir. Organisasi ini berhasil mencetak kader-kader pergerakan. Bahkan pemerintahan kolonial Belanda menilai, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru itu justru lebih radikal daripada gerakan Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. Menurut polisi kolonial, PNI Baru cukup setara dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi, tetapi secara cerdas, berhasil mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.
Sehingga, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda memenjarakan dan membuang Syahrirdan Hatta, serta beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul. Setelah hampir setahun Syahrir dan Hatta dipindahkan ke Banda Neira, di sini mereka menjalani masa pembuangan selama enam tahun.
Masa pendudukan Jepang
Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.
Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis: “Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.”
Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945.
Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah bikinan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.
Masa Revolusi Nasional Indonesia
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.
Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.
Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, “Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan.”
Dan dia mengecam Soekarno. “Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita.” Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.
Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, “Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan.”
Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Penculikan
Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada 26 Juni 1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh, sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Partai Komunis Indonesia. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras.
Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.
Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.
Presiden Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (koppig).
Kelak Let. Kol. Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan menerbitkan catatan tentang peristiwa pemberontakan ini dalam buku otobiografinya Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.
Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan di markas resimen tentara di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono dan para pimpinan pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di Jogyakarta. Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal Presiden dan memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal.
Diplomasi Syahrir
Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.
Tanpa Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir tidak berdaya apa-apa.
Syahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar energi itu tak meluap dan justru merusak.
Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.
Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.
Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.
Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.
Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.
Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.
Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.[1]
Partai Sosialis Indonesia
Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels, namun ia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia.
Hobi Dirgantara dan Musik
Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si Kancil, Sutan Syahrir adalah salah satu penggemar olah raga dirgantara, pernah menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan kunjungan ke Yogyakarta. Di samping itu juga senang sekali dengan musik klasik, di mana beliau juga bisa memainkan biola.
Akhir hidup
Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI dan PSI tahun 1958[2], hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai 1965 sampai menderita stroke. Setelah itu Syahrir diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966. (Sumber: Wikipedia)
Referensi
– Sinar Harapan Online, 24 Agustus 2005, Tanggapan untuk Bung Marzuki Usman (1), Bangsa yang Kurang Pandai Berterima Kasih?
– Robert Cribb, Audrey Kahin Historical Dictionary of Indonesia, Metuchen, N.J.: Scarecrow Press, 1992
Bacaan rujukan
Legge, J.D. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan. Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993.
Lampau dan Datang. Pidato Mohammad Hatta pada penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada, 1956
Mangunwijaya, Y.B. Dilema Sutan Syahrir: Antara Pemikir dan Politikus. Prisma, Agustus 1977.
Mengenang Sjahrir, disunting oleh H. Rosihan Anwar. Jakarta, Gramedia, 1980.
Rudolf Mrazek. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996.
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
02 | Dalam Kenangan 100 Tahun
Dalam rangka memperingati 100 Tahun Sutan Syahrir, 5 Maret 1909 – 5 Maret 2009, Sinar Harapan Edisi Senin 23 Februari2009 menurunkan Liputan Khusus Sutan Syahrir, yang diawali dengan diskusi di Kantor Redaksi Sinar Harapan pada Kamis (19/2/2009).
Terdiri dari enam judul tulisan, yakni: (1) Mengenang Sutan Syahrir, (2) Kabinet Sjahrir Sampai Penyerahan Kedaulatan, (3) Kata Mereka tentang Sutan Syahrir, (4) Sjahrir dan Diplomasi Indonesia, (5) Upik Sjahrir: Mengapa Ayah Tak Pernah Diadili? dan (6) Manusia yang “Edel”.
Sebagian tulisan dalam liputan khusus ini dirangkum dari bahan dan foto lama yang dikumpulkan sejarawan Dr Roesdhy Hoesein, dan diperoleh dari buku Indonesian Political Biography In Search of Cross Cultural Understanding (Disunting oleh August McIntyre).
***
Mengenang Sutan Syahrir
Nama dan peran Sutan Syahrir memang tidak terlalu banyak disebut dalam buku pelajaran sejarah Indonesia. Perannya yang tercatat menonjol adalah ketika dia menjadi perdana menteri (dilantik pada 14 November 1945 dan berumur selama dua tahun) di sebuah negara yang menganut sistem presidensial dan sejak itu perannya merosot. Dia menjalani tahanan semasa pemerintahan Presiden Soekarno (1962-hingga wafat pada 1966 di Zurich, Swiss). Sjahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Namun, sesungguhnya Sjahrir termasuk tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di bidang diplomasi dan politik. Pada usianya yang ke-25 tahun, dia sudah berhasil memberi warna dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia yang membuatnya harus diasingkan. Pada usia 36 tahun, dia menjadi perdana menteri dan pada usia 40 tahun (1949) dia sudah mulai tersisih dari panggung utama politik Indonesia. Namun, pemikiran dan pengaruhnya tetap besar, khususnya dalam merekrut dan menempatkan kader-kader muda Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada berbagai posisi penting dan strategis.
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sjahrir sudah menjadi salah satu intelektual muda di masa itu karena latar belakang pendidikannya yang cukup baik (sekolah-sekolah Belanda), di samping dia memang sangat cerdas. Pada usia 19 tahun, dia ikut ambil bagian dalam peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang mencetuskan satu tanah air Indonesia, berbangsa satu Indonesia, dan berbahasa satu Indonesia.
Sebelumnya, dia juga ikut bergabung dalam kelompok Pemuda Indonesia di mana Soekarno, yang adalah seniornya, juga ada di situ. Di sinilah dia mulai belajar politik. Dia tidak pernah ikut dalam kelompok-kelompok organisasi kedaerahan, visi dan orientasinya adalah modernitas dan nasionalisme Indonesia. Maka ketika dia membentuk PSI pun, itu sama sekali tidak mencerminkan ikatan-ikatan primordial, seperti agama dan Jawa atau luar Jawa (NU, Masjumi, dll) atau PNI (kaum abangan dan priyayi).
Tak Selesai Sekolah
Sjahrir pernah mengenyam pendidikan hukum di Belanda (Leiden) dan di sana dia aktif di Perhimpunan Indonesia (PI) bersama-sama Mohammad Hatta (tiba di Belanda tahun 1921 untuk belajar ekonomi). Di Belanda, kedua tokoh itu banyak menelurkan pemikiran dan gagasan untuk Indonesia ke depan.
Sjahrir pulang ke Indonesia tahun 1931 untuk mewakili Hatta membentuk partai politik yang kemudian diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) tanpa menyelesaikan pendidikan hukumnya–untuk hal yang satu ini Hatta pernah mengungkapkan penyesalannya bahwa juniornya ini tidak pernah meraih gelar Mr padahal dia lulus doktorandus ekonomi.
Sjahrir menjadi ketua pertama PNI sampai Hatta pulang dari Belanda. Semasa di PNI, Hatta menerbitkan manifesto partai bertajuk Ke Arah Indonesia Merdeka. Karya ini memang ditulis atas nama Hatta. Namun menurut Subadio Sastrosatomo dan Burhanuddin, gagasan manifesto itu berasal dari Sjahrir.
Sjahrir juga mengalami hidup di pembuangan dan penjara.
Tahun 1931, dia bersama-sama Soekarno dan Hatta menjalani hukuman penjara dan pengasingan selama delapan tahun, termasuk mendekam di Penjara Cipinang (10 bulan), dibuang ke Boven Digul (di Papua selama setahun), dan dipindahkan lagi ke Banda Neira. Kemudian, baru pulang ke Jawa tahun 1941, menjelang pecahnya Perang Pasifik dan pendudukan Jepang di Indonesia.
Anti-Jepang
Semasa pendudukan Jepang, Sjahrir aktif mengelola jaringan pergerakan kemerdekaan di berbagai lokasi di Jawa dan rutin menyusun dan menyebarkan berbagai materi propaganda, termasuk info yang diterima dari siaran luar negeri. Dia adalah tokoh yang sangat menentang kerjasama dengan Jepang untuk kemerdekaan Indonesia.
Sjahrir lebih suka Indonesia secara sepihak memproklamasikan kemerdekaan tanpa menunggu Jepang karena dia memang benci dengan Jepang dan fasisme, juga untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia menentang kekuatan Poros pada masa itu.
Penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok (14 Agustus 1945) dilakukan oleh, antara lain orang-orang Sjahrir dalam upaya memaksa kedua pemimpin itu mengubah pandangan mereka dan mau memproklamasikan kemerdekaan. Soekarno-Hatta pada 16 Agustus 1945 malam masih bertemu dengan Laksma Maeda di kediamannya dan keesokannya proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, namun Sjahrir tidak hadir.
Satu Abad
Berkaitan dengan satu abad Sutan Syahrir, Aristides Katoppo mengatakan, jalan kemerdekaan itu banyak, ada yang mau pakai kekerasan bersenjata, ada yang menggunakan diplomasi, dan ada yang mampu, bahkan mensinergikan dua itu walaupun tidak selalu sempurna. “Nah, sekarang kita menghadapi tantangan yang sama bahwa kalau Indonesia mau bangkit lagi, marilah kita menarik, memetik ilham, bukan dari legenda masa lalu,” ujarnya.
Makanya, kata Aristides, 100 tahun ini jangan dijudulkan mengenang pahlawan yang dilupakan. “Saya kira Bung Kecil, Sjahrir, tidak minta dipahlawankan. Tapi pejuang, ada yang sangat berhasil dan dielu-elukan. Ada juga yang kemudian tersisihkan, tapi tetap tidak bisa dikurangi dan dihilangkan makna perjuangannya. Nah, jadi sekali lagi, semua itu bisa memberi suatu hikmah dan jelas Sutan Syahrir juga memberikan warna kepada didirikannya republik ini,” ujarnya. Oleh Kristanto Hartadi (Sinar Harapan Edisi Senin 23 Februari2009)
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
03 | Kabinet Sjahrir Sampai Penyerahan Kedaulatan
Perdana Menteri Sjahrir mulai memimpin kabinetnya pada 14 November 1945. Ada yang menarik di sini, bahwa meski sejak awal Republik Indonesia didesain dengan sistem presidensial, namun kabinet kedua yang dibentuk pascaproklamasi 17 Agustus 1945 memakai sistem parlementer.
Ini semua tak lepas dari situasi pada masa itu, ketika terjadi kevakuman kekuasaan, di mana Jepang sudah menyerah kalah dari sekutu, republik baru terbentuk dan konsolidasi di sana-sini. Situasi chaos, karena di banyak tempat para pemuda melucuti tentara Jepang dan merebut senjata mereka (banyak terjadi pertumpahan darah). Penyerangan dialami oleh orang-orang keturunan Eropa, China, Ambon dan Manado. Pasukan Inggris mulai mendarat di Jawa dan Belanda ikut di belakangnya.
Dalam situasi ini Sjahrir menerbitkan pamflet bertajuk Perjuangan Kita, yang isinya menegaskan asesment mengenai posisi Indonesia di tengah-tengah berbagai kekacauan ini karena para pemuda tidak bisa dikendalikan, juga dia mengecam mereka yang berkolaborasi dengan Jepang.
Pamflet ini beredar hanya beberapa hari setelah Soekarno menyusun kabinetnya, yang oleh Sjahrir dianggap berisikan para kolaborator (kecuali Amir Sjarifuddin/yang baru bebas dari tahanan Kempetai, dan RP Soerachman).
Mendikte Soekarno
Akhirnya, pada bulan Oktober Sjahrir sukses meyakinkan Soekarno dengan konsep dan sejumlah usulannya, yakni membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang kemudian akan menjadi badan penyusun UUD. Sjahrir juga mengusulkan pembentukan partai-partai politik. Kemudian dia meminta Soekarno membubarkan kabinet dan membentuk kabinet baru dipimpin oleh seorang perdana menteri yang dipilih oleh KNIP.
Langkahnya itu dilandasi pemikiran bahwa republik harus demokratis, bebas dari para kolaborator Jepang (untuk mengesankan bahwa Republik Indonesia bukan bentukan Jepang).
Maka pada Oktober 1945 terbentuklah dua partai sosialis (Partai Rakyat Sosialis pimpinan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia pimpinan Amir Sjarifuddin) yang akhirnya bergabung menjadi Partai Sosialis. Kelompok agama juga membentuk Masjumi dan PNI, Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, dll, termasuk Partai Komunis Indonesia.
Dia memilih strategi diplomasi namun banyak ditentang. Apalagi Belanda juga berusaha bercokol kembali di bekas tanah jajahannya itu, dengan membatasi kekuasaan Republik Indonesia hanya di Pulau Jawa.
Pasukan Belanda mulai menduduki kembali Jakarta pada awal 1946, para pemimpin nyawanya terancam, dan akhirnya Soekarno, Hatta dan Sjahrir memindahkan pemerintahan ke Yogyakarta. Namun, dia tetap memilih melanjutkan negosiasi dan diplomasi. Pada saat inilah perlahan peran dwitunggal kembali menguat dalam pentas politik, dan Sjahrir digencet oleh kaum nasionalis.
Pada Juni 1946, Sjahrir diculik oleh kelompok Tan Malaka, ketika mengadakan perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta. Semasa diculik inilah Soekarno memimpin pemerintahan. Namun, bulan Oktober Sjahrir dibebaskan dan dia membentuk pemerintahan ketiga, yang disusul dengan Perundingan Linggarjati yang menghasilkan keputusan Republik Indonesia hanya terdiri Jawa dan Sumatera, sementara wilayah di luar itu berada di bawah kontrol Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat.
Oleh KNIP Perjanjian Linggarjati ditolak. Akhirnya tiga bulan kemudian Sjahrir mundur dari PM, dia digantikan oleh wakilnya Amir Sjarifuddin yang lebih berhaluan komunis. Belanda kemudian melancarkan agresi pertama tahun 1947.
Pimpin Delri
Sejak itu Sjahrir tidak lagi menduduki jabatan resmi di pemerintahan. Namun, dia mewakili Republik Indonesia dalam berbagai forum internasional seperti Inter-Asian Conference (New Delhi, Maret 1947) dan bertemu dengan Nehru yang kemudian menjadi sahabatnya.
Kemudian menjadi wakil delegasi RI pada sidang di PBB (tahun 1948 di Lake Success). Pada sidang ini dia berhasil mengangkat citra RI, dan uniknya perjalanan di AS itu dibiayai dari hasil penjualan candu dan kini melalui perwakilan Indonesia di Singapura.
Ketika Belanda melancarkan aksi polisionil kedua pada Desember 1948 dengan menduduki Yogyakarta, Sjahrir termasuk yang ditahan bersama Soekarno dan Hatta di Parapat, meski dia bukanlah pejabat negara.
Atas tekanan Amerika Serikat, akhirnya Belanda bersedia berunding dengan RI, dan kali ini bukan Sjahrir yang memimpin karena dia menolak tugas ini.
Ujung ini semua adalah pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, dan upacara pengalihan kekuasaan itu berlangsung di Jakarta dan Denhaag. Namun, seperti juga ketika Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sjahrir tidak hadir pada peristiwa penting ini. (Sinar Harapan Edisi Senin 23 Februari2009)
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
04 | Kata Mereka tentang Sutan Syahrir
Des Alwi, Anak Angkat Sutan Syahrir. Saya melihat Bung Sjahrir sebagai seorang yang antimiliter dan humanis. Sewaktu menjadi anak angkat, Beliau tidak pernah menempeleng, tidak pernah memaki, atau memarahi saya. Paling Beliau bilang, saya “monyet kecil”.
Sjahrir mencoba mengubah hukumannya. Kalau ada rapat saya harus selalu ada di situ untuk mendengar. Kalau dia mau mengusir saya, dia meminta jendela saya bersihkah dulu, tapi lama-lama saya dibiarkan. Kalau mereka rapat diam-diam (underground), saya selalu disuruh menjaga pintu supaya tamu-tamu yang tidak diundang tidak datang.
Yang paling sedih dari semua ini bahwa Beliau pasrah saja, tidak pernah protes. Sementara itu, sampai sekarang tidak ada orang yang menyebut kekejaman Bung Karno atau orang-orang yang menyuruh menangkap 1.200 orang yang seperti Sjahrir.
Fajroel Rahman, Ketua Pedoman Indonesia
Buku karangan Sutan Syahrir Renungan Indonesia dan Perjuangan Kita, memengaruhi kami untuk mengatakan bahwa rupanya pemikiran tentang demokrasi itu sudah ada di dalam pikiran founding fathers, salah satunya adalah Bung Sjahrir.
Jadi perlawanan terhadap Soeharto, perlawanan terhadap rezim militer Orde Baru sebagian besar pikirannya kita ambil sebenarnya dari Bung Sjahrir, karena perjuangan Beliau terhadap demokrasi dan perlawanan Beliau yang antifasisme dan antimiliterisme.
Hadijoyo Nitimihardjo, Penerus Partai Murba
Waktu balik itu PNI Pendidikan, bukan Pak Hatta dan Om Sjahrir yang mendirikan. Mereka sudah berdiri sendiri. Sukemi yang memimpin, katanya. Setelah itu baru diserahkan ke Bung Sjahrir dan baru Bung Hatta. Kalau ayah saya (Maruto Nitimihardjo) bilang, Bung Hatta dan Bung Sjahrir waktu pulang (dari Holland), garisnya keras sekali, jauh lebih keras dari Bung Karno, lebih keras dari Tan Malaka-lah.
Menurut ayah saya, penyebab Sutan Syahrir lebih moderat, ada dua. Pada saat sudah di Banda, di situ ada dokter Cipto. Dokter itu terkenal sebagai Sosialis Demokrat. Mungkin terjadi banyak diskusi di sana.
Kalau kembali setelah merdeka, Bung Hatta dan Bung Sjahrir itu yang antiradikalisme. Antiradikalisme itu pencerahan.
Rahman Tolleng, Pejuang Demokrasi dan Hak Sipil
Sjahrir tidak menentang radikalisme, bukan karena menyukai diplomasi, bukan. Tapi dia seorang yang rasional, seorang yang rasionalistis.
Yang penting diketahui, meskipun sudah ada kabinet pada waktu itu, sebenarnya sebegitu jauh tidak tampak kiprah kabinet itu. Negara tidak tampak sama sekali pada waktu itu. Dan itu dituliskan oleh Sjahrir dalam Perjuangan Kita. Yang ada adalah, bisa dikatakan kaos, anarkistis, anti-China, anti-orang Ambon, anti-Manado, dan sebagainya, dan itu diingatkan oleh Sjahrir dalam Perjuangan Kita.
Barulah kemudian melalui kabinet Sjahrir, pertama ditunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia ada dengan pemerintahan yang mempunyai legitimasi, dan antara lain kegiatan-kegiatan yang dia lakukan dalam politik diplomasi tentang tahanan Jepang, dan itu sangat besar artinya bahwa Sjahrir, pemerintah Sjahrir mengambil alih pekerjaan itu.
Tentang pengiriman beras ke India juga menunjukkan bahwa Sjahrir memang berkuasa di Indonesia. Itu saya kira yang penting kita sadari.
Roesdhy Hoesein, Sejarawan
Kadang-kadang, kita memerhatikan hal-hal pokok yang terjadi pada saat Sjahrir tidak cocok dengan Soekarno. Tapi faktanya pada tahun 1945, saya rasa banyak tulisan dari penulis sejarah yang terkenal itu, bahwa Soekarno membutuhkan Sjahrir. Sjahrir juga membutuhkan Soekarno. Saya rasa ada baiknya kita memahami sejarah itu dalam rangka pengenalan bentuknya, kadang kita terjerumus untuk melihat peristiwa semata.
Kalau peristiwa itu kita samakan dengan kejadian alam, banyak sejarawan bilang, peristiwa itu bagaikan kembang api, dia menyala. Terus dia hilang. Tapi ada yang tidak berubah, struktur. Struktur sejarah itu justru bertahan lama dan bisa menjelaskan segala sesuatu, bahkan hal-hal pokok peristiwa-peritiwa yang nggak cocok bisa dikoreksi pada peristiwa-peristiwa yang terkait pada masa lalu.
Ada lima soal yang ditulis, dia seorang internasionalis, nasionalis, sosialis, modern, dan humanis. Saya rasa hal itu menjadi pegangan kita untuk mencari bahan baru, untuk mendapatkan bahan yang lebih kredibel dalam pengutaraan peristiwa sejarah yang mau kita angkat.
(romauli) (Sinar Harapan Edisi Senin 23 Februari2009)
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
05 | Upik Sjahrir: Mengapa Ayah Tak Pernah Diadili?
Masih terlihat jelas di sebuah film dokumenter masa silam, tepat saat Bung Sjahrir dimakamkan. Siti Rabyah Parvati atau Upik Sjahrir, menyaksikan jenazah ayahnya. Perempuan kelahiran 16 Juli 1960 ini masih berusia enam tahun saat ditinggal ayahnya, Sutan Syahrir, untuk selamanya. Sjahrir, Perdana Menteri I Republik Indonesia (RI), wafat pada 9 April 1966 di Zurich, Swiss.
“Kalau saya sebagai wakil keluarga, saya dalam film itu masih kecil sekali. Bahkan, saya hampir tidak mengenal ayah saya, kecuali kebersamaan kami waktu di Zurich,” ujar Upik seusai menonton penayangan film itu di Ruang Pertemuan Gedung Sinar Harapan, Kamis (19/2).
Upik mengatakan tidak punya kenangan banyak tentang ayahnya. Yang diketahuinya hanyalah bahwa saat bersama sang ayah, suasana selalu menyenangkan.
Setiap kali berkumpul bersama anak-anaknya, menurut Upik, Sutan Syahrir selalu terlihat bahagia. Beliau terkesan menikmati kehadiran mereka meski sedang di dalam penjara. Satu hal yang baru disadari Upik kini, dirinya tidak begitu mengerti bahwa Sutan Syahrir pada saat di penjara itu sebenarnya sedang menderita dan sangat kecewa karena ditahan oleh teman-temannya sendiri—yang dulu bersama-sama dengannya mendirikan Republik ini.
Selama Sutan Syahrir ditahan, Upik mengaku keluarga mereka mengalami banyak kesulitan, dan kehidupan mereka susah. Ibunya, Poppy Sjahrir, selalu repot setiap kali akan berkunjung ke penjara karena harus mengurus izin agar bisa menjenguk suaminya. Apalagi, mereka harus naik kereta dari Solo ke Madiun.
Sejak umur dua tahun, Upik sudah merasakan ketidakhadiran ayahnya di tengah-tengah keluarga. Pada usianya saat itu, Sutan Syahrir sudah ditahan di Madiun pada tahun 1963.
Upik bahkan masih menyimpan catatan harian Sutan Syahrir yang diketik di rumah tahanan politik di Madiun pada tanggal 3 Juni 1963. Dalam catatan yang berjudul manusia “edel” (berbudi luhur), Sjahrir menulis, “Kenangan dan pikiranku sebentar-sebentar terus ke rumah, ke anak-anakku, anak-anakku yang kuingin akan lebih bahagia dan lebih baik dari diriku di kemudian hari…”
Upik selalu mengingat, mereka bersama sebagai satu keluarga justru ketika Sjahrir dirawat di Swiss pada 1965. Namun, momen selama satu tahun itu terjadi ketika Sutan Syahrir sudah tidak bisa bicara. Setahun kemudian, Sutan Syahrir meninggal dalam status tahanan politik.
“Ayah ke Swiss dalam status tahanan politik. Tapi ketika kembali Beliau menjadi Pahlawan Nasional. Dalam masa tahanan politik, Ayah selalu menanyakan mengapa dirinya tidak pernah diadili untuk mengetahui kesalahannya. Pertanyaan serupa juga dititipkan Ayah kepada Ibu,” ujar Upik yang juga ibu dari tiga anak ini.
Informasi Tak Memadai
Dalam momentum 100 tahun Sjahrir ini, kata Upik, hendaknya peran dan posisi Sjahrir dalam perjuangan Indonesia mendapat tempat yang proporsional. Ini karena, ada banyak kalangan yang tidak mengenal Sjahrir, karena memang tidak ada informasi yang memadai mengenai Sjahrir dalam sejarah Indonesia. Padahal, Sjahrir merupakan perdana menteri pertama Indonesia dan seorang diplomat ulung pada masanya.
“Banyak anak SD, SMP, dan SMA yang tidak mengenal Sutan Syahrir. Bahkan, ada yang mengira Beliau adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Ini karena informasi yang sangat sedikit mengenai Sjahrir,” tutur istri Erwin Saksono ini.
Menurutnya, sudah terlalu lama Sutan Syahrir, Perdana Menteri I RI yang pernah berjuang bersama Bung Karno dan Bung Hatta, terlupakan atau dilupakan. “Entah apalah istilahnya,” kata Upik. Yang pasti tidak pernah ada ulasan dan analisis, informasi yang lebih mendalam mengenai Sutan Syahrir. Tidak pernah ada dalam buku-buku sejarah, kalaupun ada itu pun sangat sedikit.
“Dan menurut saya, alangkah sayangnya kalau pemikiran-pemikiran itu hanya dikenal dan diketahui oleh sedikit kalangan saja,” ujar ibu dari Shahrina Tiara Wardhani (20), Harwindra Syahriar (15), dan Shahneza Tiara Anindita (14) ini.(romauli/daniel tagukawi) (Sinar Harapan Edisi Senin 23 Februari2009)
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
06 | Manusia yang “Edel”
Kenangan dan pikiranku sebentar-sebentar terus ke rumah, ke anak-anakku. Anak-anakku yang kuingin akan lebih bahagia dan lebih baik dari diriku di kemudian hari. Mereka kuharapkan akan berkembang menjadi manusia yang “edel”, yaitu jujur, lurus, sayang kepada sesama manusia, dan tidak mengenal gelar dan bintang-bintangan.
Tentu saja kuharapkan bahwa otak mereka pun tajam, lebih tajam dan terlatih akhirnya daripada aku sendiri. Akan tetapi, apa yang kusebutkan lebih dulu, disimpulkan dengan kata “edel”, itu yang paling penting.
Aku akan jaga benar bahwa selalu akan kucoba memengaruhi pertumbuhan itu ke jurusan seperti yang kusebutkan tadi. Mereka mesti tumbuh menurut haluan kodrat pertumbuhan mereka sendiri, menurut bakat-bakat dan pembawaan mereka sendiri. Yang perlu juga bagi kami sebagai orang tua ialah lebih menyesuaikan diri pada anak-anak sebagai kehidupan sendiri, mengadakan suasana hidup yang dapat memudahkan perkembangan dan pertumbuhan apa yang baik dan indah pada bakat dan pembawaannya itu.
Kukira itu tidak sulit. Hanya perlu selalu kuat dan cinta, serta kasih, bersedia selalu menabahkan hati dan membantu mereka dalam segala persoalan dan kesulitan dalam kehidupan mereka.
Dari catatan harian Sjahrir di rumah tahanan politik di Madiun, 3 Juni 1963. (Sinar Harapan Edisi Senin 23 Februari2009)