Tokoh Pembawa Damai dan Toleransi
AS Panji Gumilang04 | Keluarga Bersahaja

Dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang pendidik, diakuinya bahwa keluarganya sungguh sangat membantu. Sebagaimana lazimnya, seseorang yang memangku pemimpin pesantren biasanya memiliki istri lebih dari satu, namun pria setia ini tidak terpikirkan untuk menambah atau malah mengganti istri yang sangat disayangi itu. “Istri saya dari sejak pertama sampai hari ini, itu-itu juga,” begitu katanya agak bercanda.
Khotimah Rahayu, juga sering dipanggil dengan Faridah Al Widad, istri yang memberinya tujuh orang anak itu, juga seorang guru. Istrinya pada awalnya adalah seorang guru PNS. Lain dengan dirinya, ia tidak mau menjadi pegawai negeri.
Dengan sangat senang dia pada pagi harinya mengajar, sore dagang, bertani, memborong tanaman entah padi dan sebagainya atau memborong kayu-kayuan yang ditanam orang, diambil terus dibelah. Atau dagang hewan seperti kerbau dan lembu. Itulah dulu pekerjaannya sehari-hari.
Khotimah yang berasal dari Banten, Kampung Menes, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, keresidenan Banten (sekarang menjadi provinsi Banten), menjadi guru bukanlah secara kebetulan atau takdirnya yang sudah begitu, namun sebagai anak dari seorang guru (orang tua dari Ibu Khotimah Rahayu), dalam dirinya sudah tumbuh satu kecintaan pada profesi pendidik.
Kehidupan bersahaja selalu ditunjukkan keluarga guru ini. Meski sudah begitu banyak dan begitu besar gedung yang telah dibangun di lokasi Al-Zaytun, hingga saat ini, keluarga ini selama 24 jam masih tinggal di salah satu ruangan (kamar) asrama bergabung dengan para santri.
Mencari ilmu, bagi keluarga ini tidak memandang bangsa dan negara. Hal tersebut terlihat dari usahanya memberangkatkan anak-anaknya ke berbagai negara. Dua anaknya sedang belajar di New Zealand, satu di London, satu S2 di UNJ, satu di Australia. Sedangkan yang terakhir masih sekolah di Al-Zaytun.
Dalam hal mendidik, ayah dari Imam Prawoto, Ahmad Prawiro Utomo (sering dipanggil dengan Ahmad Zaim), Ikhwan Triatmo (sering dipanggil dengan Abdul Hamid), Khoirun Nisa (perempuan), Muhammad Hakim Prasojo, Sofiah al Widad (perempuan), Karim Abdul Jabbar (alm), ini selalu berusaha menunjukkan kasih sayang seorang ayah. Dia tidak mau berlaku otoriter apalagi menghukum dengan cara mendera fisik. Maka di Al-Zaytun pun dia memberlakukan santrinya dengan bebas, sebebas-bebasnya, namun berdisiplin setinggi-tingginya.
Disiplin yang dimaksud Syaykh, yang sangat memperhatikan kesihatan antara lain seperti aturan tidak bisa merokok dan anti narkoba. Sejak awal di sini telah diambil langkah-langkah pencegahan masuknya narkoba dengan melakukan tes, baik ketika masuk maupun saat keluar pesantren.
Demikian juga halnya dengan para karyawan. Syarat menjadi karyawan adalah apabila sanggup tidak merokok. “Dulu, kami di sekolah itu bebas merokok dan akibatnya kita rasakan sekarang. Jika dulu dari sekolah tidak merokok, mungkin sihat badan ini. Untung cepat kita sadari bahwa merokok itu cuma menyusahkan jantung dan paru-paru. Pengalaman itu kita tularkan ke anak-anak kita. Ternyata dunia tanpa rokok itu nikmat. Paling tidak bebas bernafas,” katanya.
Dalam perjalanannya yang masih panjang membangun Al-Zaytun, Syaykh sangat mensyukuri rahmat Tuhan yang diterimanya. Ia makan dengan menu yang teratur dan sihat serta rutin melakukan olahraga murah, naik sepeda sekeliling kampus Al-Zaytun. Pola makan dan gaya hidupnya ini bisa menurunkan berat badannya dalam jumlah yang sangat signifikan dari 104 kg menjadi 85 kg. berindo/Ch. Robin Simanullang