Tragis, Ujung Capres Golkar
Aburizal Bakrie
[ENSIKLOPEDI] Aburizal Bakrie (Ical, ARB) mengakhiri ‘perjuangan’ pencapresannya dengan amat tragis. Peluang dan kehormatan yang diberikan Rapimnas Golkar kepadanya sebagai Capres, kemudian diperluas juga sebagai Cawapres dan diberi mandat menentukan arah koalisi, justru menjadi ujian integritas dan kepemimpinan politiknya yang berujung tragis.
Melihat posisi Golkar yang menduduki posisi kedua tertinggi (memeroleh 18.432.312 suara atau 14.75%) dalam Pileg 9 April 2014, dan perjuangan Ical dengan safari dan iklan-iklan pencapresannya dalam empat tahun terakhir, semula saya tidak menduga dia (Golkar) akan terjerembab (kalah sebelum bertarung), bahkan berujung bak mencoreng arang hitam di dahinya selaku Capres dan Ketua Umum Golkar dengan iming-iming tawaran menjadi Menteri Utama dari Prabowo, Capres Gerindra yang perolehan suara Pileg-nya (11.81%) berada di bawah Golkar. (Semula, saya memprediksi Prabowo yang akan kesulitan membangun koalisi pencapresannya, tetapi tragedi kegagalan Ical (Golkar) dan Demokrat telah membawa hikmah baginya).
Ketika menyaksikan TV One yang menayangkan langsung pendaftaran pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Hatta Rajasa di KPU, hati saya miris melihat wajah Ical yang kuyu dan didorong-dorong untuk tampil ke depan. Tangannya dikepal Prabowo, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Prabowo dan Hatta, sumringah. Sebaliknya, Ical tampak memendam kepedihan, kendati dia selalu berusaha tersenyum. Sedih rasanya!
Kali ini, saya tidak melihat integritas Ical sebagai seorang politisi hebat (ketua umum partai besar dan modern) yang punya prinsip dan idealisme besar. Dia seperti baru belajar merangkak politik. Bukankah hakikat berpolitik itu adalah idealisme? Transaksi kekuasaan berada di bawah kendali idealisme, integritas diri dan partai. Eh, rupanya kepiawaian sebagai pengusaha tidak bisa menjadi referensi dalam dunia politik. Sebab bagi kebanyakan orang, transaksi bisnis seringkali amat jauh dari kendali idealisme.
Kini, nasi sudah jadi bubur. Seperti sudah dapat diduga, kekisruhan dalam tubuh Golkar pun akan terjadi. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Luhut Panjaitan mengundurkan diri. Fahmi Idris bersuara lantang. Puluhan senior Golkar berkumpul menyusul para kader muda yang mempertanyakan langkah politik Ical. Kubu Ical mengancam memecat. Kekisruhan ini mungkin akan diselesaikan pada Munas Golkar awal Oktober 2014 yang berujung pada penggantian Ical. Akhir perjalanan politik yang tragis!
Pribadi Ical tampak lebih menonjol sebagai pengusaha yang berorientasi profit, terlepas apakah di situ ada idealisme atau tidak. Berbeda dengan dunia politik: orientasi kekuasaan (profit) mestinya selalu dalam kendali idealisme, integritas diri dan partai. Apalagi selaku ketua umum partai, dia semestinya tidak lagi hanya mementingkan ‘profit’ untuk diri sendiri, tetapi harus mengedepankan kepentingan partai dan bangsa.
Hal inilah yang membuat saya agak kaget. Sebab pada awal pencapresannya oleh Rapimnas Golkar, saya sempat sangat yakin bahwa ARB mengintensifkan diri dalam dunia politik sebagai pengabdian tanpa pamrih kepada bangsa dan negaranya melalui Partai Golkar. Ketika itu, saya menaruh keyakinan bahwa Ical sudah selesai dengan dirinya sendiri. Dia kaya, pernah menjabat Menko dan lain-lain. Dia menjadi Capres bukan lagi karena memikirkan diri sendiri.
Berikut ini kutipan pernyataannya yang membuat keyakinan saya sempat muncul tentang hal ini: “Banyak orang menilai bahwa saya maju sebagai calon presiden Partai Golkar merupakan ambisi pribadi saya. Ini jelas sebuah penilaian yang salah. Karena sejak kecil saya tidak pernah bercita-cita menjadi presiden. Perjalanan hidup dan pengabdian kepada bangsalah yang mengantarkan saya kepada keputusan tersebut.” (Alasan Saya Maju Jadi Calon Presiden; http://www.arb2014.com).
Tapi sayang, dia mengakhirinya dengan tragis. Langkah politiknya menerima iming-iming Menteri Utama dari Prabowo, tidak hanya membawa jalan politik pribadinya berujung tragis, melainkan juga menjerumuskan Golkar ke jalan politik tragis dalam Pilpres 2014.
Saya meresapi pandangan Direktur Eksekutif Polcomm Institute Heri Budianto saat dihubungi Kompas.com, Minggu (19/5/2014), bahwa Nasib Partai Golkar yang akhirnya memutuskan merapat ke poros Partai Gerindra dan mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai calon presiden dan wakil presiden dinilai sangat tragis.
Mengapa Heri menyebut langkah itu tragis? Karena: “Di sisi lain, Kalla yang juga merupakan politisi senior Partai Golkar justru dipilih oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk mendampingi Joko Widodo.” Heri menilai, jika Golkar memilih Kalla sebagai cawapresnya, maka koalisi dengan PDI-P akan lebih terbuka. Dan Golkar pun tidak kehilangan muka, karena punya cawapres, kadernya sendiri.
Komunikasi politik yang dilakukannnya dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pun kandas. PDIP dan Jokowi yang sejak awal menyatakan akan membangun kerjasama politik tanpa syarat meminta-minta jabatan, tampaknya tidak bisa dimaknai oleh Ical. Padahal, sejak beberapa pekan terakhir, PDIP dan Jokowi telah ‘sengaja’ mengulur waktu dan memberi sinyal akan memilih Jusuf Kalla (JK) menjadi cawapres.
Entah kenapa Ical tidak berkenan menerima sinyal dan memahami suasana kebatinan tersebut. Dalam kalimat lain: Sekiranya Ical legowo (dari kepentingan dirinya, pencapresannya), tragedi ini akan terhindari. Sebab Golkar akan memiliki Cawapres dari kadernya sendiri. Bahkan Ical pun akan termateraikan sebagai seorang politisi negarawan.
Kini, nasi sudah jadi bubur. Seperti sudah dapat diduga, kekisruhan dalam tubuh Golkar pun akan terjadi. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Luhut Panjaitan mengundurkan diri. Fahmi Idris bersuara lantang. Puluhan senior Golkar berkumpul menyusul para kader muda yang mempertanyakan langkah politik Ical. Kubu Ical mengancam memecat. Kekisruhan ini mungkin akan diselesaikan pada Munas Golkar awal Oktober 2014 yang berujung pada penggantian Ical. Akhir perjalanan politik yang tragis! Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com