
[DIREKTORI] Arah dan buah reformasi harus bermuara pada peningkatan partisipasi dan kesejahteraan rakyat. Jadikan Jakarta ‘kampung halaman’ metropolis bagi insan dunia.
Potensi bangsa ini besar. Tidak hanya potensi populasinya melainkan juga keanekaan dan kecerdasannya. Namun, pemberdayaan sumber daya ini masih belum optimal. Selain disebabkan anggaran pendidikan terlalu kecil, juga muara kebijakan belum terfokus pada pemberdayaan rakyat.
Maka dalam pengamatan Dr Haji Abdul Radjak, DSOG, diperlukan suatu paradigma, suasana dan harapan baru pemberdayaan rakyat sebagai arah dan buah nyata reformasi. Semuanya harus bermuara pada peningkatan partisipasi dan kesejahteraan rakyat. Oleh rakyat dari rakyat untuk rakyat dalam suasana baru dan harapan baru sesuai dengan azas demokrasi.
Abdul Radjak, seorang dokter pendiri Yayasan Rumah Sakit Mohammad Husni Thamrin yang juga mendirikan beberapa akademi STIE dan STMIK, tampak selalu merasa terdorong ingin berperan lebih besar dalam perjuangan bangsa ini menjemput masa depan yang lebih baik. Dia telah memulai obsesi ini sejak masa muda di semua lingkungannya, dari lingkungan terkecil hingga lebih besar.
Apalagi dalam kondisi bangsa saat ini. Kendati amat pedih, harus diakui bangsa yang berpotensi besar ini, kini sedang menderita dan sakit. Stabilitas ekonomi dan keamanan terhempas. Penegakan hukum dan keadilan belum kunjung ada kepastian. Di sana-sini terjadi penjarahan, kerusuhan, pertikaian dan tawuran antar warga serta tindakan massa main hakim sendiri.
Abdul Radjak menggambarkan Peristiwa 12-13 Mei di Jakarta, sebagai salah satu dari rangkaian kerusuhan tragis yang telah mencoreng arang di dahi bangsa ini. Bangsa yang tadinya dikenal ramah, sopan dan santun, secara mengejutkan menampakkan wajah sakit dan menakutkan. Akibatnya di mata sebagian bangsa lain, para perusuh itu ibarat orang rimba yang hidup di alam modern dan global. Hal ini amat menggelisahkan semua orang yang peduli pada eksistensi dan kesejahteraan bangsa ini. Kepedulian ini pula yang mendorong Abdul Radjak selalu mengajak teman kerja dan teman bicaranya untuk menyamakan visi dan berbuat sesuatu yang bermuara pada pemberdayaan rakyat.
Bukankah bangsa ini adalah bangsa beradab dan berdaulat. Bangsa heterogen yang telah sepakat bersatu membentuk suatu negara hukum yang demokratis berasas Pancasila. Suatu bangsa yang bhinneka tunggal ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sesungguhnya, kata putera bangsa berdarah Betawi ini, perbedaan suku, ras, agama dan golongan adalah pelangi kekayaan bangsa ini. Kebhinnekaan ini sepatutnya menjadi suatu modal dasar dalam menapaki perjuangan mencapai kesejahteraan bersama.
Kehidupan Jakarta yang amat heterogen, tampaknya telah menyatu dalam aliran darah anak bangsa kelahiran Jakarta, 13 September 1943 ini. Bagi dia, Jakarta adalah kampung asli Betawi yang terbuka sebagai ‘kampung halaman’ bagi para penghuninya. Tidak saja dari suku, ras, agama dan golongan yang ada di Indonesia, bahkan dari berbagai bangsa dan negara. Suasana ini, menurut Abdul Radjak, terutama di Jakarta, harus diciptakan. “Jadikan Jakarta ‘kampung halaman’ metropolis bagi semua orang sebagai wajah Indonesia terdepan,” seru Abdul Radjak.
Tampaknya pergaulan nasional dan internasional, suami Dr Sudinaryati MARS, ini yang sedemikian luas dan luwes telah menempanya berwawasan global dalam jatidiri keindonesiaan yang kuat. Menurutnya, dalam banyak hal termasuk kecerdasan, orang Indonesia tidak kalah dari orang-orang asing. Salah satu karya nyatanya membuktikan keyakinan ini. Dia mendirikan beberapa akademi dan sekolah tinggi dengan kualifikasi mampu bersaing secara global. Dalam kaitan ini, dia punya obsesi agar kiranya Indonesia tidak hanya mampu mengirim tenaga kerja pembantu rumah tangga ke luar negeri. Melainkan juga tenaga-tenaga menengah terampil, seperti perawat, teknisi, pilot dan sebagainya.
Kepedulian kepada orang lain, anak kesepuluh dari sebelas bersaudara dari pasangan Haji Abdul Wahid dan Hajjah Asemah Aseni, ini tidak terlepas dari asuhan orang tua dan ketaatan pada ajaran agama Islam yang dianutnya. Dia seorang pribadi yang religius, nasionalis dan berwawasan global.
Dia bukanlah berasal dari keluarga kaya raya. Tapi proses kehidupan dan proses pengasuhan dalam keluarga telah menempanya menjadi manusia yang selalu berobsesi melakukan yang terbaik untuk semua orang, bangsa dan negaranya.
Ayahnya seorang pekerja keras. Seorang mandor derek di Pelabuhan Tanjung Priok. Guna menunjang ekonomi keluarga, ibunya juga berdagang makanan secara kecil-kecilan.
Namun demikian, Abdul Radjak selalu menekuni sekolah. Dari SD, SMP dan lulus SMA tahun 1962. Kemudian melanjut ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Keinginan untuk menjadi seorang penerbang pesawat jet tempur tidak kesampaian, karena tidak disetujui oleh orang tuanya. Sebagai seorang yang hidup di lingkungan Islam, ibunya beranggapan menjadi seorang penerbang jet tempur hanya untuk membunuh manusia. Ibunya lebih mendorong memilih sebagai seorang dokter yang mempunyai pekerjaan menolong mereka yang menderita.
Semenjak di SMA sampai kuliah di FK-UI, karena keuangan yang jauh dari kecukupan, Radjak muda berjuang keras untuk memenuhi biaya sekolah dan kuliahnya secara mandiri. Jadi loper koran dan bisnis ke sana ke mari. Juga aktif main band. Dia kuat dengan tekadnya sendiri dan dorongan moral dari kedua orang tua, terutama ibu yang sangat dihormatinya.
Semua itu dilakukan untuk dapat menyelesaikan kuliahnya. Namun, kuliahnya sempat terpaksa ditangguhkan dulu selama satu tahun karena mendapat tugas belajar di Amerika Serikat dalam rangka tukar menukar pelajar antara pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia, American Field Service (AFS).
Sifat dan jiwa kepemimpinan sudah memancar pada dirinya sejak masa muda. Dia aktif pada organisasi kemahasiswaan, terutama kegiatannya dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Pernah dalam suatu peristiwa dia dilukai oleh salah seorang rekannya yang mempunyai pandangan politik yang berbeda.
Pada tahun 1969 dia lulus dan membuka praktek sebagai dokter umum. Pendidikannya di bidang kedokteran dilanjutkan dengan mengambil spesialisasi kebidanan dan kandungan (Obstetri Ginikologie) lulus tahun 1973.
Pada usia 27 tahun dia melepaskan masa lajangnya. Dia mempersunting adik mahasiswanya di FK-UI, seorang mojang Parahiangan menjadi teman hidupnya. Mereka dikaruniai 3 putra dan 1 putri yaitu Drg. Abdul Firman (1971), Drg. Rini Adriani (1972), Abdul Barry SE (1975) dan sibungsu Abdul Chairie (1981) masih kuliah di kedokteran.
Sebagai pejabat di lingkungan Departemen Kesehatan pernah menjabat sebagai Kasubdit Gawat Darurat dan Evakuasi Dirjen Yanmedik. Dia sering mewakili Indonesia dalam kegiatan internasional kesehatan. Pernah menjadi konsultan di Markas Besar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Direktur Umum Rumah Sakit Bekasi pada tahun 1976.
Kiprahnya sebagai seorang yang mempunyai cita-cita tinggi di bidang industri kesehatan, telah berhasil diwujudkannya dengan mendirikan satu rumah sakit bertaraf International, RS MH Thamrin. Para sahabat dan kerabat dekatnya mengatakan dia tidak berambisi memperkaya diri dari rumah sakit itu. Kata mereka, “Kalau hanya untuk memperkaya diri dengan praktek sebagai dokter ahli kebidanan dan kandungan saja, beliau sudah kaya.”
Itulah sosok Dr Abdul Radjak yang berpangkal pada ajaran agama yang kuat. Orang yang banyak beramal saleh untuk membantu kehidupan sesama umat manusia. Prinsip itu terbukti dalam segala kegiatannya, baik di lingkungan pelayanan kesehatan maupun pendidikan kesehatan. Kini, sekurang-kurangnya lembaga-lembaga yang didirikannya telah menyerap ratusan bahkan mungkin ribuan tenaga kerja. e-ti