
[DIREKTORI] Seniman teater sekaligus aktivis HAM ini terkenal dengan pementasan monolog Marsinah Menggugat yang pernah dicekal di zaman Orde Baru. Perempuan yang pernah mendekam di penjara karena menyerukan perubahan ini siap melakukan apapun untuk keadilan, kemanusiaan dan kebenaran.
Vokal, kritis, dan berani, adalah kesan yang pertama kali tertangkap pada sosok perempuan kelahiran Tarutung, 16 Juli 1949 ini. Berkutat di organisasi sosial kemasyarakat dipilihnya demi membela nasib mereka yang selama ini terpinggirkan. Intimidasi sampai kurungan jeruji besi pernah dijalaninya, namun ia terus maju memperjuangkan apa yang diyakininya.
Belakangan, putri pasangan Saladin Sarumpaet dan Yulia Hutabarat ini lebih dikenal sebagai seorang aktivis. Namun jauh sebelum itu, ia terlebih dahulu terjun ke dunia teater. Adik kandung aktris gaek Mutiara Sani ini pernah berkuliah di Fakultas Teknik Arsitektur serta Fakultas Hukum UKI. Namun, belum sempat menamatkan studi di kedua bidang tadi, Ratna memutuskan untuk memilih teater sebagai pilihan karirnya.
Pada 1969, anak kelima dari sembilan bersaudara ini belajar berteater selama 10 bulan di Bengkel Teater Rendra. Setelah itu, ia memutuskan untuk belajar secara otodidak kemudian mendirikan kelompok Teater Satu Merah Panggung di tahun 1974. Sebagai seniman teater, Ratna tak hanya piawai berakting di atas panggung, namun juga mampu menulis naskah drama yang sebagian besar temanya seputar nasib orang-orang pinggiran.
Naskah yang pertama kali ditulisnya berjudul Rubayat Umar Khayam yang dibawakan bersama sanggar teater miliknya. Naskah-naskah tersebut kemudian dipentaskan keliling kota, provinsi, hingga mancanegara. Pada 1997, Ratna menghadiri 4th International Woman Playwright Center di Galway, Irlandia. Pada tahun yang sama, ibu empat anak ini melakukan presentasi tentang naskah-naskah drama yang ia tulis di Jerman dan Inggris. Dari panggung teater, mantan istri mendiang Achmad Fahmy Alhady ini kemudian merambah dunia televisi dan film sebagai penulis skenario dan sutradara. Dalam kapasitasnya sebagai editor film, Ratna bahkan pernah bekerjasama dengan MGM, Los Angeles, Amerika Serikat.
Sejak pertengahan tahun 80-an, Ratna Sarumpaet kerap mendapat undangan untuk berbicara dalam berbagai kegiatan seni budaya di luar negeri. Antara lain pada kongres International Woman Playwright II di Adelaide, Australia tahun 1994. Selain menjadi pembicara di berbagai forum internasional, Ratna juga aktif di berbagai organisasi sosial untuk membela kepentingan rakyat yang tertindas. Ia memberikan seluruh hati dan pikirannya pada kaum minoritas. Semua itu bukan tanpa hambatan, terlebih dari pihak-pihak yang merasa gerah dengan apa yang selama ini dilakukan Ratna.
Pada kampanye Pemilu 1997, ia bersama kelompok teaternya bergabung dengan kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dikurung ketat aparat kepolisian, di sepanjang jalan Warung Buncit, Ratna dan kawan-kawan mengusung sebuah keranda bertuliskan DEMOKRASI sambil mengumandangkan kalimat tahlil, ‘La Illah haillallah. Karena ulahnya itu, Ratna dan kawan-kawannya ditangkap dan diinterogasi selama 24 jam.
Ia juga menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas kasus terbunuhnya Marsinah yang terjadi di tahun 1993. Sayangnya, September 1997, Kepala Kepolisian RI menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan dalih DNA korban terkontaminasi. Seketika itu, Ratna sadar bahwa negara sedang berusaha membungkam rakyat Indonesia mempersoalkan nasib buruh kecil dari Sidoarjo itu.
Dalam waktu sangat singkat, ia melahirkan karya monolog Marsinah Menggugat dan mengusungnya dalam sebuah tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatera. Lantaran dianggap sebagai karya provokatif, Ratna dan timnya terus mendapat tekanan dari pihak aparat di setiap kota yang mereka datangi. Di Surabaya, Bandung dan Bandar Lampung, pertunjukan ini bahkan dibubarkan secara represif oleh sekitar lima ratusan pasukan anti huru-hara dilengkapi senjata dan tank. Namun di dunia internasional, Marsinah Menggugat banyak dipentaskan di puluhan negara oleh berbagai kelompok teater profesional, dan dalam setiap pementasannya, Ratna hadir sebagai pembicara.
Tingginya kontroversi Marsinah Menggugat, pada akhirnya membuat Ratna berhasil mencuatkan kasus pembunuhan buruh wanita pemberani itu menjadi perhatian dunia. Sebaliknya, sejak itu, rumah Ratna di Kampung Melayu Kecil yang sekaligus menjadi sanggar Satu Merah Panggung terus diawasi intel. Nama Ratna pun tertera dalam daftar orang-orang yang harus diawasi ketat karena dianggap membahayakan negara.
Lelah menjadi obyek intimidasi aparat, Ratna memutuskan melakukan perlawanan di penghujung 1997. Ia menghentikan sementara kegiatannya sebagai seniman dan mengumpulkan 46 LSM serta sejumlah organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, lalu membentuk aliansi bernama Siaga. Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Presiden Soeharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat di masa itu.
Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar sebuah Sidang Rakyat “People Summit” di Ancol. Pertemuan ini kemudian dikepung oleh truk-truk aparat dari semua angkatan dan Ratna, tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan tuduhan berlapis, salah satunya, makar. Sesaat setelah Ratna ditangkap, Edmund William, Atase Politik Amerika di Indonesia waktu itu mengatakan di hadapan para wartawan, “Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah”. Hal yang sama di saat yang sama juga diucapkan Faisal Basri, “Kita kehilangan seseorang yang mau memasang badannya untuk demokrasi”.
Bersama kawan-kawannya, Ratna kemudian ditahan di Polda Metro Jaya. Sepuluh hari berada di LP Pondok Bambu, gerakan mahasiswa dan rakyat yang mendesak agar Presiden Soeharto turun terus memuncak. LP Pondok Bambu dikawal ketat karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna. Setelah 70 hari dalam kurungan, sehari sebelum Soeharto resmi lengser, pada 20 Mei 1998, Ratna dibebaskan.
Setelah rezim Orde Baru tumbang, nenek lima cucu ini tidak langsung melenggang. Bersama Siaga, pada 14-16 Agustus 1998, ia menggelar Dialog Nasional untuk Demokrasi di Bali Room, Hotel Indonesia. Acara yang dihadiri sekitar 600 peserta dari berbagai lapisan masyarakat seperti aktivis, budayawan, intelektual, seniman dan mahasiswa itu merumuskan Blue Print Pengelolaan Negara RI yang kemudian diserahkan ke DPR dan pada Habibie, sebagai Presiden saat itu.
Sebagai penggagas Dialog Nasional untuk Demokrasi serta keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali menjadi target. Sebuah skenario dirancang di Cilangkap. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan bekerjasama dengan tokoh militer tertentu bahkan bekerja sama dengan Ninja dari Jepang untuk melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Menhankam Pangab pada waktu itu bahkan secara khusus menggelar pertemuan dengan para editor se-Jakarta untuk mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna. Pada November 1998, situasi politik pun kian meruncing. Sadar akan gentingnya kondisi kala itu, Ratna kemudian diungsikan kawan-kawannya ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.
Semangatnya untuk terus membela kaum lemah yang tak berdaya pun terus berkobar. Di samping Siaga, Ratna juga mendirikan berbagai organisasi koalisi untuk demokrasi dan reformasi, diantaranya Koalisi Nasional untuk Demokrasi, Jejak, Ratna Sarumpaet Crisis Centre dan masih banyak lagi. Setelah reformasi bergulir, melalui Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC), saudara ipar sutradara Asrul Sani ini secara konsisten mengulurkan tangannya menolong mereka yang membutuhkan, apapun persoalannya. Mulai dari persoalan kelaparan, korupsi, KDRT dan lain-lain.
Meski menjadi pesakitan di negeri sendiri, perjuangan Ratna nyatanya mendapat perhatian dari dunia internasional. Pada Desember 1998, pada peringatan hari HAM se-dunia ke-50 yang diselenggarakan di Prancis, ia diundang untuk memberikan pidato di Gedung Palais de Chaillot. Panitia peringatan itu juga mengukuhkannya sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter yang berjudul Les Derniers Prisonniers de Soeharto (The Last Prisoner of Soeharto). Film berdurasi 52 menit itu dibesut sineas Bernard Debord dan ditayangkan di stasiun televisi Arte di Prancis dan Jerman dan beberapa negara berbahasa Prancis lainnya.
Di tengah pertemuan bergengsi tersebut, ia merasa miris tatkala mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu negara pelanggar HAM terburuk. Kala itu diungkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama mantan presidennya dan nama sejumlah tokoh militer RI yang disebut-sebut sebagai otak berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Dalai Lama dan Ramos Horta), tanpa bermaksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna justru melontarkan kritik kerasnya pada negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang. Ia menuding negara-negara tadi ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima penghargaan The Female Special Award for Human Rights dari The Asai Fondation of Human Rights in Asia. Di tahun yang sama, majalah sastra terkemuka di Amerika MANAO, yang menerbitkan sebagian dari Marsinah Menggugat dalam sebuah buku sastra edisi musim panas, Silent Voices mengundang Ratna melakukan presentasi di Washington, Los Angeles, Madison, New York dan Hawaii. Pada saat yang bersamaan, ia menjadi tamu Pemerintah Amerika mengunjungi beberapa Negara Bagian di Amerika sebagai tokoh reformasi dan demokrasi Indonesia. Kemudian, Ratna hadir sebagai panelis dalam 5th International Woman Playwirght Conference. PEN International juga mengundang Ratna untuk menjadi pembicara pada The 2nd Conference For Asia Women And Theater di Philipina.
Karena keberaniannya mengungkapkan pendapat, PEN International juga pernah mengundang Ratna sebagai pembicara pada Sydney Writer Festival, Australia dengan judul bahasan Dare to Speak Up. Setelah itu, di tahun 2000, ia kembali hadir sebagai pembicara pada Writer In Prison PEN International di Khatmandu, Nepal.
Semangatnya untuk terus membela kaum lemah yang tak berdaya pun terus berkobar. Di samping Siaga, Ratna juga mendirikan berbagai organisasi koalisi untuk demokrasi dan reformasi, diantaranya Koalisi Nasional untuk Demokrasi, Jejak, Ratna Sarumpaet Crisis Centre dan masih banyak lagi. Setelah reformasi bergulir, melalui Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC), saudara ipar sutradara Asrul Sani ini secara konsisten mengulurkan tangannya menolong mereka yang membutuhkan, apapun persoalannya. Mulai dari persoalan kelaparan, korupsi, KDRT dan lain-lain. Di tahun 2001, saat banjir bandang melanda Jakarta, RSCC tercatat sebagai posko terbesar dan terlama yang mengurusi korban, hingga ke wilayah Tangerang dan Bekasi.
Begitu juga saat mendengar penderitaan masyarakat Porsea, Tapanuli Utara karena kerusakan lingkungan akibat racun yang dikeluarkan Indorayon, sebuah perusaan pulp. Ia kemudian tinggal di sana, tak sekadar untuk memberi mereka kekuatan, namun juga membekali mereka dengan pemahaman tentang hukum dan hak-hak mereka sebagai warga negara. Kehadiran Ratna di Porsea lagi-lagi membuat pihak kepolisian setempat merasa gusar dan memintanya meninggalkan daerah itu dengan alasan “Ratna bukan putra daerah”.
Ketika Tsunami menghujam Aceh dan Nias di penghujung 2004, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan karena masuk paling awal mengevakuasi mayat, dan berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Wilayah itu sampai dua minggu setelah Tsunami tidak mendapat perhatian dari pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, masyarakat Aceh menganugerahkan Ratna penghargaan Tsunami Award.
Hingga saat ini, dengan dibantu oleh enam orang pengacara, RSCC masih terus membantu kaum perempuan korban kekerasan, tenaga migran korban sistem dan rakyat miskin secara keseluruhan. Dari situ dapat dilihat bahwa Ratna bukanlah sosok aktivis yang hanya mampu melontarkan kritik namun juga sudi turun langsung ke lapangan dan menyentuh tangan mereka yang membutuhkan.
Dalam perjuangannya, Ratna terus dimusuhi pihak-pihak yang berseberangan dengannya. Seperti pada tahun 2006 saat RUU APP (Rancangan Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) mencuat, Ratna kembali menjadi berita. Saat itu ia langsung bereaksi menunjukkan penolakannya karena dianggapnya berpotensi besar membunuh keberagaman budaya, melanggar filosofi bangsanya dan menyudutkan kelompok agama minoritas di Indonesia.
Buntutnya, Ratna dimusuhi kaum fundamentalis Islam. Ia kemudian didemo, bahkan diusir dari Jakarta dan dituduh sebagai penikmat pornografi. Namun Ratna dengan sabar menjelaskan apa yang menjadi alasan keberatannya. Ia menolak pola pembangunan moral mekanis yang dianggapnya tidak menghormati manusia sebagai makhluk yang memiliki akal budi dan punya hati.
Suara keras Ratna terus berlanjut di tahun 2008, saat ia mengkritik perlakuan pemerintah terhadap korban lumpur panas Lapindo yang dianggapnya sudah tidak manusiawi. Akibatnya, kedudukannya sebagai panelis utama dalam talk show bertajuk Silat Lidah yang tayang di Anteve pun digoyang, hingga akhirnya Ratna yang sangat sensitif dengan urusan demokrasi ini akhirnya memutuskan mundur.
Selain vokal, sosoknya juga dikenal sangat tegas menolak terlibat dalam politik praktis. Namun sejarah mencatat bagaimana sepak terjangnya baik sebagai aktivis maupun sebagai seniman dan budayawan selalu dilandasi kesadaran sebagai warga negara yang baik dan sikap politik yang kuat. Misalnya saja saat ia ikut menggagas dan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) hingga partai ini resmi dideklarasikan di Istora Senayan. Namun, setelah pemerintahan Habibie berakhir, Ratna memilih untuk menahan diri.
Jiwa kemanusiaannya kembali terusik saat konflik di wilayah Cot Trieng, Aceh bergolak. Ratna kemudian langsung terbang ke Aceh mengunjungi para pengungsi. Ia menembus penjagaan berlapis-lapis aparat menuju Bukit Tengkorak di mana ribuan tulang-belulang rakyat Aceh terkubur. Ketika gagasan menetapkan Aceh sebagai Darurat Militer mencuat dan menjadi pembahasan panas di DPR, Ratna menyurati Presiden saat itu. Ia memohon agar konflik di Aceh diselesaikan dengan pendekatan politik dan budaya. Karena dengan begitu, ia yakin, sebagai perempuan, sang Presiden akan menyelesaikan konflik di Aceh dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Sayang, saran Ratna seolah dianggap angin lalu. Darurat Militer justru ditetapkan dan 50 ribu tentara bahkan sudah diberangkatkan sebelum kebijakan itu diberlakukan.
Pada tahun 2006, Ratna menulis naskah drama bertajuk Pelacur dan Sang Presiden yang kemudian dipentaskan di lima kota besar di Indonesia. Ratna terinspirasi untuk menulis naskah tersebut di tahun 2004 saat ia mendengar kabar tentang buruknya perdagangan anak di Indonesia. Selama tahun 2005, dengan bantuan UNICEF, Ratna melakukan penelitian. Ia mengunjungi enam provinsi di Indonesia untuk menguji dan mengetahui kebenaran berita itu dan mengetahui penyebab perdagangan manusia di Indonesia sedemikian marak. Tak ayal, drama itu cukup menyita perhatian masyarakat. Untuk itu, agar pesannya dapat diterima oleh lebih banyak orang, ia harus melancarkan kampanye besar dan pementasan drama tidak cukup memadai sebagai media kampanye.
Maka, setahun berikutnya, Ratna menyadur Pelacur dan Sang Presiden ke dalam skenario film. Setahun lamanya ia memperjuangkan skenario tersebut agar bisa diwujudkan dalam film layar lebar yang kemudian diberi judul Jamila & Sang Presiden. Perjuangannya berbuah manis, film yang dibintangi putri bungsunya, Atiqah Hasiholan itu berhasil menyedot perhatian di berbagai festival tingkat dunia. Misalnya, Bangkok International Film Festival, Hongkong International Film Festival, Asia Pacific Film Festival, serta Vesoul Asian International Film Festival. Jamila & Sang Presiden juga memperoleh dua penghargaan yakni Youth Prize dan Public Prize.
Di Asiatica Film Mediale Festival, Rome, karena nilai seni dan kritik sosialnya, film berdurasi 87 menit itu berhasil memperoleh Netpac Award (Network for the Promotion of Asian Cinema), sebuah organisasi perfilman yang beranggotakan sekitar 29 negara dan berkantor di Singapura. Untuk Indonesia, film Jamila dan Sang Presiden merupakan film Indonesia kedua yang mendapatkan penghargaan dari Netpac setelah Bird Man Tale karya Garin Nurgroho yang diberikan di Berlin International Film Festival tahun 2003. Jamila & Sang Presiden bahkan terpilih oleh panitia Oscar sebagai film yang mewakili Indonesia di Academy Award, untuk kategori Foreign Language.
Meski mengaku bangga filmnya banyak mendulang prestasi di tingkat dunia, Ratna Sarumpaet tetap mengedepankan sisi idealisnya. “Saya membuat film ini bukan untuk mendapatkan penghargaan tapi karena ingin mengangkat kasus yang selama ini jarang diangkat di film-film Tanah Air, yakni soal perdagangan anak,” ujar Ratna seperti dikutip dari situs Wartakota.com. Ratna juga menambahkan, dengan adanya penghargaan berkelas internasional, ia berharap pesan moral dan informasi yang ingin disampaikan lewat film garapannya bisa dilihat oleh lebih banyak orang di berbagai negara.
Kendati khalayak lebih mengenal sosoknya sebagai seorang aktivis, mantan ketua DKJ ini masih berkutat di dunia kesenian. Ia yakin, kesenian harus terus tumbuh karena merupakan salah satu sarana yang bisa digunakan untuk proses demokrasi. Tak hanya lewat film dan teater, namun juga lewat goresan penanya. Setelah 2 tahun melakukan penelitian, pada 10 Desember 2010, bertepatan dengan hari HAM sedunia, Ratna meluncurkan novel karangannya berjudul Maluku Kobaran Cintaku di Tugu Perdamaian, Ambon. Novel fiksi yang berlatar kerusuhan antar agama yang pernah melanda Maluku di tahun 1999 – 2004 itu rencananya juga akan dituangkan ke dalam film layar lebar. muli, red