‘Ngamen’ Jazz dengan Biola
Luluk Purwanto
[DIREKTORI] Bersama grup The Helsdingen Trio, musisi jazz Indonesia yang mahir memainkan biola ini ‘ngamen’ berkeliling Eropa dengan menggunakan bus panggung selama empat tahun. Ia juga pernah berkeliling ke 24 negara bagian di Amerika Serikat menjamu sedikitnya 42 universitas, menyusuri 15 ribu kilometer jalanan Australia dengan menggelar 25 konser dan konser keliling Jawa-Bali selama hampir dua bulan. Sepanjang karirnya bersama grup musik bentukan suaminya itu, ia telah mengeluarkan banyak album di Eropa tapi yang diedarkan di Indonesia hanya satu, Ojo Ngono.
Luna Lydia Purwanto yang kemudian lebih dikenal dengan nama Luluk Purwanto lahir di Solo, 25 Juni 1959. Bakatnya di bidang musik boleh jadi akibat pengaruh kedua orang tuanya, Julian Purwanto dan Aysha Gani, yang memang dikenal dekat dengan dunia musik. Ayahnya adalah pianis dan vokalis musik klasik, sedangkan ibunya yang merupakan pemimpin sebuah sekolah musik di Medan, Sumatera Utara, tempat Luluk menimba ilmu, adalah penyanyi klasik. Meski demikian, orangtuanya tidak memaksakan Luluk untuk menekuni musik klasik. Luluk dibebaskan untuk menentukan jenis musik yang disukainya. Selain dari kedua orangtuanya, ia juga belajar musik klasik pada Karnaji Kristanto dan Nicolay Varfolomeye.
Lulus dari sekolah musik, anak kedua dari tiga bersaudara ini memperoleh beasiswa dari Kedutaan Australia untuk belajar di New South Wales Conservatorium of Music, Sydney, Australia. Semasa menimba ilmu di sana, ia selalu memainkan biola. Karena itulah, ia memilih spesialisasi di jenis alat musik gesek ini. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Negeri Kanguru itu, Luluk kembali ke Indonesia dan meneruskan studinya di Sekolah Menengah Musik (SMM), Yogyakarta lalu dilanjutkan ke Akademi Musik Indonesia (AMI), masih di kota yang sama. Namun sebelum sempat menyelesaikan kuliahnya, Luluk memutuskan untuk keluar kemudian hijrah ke Jakarta dan berkuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Selama menuntut ilmu di IKJ, ia berkenalan dengan musisi jazz kenamaan seperti Abadi Soesman, Bubi Chen, Ireng Maulana, dan Benny Mustapha. Perkenalannya dengan nama-nama besar di dunia musik Indonesia itu mendatangkan pengalaman berharga bagi perjalanan karirnya ke depan. Para seniornya itu sering mengajak Luluk tampil di berbagai panggung pertunjukan. Tak heran jika kemudian Luluk menganggap para tokoh jazz tersebut merupakan pembimbing sekaligus guru musik informalnya yang memperkenalkannya pada musik jazz.
Perempuan berdarah campuran Jawa-Minang ini kemudian mengawali karir profesionalnya di pertengahan dekade 80-an dengan bergabung dalam grup musik Bhaskara ’85. Grup yang beranggotakan Kiboud Maulana, Udin Zach, Bambang Nugroho, Didi Hadju, Karim Suweileh, Perry Pattiselano, Dullah Suweileh (perkusi), dan Nunung Wardiman ini tampil untuk pertama kalinya di Taman Ismail Marzuki pada awal Juli 1985.
Masih di tahun yang sama, Baskara turut ambil bagian dalam ajang North Sea Jazz Festival 1985 di Den Haag, Belanda. Di bawah tanggung jawab Peter F.Gontha dari PT. Bhaskara Music Production, grup musik tersebut tercatat sebagai grup Indonesia pertama yang tampil event jazz bergengsi itu. Ketika tampil di panggung, banyak penonton kaget, dan terkagum-kagum pada gesekan biola Luluk. Lucunya, hal itu terjadi karena penonton mengira Luluk adalah seorang anak kecil yang pandai memainkan biola.
Luluk yang memang berperawakan kecil selalu tampil dengan gaya yang unik, matanya selalu terpejam dan bibir komat-kamit. Mungkin ekspresi yang tak biasa itu menunjukkan bentuk penghayatannya yang mendalam pada saat menggesek biola. Permainan biolanya sangat dipengaruhi oleh violinis jazz ternama kelas dunia asal Prancis yakni Jean Luc Ponti, Noel Pointer, dan Stephane Grapphelli. Ada juga nama Mang Odang, pemain biola otodidak Bandung yang turut menginspirasi gaya permainan Luluk Purwanto. Permainan Luluk ketika bergabung dalam Bhaskara, masih bisa dinikmati khalayak, setiap sore di stasiun televisi RCTI sebagai penutup program berita Seputar Indonesia.
Perkenalannya dengan Rene van Helsdingen, pianis jazz asal Belanda pada 1984 dan berlanjut ke jenjang pernikahan pada 1987 semakin menenggelamkan Luluk pada hobi bermusiknya. Dalam urusan musik, pasangan suami istri itu memang sangat kompak. Keduanya kemudian membentuk grup musik The Helsdingen Trio yang juga beranggotakan Macello Pellitteri (drum) dan Esseit Okon Esseit (bass). Grup tersebut mempopulerkan musik jazz ke berbagai penjuru dunia dengan menggunakan Stage Bus. The Stage Bus atau bus panggung adalah sebutan untuk sebuah mobil yang dimodifikasi sedemikian rupa menjadi panggung pertunjukan jazz di tempat terbuka yang hanya memakan waktu 10 menit dalam persiapannya.
Pada tahun 1993, The Helsdingen Trio ‘ngamen’ berkeliling Eropa dengan menggunakan The Stage Bus selama empat tahun. Ketika ngamen di Benua Biru itu, mereka menggelar lebih dari 350 konser dan tampil dalam beberapa festival jazz dan blues hingga Festival Bergen di Norwegia. Termasuk menyusuri 15 ribu kilometer jalanan Australia selama akhir 1996 dengan menggelar 25 konser. Sepanjang karirnya bersama grup musik bentukan suaminya itu, Luluk telah mengeluarkan banyak album di Eropa tapi yang diedarkan di Indonesia hanya satu, Ojo Ngono.
Menurut Luluk, sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap jazz itu adalah jenis musik sulit, rumit, dan hanya untuk orang kelas atas. Padahal, jazz tidak harus dimainkan di hotel, hall, maupun tempat tertutup lainnya, tapi bisa juga disajikan outdoor. Seperti yang telah ia lakukan bersama Rene yang menyajikan pentas jazz dengan Stage Bus-nya secara gratis dan apresiatif. Hal itu merupakan salah satu cara yang bisa dilakukannya dalam mensosialisasikan musik jazz.
Meski ia lebih banyak berkeliling dunia dan memilih menetap di kampung halaman suaminya di Amsterdam, Luluk tak melupakan tanah kelahirannya. Saat pulang kampung pada 1997, Luluk bersama The Helsdingen Trio mengadakan konser keliling Jawa-Bali dengan The Stage Bus. Konser itu digelar selama hampir dua bulan terhitung sejak 25 Juli hingga 15 September.
Untuk semakin memasyarakatkan jazz, Luluk dkk menggelar konsernya secara gratis agar bisa dinikmati semua kalangan. Violinis yang pernah tampil bersama musisi Billy Cobham, Nippy, Shanna Noya, serta Buby Chen ini bisa membandingkan betapa apresiasi masyarakat Indonesia terhadap musik jazz, dalam banyak hal, belum memuaskan. “Berbeda dengan di Eropa, di Belanda ada 60 kota yang siap menerima musisi jazz, di Jerman ada 200 kota. Kita punya potensi musisi jazz andal, tapi kelemahannya, kita jarang mengadakan pertunjukan,” ujarnya.
Menurut Luluk, sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap jazz itu adalah jenis musik sulit, rumit, dan hanya untuk orang kelas atas. Padahal, jazz tidak harus dimainkan di hotel, hall, maupun tempat tertutup lainnya, tapi bisa juga disajikan outdoor. Seperti yang telah ia lakukan bersama Rene yang menyajikan pentas jazz dengan Stage Bus-nya secara gratis dan apresiatif. Hal itu merupakan salah satu cara yang bisa dilakukannya dalam mensosialisasikan musik jazz.
Di samping itu, Luluk justru berpendapat jazz bisa sangat menghibur jika sering dinikmati dan sering ditampilkan. Dengan begitu Luluk yakin, jazz bisa diterima masyarakat. Sebab, pada dasarnya jazz itu musik yang universal, menembus berbagai sekat dan batas negara, etnis, bahkan agama apa pun. Dan itu bisa dilakukan lewat media panggung maupun televisi. Orang yang mau mementaskannya pun hanya segelintir.
Kemudian cara penyajian yang cukup kompromis, misalnya setelah dijejali dengan irama yang dianggap agak aneh, kemudian diselingi dengan sajian yang akrab dengan penonton misalnya disisipi dengan lagu-lagu populer seperti Ilir-ilir dan Selayang Pandang tanpa meninggalkan idiom jazz. Sehingga secara tidak langsung menggiring penonton untuk mempunyai rasa memiliki terhadap musik jazz. Dengan kata lain, musik jazz didekatkan dengan keseharian penonton. Kalaupun penonton tidak suka dengan apa yang Luluk Purwanto & The Helsdingen Trio sajikan, mereka bisa pergi.
Untuk memancing minat masyarakat terhadap musik jazz, musisi harus mendekati mereka. Jangan mengharapkan masyarakat yang datang, tetapi para musisilah yang harus mengerti apa yang penonton inginkan tanpa melepaskan idealisme dalam memainkan musik jazz sesuai dengan karakter dan gaya masing-masing. Atau dengan kata lain, berkompromi.
Niatnya untuk semakin memasyarakatkan jazz diakuinya bukan semata-mata demi materi. “Untuk jazz, saya tidak pernah persoalkan honor. Jazz bukan tempat untuk mencari uang. Jazz tempat untuk menyalurkan kemampuan bermusik,” kata musisi yang belum dikaruniai momongan ini.
Pada 25 Juni hingga 15 Oktober 2002, masih dengan bus panggung berjalan dan The Helsdingen Trio-nya, Luluk berkeliling ke 24 negara bagian di Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu, grup musik tersebut menjamu sedikitnya 42 Universitas di Amerika Serikat diantaranya Yale University (Connecticut), Cornell University (New York), Florida State University (Florida), University of New Orleans (Louisiana), dan University of California (Los Angeles). Acara yang bertajuk Born Free itu merupakan kegiatan Cross Cultural Promotion Tour yang bersifat non-profit dengan dukungan dari Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, Kedutaan Besar Belanda, KBRI Washington DC dan KBRI di Roma, Italia. Lewat program yang juga berjudul sama dengan album yang dirilisnya, Luluk berusaha meramu sebuah perpaduan musikal dan budaya antara Indonesia, Belanda dan AS. Album Born Free itu dibuat di bawah naungan perusahaan rekaman Munich Records yang juga mendukung kegiatan itu.
Tahun berikutnya, Luluk kembali ke Tanah Air dan menggelar pertunjukan di halaman kampus Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur. Yang membedakan penampilannya dengan konsernya di tahun 1997 lalu adalah pertunjukan jazz-nya ini dipadukan dengan wayang kulit. Kolaborasi jazz-wayang kulit ala Luluk Purwanto yang terbilang unik dan tak lazim ini mengajak penonton ke suasana reflektif. Di tahun 2006, perempuan yang hobi menggambar dan memasak ini kembali mengadakan tur keliling Indonesia serta tampil dalam pagelaran musik jazz paling bergengsi di Tanah Air, Jak Jazz. eti | muli, red