Pembangkang yang Sastrawan
Seno Gumira Ajidarma
[DIREKTORI] Meski terlahir dari keluarga yang mapan, ia memilih hidup membangkang dalam dunia tulis menulis. Sejumlah penghargaan sudah diterimanya di antaranya Khatulistiwa Literary Award untuk karyanya yang berjudul “Negeri Senja” dan “Kitab Omong Kosong”.
Peribahasa yang berbunyi “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” mungkin tak berlaku buat pria kelahiran 19 Juni 1958 ini. Seno, demikian panggilan akrabnya, sebenarnya terlahir dalam keluarga berpendidikan tinggi. Ayahnya Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo adalah guru besar Fakultas MIPA di Universitas Gadjah Mada, sedangkan ibunya Poestika Kusuma Sujana berprofesi sebagai dokter spesialis penyakit dalam. Namun, Seno memiliki pemikiran yang bertolak belakang dengan sang ayah. Ia tidak menyukai pelajaran aljabat, ilmu ukur, dan berhitung, walaupun nilai untuk pelajaran-pelajaran itu juga terbilang tidak terlampau buruk. “Entah kenapa. Ilmu pasti itu kan harus pasti semua dan itu tidak menyenangkan,” ujar Seno.
Ketika masih duduk di bangku SD, ia mengajak teman-temannya untuk membolos dari kelas wajib koor. Karena ulahnya itu, ia mendapat teguran dari gurunya. Pemberontakannya semakin menjadi kala ia mengenyam pendidikan di SMP. Ketika itu, ia misalnya tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan. Jika yang lain pakai baju putih, ia pakai batik. Yang lain berambut pendek, ia gondrong. Aku pernah diskors karena membolos,” tutur pria yang hobi memanjangkan rambut ini tanpa rasa penyesalan.
Setelah menyelesaikan pendidikan di SMP, Seno bahkan tidak mau melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia lebih tertarik mengembara dari satu tempat ke tempat lain demi mendapatkan pengalaman. Seno terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May. Selama tiga bulan, ia memulai pengembaraannya dari pulau Jawa hingga Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor.
Untuk menyambung hidup, ketika itu Seno bekerja sebagai buruh pabrik kerupuk di Medan. Suatu hari Seno karena kehabisan uang, ia pun meminta uang kepada ibunya. Namun, bukan uang yang diterimanya, tapi ibunya meminta Seno untuk pulang dengan mengirimkan tiket. Tak ada pilihan lain, Seno pun mengakhiri petualangannya dan kembali pulang ke pangkuan orangtua untuk kemudian meneruskan sekolahnya yang sempat terbengkalai.
Rupanya jiwa pembangkang Seno tak kunjung hilang. Ketika SMA, ia sengaja memilih sekolah yang tidak mengharuskannya untuk memakai seragam. “Jadi aku bisa pakai celana jins, rambut gondrong,” katanya bernada bangga.
Penampilannya yang terkesan liar seakan memberi gambaran kepribadian Seno yang sejak dulu dikenal pembangkang karena sering melawan peraturan.
Layaknya anak muda pada umumnya yang ingin menunjukkan eksistensi diri, Seno bergabung dalam sebuah komunitas. Sesuai kepribadiannya yang tidak suka diatur, Seno lebih memilih bergaul dengan komunitas anak-anak jalanan daripada teman-teman di lingkungan elite perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya. Di komunitas itu, tergabung mereka-mereka yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro. “Aku suka itu karena liar, bebas, tidak ada aturan,” jelas Seno.
Perkenalan Seno dengan dunia sastra diawali ketika ia tergabung dalam teater Alam pimpinan Azwar A.N. Walau pada awalnya tak mengerti tentang drama, selama dua tahun Seno tergabung dalam komunitas itu. “Lalu aku lihat Rendra yang gondrong, kerap tidak pakai baju, tapi istrinya cantik (Sitoresmi). Itu kayaknya dunia yang menyenangkan,” kenang Seno.
Puisi-puisi mbeling Remy Sylado yang pada waktu itu dimuat di majalah Aktuil Bandung membuatnya tertarik. Seno pun mengikuti jejak Remy dengan mengirimkan puisi-puisinya. Usahanya tidak sia-sia, puisi-puisi kirimannya ikut dimuat. Puisinya yang pertama dimuat dalam rubrik “Puisi Lugu”. Pada waktu itu Seno mendapatkan honor yang terbilang besar.
Di awal karirnya sebagai penyair, tak sedikit orang yang memandang Seno dengan sebelah mata. Mereka meremehkannya sebagai penyair kontemporer. Namun, hal itu tidak sedikitpun mengecilkan hatinya untuk terus menulis. Semakin banyak cibiran yang datang, semakin memotivasinya untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Ia pun tertantang untuk mengirim puisinya ke majalah sastra Horison.
Karena bakat dan kemampuannya sudah makin terasah, puisinya pun berhasil dimuat di majalah tersebut. Seno pun semakin percaya diri. “Umurku baru 17 tahun, puisiku sudah masuk Horison. Sejak itu aku merasa sudah jadi penyair,” ucapnya bangga. “Aku mewajibkan diriku menulis karena aku suka membaca,” lanjutnya. Ia hidup dari menulis, meski sebelumnya tidak bercita-cita menjadi penulis. “Aku hanya terobsesi menguasai tulisan,” katanya.
Setelah sukses memulai debutnya sebagai penyair, Seno kemudian menulis cerpen dan esai. Cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional dan esainya yang pertama, tentang teater, dimuat di surat kabar Kedaulatan Rakyat.
Seno melepas masa lajangnya di usianya yang baru menginjak 19 tahun dengan mempersunting Ikke Susilowati. Untuk menghidupi keluarga barunya, ia pun memutar otak. Seno kemudian memilih untuk menjadi wartawan. Tahun itu juga Seno masuk Institut Kesenian Jakarta, jurusan sinematografi. “Nah, dari situ aku mulai belajar motret,” ujar pengagum pengarang R.A. Kosasih ini.
Ayah dari Timur Angin ini kemudian mendirikan “pabrik tulisan” yang menerbitkan buku-buku puisi dan menjadi penyelenggara acara-acara kebudayaan. Di tahun yang sama Seno mulai bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar Merdeka. Tidak lama kemudian, ia menerbitkan majalah kampus yang bernama Cikini dan majalah film yang bernama Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga menerbitkan mingguan Zaman, dan terakhir pada tahun 1985, ia ikut menerbitkan (kembali) majalah berita Jakarta-Jakarta.
Jika belakangan namanya dikenal sebagai sastrawan, menurut Seno sebenarnya bukan itu mulanya. Dulu ia hanya ingin jadi seniman “biasa” yang bisa merasa bahagia dengan apa adanya. Awalnya yang ia lihat dari seorang seniman bukan dari karyanya tapi lebih kepada gaya hidup yang serba santai dan tidak terikat aturan, sesuai dengan jiwa Seno yang pembangkang. Gaya penyair kenamaan WS Rendra yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, rambut boleh gondrong rupanya mencuri perhatian Seno. “Tapi, kemudian karena seniman itu harus punya karya maka aku buat karya,” ujar Seno.
Hingga saat ini belasan buku yang terdiri kumpulan sajak, kumpulan cerpen, kumpulan esai, novel, dan karya nonfiksi telah dihasilkannya. Selain bekerja di Pusat Dokumentasi Jakarta-Jakarta, Doktor lulusan Universitas Indonesia ini mengisi kesehariannya dengan membaca, menulis, memotret, dan jalan-jalan. Tak hanya menulis puisi dan cerpen, ia pun menuangkan kreativitasnya dalam bentuk komik.
Di zaman Orde Baru, ketika pemerintah membungkam kebebasan berpendapat, dengan gayanya Seno berani menerbitkan buku “Trilogi Insiden” yang mengangkat fakta seputar Insiden Dili, yang ditabukan media massa semasa Orde Baru. Karyanya itu yakni; “Saksi Mata” (kumpulan cerpen), “Jazz, Parfum dan Insiden” (Novel) dan “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara” (kumpulan esai). Ketiganya telah menjadi dokumen tentang bagaimana sastra tak bisa menghindar untuk terlibat secara praktis dan konkret dalam persoalan politik apabila politik kekuasaan itu menjadi semakin tidak manusiawi. “Seberapa jauh pembantaian orang-orang tidak bersenjata boleh didiamkan, demi kepentingan apa pun dari sebuah lembaga mana pun,” protes Seno.
Pria yang meneliti komik Panji Tengkorak untuk disertasi S3-nya di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini berhasil menyabet sejumlah penghargaan. Penghargaan di ajang sastra bergengsi, Khatulistiwa Literary Award, dua tahun berturut-turut berhasil diraihnya, yakni pada tahun 2004 dan 2005. Masing-masing penghargaan itu diberikan untuk karyanya yang berjudul “Negeri Senja” dan “Kitab Omong Kosong”. e-ti | muli