Penyelami Rahasia Al-Qur’an

Roem Rowi
 
0
537
Roem Rowi
Roem Rowi | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Doktor Ilmu Tafsir, ini seorang berkepribadian ulet, tidak kenal menyerah. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur (2000-2005) ini seorang penyelami rahasia Al-Qur’an terkemuka di Indonesia. Guru Besar Ilmu Al-Quran Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, ini tak pernah berhenti menyelami rahasia Ilahi dan mengkaji sistematika Allah dalam Al-Qur’an.

Prof Dr HM Roem Rowi, MA, putera bangsa kelahiran Ponorogo, 3 Oktober 1947, yang tanpa terasa menitikkan air mata tatkala berkesempatan masuk Ka’bah, itu sebagai seorang muslim, menjalani kehidupan dengan bersahaja di bawah ridho ilahi. Segala aktivitasnya diserahkan dan dipertanggungjawabkan kepada kehendak Allah.

Selain sebagai guru besar di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Roem Rowi juga aktif mengajar di berbagai perguruan tinggi, di antaranya dosen Pascasarjana Unair, Undar, Ikaha, IAIN Sunan Kalijaga dan UMY.

Pengabdiannya juga tidak terbatas hanya pada lingkungan pendidikan tinggi. Dia juga aktif di berbagai kegiatan keagamaan. Tahun 1998-2000, Roem pernah menjabat Plt. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim. Kemudian dia menjabat Ketua MUI Jawa Timur (2000-2005).

Saat ini, alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo (1967), IAIN Ciputat, Jakarta (1967), S1 Universitas Islam Madinah (1971) dan S2 Universitas Al-Azhar Cairo (1973), ini aktif sebagai Anggota Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.

Direktur Imarah Masjid Agung Al-Akbar, Surabaya, ini pernah menjabat Ketua Dewan Hakim MTQ Jawa Timur dan Nasional. Bahkan tahun 1992 dan 2002, dia terpilih sebagai Anggota Dewan Hakim MTQ Internasional di Mekkah. Kemudian menjabat Ketua Dewan Hakim MTQ Internasional di Jakarta (2003).

Anggota Dewan Pakar ICMI Korwil Jatim, ini juga mengabdikan diri sebagai Ketua Dewan Syari’ah Lembaga Manajemen Infaq Jawa Timur. Dia juga aktif sebagai Ketua Dewan Syari’ah BPRS Amanah Sejahtera Cerme Gresik. Anggota Dewan Syariah BPRS Bakti Makmur Indah Krian Sidoarjo.

Juga aktif sebagai pembimbing dan konsultan agama PT Linda Jaya Tours dan Travel Surabaya, Pembina KBIH Multazam Surabaya, Anggota Pembina Kerohanian Islam pada PT Telkom Divre V Jatim, PT lndosat Divre Indonesia Timur, Surabaya, Dai/Miballigh dan Penyuluh Utama Kanwil Depag Jawa Timur, dan Pembina Tafsir Kafilah Jatim dan Indonesia untuk MTQ Nasional maupun Internasional.

Doktor lulusan Universitas Al-Azhar Cairo (1989), ini juga mengabdikan diri sebagai Promotor dan Co Promotor 2 Disertasi di IAIN Sunan Kalijaga, serta Penguji Ujian Tertutup dan Promosi Terbuka Dissertasi di IAIN Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga.

Dengan pengabdiannya sebagai dosen di IAIN Sunan Ampel, Surabaya sejak 1977, pada hari Sabtu, 20 Agustus 2005, Roem Rowi dikukuhkan sebagai Guru Besar (Profesor) Ilmu Al-Qur’an Program Pascasarjana. Ketika itu, dia menyampaikan orasi ilmiah berjudul: “Menimbang Kembali Signifikasi Asbab an-Nuzul dalam Pemahaman Al-Qur’an.”

Advertisement

Dia mencoba melakukan kajian singkat sejauh mana signifikasi (posisi dan fungsi) Asbab al-Nuzul dalam pemahaman Al-Qur’an. Dijelaskannya, Dalam kitab-kitab ‘Ulum al-Qur’an atau ‘Ulum al-Tafsir, baik yang klasik ataupun yang kontemporer, hampir semua ulama sepakat tentang pentingnya memelajari dan mengetahui Asbab an-Nuzul dalam rangka memahami atau menafsirkan al-Qur’an.

Hal ini, katanya, karena begitu besar dan banyaknya manfaat Asbab al­-Nuzul untuk mengantarkan seseorang pada penafsiran yang benar terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur’an.

Menurutnya, dari hasil penghitungan terhadap jumlah ayat-ayat yang mempunyai asbab al-nuzul serta jumlah hadith-hadithnya pada kitab Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi, Lubab al-Nuqul Fi Asbab al-Nuzul karya al-Suyuti serta kitab al-Musnad al­-Sahih Min Asbab al-Nuzul karya Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, maka diperoleh beberapa temuan sebagai berikut:

Pertama, tidak semua ayat mempunyai Asbab al-Nuzul. Dari 6234 ayat, yang mempunyai asbab al-nuzul hanya sebanyak 715 ayat / 11,46% (al-Wahidi), 711 ayat / 11,40% (al-Suyuti), dan 333 ayat 5,34 (Muqbil bin Hadi al-Wadi’i). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ayat-ayat yang mempunyai Asbab al-Nuzul sangat sedikit dibanding dengan jumlah ayat al-Qur’an secara keseluruhan.

Kedua, bahwa jumlah surat yang memiliki Asbab al­-Nuzul menurut ketiga ulama tersebut cukup dominan. Dari 114 surat-surat al-Qur’an, maka jumlah surat yang ayat ayatnya mempunyai Asbab al-Nuzul perinciannya adalah sebanyak: 82 surat / 71,90% (al-Wahidi), 103 surat 90,35% (al-Suyuti), dan 55 surat 48,24% (Muqbil bin Hadi).

Meskipun dari jumlah surat al-Qur’an lebih dari separoh yang mempunyai Asbab al-Nuzul, bahkan bagi al-Suyuti hampir semuanya, namun tetap tidak signifikan karena yang menjadi ukuran adalah jumlah ayat yang mempunyai Asbab al-Nuzul. Padahal jumlah ayat Al-Qur’an yang mempunyai Asbab al-Nuzul, hanya sedikit saja dibanding jumlah ayat Al-Qur’an secara keseluruhan.

“Apalagi jika yang dilakukan seleksi ketat untuk mengambil riwayat­-riwayat yang terpercaya saja seperti yang dilakukan Shaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, di mana hanya tinggal 333 ayat,” kata mantan guru Madrasah Aliyah Yayasan Masjid Mujahidin, Surabaya, ini.

Setelah menyelesaikan studi S2 Universitas Al-Azhar Cairo (1973), Roem telah mengabdi dalam profesi guru. Dia menjadi tenaga pengajar di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, Surabaya sekaligus menjabat Ketua Biro Skripsi Fakultas Adab (1977-1989). Dia juga pernah menjabat Assisten Direktur Lembaga Bahasa IAIN Sunan Ampel, Surabaya Bidang Bahasa Arab (1979-1987).

Sejak 1989 dia pun mengajar di Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Lalu menjabat Ketua Jurusan Tafsir Hadith Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Ampel, Surabaya (1990-1994). Kemudian sempat bertugas sebagai Plt. Ketua Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya (1994-1997), sebelum menjabat sebagai Assisten Direktur II Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya (1997-2005). Sejak 1977, dia juga aktif sebagai dosen Pascasarjana Unair, Undar, Ikaha, IAIN Sunan Kalijaga dan UMY.

Sebagai ahli tafsir, Roem Rowi juga telah menilis berbagai karya ilmiah. Di antaranya: (1) M. Abdul Wahab dan Gerakan Tajdidnya; (2) Surat Yasin, Tafsir, Rahasiadan Hikmahnya; (3) Hamka Dalam Karya Monumental Tafsir Al-Azhar; (4) Al-Qur’an, Manusia, dan Moralitas (Ceramah Nuzul Al-Qur’an oleh Negara di Masjid Istiqlal 1997); (5) Spektrum Al-Qur’an; (6) Sejarah Sosial Rukun Islam; (7) Menafsir Ulum Al-Qur’an; (8) Ragam Tafsir Al-Qur’an; dan (9) Beberapa Artikel dalam beberapa jurnal terakreditasi.

Raih Doktor, Tercepat Setelah Hampir DO
Dia menimba banyak pengalaman dalam perjuangannya yang sangat panjang dan melelahkan, ketika studi, yang akhirnya membuahkan gelar doktor pada program ilmu tafsir Al Qur’an di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Setiap kali usulan program doktornya ditolak, Roem tak pernah surut untuk mengusulkannya kembali. Baginya tak ada kata menyerah. Dia berjuang sepuluh tahun agar bisa mengikuti program doktor jurusan tafsir Al-Qur’an. Sebenarnya tidak perlu menunggu sampai 11 tahun jika Roem tidak segera kembali ke Jawa Timur setelah meraih gelar S-2 di Kairo, tahun 1974. Namun berita “kepergian” ayahnya memaksanya tidak bisa menunggu setahun lagi di Kairo.

Roem dipanggil pihak Universitas Al Azhar untuk mengikuti program doktor, tahun 1975, tetapi dia sudah kembali ke Indonesia. Dia mengajar mata kuliah tafsir Al-Qur’an di IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Bagi Roem sangat berat meninggalkan ibu dan banyak adiknya yang belum bisa mandiri setelah kepergian ayahnya. Roem memilih menyelamatkan adik-adiknya yang masih kecil, menunda obsesinya untuk menjadi doktor.

Semula Roem ingin melupakan sama sekali mimpinya menjadi doktor, memusatkan diri pada pekerjaannya sambil menulis. Ternyata, selama 10 tahun tak satu pun karya tulis yang dihasilkanya. Sebenarnya, dia melakukan kontak ke Kairo mulai tahun 1976, baru dijawab tahun 1986. Selama 10 tahun tidak ada hasil. Dia pun mengirim surat kepada seorang sahabat di sana. Sahabatnya itu bekerja di Kairo sembari mengikuti program S-3. Sudah 12 tahun berjalan, program doktornya tidak selesai juga.

Roem memutuskan untuk kembali ke Kairo tahun 1987. Tetapi dia tidak diberitahu bahwa batas waktu maksimum agar bisa masuk kembali ke program S-3 adalah 12 tahun. Sedangkan dia sudah 11 tahun meninggalkan bangku kuliah. Artinya, sisa waktunya tinggal setahun. Roem tidak kehabisan akal. Dia meminta perpanjangan batas waktu dengan alasan bahwa dia pulang dan menetap lama di Indonesia lantaran ayahnya meninggal dan mengurus adik-adiknya.

Tetapi alasan tersebut tidak bisa diterima. Satu-satunya alasan yang bisa diterima, kalau dia menderita sakit kronis. Karena itu dia harus ke dokter untuk memberikan keterangan tentang penyakit yang pernah diidapnya. Kebetulan, Roem punya teman yang kuliah di fakultas kedokteran. Temannya itu setuju memberikan Roem surat keterangan menderita penyakit stres (sakit jiwa)

Persoalannya belum selesai sampai di situ. Waktu itu, dia diharuskan kembali ke dokter jiwa. Soalnya dia grogi ketika ditanya, “kamu diberi obat oleh siapa?” Roem datang ke dokter jiwa, diberi obat dan rekomendasi sakit jiwa. Dengan demikian peluang Roem di perpanjang. “Jadi harus berpura-pura gila. Tetapi setelah diberi perpanjangan, saya ngebut,” kata Roem kepada Tim Wartawan Tokoh Indonesia di ruang kerjanya selaku Direktur Masjid Agung Al-Akbar Surabaya.

Sebelum merampungkan disertasinya, Roem terdampar tiga bulan, mempertahankan disertasinya. Persoalan pokok terletak pada promotornya, seorang profesor yang tuna netra. Sang promotor sulit sekali ditemui. Hanya mau ditemui di ruang kantor dosen. Ketika ke ruang dosen, Roem bertemu dengan promotornya, tetapi ketika memulai pembicaraan selalu dipotong oleh tamu. Demikian seterusnya. Kebiasaan orang Arab, bertamu lama sekali.

Roem minta izin ke rumahnya, malah dimarahi, tidak boleh. Keadaan seperti ini berjalan selama tiga bulan. Dia pun sadar, kalau begitu terus tidak akan berhasil. Akhirnya, Roem memberanikan diri datang ke rumahnya. Ketemu. Promotornya meminta Roem menyiapkan sekian pasal. Diuji dari pagi sampai jam sembilan malam, nonstop. Roem membacakan, dosennya mendengarkan sambil memberi petunjuk: “ini boleh, ini tidak boleh, harus begini, harus begitu.” Ketika Roem membaca sebuah pasal, dosennya masih ingat apa yang diujikannya dua tahun lalu. Padahal Roem sendiri sudah lupa.

Tepat dua tahun, Roem menyelesaikan program doktronya. Dia pun melapor ke Kedubes Indonesia di Kairo. Kepada seorang staf Kedubes, teman lamanya, Roem memberitahukan bahwa dia akan menerima promosi doktor. Temannya malah heran karena merasa Roem belum lama berada di Mesir, kok tiba-tiba sudah selesai. Padahal dia sendiri sudah sekian tahun tidak selesai juga. Dan tragisnya, sempat terancam di-DO (drop out).

Setelah melapor, Kedubes memberi respon positif, karena hanya Roem yang lulus tepat waktu, setelah sekian lama tidak ada lulusan doktor. Kata Roem, Al Azhar memang lain dari yang lain. Ijazah asli baru boleh diambil setelah dua tahun. Ini jadi masalah karena setelah selesai kuliah, dia harus kembali ke Indonesia. Dicoba dengan semua cara, ijazah aslinya tetap tidak boleh diambil. Kalau dikirim lewat pos, kadang-kadang tidak sampai, bahkan bisa hilang.

Akhirnya untuk orang asing dibolehkan juga. Setelah mengajukan permohonan dan berbagai alasan, permintaan Roem diproses. Uniknya, menurut Roem, proses itu harus melewati banyak meja. Di belakang ijazah, isinya puluhan paraf. Seperti mainan anak-anak, karena penuh dengan paraf. Setelah menunggu dua bulan, ijazah asli (S-3) Roem dikasih, ukurannya sekoper kecil, susah jika mau difotokopi. Setelah menerima ijazah doktor, Roem berencana segera kembali ke Indonesia.

Sebetulnya, izin belajar dari pemerintah tiga tahun, sehingga bagi Roem masih ada sisa setahun. Ada temannya yang mengajak mengajar di Brunai Darussalam. Tentu dengan imbalan yang cukup besar. Roem hampir tergiur, hampir mengiyakan, karena mengajar di sana cukup lima atau enam bulan, bisa memperoleh imbalan yang cukup besar.

Dia memikirkan tawaran itu dengan sangat serius, soalnya dia pegawai negeri. Jika dia mengambil tawaran tersebut, kemudian ketahuan dan ditulis di koran, akibatnya tidak karuan. Karena itu Roem memutuskan pulang langsung ke Indonesia. Namun di luar dugaannya, sekembalinya di IAIN Sunan Ampel, dia dipindahkan jadi Ketua Jurusan Fakultas Ushuluddin.

Tahun 1994, IAIN Sunan Ampel membuka program Pascasarjana (S-2), dan Roem ditarik ke situ. Dialah “sopir” (ketua) pertama program Pascasarjana IAIN. Roem menjabat sampai tahun 2005. Setelah masa jabatannya selesai, Roem tetap mengajar sebagai ahli tafsir Al-Qur’an.

Kesempatan Masuk Ka’bah
Salah satu pengalaman hidup yang amat berkesan baginya adalah kesempatan tak terduga masuk ke Ka’bah. Kala itu, Roem terpilih masuk ke sebuah tim yang mewakili Asia Tenggara menjadi hakim MTQ Internasional di Mekah, tahun 1993. Indonesia bergiliran masing-masing setahun dengan Malaysia. Pengalaman yang tidak bisa dilupakannya, ketika diberi kesempatan masuk ke Ka’bah. Biasanya yang masuk ke situ hanya kepala negara, presiden dan tamunya raja.

Sebelumnya, dia sendiri dan anggota rombongan lainnya belum tahu akan masuk Ka’bah karena tidak diumumkan. Namun orang-orang Indonesia di Masjidil Haram rupanya sudah tahu. Begitu rombongan MTQ datang dan ditempatkan di satu tempat, mereka malah ngelinap masuk ke rombongan tersebut. Bertambah banyak, akhirnya polisi bingung, digeser ke sana bertambah banyak lagi.

Akhirnya rombongan juri MTQ Internasional itu dibawa masuk lewat Hijir Ismail. Ketika mau masuk, polisi meminta kartu sebagai hakim, peserta dan panitia, diperlihatkan. Yang tidak punya kartu, tentu tidak diperbolehkan masuk. Tetapi orang-orang Indonesia itu tidak kehabisan akal. Mereka meminjam kartu orang-orang yang baru keluar. Diberi, dan mereka masuk. “Itulah canggihnya orang Indonesia,” kata Roem.

Di dalam Ka’bah, Roem mengaku tidak melihat apa-apa, gelap. Yang ada hanya barang-barang peninggalan zaman Nabi Muhammad SAW, seperti, pedang emas peninggalan zaman kerajaan Islam, dan tiang penyanggah dari kayu yang usianya lebih dari 1000 tahun, sejak era sahabat Nabi.

“Ketika berada di dalam Ka’bah perasaan saya biasa saja. Tetapi karena kesempatan itu di luar dugaan saya, tanpa terasa saya menangis,” kata Roem.

Rahasia Al-Qur’an
Selama jadi dosen pascasarjana, Roem sekali waktu pernah menemukan sebuah pengalaman yang dianggapnya cukup aneh. Dalam kesempatan mengajar mata kuliah khusus, Roem berhadapan dengan sebuah pertanyaan aneh dari seorang mahasiswa program pascasarjananya. Si mahasiswa merasa semakin yakin bahwa Al-Qur’an bukan lagi kitab suci. Alasannya: Pertama, Al Qu’ran tidak sistematis; Kedua, banyak sekali pengulangan, misalnya tentang Nabi Adam dan iblis di Surat Al Baqarah.

Roem menjawab dengan sebuah pertanyaan: “Apakah Anda sudah sarapan?” Mahasiswa itu tersentak kaget. Apa hubungan antara sistematika Al Qur’an dengan sarapan pagi? Tetapi dia menjawab, “Sudah Pak.”

Kata Roem selanjutnya, baiklah kalau sudah sarapan, mulai hari ini dan seterusnya, jangan mengulang lagi sarapan Anda.
“Lho kenapa Pak?” tanya sang mahasiswa.

“Anda kan tidak setuju dengan pengulangan Al-Qur’an,” kata Roem. Lantas Roem meneruskan argumentasinya: “Anda bilang Al-Qur’an itu tidak sistematis. Sistematis itu artinya mengikuti salah satu sistem. Kalau menurut Anda sistematik itu adalah bab satu, dua, tiga dan seterusnya, kesimpulan, saran-saran, dan daftar pustaka. Kalau sistematisnya Al-Quran harus begitu, berarti Anda meminta Allah SWT belajar sama kamu.”

Kata Roem, sistematika Al-Quran seperti adanya sekarang. Surat Al-Fatihah, miniatur-nya Al-Qur’an. Fondasinya, Surat Al-Baqarah, paling panjang. Semakin ke atas semakin kecil, seperti bentuk piramid. Kosa kata dalam dasar itu mudah dipahami. Surat Al-Baqarah, artinya surat tentang seekor sapi.

Semakin ke atas, semakin sulit menangkap maknanya, misalnya, Surat Al-Kausar (inna aktoina kal kausar). Al kausar itu apa? Artinya, nikmat yang banyak. Tetapi apakah hanya itu? Perlu tafsiran yang lebih panjang.

Menurut Roem, Al-Qur’an itu dimulai dari yang mudah. Puncaknya kecil, tetapi penafsirannya lebih sulit. Memang ada rahasia Ilahi di sini. Ternyata, setelah dia teliti di dalam Al-Baqarah, terdapat 80 persen dari seluruh kosa kata Al-Qur’an. Jadi, setiap muslim yang sudah menguasai Al-Bagarah, maka 80 persen kosa kata Al-Qur’an sudah dia fahami. Sehingga surat yang lain mudah dipahami, karena kuncinya sudah ada di tangan. Dan yang lebih mengejutkan lagi, juz pertama terdiri dari 3316 kosa kata. Dalam juz pertama 70 persen terdapat kosa kata Al-Quran. Juz pertama tadi bisa difahami dalam tempo 40 jam. Kalau juz pertama bisa difahami dalam 40 jam, maka juz kedua dapat difahami dalam 20 jam.

Bisa difahami lebih singkat, kenapa? Jawabnya, karena kuncinya sudah dikuasai. “Itulah sistematika Al-Quran. Kalau ada orang mengatakan Al-quran itu tidak sistematis, itu tidak benar. Allah punya sistem lain, sehingga Allah tidak perlu belajar sama Anda,” kata Roem. mti – Ch. Robin Simanullang dan Syahbuddin Hamzah

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

02 | Membentuk Karakter di Gontor

Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, segala-galanya bagi M Roem Rowi. Di sanalah dia memperoleh pendidikan watak, rohani, ilmu pengetahuan dan olahraga. Dari Gontor dia memperoleh beasiswa ke Madinah dan Mesir.

Baru usia setahun, Roem Rowi dibawa lari ke sana ke mari oleh orang tuanya untuk bersembunyi dari kejaran dan kekejian para pemberontak komunis (PKI) di Madiun, September 1948. Roem lahir di Ponorogo, 3 Oktober 1947. Bersama orang tuanya, Roem bersembunyi di kebun atau di mana saja agar bisa menyelamatkan diri. Sebab saat itu banyak tokoh agama, ulama dan kiai yang dibantai PKI.

Setelah dewasa, Roem mendengar kisah sedih tetapi agak lucu. Salah seorang Pak De-nya (paman) sangat penakut. Dia tidak berani keluar malam, karena itu tertangkap oleh pemuda-pemuda PKI. Pamannya Roem sudah disiapkan sebuah lobang, menunggu giliran disembelih. Ketika Pak De-nya menunggu giliran, tentara Kodam Siliwangi datang menyelamatkannya. Semula Pak De-nya menolak karena merasa sudah mau dipotong. Belakangan baru dia tahu bahwa yang datang itu tentara Siliwangi, tentara pun bergembira karena dia bersedia ditolong.

Di kampungnya di Ponorogo, Roem masuk kelas satu Sekolah Rakyat (SR), tetapi umurnya belum cukup. Waktu itu namanya SR enam tahun. Ketika masih kelas satu, padahal hanya ikut-ikutan, dinaikkan ke kelas II, tetapi dia menolak. Bapaknya menyuruh mengulang di kelas I. Pagi hari dia sekolah di SR dan sore hari di madrasah (diniyah). Sekolah umum dan agamanya sama-sama tamat.

Setamat SR dan Diniyah, karena masih kecil, dia tidak tahu harus melanjutkan ke mana. Waktu itu dia belum bisa memilih. Memang di kalangan orang tua, waktu itu yang populer Pondok Pesantren Gontor. Dia ditanya oleh ayahnya, apa bersedia dikirim ke Gontor. Sebenarnya dia sendiri tidak mau, tetapi dipaksa oleh ayahnya. Karena itu, ketika mengikuti ujian masuk Gontor, dia sengaja menggarap soal ujian separoh supaya tidak lulus. Tetapi anehnya dia dinyatakan lulus. Biasanya, anak-anak yang tinggalnya berdekatan dengan Gontor, jika lulus diberi kesempatan pulang.

Sewaktu mau berangkat kembali ke Gontor, menjelang subuh, Roem lari dan bersembunyi, karena dia tidak mau masuk Gontor. Dia dicari oleh ayahnya, ketahuan dan dikejar-kejar. Ayahnya yang sedang marah, memberinya hukuman. Paha Roem dipukul dengan tangkai bulu ayam yang terbuat dari rotan, sampai bengkak. Mau tidak mau Roem memenuhi kehendak ayahnya. Dia berangkat ke Ponpes Gontor.

Memandangi bangunan-bangunan di Gontor, bagi Roem kecil seperti melihat penjara. Karena itu hampir setiap bulan dia pulang kampung. Disiplin di Gontor keras sekali, santri, siapa saja yang bandel dihukum. Teman Roem banyak yang dihukum. Pernah sekali dia terlambat kembali ke Pondok.

Mestinya kembali Sabtu, Roem baru sampai di Pondok, Minggu. Dia pun kena sanksi, rambutnya harus dicukur gundul. Karena digunduli, beberapa bulan dia tidak berani pulang kampung, menunggu sampai rambutnya tumbuh panjang.

Di Gontor, Roem satu kelas dengan santri Abdussalam (sekarang Syaykh Ma’had Al-Zaytun Dr Abdussalam Panji Gumilang), mulai tahun pertama sampai tahun terakhir. Pendidikan di Gontor harus enam tahun, dari jenjang tsanawiyah sampai aliyah (SMP-SMA). Setelah enam tahun tamat. Sewaktu mereka tamat, ada persiapan acara peringatan lima windu atau 40 tahun usia Ponpes Gontor. Acaranya cukup besar sehingga anak-anak kelas VI dipercayakan menjadi anggota panitia penyelenggara.

Lantaran menjadi anggota panitia, mereka terlambat tiga bulan keluar dari Gontor. Seharusnya pada bulan Ramadhan, tetapi baru bisa pulang ke kampung masing-masing pada Idul Adha.

Setamat dari Ponpes Gontor, Roem bertemu lagi dengan AS Panji Gumilang di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Mereka satu kelas lagi, satu fakultas lagi.

Di situ, Roem masuk setengah tahun terlambat. Tetapi dia diterima, mungkin karena tamatan Gontor. Dia diterima, dengan catatan, sebagai pendengar. Selesai ujian setengah semester, Roem lulus dan dianggap lulus tes masuk, dan dia diterima resmi sebagai mahasiswa.

Roem tinggal di rumah bibinya, istri dosen IAIN, di kompleks perumahan dosen IAIN Ciputat. Sedangkan AS Panji Gumilang tinggal di Situ Gintung (Ciputat), sekarang wisma Muhammadiyah Cirende. Roem hanya kuliah setengah tahun di IAIN karena lolos untuk mendapatkan beasiswa di Universitas Islam Madina, Arab Saudi.

Gemar Olahraga
Kembali kisah ketika di Gontor. Di Gontor memang segala-galanya ada, mau olahraga disediakan waktu khusus. Ketika jam olahraga selesai dan bel berbunyi, Roem dan teman-temannya masih asyik berolahraga, terlambat kembali ke kelas. Roem kembali dihukum gundul. Memang di Gontor, pendidikan keagamaan dan karakter sangat keras,” kata Roem dalam wawancara dengan Tim Wartawan Majalah Tokoh Indonesia, di kantornya di Masjid Al-Akbar, Surabaya, Jawa Timur.

Hobi Roem, berolahraga sepakbola sebagai penjaga gawang, bola voli dan badminton. Hobi utamanya main badminton. Sewaktu kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir, dia juara badminton seluruh mahasiswa Asean plus Mesir. Dia pernah mengalahkan juara Malaysia, Thailand dan Indonesia yang lama. Roem juga pernah ikut kompetisi bola voley di Negeri Belanda bersama teman-teman mahasiswa Indonesia. Mereka tidak memperoleh juara karena tidak profesional.

Suatu saat dia pernah mengikuti kejuaraan daerah sepak bola antardesa se-Kabupaten Ponorogo. Tim kampungnya ikut dan jadi juara. Saat itu dia terpaksa meninggalkan Gontor, karena ikut kompetisi sepakbola, tetapi minta izin di sekolah ada urusan keluarga. Ternyata waktu final, wakil direktur Gontor ikut nonton. Teman-teman sekelas dan guru-guru juga ikut nonton. Sewaktu kembali ke Gontor, dia ditegur oleh Wakil Direktur Gontor: “Ternyata kejuaraan daerah lebih penting dari Gontor.” Roem disindir karena bermain olahraga lebih penting dari sekolah di Gontor.

Monyet Curi Pacul
Sewaktu duduk di kelas VI, dia (setiap santri) diwajibkan praktik mengajar. Sebernarnya dia juga menginginkannya. Dia praktik mengajar di kelas II. Tetapi teman-teman sekelasnya ikut masuk untuk menilai, mengkritik dan sebagainya. Roem sebenarnya ingin praktik mengajar bahasa Arab, tetapi tidak diperbolehkan. Dia diharuskan praktik mengajar bahasa Inggris. Karena tidak ada pilihan, dia terpaksa menerimadan melakoninya.

Pemberitahuan dari guru kelas waktu praktik mengajar pagi hari, keesokan paginya harus mengajar. Roem pun kelabakan untuk mempersiapkan diri, karena waktunya sangat singkat menyiapkan bahan-bahan untuk praktik mengajar. Dia terpaksa tidak tidur semalaman. Karena bahan-bahan tersebut harus ditulis tangan, belum ada komputer dan mesin foto-kopi. Menulisnya satu persatu, tidak boleh pakai karbon. Kalau diberitahu seminggu sebelumnya, dia pasti bisa leluasa persiapkan materi pelajarannya.

Namun demikian, Roem, sehabis praktik mengajar bahasa Inggris, mendapatkan nilai yang baik, meskipun belum termasuk yang terbaik. Komentar gurunya, Pak Zarkasih, yang diingatnya sampai sekarang, pepatah dalam bahasa Jawa: ketek nyolong petel (monyet curi pacul). Roem sendiri tak tahu artinya yang sesungguhnya. Intinya, hasilnya di luar dugaan.

Tak Betah di Pondok
Roem memang praktis tidak betah tinggal di Pondok secara permanen. Dengan segala alasan dia berusaha tinggal di luar. Hal ini dilakukannya mulai kelas IV. Dia tinggal di sebuah rumah, dekat masjid, yang jaraknya kira-kira setengah kilometer dari Pondok. Santri asal Ponorogo, waktu itu memang boleh tinggal di luar pondok.

Sampai kelas VI, ada pemeriksaan, ketahuan. Malam itu juga dia diwajibkan masuk ke pondok. Saat itu ada pengarahan dari pimpinan Gontor. Roem dipanggil maju ke depan kelas. Setelah ketahuan tinggal di luar pondok, dia digembleng habis, harus masuk pondok. Akhirnya dia masuk pondok. Namun Roem masih mencari akal. Roem tidak benar-benar masuk ke pondok, tetapi berpura-pura tinggal di Perdos (Perumahan Dosen) yang masih setengah jadi. Jadi, setiap hari dia muncul di situ, setiap ada pemeriksaan keliling dia ada di situ. Padahal malam harinya dia menghilang.

Dambakan Beasiswa
Masih soal keberadaan Roem di Gontor. Tahun 1962 ada dua guru muda. Mereka berdua akan diberangkatkan ke Madinah, Saudi Arabia. Yang satu orang Madiun dan satu lagi dari Balong, Ponorogo. Mereka sudah diumumkan akan dikirim ke Madinah. Dan saat itu kedua santri kelas VI itu sudah mengajar di Tsanawiyah (SMP). Roem saat itu masih duduk di bangku Tsanawiyah (SMP). Jika kedua santri (guru) itu melewati mereka, para santri remaja meniru cara mereka jalan. Soalnya, para santri remaja ingin sekali mendapat kesempatan seperti kedua santri tersebut.

Mereka mendambakan beasiswa seperti itu, tetapi rasanya tidak mungkin. Ternyata setelah sekian tahun, kedua santri tersebut belum juga berangkat ke Madinah. Bahkan satu dari kedua guru tersebut tidak jadi berangkat sampai sekarang. Roem tidak tahu kenapa.

Namun Roem, bersama tiga temannya, malah duluan memperoleh beasiswa yang mereka impikan. Roem termasuk yang paling kecil di antara mereka.

Beasiswa itu ditawarkan Pusat Rohani Angkatan Darat yang dipimpin oleh paman Roem sendiri, Mayjen Mukhlas Rowi. Waktu itu dia belum lama menjadi mahasiswa di IAIN Syarif Hidayatullah. Mereka ditawari beasiswa ke Universitas Islam Madinah, Arab Saudi. Dari enam orang yang terdaftar, ternyata yang diterima hanya empat orang.

Saat itu, Ponpes Gontor setiap tahun mendapat jatah empat santri ke Madinah. Setelah menamatkan kuliah di sana, mereka ditawari menjadi imam tentara. Mereka diberi prioritas. Namun tak satu pun dari mereka yang menerima tawaran tersebut. Padahal pamannya Roem, Kepala Pusroh AD.

Kenapa Roem tidak mau menerima tawaran tersebut? Rupanya sebelum berangkat ke Madinah, mereka menginap dikediaman Mayjen Mukhlas di Cikini Raya. Setiap sarapan pagi, pamannya masih mengenakan sarung dan kaus oblong, tetapi ajudannya harus memberi hormat tentara kepadanya. Roem merasa tak sanggup jika ditunjuk menjadi ajudan pamannya. Dia tidak sanggup mengenakan seragam tentara dan berdisiplin kaku seperti tentara.

Sepulang dari Kairo, Roem harus menggantikan peran ayahnya yang meninggal tahun 1974. Semasa hidupnya, ayah Roem seorang pensiunan prajurit yang beralih jadi petani. Roem anak tertua dari sepuluh bersaudara. Ketika ayahnya meninggal, delapan adiknya masih duduk di bangku SMA turun sampai SD. Tetapi adiknya nomor dua sekolah di Aljazair. Roem diangkat jadi dosen tetap tahun 1997, setelah mengajar secara honorer dari tahun 1974.

Dia sendiri menikah terlambat dengan seorang mahasiswinya di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, tahun 1980. Roem merasa bangga sekali bisa membiayai pendidikan kelima putranya, dan sembilan adik menjadi orang-orang yang sukses.  mti – Ch. Robin Simanullang dan Syahbuddin Hamzah

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

03 | Tukang Cuci Piring di Belanda

Roem Rowi acapkali bernasib mujur. Tidak lama setelah tamat dari Universitas Islam Madinah, dia memperoleh beasiswa di Universitas Al-Azhar, Mesir. Beasiswa itu didapat dari Ketua MPRS AH Nasution yang menunaikan ibadah haji, kemudian melakukan lawatan ke beberapa negara di Timur Tengah. Namun untuk menambah biaya kuliahnya, Roem melanglang ke Belanda, jadi pekerja kasar.

Selesai kuliah selama empat tahun di Universitas Islam Madinah, Roem memperoleh gelar strata satu (S-1).
Sedangkan di Indonesia saat itu hanya dikenal gelar sarjana muda (BA) dan doktorandus (Drs). Gekar BA diraih tiga tahun, dan sarjana lengkap lima tahun. Jadi ada kesenjangan masing-masing setahun.

Sepulang ke Indonesia, Roem mengalami kerepotan dengan titelnya lantaran kesenjangan tersebut, disamakan dengan BA lebih setahun, mau disamakan dengan Drs, kurang setahun.

Tahun 1970-an, di Indonesia tidak ada gelar S-1 empat tahun, yang ada hanya sarjana lengkap lima tahun, dan sarjana muda tiga tahun. Awalnya S-1 disamakan dengan sarjana lengkap, terakhir malah disiapkan sebagai sarjana muda. Kemudian, saat itu AH Nasution (Pak Nas), setelah menunaikan ibadah haji, melakukan lawatan keliling ke Kuwait, Bagdad, Syria dan Mesir. Pada setiap negara yang dikunjunginya dia ditawari beasiswa untuk para mahasiswa Indonesia. Semua ditampung oleh Pak Nas.

Roem dan teman-temannya yang baru menyelesaikan kuliah di Madinah mendapat tawaran beasiswa tersebut dari Nasution. Mereka ditawari untuk melanjutkan ke Al-Azhar, Mesir. Saat itu mereka ketemu Pak Nas di Makkah, Saudi Arabia. Mereka pun akhirnya pindah ke Mesir melalui Malaysia untuk menempuh program S-2 di Universitas Al Azhar. Sebelumnya, mereka ragu juga, karena sudah mengirimkan permohonan ke Emirat Arab untuk mengajukan beasiswa dari Liga Dunia Islam.

“Ternyata, pucuk dicinta ulam tiba. Kami mendapat fasilitas Asean untuk ke Mesir,” kata Prof. Roem Rowi kepada Tim Wartawan Tokoh Indonesia.

Di Mesir, pengurusan administrasi agak aneh, lambat sekali. Di sana visa menetap harus diperpanjang setiap tahun, sedangkan untuk memperpanjang visa prosesnya lama. Setiap kali datang ke imigrasi selalu dijawab besok alias bukroh. Besoknya datang ke situ belum selesai juga. Besok dan besok sampai enam bulan. Padahal visa tinggalnya hanya setahun. Namun, meskipun penerimaan belum resmi sudah boleh ikut kuliah. Hanya masalahnya, beasiswa belum cair bilamana belum diterima secara resmi.

Nama Roem Rowi turun (resmi jadi mahasiswa) saat ujian enam bulan kemudian. Beasiswanya otomatis dicairkan dan dirapel. Untungnya selama menunggu enam bulan, Roem masih punya tabungan. Di Mesir, musim panas empat bulan dan kuliah diliburkan. Daripada mengangur dan kepanasan di sana, Roem bersama teman-temannya berniat ke luar dari Mesir. Namun mereka tidak pulang ke Indonesia, karena tidak dikasih tiket pulang. Sedangkan sewaktu di Saudi, mereka diberi tiket pulang, tapi di Mesir tidak ada.

Bekerja Tanpa Gengsi
Karena tidak punya duit untuk pulang ke Indonesia, mereka mencoba pergi ke Belanda. Kebiasaan itu mereka lakukan pada setiap libur kuliah di musim panas. Di sana mereka tinggal empat bulan, kadang-kadang sampai lima bulan. Selesai ujian, mereka berangkat dari Juni sampai Oktober.

Sebab Oktober harus masuk kuliah lagi. Seringkali sampai November masih di Belanda, alasannya kerja. Mereka kerja sebagai buruh pabrik atau tukang cuci piring di restoran Indonesia dan di restoran Belanda. Pekerjaan mereka di restoran, memasukkan piring-piring kotor ke mesin pencuci.

Sebenarnya mereka bekerja secara tidak resmi, karena visa mereka visa turis. Tetapi waktu itu mereka mudah sekali mencari kerja. Cukup datang ke biro tenaga kerja, mendaftar, kemudian menunggu panggilan. Memang setiap mahasiswa di sana disarankan untuk bekerja setiap musim panas, saat libur kuliah.

Selama bekerja di Negeri Belanda, mereka tinggal di rumah-rumah kost milik pensiunan. Di sana para pensiunan menyewakan kamar-kamar rumah mereka. Pertama-tama mereka mondok di hostel, pondok remaja, karena murah sekali. Atau kadang-kadang mereka menginap dulu di rumah kenalan yang sudah lama menetap di sana. Mereka tinggal beberapa hari di situ sebelum mendapatkan tempat kost, yaitu rumah-rumah para pensiunan tadi.

Dari situ mereka mendapat pelajaran yang sangat berharga, yang sebenarnya sangat Islami. Roem pernah berkenalan dengan seorang mahasiswa Belanda. Orang tuanya menjabat sebagai kepala dinas PU Den Haag. Anehnya, dia mau kerja sebagai penyapu jalan, padahal orangtuanya pejabat. Roem bertanya, “apakah kamu tidak malu kerja seperti ini?” Jawabnya: “tidak, kami di Eropa, malu kalau tidak mau kerja atau tidak bekerja. Kerja apa pun kami mau.” Di sinilah Roem tersentak, sadar karena di Indonesia orang sangat menjaga gengsi. Di Belanda, semua orang hidup dari hasil keringat sendiri, tak perlu pertimbangan gengsi.

Padahal di Belanda mereka yang belum mendapatkan pekerjaan, selama menganggur, dijamin oleh pemerintah. Jaminan sosial diajukan ke Departemen Sosial, dikasih tunjangan 80 persen gaji terakhir. Di sana banyak orang Indonesia yang jadi sopir, salah satunya berasal dari Pandeglang. Dia malas bekerja, karena itu dia lebih senang mengajukan tunjangan sosial. Dia bermental Indonesia, mengajukan keterangan fiktif dan gaji terakhirnya di mark up. Akhirnya, dia dapat tunjangan sosial, 10 persen lebih besar dari gaji sopir yang bekerja. Kerja seminggu-dua minggu, dia berhenti, lantas minta tunjangan sosial. Begitu seterusnya.

Mentalitas Indonesia dan Eropah yang Islami
Satu lagi pengalaman lucu. Selama di Belanda, mereka bekerja setiap hari sampai sore, liburnya Sabtu dan Minggu. Mereka belanja ke pasar, cari bahan makanan yang enak dan murah, misalnya, jeroan, kulit ayam atau buntut ayam. Semua dijual murah di sana. Kenapa murah, karena di sana itu makanan anjing. Mereka membeli untuk jatah seminggu, masing-masing enam kilogram kulit, jeroan dan buntut ayam. Jatah ini untuk lima orang. Kalau kami beli banyak, penjaga toko selalu bertanya, “anjingmu berapa?”

Pengalaman lucu lainnya tentang mentalitas Indonesia, kalau naik kereta api ke kota, mahasiswa Indonesia di sana masih suka nembak. Mereka tidak pernah beli karcis. Kalaupun beli karcis dipakai berkali-kali. Biasanya, di atas kereta tidak ada yang mengontrol. Mereka bilang, “itulah gobloknya orang Jerman atau Belanda.” Kalaupun dikontrol, yang ditangkap hanya satu orang, karena keretanya nyambung, yang lain-lainnya lolos.

Karcis di sana distempel, hanya berlaku satu atau dua jam. Ada mahasiswa Indonesia yang bisa menghapus stempel karcis tersebut dengan rapih. Setelah stempel masa berlakunya dihapus, lalu distempel sendiri lagi, ditiru sampai persis sama. Dia bisa lakukan itu berulang-ulang, jadi tidak perlu beli karcis.

Roem punya kesimpulan bahwa prilaku seperti itu, dalam bahasa Jawa, pembawaan sejak lahir. Jadi itu sudah mendarah daging. Padahal dia lahir dan dibesarkan di Belanda, tapi mentalitasnya masih mental Indonesia. Sampai hari ini, kata Roem, banyak orang Indonesia yang bermental seperti itu, senang me-mark up anggaran, kerja tidak mau, hanya tandatangan di belakang meja. Kemudian masih menjaga gengsi memilih pekerjaan.

Padahal menurut ajaran Islam, Rasulullah pernah ditanya: “pekerjaan apa yang terbaik?” Jawab Rasulullah, “hidup dari hasil jerih keringatmu sendiri, itu yang paling mulia.”

Ternyata nilai Islami itu diterapkan di Eropa. Makanya ada yang berkesimpulan; ajaran Islam diterapkan di seluruh Eropa, meskipun manusianya tidak beragama Islam. Sistemnya dipraktikkan, agamanya tidak. Di sini agamanya dianut, tapi sistemnya tidak dipraktikkan. Karena itu, menurut Roem, kalau mau melihat contoh ajaran Islam, datang saja ke Eropa. Di Eropa, anjing saja tidak mau menyebrang kalau lampu lalulintas sedang merah. “Ini suatu nilai yang sangat baik,” kata Roem.

Di Eropa, sebelum jadi mahasiswa, harus pernah bekerja. Biasanya setiap calon mahasiswa dicarikan pekerjaan kasar yang sangat berat. Ini positif bagi pendidikan mental. Selama jadi mahasiswa setiap orang merasakan penderitaan rakyat, bagaimana beratnya mengais rezeki, bekerja memeras keringat.

Pada saat menjadi pemimpin, dia bisa merasakan penderitaan rakyat, sehingga orientasinya menyejahterakan rakyat, bukan hanya perutnya sendiri. “Sedangkan di Indonesia tidak, kesalahan kita di situ,” kata Roem.  mti – Ch. Robin Simanullang dan Syahbuddin Hamzah

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

04 | Bersahaja Ala Mesir

Meskipun punya uang dari beasiswa dan hasil kerja kasar di Belanda, M Roem Rowi bersama teman-temannya membiasakan diri hidup hemat ala Mesir. Di Mesir, pejabat atau petinggi negara tinggal di pemukiman-pemukiman rakyat biasa. Pemerintah memberi subsidi bagi kebutuhan pokok rakyatnya.

Sistem perkuliahan di Mesir bebas, asal sudah terdaftar, tidak ikut kuliah tidak apa-apa. Yang penting ikut ujian
semester dan bisa lulus. Sehingga ada mahasiswa yang kuliah di Al-Ahzar, tapi bekerja di Kuwait. Mahasiswa yang menghadiri kuliah S-2, paling banyak tujuh orang, satu di antaranya Roem. Tetapi begitu saat ujian tiba, yang ikut banyak sekali.

Soal ujian dijawab langsung pada poin-poinnya. Sehingga jawabannya ringkas, maka selesainya cepat. Karena cepat selesai, Roem malah disindir oleh mahasiswa-mahasiswa asal Mesir: “begitulah orang yang cerdik pandai.”
Meskipun banyak yang ikut ujian, paling-paling yang lulus tujuh orang. Meskipun ujian tulis lulus, kalau ujian lisan tidak lulus, maka hasil ujian tulis menjadi hangus dan harus mengulang kembali. Untungnya Roem termasuk mahasiswa yang tidak pernah ketinggalan. Dia menyelesaikan S-2-nya persis dua tahun.

Di Mesir, Roem bersama teman-temannya mula-mula sulit menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan makanan negeri seribu piramid itu. Tetapi lama kelamaan terbiasa juga karena dipaksa oleh kondisi dan situasi.

Semula mereka malu menggigit roti di sepanjang perjalanan, yang bagi masyarakat Mesir itu hal biasa. Memang pertama-tama mereka sulit menyantap roti yang tebal dan lebar. Karena itu mereka jarang sarapan pagi, acapkali menahan lapar. Mereka akhirnya harus berkompromi. Mereka membiasakan diri sarapan di mana saja. Di tempat menunggu bis kota atau di tempat kuliah. Mereka biasanya sarapan roti gombal, roti sebesar piring. Di bawahnya masih ada tepung gandum, kalau makan digesek-gesek. Karena sudah terbiasa, cara makan seperti itu dijalani saja.

Saat berjalan di dekat pasar pinggir jalan, mereka ketemu tomat atau bawang merah, mereka beli, ditaruh di atas roti. Sopir pun makan roti seperti itu sembari menyetir mobil. Roti, tomat dan bawang digigit begitu saja. Cara makan mereka seperti itu, tidak dicuci tapi langsung digigit.

Kalau tidak punya lauk, biasanya menggunakan selai yang diolah dari kulit jeruk. Jadi rasanya agak pahit. Rotinya sering mereka bawa ke kamar, kemudian menggoreng telur. Paling-paling kalau memasak, mereka merebus kacang merah sampai hancur, dikasih garam dan minyak. Rotinya dipotong-potong lantas dicolek ke bubur kacang merah. Itu makanan pokok di sana.

Di jalan-jalan raya, para pedagang asongan berjualan di tempat-tempat di antara jalan-jalan tersebut. Mereka berjualan begitu saja, sambil berdiri. Para pembelinya bermacam-macam, ada mahasiswa, polisi, tentara dan karyawan.

Memang ada restoran, tetapi tidak ada yang ala Indonesia. Di asrama, pagi diberi sarapan, juga siang, tetapi malamnya tidak dikasih. Malam hari mereka sering masak nasi sendiri.

Roem pernah punya pengalaman diundang makan oleh seorang warga Mesir di sebuah restoran. Di sana, pesan sate bukan per tusuk, tetapi per kilogram. Teman Roem memesan sate dua kilo, tusukannya dari besi, bukan dari bambu. Potongan satenya besar-besar. Lauknya nasi atau roti. Jadi di Mesir terbalik, tidak seperti di Indonesia, nasi jadi lauk dan daging jadi nasi. Roem hanya mampu makan 60 gram, sedangkan teman Mesirnya habis dua kilogram. Orang Mesir juga senang lalapan hati mentah.

Kebutuhan Pokok Murah
Di Mesir, pertanian dikelola secara profesional dan sangat terarah. Aliran Nil, ditarik sampai ke Sinai. Kemudian, padang seluas hampir 200 Km persegi di Alexandria, sudah dibikin daerah pertanian, diairi dengan hujan buatan. Ada kebun kacang panjang. Hasilnya, kacang panjang, panjangnya hampir satu (1) meter. Benih aslinya dari Jawa, pemikirnya orang Belanda. Tetapi pisang di Mesir tidak ada yang besar. Sedangkan mangga dan semangka sangat besar.

Negara tersebut juga negara penghasil beras. Beras di sana ada yang kecil, juga besar. Umumnya, pemerintah Mesir mengimpor beras dari Filipina untuk konsumsi dalam negeri. Beras produksi dalam negeri yang berkualitas bagus diekspor ke negara-negara Arab. Dan uniknya, beras produksi petani dibeli oleh pemerintah dengan harga tinggi. Harga beli pemerintah lebih tinggi dari harga pasar, sehingga petani diuntungkan. Pemerintah mengekspor beras produksi petani, dan membeli beras impor yang lebih murah, sehingga kerugiannya tertutup.

Menurut Roem, kebijaksanaan pemerintah sangat jauh berbeda dengan kebijakan pemerintah Indonesia. Perum Bulog, perusahaan milik pemerintah, malah mengimpor beras untuk mencari keuntungan. Membeli dari petani dengan harga dasar, nanti dijual mahal. Soal lain, timbangan di Indonesia tidak pernah beres, keuntungan juga diperoleh dari timbangan. Padahal dalam Al-Quran, ada satu surat yang mengancam pelakunya dengan siksaan.

Di Mesir, timbangan benar-benar dipenuhi. Roem sangat terkesan bahwa harga kebutuhan pokok rakyat semuanya dibikin murah. Harga barang-barang, seperti roti, beras, listrik dan gas Elpiji, tidak boleh naik. Harga satu tabung Elpiji di Indonesia sama dengan 20 tabung di Mesir. Tagihan telepon di sana enam bulan sekali. Tarifnya murah, karena memang disubsidi pemerintah. Biaya kesehatan gratis karena RS pemerintah. Pendidikan juga gratis, mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Pemerintah Mesir tidak mau tunduk pada tekanan IMF atau Bank Dunia.

Benar-Benar Gratis
Menurut Roem, sekolah di sana benar-benar gratis, tidak ada pungutan. Karena itu, banyak orang asing yang sekolah di Mesir. Pernah pada sebuah kunjungan delegasi DPR ke Mesir yang dipimpin oleh Syaiful Sulun, Roem (ketika masih studi di sana) menyampaikan beberapa hal kepada mereka.

Roem menjelaskan seraya bertanya. Di Mesir, pendidikan gratis, kebutuhan pokok murah, pelayanan kesehatan gratis, kebijakan-kebijakan direncanakan oleh pemerintah, tetapi diawasi oleh rakyat. Kapan Indonesia begitu?

Roem kecewa lantaran memperoleh jawaban dari salah seorang anggota delegasi, Oka Mahendra. Dia mengatakan: “Di Indonesia memang berbeda, yang mendirikan sekolah bukan hanya pemerintah, tapi masyarakat dan orangtua.” Karena jawaban DPR seperti itu, Roem merasa tidak perlu bertanya lagi.

Menurut Roem pejabat di Mesir tidak menerima fasilitas seperti pejabat atau petinggi di Indonesia. Menterinya tinggal di perumahan rakyat. Cuma di pintu gerbangnya dijaga oleh dua polisi. Mereka tidak memperoleh fasilitas istimewa. Sedangkan di Indonesia, fasilitas menteri lebih tinggi dari gajinya.

Satu hal yang patut ditiru oleh Indonesia. Seseorang sebelum diangkat sebagai menteri, ada tim yang secara diam-diam melacak kekayaannya. Begitu jadi menteri dan ada lonjakan kekayaan, dia diperiksa dan ditanya tentang asal-usul kekayaannya dari mana. Di sana ada UU, terjemahannya aneh: judul undang-undang tersebut, “Dari Mana Kau Dapatkan Ini”. Kalau di Indonesia bisa disebut UU Antikorupsi.

“Saya salut sehingga di Mesir tidak ada kemewahan, tidak kelihatan. Mungkin karena pernah jadi negara sosialis,” kata Roem. Mesir pernah menerapkan sistem pemerintahan sosialis ketika berada di bawah pemerintahan Presiden Jamal Abd. Nasser.  mti – Ch. Robin Simanullang dan Syahbuddin Hamzah

Data Singkat
Roem Rowi, Guru Besar Ilmu Al-Quran IAIN Sunan Ampel / Penyelami Rahasia Al-Qur’an | Direktori | al-zaytun, Guru Besar, Dosen

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini