Spesialis Otonomi Daerah
Siti Zuhro
[DIREKTORI] Peneliti senior Pusat Penelitian Politik – LIPI ini lebih sering menyoroti isu-isu seputar otonomi daerah, birokrasi, demokrasi lokal dan politik nasional. Menurut doktor bidang ilmu politik yang juga aktif di The Habibie Center ini, kemajuan Indonesia sangat ditentukan oleh berhasilnya pelaksanaan otonomi daerah.
Otonomi Daerah di Indonesia ditandai dengan bergulirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Banyak sudah perubahan yang terjadi setelah lebih dari satu dasawarsa kebijakan itu berjalan, khususnya dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Berbagai perubahan itu tentu tidak lepas dari pemikiran para pakar dan para peneliti, salah satunya Dr. R. Siti Zuhro, MA. Dari sekian banyak peneliti, Siti Zuhro memang dikenal lebih banyak melakukan penelitian mengenai otonomi daerah dan politik lokal. Bagi wanita kelahiran Blitar, Jawa Timur, 7 November 1959 ini dunia penelitian yang telah digelutinya sejak tahun 1980-an itu seolah sudah menjadi bagian dari jati diri. Karena itu, meski sangat menguasai isu-isu demokrasi, politik lokal, otonomi daerah, dan birokrasi, ia tak tertarik terjun ke politik praktis.
Ketika menjalankan aktivitasnya sebagai periset, wanita yang akrab disapa Siti ini mengaku paling senang saat terjun ke daerah untuk berdiskusi dan berinteraksi langsung dengan masyarakat lokal dan pemerintah lokal. Karena dari sana ia bisa mendapatkan data primer dari sumber-sumber pertama. Kepuasan lain sebagai peneliti bagi Siti adalah ketika laporan penelitian yang dikerjakan dan sudah diterbitkan dalam bentuk buku muncul di jurnal, media massa, dan diseminarkan. “Ketika bisa share begitu, ada kepuasan batin,” kata Siti seperti dikutip dari situs padangekspres.co.id.
Sebagai peneliti, Siti mempunyai obsesi terbesar yakni menyaksikan Indonesia maju. Untuk mencapainya, ia berkeyakinan bahwa kuncinya adalah pembangunan harus ditopang daerah. Artinya, otonomi daerah harus berhasil. Oleh sebab itu, peraih gelar doktor bidang ilmu politik dari Curtin University, Perth, Australia ini tidak pernah melewatkan kasus-kasus yang berkaitan dengan otonomi daerah, baik mengenai pemekaran, pemilukada, dan lain sebagainya. Dalam memberikan pandangan tentang masalah otonomi daerah, istri dari Abdussomad Abdullah ini selalu berusaha bersikap nasionalis.
Meski telah banyak perubahan yang terjadi, namun menurut Siti praktik otonomi daerah di Indonesia masih jauh dari tujuan utamanya. Indikator yang pertama, kualitas pelayanan publik masih rendah, yakni baru sekitar 10 persen dari 524 daerah (33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota) mampu melakukan yang terbaik dalam pelayanan publik. Yang kedua, jumlah penduduk miskin dan penganggur terbuka masih cukup tinggi, masing-masing sekitar 31,02 juta dan 8,59 juta jiwa (BPS, 2010). Kenyataan itu bertolak belakang dengan tujuan otonomi, yakni mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Dan yang menjadi kendala utama menurut Siti bukan semata masih rendahnya komitmen politik para elite, tetapi juga minimnya pengawasan, pengawalan, dan penegakan hukum. Pelaksanaan pilkada yang digelar sejak 2005 misalnya, menurut Siti turut mempengaruhi kinerja pemerintah daerah dalam sepuluh tahun terakhir ini. Sudah menjadi rahasia umum, pilkada sarat dengan praktik politik uang, karenanya sulit mengharapkan kepala daerah terpilih yang punya integritas, kapasitas, dan keberpihakan kepada kesejahteraan rakyatnya.
Seharusnya, masih menurut Siti, kepala daerah terpilih jadi pelopor terdepan melawan politik uang sambil membangun sistem kerja birokrasi berdasarkan imbalan dan hukuman serta menciptakan program pembangunan yang berpihak kepada rakyat, bukan aparat. Namun fakta yang terjadi di lapangan, hanya sebagian kecil kepala daerah yang dapat memenuhi komitmennya memberikan pelayanan publik dengan sebaik-baiknya. Sementara yang sebagian besarnya lagi hanya sibuk mengurus diri dan kelompoknya.
Siti menilai kegagalan otonomi daerah juga disebabkan kesan elitis, yakni lebih melibatkan eksekutif dan legislatif daerah dan mengesampingkan partisipasi publik serta memperlihatkan kepentingan elite pusat. Contohnya dalam pembuatan UU, banyak aspirasi dan kepentingan daerah yang tak terakomodasi dengan baik. Tak sedikit pula program pembangunan ekonomi yang sia-sia lantaran proses pembuatan program dan pelaksanaannya mengabaikan partisipasi rakyat.
Siti menambahkan, seharusnya sebagai pemilik kedaulatan, partisipasi rakyat dalam otonomi daerah dilihat sebagai sebuah keniscayaan. Dengan keterlibatannya yang tinggi, masyarakat akan semakin menyadari hak dan kewajibannya, sebab sejatinya rakyat bukanlah pihak yang tak tahu diri, apalagi tak tahu berterima kasih.
Secara umum, Siti menyebut ada empat tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini. Pertama, tumpang tindih peraturan yang membingungkan daerah. Kedua, persepsi sepihak daerah tentang kewenangan. Tak sedikit kepala daerah yang sempit memahami otonomi daerah: sebagai pihak yang diberi wewenang luas mengatur daerahnya. Selain mengaburkan relasinya dengan struktur pemerintahan di atasnya, persepsi ini juga turut menyuburkan munculnya raja-raja kecil di daerah.
Ketiga, kerumitan pengelolaan hubungan wewenang antardaerah dan antarjenjang pemerintahan. Keempat, kolaborasi elite dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah yang muncul sebagai akibat langsung dari politik transaksional dalam pilkada. Oleh karena itu, birokrasi cenderung tak profesional dan netral sehingga menghambat fungsi pelayanan publik dan memunculkan kebijakan yang tak probisnis.
Di tengah kegamangan otonomi daerah seperti itu, ibu satu putra ini menyebut bahwa tak sedikit elite politik lokal dan pusat yang melihat otonomi daerah sebagai ladang baru untuk memperoleh kekuasaan. Dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, banyak di antara mereka yang menjadikan isu pemekaran daerah misalnya sebagai obat mujarab kegagalan otonomi daerah. Dalam kurun 1999-2010, jumlah daerah otonom baru pun mencapai 205 (7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota).
Menurut peraih gelar master bidang Ilmu politik dari The Flinders University, Adelaide, Australia ini, secara keseluruhan berdasarkan jumlah wilayah yang dimekarkan, hasilnya belum positif jika dibandingkan dengan esensi otonomi daerah itu sendiri, yakni meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Siti beranggapan, alih-alih mempercepat kesejahteraan rakyat, pemekaran daerah justru hanya memperberat APBN. Seperti disebutkan di atas, pemekaran wilayah masih sering menjadi forum politisi untuk jadi pimpinan di daerah baru.
Mengenai wacana bahwa pemerintah mematok 40 provinsi saja sampai 2025, Siti mengatakan bahwa patokan angka mati tidak bisa diberlakukan untuk pemekaran wilayah. Jumlah daerah menurutnya erat kaitannya dengan perspektif berbagai bidang dan dimensi. Pemekaran wilayah harus disesuaikan dengan konsistensi parameter pemekaran dengan mengacu kepada esensi pemekaran, berupa kemampuan mengurus wilayah, mengelola daerah, dan melayani publik.
Sebagai peneliti, Siti mempunyai obsesi terbesar yakni menyaksikan Indonesia maju. Untuk mencapainya, ia berkeyakinan bahwa kuncinya adalah pembangunan harus ditopang daerah. Artinya, otonomi daerah harus berhasil.
Bicara soal pemekaran, wanita yang juga bekerja sebagai peneliti di Habibie Center ini mengingatkan agar tidak melupakan soal pengembalian dan penggabungan. Evaluasi kinerja sudah terangkum dalam PP No 6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaran Pemerintah Daerah. Peraturan perundangan ini yang kemudian bertugas menjatuhkan ranking terbaik dan terburuk sesuai patokan yang disediakan dalam undang-undang. Peraturan ini pun tidak semata berhenti pada evaluasi. Tapi juga bagaimana dengan pengawasan pemerintah.
Mengenai pengawasan pemerintah, Siti yang menyabet gelar sarjana Ilmu Hubungan Internasional FISIP dari Universitas Jember ini mengatakan sejauh ini masih sulit. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) menurutnya belum berfungsi dengan baik. Akibatnya, pemekaran wilayah berkembang liar. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan perbaikan di bidang pengawasan. Caranya, DPOD sebaiknya dikoordinasikan langsung ke wakil presiden atau presiden. Dengan begitu, mereka punya kekuatan yang mengikat. Selain itu, standar kelayakan daerah yang akan dimekarkan juga benar-benar teruji.
Sehubungan dengan masalah di atas, maka menurut Siti, yang mendesak dilakukan adalah mereformasi kelembagaan daerah dan atau birokrasi lokal, secara konseptual maupun komprehensif. Mencakup perbaikan birokrasi di pusat sampai daerah. Kemudian perbaikan penyelenggaraan pilkada di 398 kabupaten dan 93 kota untuk melahirkan kepala daerah yang sesuai dengan harapan rakyat dan memperkecil terjadinya konflik, kerusuhan, dan amuk massa dalam pilkada yang hanya berujung pada penderitaan rakyat.
Sedangkan mengenai polemik sengketa pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang belakangan makin kerap terjadi, Siti mengatakan bahwa hal tersebut merupakan imbas dari kurangnya pendidikan politik kader. Dikatakan, pilar demokrasi adalah partai politik, pemilu dan parlemen. Tapi ada satu subpilar demokrasi lagi, yaitu nilai-nilai budaya politik, aktor, juga kelembagaannya. Dalam konteks Pemilukada, menurutnya, tak hanya budaya politik yang belum baik, tapi teladan dari para aktor juga sangat minim.
Siti yang merupakan anggota tim perumus RUU Pemilukada usulan Kemendagri ini menambahkan, rumusan RUU Pemilukada tidak sekadar menarik kembali kewenangan penyelesaian sengketa Pemilukada dari Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, dalam setiap tahapan Pemilukada nantinya, akan dibentuk peradilan ad hoc sebagai langkah antisipatif dalam setiap tahapan agar dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik dan bentrokan massa. Selain itu, upaya ini dimaksudkan agar tidak ada lagi penumpukan perkara di MK pasca pencoblosan. Namun, siapa yang berwenang untuk menyelesaikan, apakah dikembalikan ke Pengadilan Tinggi atau MK yang bersidang di daerah, seperti usulan Mendagri, itu menurutnya sedang dipikirkan.
Menanggapi pemilukada selama ini, dengan membuat tahun 2010 sebagai starting point, Siti menyatakan, memang muncul konflik, kerusuhan serta tidak pada jalur yang semestinya. Pada tahapan pencalonan saja, sudah mulai ada resistensi masyarakat. Bahkan ada kantor KPUD yang dibakar massa. Dalam beberapa kasus, yang terjadi bukan sebatas konflik lagi tetapi rusuh, amuk massa yang kemudian menjurus pada tindakan anarkis.
Mengenai hal tersebut, perempuan yang telah menghasilkan sejumlah karya tulis ini menengarai, salah satu pemicunya adalah ketidakdewasaan kandidat. Maka untuk meminimalisir terjadinya konflik, Siti mengatakan, nanti persyaratan calon akan lebih diperketat. Dalam RUU Pemilukada juga telah dibuat persyaratan yang ketat bagi calon yang akan maju. Akan ada parameter calon yang terukur jelas. Misalnya, si calon harus punya track record yang baik, latar belakang pendidikan yang memadai, dan yang tak kalah penting, memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Parameternya, paling tidak calon itu tidak menimbulkan kontroversi. Dengan demikian, RUU Pemilukada diharapkan akan memberikan satu jaminan bahwa calon kepala daerah tidak sekadar populis tetapi juga profesional, memiliki kapabilitas dan akseptabilitas yang tinggi. Terkait dengan hal itu, Siti berpendapat bahwa pendidikan politik tidak hanya perlu untuk masyarakat umum tetapi juga pada para elit dan aktor yang terlibat pada Pemilukada.
Menurutnya, tak akan ada kerusuhan kalau tidak diiyakan para elit. Sehubungan dengan itu, Siti pun menyayangkan karena masyarakat dijadikan sebagai jangkrik yang diadu oleh para elit yang kepentingannya saling berbenturan. Karena itu, pendidikan politik perlu bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk elit dan aktornya. Sekarang, yang harus dipikirkan katanya adalah bagaimana mereka betul-betul dewasa untuk tidak sekadar mengambil kekuasaan, tapi juga menjunjung tinggi demokrasi. “Kalau sekadar strugle of power (mengambil kekuasaan) jangan bermimpi bahwa dia akan mampu menjadi pemimpin masyarakat, dan memberikan pelayanan yang baik. Tidak ada rumusnya itu,” kata Siti Zuhro.
Karena sangat rentan dengan konflik, semua tahapan Pemilukada sudah harus diantisipasi sedemikian rupa agar publik nantinya bisa menerima keputusan KPUD tentang pasangan mana yang memenuhi syarat dan pasangan mana yang tidak memenuhi syarat. Kejadian yang lalu menurutnya harus dibuat sebagai bahan pembelajaran dan yang terpenting adalah persyaratan calon harus disosialisasikan sedemikian rupa. Dengan demikian, tahapan-tahapan yang berpotensi menimbulkan konflik dapat diantisipasi hingga penyelenggaraan Pemilukada selesai.
Selain berbagai hal disebut di atas, wacana pemilihan gubernur oleh DPRD Provinsi juga sedang berkembang. Mengomentari hal tersebut, Siti Zuhro menyatakan sangat tidak setuju karena hal itu menurutnya berarti kembali ke masa lalu (Orde Baru). “Esensi demokrasi itu tentang rakyat, artinya partisipasi dan perwakilan rakyat,” kata Siti seperti dilansir situs tempo interaktif.
Menurutnya, pengalaman masa Orde Baru yang mengajarkan pemilihan gubernur oleh DPRD terbukti dirasa tidak memuaskan. Pemilihan semacam itu sangat tidak transparan, bersifat elitis, banyak politik uang, dan benar-benar di luar jangkauan masyarakat.
Sebaliknya, pemilihan langsung diharapkan dapat membuat masyarakat bisa ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab, termasuk dalam mengawal kebijakan publik. “Jika kembali seperti semula (gubernur dipilih DPRD), artinya pilkada langsung belum dimaknai filosofi awalnya. Pergantian gubernur hanya dimaknai sebagai pergantian pimpinan dan pergantian kekuasaan. Ini menyesatkan,” tambah Siti.
Menanggapi pendapat beberapa pihak yang menyebut pemilihan gubernur oleh DPRD akan mengurangi biaya, efisien dan sebagainya, menurut Siti hal itu tidak bisa dijadikan alasan. Sebab, dengan dipilih DPRD, pemilihan gubernur malah tetap berpeluang terjadinya politik uang yang sifatnya semakin elitis. Jadi jika dalam perjalanannya pemilihan kepala daerah secara langsung belum berkualitas, cara yang bisa dilakukan menurutnya adalah dengan melakukan pembenahan.
Sementara itu, menanggapi masalah keistimewaan Yogyakarta yang pernah ramai diperdebatkan bersamaan dengan pembicaraan draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta yang mengerucut pada masalah apakah kepala daerah Yogyakarta ditetapkan atau dipilih, Siti berpendapat bahwa wacana Gubernur DIY dipilih secara demokratis bukanlah hal baru. Karena ada landasan hukum yang secara khusus mengatur hal tersebut. Dengan demikian, perdebatan seputar model keistimewaan Yogyakarta dalam RUUK jangan dilihat sebagai tindakan pemerintah mengobok-obok dan berupaya menghilangkan keistimewaan provinsi yang pernah menjadi ibukota negara itu. Siti juga mengingatkan, draft RUUK yang disusun pemerintah tersebut semata-mata demi untuk tetap meletakkan Yogyakarta sebagai sebuah daerah yang istimewa.
Terkait perdebatan apakah Gubernur Yogya ditetapkan atau dipilih, ia berpandangan, posisi Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam harus ditempatkan sebagai figur pemersatu bangsa. Dengan menempatkan dua tokoh tadi sebagai pemersatu bangsa, maka peranan dalam memimpin pemerintahan tidak lagi dominan. Pelaksanaan pemerintahan sehari-hari bisa dilaksanakan orang lain yang telah mendapatkan restu dari keduanya. Sedang mengenai mekanismenya dilakukan melalui pemilihan.
Selain meneliti masalah otonomi daerah, peneliti senior LIPI ini juga juga banyak meneliti perihal masalah politik nasional. Dalam mengamati perpolitikan nasional, Siti Zuhro kerap memberikan analisis yang tak kalah kritis dan tajam.
Hingga tahun 2011, dari hasil berbagai penelitiannya, Siti setidaknya sudah menerbitkan sembilan buku, di antaranya, Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-nilai Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali (2009).
Meski sudah banyak hasil penelitiannya yang dipublikasikan, namun Siti sejauh ini merasa masih banyak hasil penelitiannya itu yang belum diapresiasi secara baik dan dipertimbangkan serius oleh para pembuat kebijakan. Bahkan kondisi yang cenderung tidak menghargai dunia akademis semakin dirasakannya dengan menciutnya anggaran untuk LIPI. Sebaliknya, dana-dana aktivitas penelitian banyak diberikan kepada kementerian yang bukan institusi penelitian. muli, jk, red