Berdayakan Ekonomi Maritim
Laode Masihu Kamaluddin
[WIKI-TOKOH] Kecintaannya pada laut sudah tertanam sejak kecil. Sebagai seorang anak nelayan Laode Masihu Kamaluddin kelahiran Kaledupa, Wakatobi, 17 Agustus 1949 ini memiliki gagasan tentang sabuk ekonomi maritim. Ia juga salah satu tokoh penggagas terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan. Berkat gagasannya laut dan daerah kepulauan semakin lebih diperhatikan. “Barangsiapa menguasai gelombang, dialah yang akan menguasai perdagangan. Barangsiapa menguasai perdagangan, dialah yang akan menguasai dunia!”
Spirit yang melandasi kejayaan Britania Raya sejak berabad-abad lampau tersebut, bagi Laode Masihu Kamaluddin, masih sangat relevan dengan tata ekonomi dunia hari ini. Buktinya? Sekarang pun ada dua gelombang yang masih jadi rebutan: gelombang udara (baca: frekuensi) dan gelombang laut
Indonesia sebagai negara kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya berupa laut dan pantai, sudah seharusnya melihat laut sebagai potensi untuk menjadi bangsa yang maju dan disegani.
“Bagaimanapun, 90 persen perdagangan dunia masih melalui laut, dan 40 persennya melalui Indonesia,” ujar tokoh penggagas terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan ini.
Keyakinan bahwa masa depan ekonomi Indonesia ada di laut itu pula yang mendorong Masihu—begitu ia biasa disapa—mengembangkan gagasan sabuk ekonomi maritim berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai. Konsep yang mengajak pembangunan negara ini berpaling ke laut itu diperjuangkan Masihu sejak ia duduk di kursi legislatif pada kurun 1993-2004 hingga sekarang.
Guru besar di Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Universitas Islam Bandung, dan Universitas Muhammadiyah Malang ini memanfaatkan berbagai forum ilmiah dan seminar untuk terus menyuarakan gagasannya sebagai ilmuwan. Meskipun Departemen Kelautan dan Perikanan sudah terbentuk, ia belum puas karena spiritnya belum seperti yang diharapkan.
Masihu terus berjuang supaya gagasannya tentang sabuk ekonomi maritim berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai itu terwujud. Dia ingin supaya provinsi dan atau kabupaten yang berbasis maritim dengan provinsi/kabupaten yang memiliki daratan luas harus dipisah pola fiskalnya.
“Seperti Wakatobi (kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara), ini tidak akan pernah bisa mengejar ketertinggalan dari yang lain karena perhitungan dana alokasi umum atau DAU berdasarkan luas daratan. Laut tidak diperhitungkan. Dalam konsep pemerintah, yang dimaksud wilayah adalah daratan. Ini merugikan daerah yang lebih luas lautnya,” jelasnya.
Pembangunan ekonomi maritim yang ia maksudkan di antaranya menyangkut fungsi dari wisata bahari, perikanan, transportasi, dan pengembangan pelabuhan. “Ini harus menjadi kerangka kerja pengembangan ekonomi maritim Indonesia. Ini gagasan awalnya,” kata Masihu.
Keyakinannya akan potensi laut Indonesia ini karena sumber daya di bawah laut begitu besar dan belum tereksplorasi.
“Emas, uranium, dan titanium kita penuh, tapi teknologi kita belum nyampe. Saya orang kimia, jadi paham. Saya sudah tulis itu di buku. Sekarang problemnya masih teknologi saja,” ujarnya.
Bersitegang dengan Habibie
Ketika menjadi anggota DPR pada 1997-1999, Masihu pernah berdebat “sengit” dengan BJ Habibie yang saat itu menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi. Masihu memprotes Habibie yang mengagungkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam satu persidangan di DPR, tahun 1997, Masihu menguraikan gagasannya tentang sabuk ekonomi maritim berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai. Beberapa bulan kemudian, tak lama setelah Habibie terpilih menjadi wakil presiden, Masihu yang baru pulang dari kunjungan kerja di Yogyakarta mendapat kabar bahwa dirinya dicari BJ Habibie.
“Saya sempat takut juga. Saya kira mau dimarahi karena bersitegang di DPR itu. Pas masuk, saya minta maaf kepada Wapres. Tapi di luar dugaan, saya malah disuruh duduk untuk menceritakan kembali gimana konsep membangun ekonomi maritim yang saya maksud,” papar Masihu.
Habibie lalu meminta Masihu membantu Wapres yang hendak mengembangkan dunia maritim.
“Saya kemudian jatuh hati kepada Habibie, dari berhubungan sebuah konsepsi lahir kerja sama. Itu yang membuat saya kagum. Di Indonesia jarang orang seperti itu. Biasanya, kalau kita berbeda pendapat, bermusuhan. Karena itu saya respek, bersahabat. Saya disuruh menulis konsep itu,” ceritanya.
Gagasan Masihu inilah yang akhirnya bisa mendorong supaya kelautan dan daerah kepulauan diperhatikan. Gagasan itu bahkan telah ia tuangkan dalam bentuk buku, terutama tentang bagaimana mengembangkan perikanan dan kelautan, pulau-pulau kecil, perhubungan, industri kelautan di pelabuhan, pariwisata bahari, hukum laut, sistem pertahanan laut Indonesia, dan pengelolaan kapal-kapal tenggelam.
Belum puas
Meski kini sudah ada Departemen Kelautan dan Perikanan, Masihu merasa wilayah kepulauan dan daerah pesisir masih diabaikan. Dirinya tetap masih memperjuangkan supaya dalam pandangan fiskal harus dibagi dua, untuk daerah yang berbasis lautan luas dan yang berbasis daratan luas.
Menurut Masihu, Indonesia merupakan negara kepulauan, tetapi konsepsi kita tidak mencerminkan sebuah pandangan negara kepulauan. Kenyataan ini yang mendorong Masihu untuk kembali memperjuangkan penerapan gagasan-gagasannya itu.
Salah satunya, ia berharap terjadi penguatan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD melalui orang-orang yang kelak—pada periode hasil pemilu mendatang—duduk di dalamnya.
Saat ini, Masihu bersama salah satu badan PBB sedang merancang pendidikan politeknik maritim di Sibolga, Sumatera Utara. Politeknik maritim ini sebagai bagian dari konsep sabuk ekonomi maritim berbasis kepulauan yang ia gagas.
Mengapa di Sibolga? Sebab, Sibolga adalah bagian dari kota pantai yang mengarah ke Samudra Indonesia. Pada waktu-waktu tertentu, kapal-kapal ikan yang berada di Samudra Indonesia harus mengambil minyak, air, garam, dan lain-lain di Sibolga. Aktivitas ini bisa menggerakkan roda ekonomi wilayah Sibolga dan sekitarnya.
“Feeling saya, kalau Indonesia tidak jadi negara maritim, Indonesia tidak bisa maju. Karena daratan kita terbatas dan padat. Adapun laut kita potensinya sangat luas dan belum tergarap dengan baik,” kata Masihu.
Kecintaan dia pada laut sudah tertanam sejak lama. Dia adalah anak nelayan dari Kaledupa (dulu di Kabupaten Buton, sekarang Kabupaten Wakatobi). Ketika kecil, Masihu hidup di laut, berlayar ke pulau-pulau lain di Indonesia bersama ayah dan keluarganya.
“Ilmu kelautan sudah saya tamatkan secara alami ketika masih di sekolah dasar. Saya paham betul bagaimana laut itu dan manfaatnya bagi kesejahteraan bangsa. Semua data tersebut saya punya,” ujarnya. e-ti | red
Sumber: Kompas, Sabtu 27 Desember 2008 dengan judul “Ekonomi Maritim di Ujung Gelombang” | Ester Lince Napitupulu