Keuletan ‘Sarjana’ Krisan Bandungan

[WIKI-TOKOH] Wahyudi awalnya hanya petani penggarap yang tidak memiliki lahan pertanian. Namun, berbekal ketekunan dan keuletan, laki-laki yang tak tamat sekolah dasar itu mampu memperbaiki nasibnya lewat budidaya bunga hias di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Kawasan Bandungan memang terkenal sebagai produsen bunga hias, terutama krisan (Chrysanthemum), selain dikenal dengan posisinya sebagai kawasan wisata di lereng Gunung Ungaran. Bunga hias dari Bandungan dikirim ke sejumlah kota, seperti Semarang dan Yogyakarta.
Sumbangsih bunga itu bagi roda ekonomi masyarakat di sekitar Bandungan relatif tinggi. Tahun 2009 produksi bunga krisan mencapai 20,3 juta tangkai. Dengan harga jual rata-rata Rp 10.000 per ikat yang berisi 10 tangkai, nilai produksi krisan mencapai Rp 20 miliar per tahun.
Dusun Ngasem di Desa Jetis, Bandungan, tempat tinggal Wahyudi, merupakan salah satu sentra bunga krisan. Di dusun itu terdapat lima-enam hektar lahan pertanian krisan yang dimiliki sekitar 35 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Krisan “Sri Rejeki”.
“Di antara para petani krisan, Pak Wahyudi itu orang yang fenomenal sampai dijuluki sesama petani sebagai ‘sarjana’ krisan,” tutur Koordinator Seksi Budidaya pada Kelompok Tani Krisan Sri Rejeki, Sujatmiko.
Produktivitas dan kualitas bunga krisan Wahyudi, lanjut Sujatmiko, selalu di atas rata-rata petani yang lain. Bunga yang ditanam Wahyudi pada setiap panen lebih dari 70 persennya masuk kategori A, sedangkan sisanya B. Sementara petani lainnya rata-rata hasil panennya di bawah 50-60 persen yang masuk kategori A.
Bunga krisan kategori A biasanya memiliki daun yang hijau tanpa bekas serangan hama, tinggi batangnya lebih dari 80 sentimeter, serta kelopaknya berwarna cerah. Sementara klasifikasi B biasanya terserang hama serta kurang baik kualitasnya.
Klasifikasi tersebut menentukan standar harga yang diterima petani. Misalnya, pada posisi harga Rp 10.000 per ikat untuk krisan kelas A, maka bunga yang masuk klasifikasi B hanya dihargai separuhnya.
Apa ada teknik khusus? “Sama saja dengan petani lainnya di kelompok,” tutur Wahyudi saat ditemui di kebun bunga krisan miliknya akhir Januari lalu.
Wahyudi tak hanya menyimpan “ilmu” krisan untuk diri sendiri. Dalam pertemuan kelompok tani, dia biasa berbagi pengalaman, termasuk cara menanam dan memelihara krisan kepada sesama petani. Ia juga kerap membimbing mahasiswa fakultas pertanian dari sejumlah universitas di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang praktik lapangan di lahannya.
Membuat sendiri
Proses tanam dimulai dengan menyiapkan benih dari indukan yang sudah disisihkan. Tanaman indukan dipotong, kemudian diberi perangsang akar dari parutan bawang merah dan fungisida. Wahyudi memilih membuat sendiri obat perangsang akar itu, tidak seperti petani lainnya yang sering kali membeli obat racikan di pasar.
Setelah itu, bibit krisan disemai selama 15 hari sebelum ditanam dan siap dipetik empat bulan kemudian. Pada proses penanaman, Wahyudi mengupayakan bertahap agar ada jeda usia tanaman sehingga ia bisa terus panen setiap pekan. Biasanya dua kali sepekan dia bisa memanen sekitar 1.000 batang.
“Bumbu” pembeda yang membuat tanaman krisan Wahyudi relatif baik adalah ketelatenan dan ketekunan. Dalam pengertiannya, hal itu dimaknai dengan rajin membersihkan rumput di sekitar tanaman agar nutrisi yang diperlukan krisan tidak “dikuasai” rumput. Dia juga telaten memeriksa daun dan kelopak bunga sehingga hama yang muncul bisa diatasi sedini mungkin.
Hal itu terlihat dari aktivitas hariannya di kebun, yang dimulai pukul 05.30. Pukul 07.00 dia pulang sejenak ke rumah yang berjarak sekitar 300 meter dari kebun untuk sarapan. Satu jam kemudian ia kembali ke kebun. Tengah hari, pulang untuk mengaso sekitar satu jam. Setelah itu, Wahyudi kembali lagi ke kebun. Pukul 16.00, pulang sejenak untuk shalat dan selanjutnya kembali berkutat dengan krisan hingga matahari terbenam.
Kerja keras Wahyudi sebanding dengan hasil yang diperolehnya. Dari tanaman hias tersebut, dia mampu membuat rumah permanen dengan lantai keramik seluas 91 meter persegi, menyewa lahan seluas 1.500 meter persegi untuk 17 tahun, serta membeli tanah 2.000 meter persegi.
Petani penggarap
Wahyudi sebelumnya hanya petani penggarap yang tak memiliki tanah. Ia awalnya sekadar membantu orangtuanya menggarap ladang milik orang lain dengan model bagi hasil. Di sela-sela itu, ia juga meminta bibit bunga gladiol (Gladiolus hybridus). Dia menanam bunga tersebut di sela-sela tanaman sayuran di ladang garapan orangtuanya.
Belakangan, awal tahun 1990-an, ia mulai mandiri dengan menggarap lahan tetangganya dengan model bagi hasil separuh. Ia menanam gladiol dan merawatnya, sedangkan tanah, bibit, dan pupuk disiapkan pemilik tanah. Selama dua tahun ia bekerja, terkumpul sedikit uangnya.
Wahyudi memberanikan diri mengambil risiko menyewa lahan seluas 600 meter persegi dengan harga Rp 250.000 setahun. Ia harus menanggung sendiri biaya operasional, tetapi juga mendapat seluruh keuntungan tanaman itu.
Lambat laun ia mulai beralih menanam krisan karena merasa gladiol tidak bisa terus-menerus dikembangkan lantaran harus ada jeda tanaman sebelum tanah siap kembali ditanami gladiol. Ternyata hasilnya bagus. Ia lalu belajar membuat indukan krisan sehingga tak perlu harus membeli hingga ke Bandung, Jawa Barat.
Langkahnya tentu tidak mulus-mulus saja. Penyebabnya, harga krisan terkadang berfluktuasi. Suatu ketika bisa mencapai Rp 15.000 per ikat, tetapi pernah pula hanya dihargai Rp 4.000 per ikat. Harga normal yang bisa membuat petani untung sekitar Rp 8.000 per ikat.
“Biasanya saya menyiasati dengan tidak menanam pada bulan Suro penanggalan Jawa serta bulan puasa. Sebab, biasanya harga jatuh karena permintaan sedikit lantaran tidak ada hajatan,” tuturnya.
Wahyudi mengaku tak terlalu berambisi karena usaha ini dibangunnya dari titik nadir. Ia hanya berharap hasil pertaniannya bisa mengantarkan kedua anaknya mencapai jenjang pendidikan tinggi. Dengan begitu, kedua anaknya bisa benar-benar menjadi sarjana, bukan sekadar berjulukan “sarjana” krisan seperti ayahnya yang tak tamat sekolah dasar karena ketiadaan biaya. e-ti
Sumber: Kompas, Sabtu 5 Februari 2011 | Antony Lee