
[WIKI-TOKOH] Bagi kurator seni kontemporer ini, sebuah karya seni yang sempurna lahir dari kebebasan.
Hujan pertengahan Juli membasahi kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Tepat di pintu depan Gedung Galeri Nasional, sepekan silam, seorang laki-laki berambut gondrong terlihat asyik berbincang bincang dengan beberapa orang. Penampilannya sederhana, dengan T-shirt berlengan, sepatu kets, ditambah sebuah topi.
Dia, si rambut gondrong, adalah Asmudjo Jono Irianto, seorang kurator kawakan yang sudah bergelut dalam dunia seni rupa selama 30 tahun. Dad rentang pengalaman panjang itu, pria asal Bandung, Jawa Barat, ini bisa mengutarakan, “Sekarang ini, karya seni rupa sudah menjadi mata pencaharian. Pemerintah mah belum mendukung sepenuhnya kesenian di Indonesia.”
Sebenarnya, kata dia, semua negara berkembang mengalami permasalahan yang sama dalam seni kontemporer. “Singapura, Thailand, dan Malaysia pun mengalami karut-marutnya perkembangan kesenian,” tuturnya.
Di mata Asmudjo, persaingan antar-seniman di tiap negara berbeda. Namun setiap hasil karya, baik knya maupun krida, memiliki kesamaan, yakni terilhami dari karut-marut politik, ekonomi, dan sosial budaya.
“Bedanya hanya satu, yaitu pemerintah belum berprioritas pada seniman di Tanah Air. Meski ada, itu sangat kecil sekali,” tegasnya.
Enam puluh lima tahun kemerdekaan yang telah berjalan dirasa belum memberikan sesuatu yang besar. Itu, kata Asmudjo, yang menjadi .keresahan para seniman dalam menuangkan inspirasi dalam berbagai karya.
“Perlu ada terobosan. Kita memiliki keanekaragaman budaya yang dapat mengalahkan negara lainnya. Saya berharap ada perhatian khusus di bidang ini,” tutur sang kurator.
Asosiasi kurator
Sejak kecil, Asmudjo sudah menyukai berbagai lukisan dan patung. Kecintaan terhadap hasil karya manusia itulah yang membuat hati kecilnya tergerak untuk menimba ilmu di bidang seni rupa.
Masa sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama dihabiskannya di Jakarta. Pengaruh modernisasi di Ibu Kota membuatnya cukup terpengaruh oleh berbagai aliran seni lukis abstraksionis.
“Saat itu, saya tidak berpikir untuk menyukai aliran naturalistis. Aliran ini akan tetap sama sehingga saya lebih menekuni seni abstrak kontemporer,” terangnya.
Pada 1983, Asmudjo masuk sebagai mahasiswa di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Pada masa perkuliahan hingga lulus pada 1990, cara pandangnya tentang seni rupa terpengaruh oleh gaya Eropa dan Asia.
Berbagai pameran berkelompok di luar negeri juga diikutinya bersama beberapa rekan. Pada 2002, bersama tujuh kurator se-Asia, Asmudjo berpartisipasi dalam sebuah pameran seni kontemporer Under Construction-New Dimensions of Asian Art, di Tokyo, Jepang.
“Saat di sana, saya menunjukkan kepada dunia tentang identitas Indonesia melalui karya-karya para pelukis. Meski ada Asosiasi Kurator Dunia, saya pribadi tidak menyetujui bila ada asosiasi serupa di ranah kurator Indonesia,” jelas Asmudjo yang baru saja melakukan pameran di Singapura, dua bulan lalu.
Pengalamannya bersama kurator dari negara lain membuatnya banyak belajartentang organisasi dan sempat terpikir di benaknya untuk membentuk asosiasi untuk kurator se-Indonesia. Tapi, Asmudjo berpikir matang sampai pada pertimbangannya bahwa membuat membuat asosiasi dapat mendatangkan perpecahan antar-seniman.
Lagi pula, asosiasi dicemaskan me-ngungkung kebebasan. Padahal, sebuah karya bisa terlahir dengan sempurna dengan kebebasan. Jadi, pemberian kebebasan kepada seniman .ui.il.ih suatu keharusan.
Melewati batas
Perkembangan seni Indonesia di mata Asmudjo tidak terlepas dari masa kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit atau Sriwijaya. Perkembangan itu terus berlangsung saat zaman penjajahan. Dia berkeyakinan perkembangan seni akan terus berkembang sesuai dengan zaman.
Pada masa depan, dia meyakini, dalam kebebasan yang menjadi keharusannya, seniman juga harus melewati batas, cross the border, dalam berkarya.
“Banyak seniman Barat yang mempelajari antropologi. Mereka sudah menyadari cross the border. Ini mutlak dilakukan seniman untuk dapat bertahan dalam tatanan yang semakin meningkat,” tukasnya.
Sebagai ilmuwan, Asmudjo sangat menekankan kepada mahasiswanya untuk dapat berkarya dengan kesabaran dan ketekunan, dua hal yang dianggapnya sebagai modal utama seorang seniman.
Pendidikan seni rupa baginya sangat mutlak dipelajari melalui jalur formal. Kesabaran dan ketekunan juga dibutuhkan dalam mengasah diri melalui jalur informal.
Asmudjo menambahkan, senimanyang mampu cross the border adalah mereka yang mengasah pendidikan. Baginya, pengetahuan, baik formal maupun informal, perlu diasah, untuk menciptakan seniman-seniman intelekiu.il. (M-3) e-ti
Sumber: Media Indonesia, Senin, 19 Juli 2010 | Penulis: Iwan Kurniawan