
Umumnya, sejarah kerajaan adalah sejarah peperangĀan, sejarah perebutan tahta dan wilayah kekuasaan. Perang adalah sejarah kekuasaan! Bahkan, Emery Reves bilang, sejarah manusia adalah sejarah peperangĀan.[1] Hal inilah salah satu faktor penyebab mengapa Kerajaan Si Raja Batak, mulai dari Dinasti Sori Mangaraja (4500 sM-1350 M) sampai Dinasti Raja Si SingamaĀngaraja (1352-1907) āmiskin sejarah.ā Kedua dinasti tersebut tidak mempunyai sejarah perang, tidak dirancang untuk menjadi penguasa sekuler yang memerintah (politik monarki) sebagaimana umumnya kerajaan di berĀbagai belahan duĀnia dan tidak memiliki pasukan perang reguler.
Video Peluncuran | Video Promo | More InfoĀ | Ā Beli Buku |



Winckel (1913) dalam Animisme en Christendom menyebut Si Singamangaraja sebagai Raja Imam Batak (priesterkoning der Bataks) awalnya tidak memiliki kekuatan sekuler yang nyata atas orang Batak. Apa yang dia tunjukkan hanya memilikinya hubungan aliansi dengan sultan Aceh. Namun, yang lebih besar adalah kekuatan spiritualnya. Dialah yang menahbiskan pesta pengorbanan (pen: Mangase Taon), dan yang memutuskan apa yang harus dilakukan untuk menenangkan murka para dewa.[2] Dia tidak mempunyai perangkat untuk berkuasa sebagai monarki, juga tidak memiliki pasukan militer reguler untuk berperang, dan sama sekali tidak ada sejarah perang Dinasti Sorimangaraja dan Dinasti Si Singamangaraja, sebelum akhirĀnya terpaksa menyatakan Pulas (pernyataan perang) terhadap penjajah Belanda pada 17 Februari 1878, awal era Raja Si Singamangaraja XII.[3]
Tidak ada sejarah, bahkan hikayat atau turiturian bahwa Si Singamangaraja pernah berperang, menyerang dan menaklukkan huta, bius, luat atau wilayah mana pun di Tanah Batak atau ke luar Tanah Batak. Jika ada hikayat seperti itu, pasti hal itu pemalsuan sejarah. Maka ketika keponakannya PongĀki NaĀngolngolan Sinambela (Tuanku Rao) menjadi panglima Padri, menyerang Tanah Batak (1820), praktis tanpa perlawanan dari SisingamaĀngaraja X. Sebab sampai saat itu, sama sekali tidak ada pasukan militer reguler Dinasti Si Singamangaraja dan sama sekali tak pernah mempersiapkan diri untuk berperang.[4]
Di Tanah Batak umumnya, dan khususnya di pusat Tanah Batak, dikisahkan sering terjadi perang antarhuta, antara Raja Huta/Marga yang satu dengan Raja Huta/Marga yang lain yang maĀsing-masing bersifat otonom, tapi tidak ada kisahnya Raja Si Singamangaraja terlibat dalam kancah peperangan tersebut. Kehadiran Raja Si Singamangaraja adalah untuk perdamaian sesuai dengan tata nilai, adat dan uhum (hukum, atau ugari) yang digariskan Si Singamangaraja dan para pendahulu leluhur suku bangsa Batak, yang dititahkan Debata. (Adat do Ugari sinihathon ni Debata Melajadi – Adat itu Ugari yang dititahkan Allah Sang Khalik). D. van Hinloopen Labberton (1934) dalam Dictionnaire de Termes de Droit Coutumier IndonĆ©sien disebutĀ Ugari adalah inheemsch gebruik; coutume indigĆØne – Batak = adat asli Batak.[5]
Dalam risalah Rapat Umum Indisch Genootschap, 23 Oktober 1906, bertema De Inlandsche Staat en de Zending, dipimpin N.G. Pierson, disebutkan: āPada zaman kuno, orang Batak memiliki satu raja tertinggi yang mereka semua kenal sebagai pangeran; itu adalah pangeran Bangkara atau Bakara di Danau Toba. Bahkan orang Batak dari bentang alam lebih selatan seĀperti Angkola dan Sipirok menyembahnya sebagai dewa. Ia umumnya dikenal dengan nama Singa Mangaradja. Segala macam hal supernatural diceritakan tentang dia. Dia memerintahkan hujan dan cerah, berdoa (tonggo) agar dia dapat memberkati panen, sementara orang dari semua pihak pergi ke Bangkara dengan persembahan, untuk meminta bantuan kekuatan mukjizatnya (Wilken, Aninism I, 143, 144). Singa Mangaradja dipanggil seorang raja imam (priester-koning).ā[6]
A.J. de Lorm dan G.L. Tichelman (1941) menyebut, selain para dewa (Debata Mulajadi Nabolon, Batara Guru, Debata Asiasi, dan Mangala Bulan) sosok Si Singa Mangaraja, pangeran spiritual mistis Batak, juga harus disebut sebagai fetish (jimat) manusia, mahkota dan paling mulia dari semua fetish.[7]
Dr. R. Broersma (1922) dalam Oostkust van Sumatra (Pantai Timur Sumatera) menyebut, Si Singa Mangaraja dalam serangkaian generasi adalah pendeta-pangeran (priester-vorst) Batak, hampir secara universal diakui di semua negeri di sekitar Danau Toba, seseorang yang mitosnya tidak hanya dikaitkan dengan kekuatan gaib, tetapi yang sebaliknya bisa menunjukkan kualitas yang sangat manusiawi dan dari waktu ke waktu yang dimeriahkan permusuhan rakyatnya terhadap penguasa asing. Siapa pun yang membaca cerita tentang asal-usulnya, ajaib dan misterius sebagaimana layaknya silsilah para dewa, tidak heran bahwa setiap kali orang menempatkan diri mereka sebagai pembawa martabat Yang Mulia Batak (Bataksche hoogwaardigheid) dan bahwa masing-masing dengan caranya sendiri menyebabkan beban bagi pemerintah kolonial.[8]
Dr. J.Ph. Duyvendak (1940) dalam Inleiding tot de ethnologie van de Indische archipel menarasikan, kekuasaan priester-vorst terletak dalam lingkup sakral, seperti halnya sumber kekuatan dan pengetahuan Pendeta Raja (Raja Malim) di mana karakter sakral sang pangeran ini mengemuka dengan sangat kuat, muncullah sosok āpangeran-pendetaā (priester-vorst), seperti dalam kasus ini, misalnya, yang dikenal dari sejarah tanah Batak. Pada abad sebelumnya, keturunan keluarga yang menyandang gelar turun-temurun Singa Mangaraja dihormati dalam kalangan yang sangat luas. Kemakmuran rakyat bergantung padanya, ia dapat memberikan hujan atau kekeringan dan kekuatan mukjizatnya tidak terbatas. Diceritakan oleh nenek moyang mereka tentang berbagai keajaiban yang luar biasa: ia lahir sebagai seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun, di tengah berbagai fenomena alam yang mengejutkan….. Pada kuartal terakhir abad sebelumnya, Singa Mangaraja yang waktu itu berkonflik dengan pemerintah (kolonial Belanda); Tempat tinggalnya (Bakara, barat daya Danau Toba) direbut oleh pasukan dan Singa Mangaradja melarikan diri semakin jauh ke pedalaman. Akan tetapi, kewenangannya di kalangan penduduk Batak tetaplah tidak terbatas dan di mana-mana mereka siap melindunginya dan menyembunyikannya setiap saat. Hasil akhirnya adalah ia baru ditemukan dan ditembak mati oleh pasukan Belanda pada tahun 1907 setelah pencarian yang panjang.[9]
Keberadaan dinasti Raja Si Singamangaja I-XII di Bangkara, diawali Si Singamangaraja I (Raja Manghuntal Sinambela); Sebelum menyandang gelar Si Raja Batak, terlebih dahulu meminta restu dari Raja Uti di Barus. Dari Raja Uti-lah SisiĀngamangaraja I mendapat pedang sakti kebesaran Piso Gaja Dompak. Siapa yang bisa membuka Piso Gaja Dompak dari sarungnya, itulah yang berhak dinobatkan menjadi Raja Si SingaĀmangaraja, mulai dari I sampai XII. Raja Si SingamaĀngaĀraja itu pemimpin spiritual yang dipandang sebagai seorang raja panutan berpengaruh di Tanah Batak.
Sebagaimana dikemukakan Poernama Rea Sinambela, putri Raja Si SiĀngamangara XII dalam memoarnya āAyaku Si SingaĀmangaraja XIIā, bahwa jelaslah kiranya Raja Si SingamangaĀraja adalah āraja dirajaā di sebagian besar Tanah Batak, tapi dengan catatan bahwa ia menjadi raja-diraja bukan karena ia menaklukkan raja-raja lain, melainkan karena mereka secara sukarela mau bernaung di bawah kedaulatannya, karena Si Singamangaraja memang layak untuk dipatuhi dan dijadikan panutan.[10]
Fay-Cooper Cole (1945) seorang peneliti dari Jurusan Antropologi Universitas Chicago dalam The Peoples of Malaysia menarasikan Si Singamangaraja sering dinyatakan sebagai raja ilahi (divine king), yang memerintah semua orang Batak (ruled over all the Batak people) sampai ia digulingkan oleh Belanda pada tahun 1907. āTokoh seperti itu memang ada tetapi ia tidak memiliki kekuatan duniawi. Dia adalah seorang imam agung atau magician yang mengkristal semua perlawanan terorganisir terhadap kekuatan luar. Gema tugasnya ada saat ini di federasi desa-desa yang berkumpul bersama-sama untuk melakukan upacara besar di saat-saat darurat.ā[11]
Raja Si SiĀngamangaraja adalah raja malim atau raja imam, raja ilahi (divine king), raja yang berkharisma dan sakti. Raja yang tidak memungut pajak atau upeti dan tidak punya pasukan tentara. Para Raja Huta/Marga dan Raja Bius yang menghormati pengaruh dan wibawa (sahala) kedaulatannya adalah otonom dalam konfederasi persemakmuran huta. Tentaranya adalah rakyat yang secara spontan ikut berjuang melawan penjajah karena terpaksa. Sehingga adalah pada tempatnya jika Dr. N. van der Tuuk, yang pada tahun 1853 secara pribadi menemui Raja Sisingamangaraja XI di Istana Bangkara, dalam laporannya menamakan Si Singamangaraja sebagai āDe Koning aller Bataksā (Raja semua orang Batak).[12] Juga oleh J. Tideman dalam bukunya De Bataklanden 1917-1931, menyebut Si Singamangaraja sebagai penguasa mitis dan satu-satunya raja semua orang Batak (den mythischen en eenigen heerscher aller Bataks).[13]
Cornelis Lekkerkerker (1916) menggambarkan sosok Si SiĀngamangaraja dengan narasi: āDia memerintahkan hujan dan cerah; Doa dibuat untuk memberkati panen. Orang-orang percaya dari semua sisi datang ke Bangkara dengan persembahan untuk meminta anugerah kekuatan mukjizatnya. Deze vorst-afgod der Bataks schijnt, wat zijne wereldlijke macht betreft, meer vorst- titulair te zijn geweest dan werkelijk heerscher (Pangeran-idola orang Batak ini, dengan kekuatan duniawinya, tampaknya lebih mulia daripada penguasa sejati).ā[14]
Alkisah, di banyak tempat yang dikunjungi, Raja Si SiĀngaĀmangaraja selalu melepaskan orang yang ditemukannya terpasung dan para budak (hatoban) yang tertawan akibat kalah perang antarkampung atau kalah judi dengan membayar uang tebusannya dari hajut Si Singamangaraja sendiri. Bahkan Si Singamangaraja juga sering mengunjungi tanah Alas dan Gayo.
Lalu, ketika penjajah Sibontar Mata (Siputih Mata) datang, Si Singamangaraja XII terpaksa memilih perang ketika jalan damai sesuai persyaratannya tak bisa dicapai, yakni Belanda diminta meninggalkan Tanah Batak Merdeka yang diistilahkan oleh Belanda sendiri sebagai De Onafhankelijke Batak-landen; Dan setelah kolonialis Belanda angkat kaki, dia akan menemui para misionaris, berbicara dengan mereka. Hal ini terkonfirmasi dengan surat laporan Misionaris Metzler kepada pimpinan RMG di Barmen, Jerman, sebagaimana dipuĀblikasikan di Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG) 1878 (7), p.199-202:
āLalu Residen mengirim surat[15] kepada Singamangaraja menanyakan apa tujuan dia yang sebenarĀnya. Dia membalas, dia tidak keberatan dengan keberadaan zending, dia hanya ingin agar pasukan Belanda kembali, dan setelah itu ia bersedia untuk datang dan berbicara dengan kami.ā [200][16]
Si Singamangaraja tidak mau berkompromi dengan kolonial Belanda namun akan menemui (berbicara) dengan zending. Walaupun jika berkompromi dengan Belanda, sesungguhĀnya dia berkesempatan dinobatkan menjadi Sultan Batak (monarki) seperti di beberapa daerah lain, bahkan istana sultannya pun dibangun dengan megah. Tapi dia, sebagai singa (Bahasa Batak: patron, arsitek, panutan) nilai-nilai kebatakan, selalu teguh dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan dan jatidiri kebatakannya. Dia tidak mementingkan diri dan kehormatannya sendiri. Dia memilih berjuang hingga titik darah penghabisan demi ākedaulatan kebatakanā. Berjuang dalam perang selama hampir 30 tahun, mulai Februari 1878 sampai dia gugur Juni 1907.
Jenderal TB Simatupang, seorang tokoh Batak berintegritas tinggi, menyebut Si Singamangaraja melambangkan perjuangĀan untuk mempertahanĀkan kepribadian dan kebebasan orang Batak dengan menolak kekuasaan Belanda, berjuang hingga meneteskan darah penghabisan dibunuh Belanda; Sementara, Dr. Nommensen[17] melambangkan zaman baru di Tanah Batak yang dimulai dengan tibanya para pekabar Injil. Si Singamangaraja yang dihormati orang Batak sehingga digelari Ompu i. Gelar Ompu i pun kemudian diberikan kepada Nommensen karena mendapat tempat āterhormat dan dicintaiā orang Batak; dan gelar Ompu i pun diberikan kepada setiap Ephorus HKBP berikutnya sampai saat ini.[18] Namun catatan sejarah, Nommensen tidak pernah diberi panggilan Ompu i semasa hidupnya. (Pengantar).
Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy, Jilid 2, Bab 6.7, hlm. 901-906.
Footnotes:
[1] Reves, Emery, 1951: A Democratic Manifesto; Sebuah Maklumat Demokrasi (Terjemahan Mr. AZ. Abidin), Djakarta: Jajasan Pembangunan Djakarta, h.66.
[2] Winckel, A., 1913: Animisme en Christendom (Bewerkt naar Dr. Joh. Warneck en A. C. Kruyt; Met een Voorrede van Dr. J. Warneck); Den Haag: Zendingsstudie Raad, bl.38.
[3] Hooyer, G.B., 1896: De Krijgsgeschiedenis van Nederlandsch-IndieĢ van 1811 tot 1894, Deel II, Den Haag: De Gebr. Yan Cleef; Batavia: G. Kolff & Co, b.160.
[4] Sinambela, Poernama Rea, 1992: h. 2. Bandingkan juga: Parlindungan, Mangaraja Onggang, 1964: h.13; Situmorang, Sitor, 2009: Toba Na Sae, h.202-203.
[5] Hinloopen Labberton, D. Van, 1934: Dictionnaire de Termes de Droit Coutumier IndonĆ©sien. Union AcadĆ©mique Internationale. PubliĆ© par Les Soins de LāacadĆ©mie Royale des Sciences DāAmsterdam. La Haye: Martinus Nijhoff, pg.505,
[6] Pierson, N.G. (Voorzitter), 1906: De Inlandsche Staat en de Zending, Algemeene vergadering van 23 October 1906, ās-Gravenhage: Indisch Genootschap, b.85.
[7] Lorm, A.J. de, en G.L. Tichelman, 1941: Verdwijnend Cultuurbezit, Beeldende Kunst der Bataks. Leiden: E. J. Brill, bl. 9.
[8] Broersma, R. Dr, 1922: Oostkust van Sumatra. Tweede Deel: De Ontwikkeling van Het Gewest. Deventer: Charles Dixon, b. 19.
[9] Duyvendak, J.Ph., 1940. Inleiding tot de ethnologie van de Indische archipel. Indische Cultuur-Historische Bibliotheek, Deel I, Tweede Herziene Druk. Groningen ā Batavia : J. B. Wolters, bl. 144-145.
[10] Sinambela, Poernama Rea, 1992: Ayahku Si Singamangaraja XII Pahlawan Nasional, Aksara Persada Indonesia, h. 1-2.
[11] Cole, Fay-Cooper, 1945: The Peoples of Malaysia, New York: D. van Nostrand Company, Inc., p.274.
[12] Nieuwenhuys, Rob (Editor), 1982: H. Neubronner van der Tuuk, De pen in gal gedoopt, Een keuze uit brieven en documenten, Amsterdam: Em. Queridoās. p.59.
[13] Tideman, J, 1932: De Bataklanden 1917-1931, Uitgaven van het Bataksch Instituut No. 22, Leiden: Drukkerij Louis H. Becherer, p. 30.
[14] Lekkerkerker, Cornelis, 1916 Land en Volk van Sumatra, Leiden, E.J. Brill, b.60.
[15] Membalas surat Si Singamangaraja XII yang meminta Belanda angkat kaki dari Tanah Batak Merdeka.
[16] Kozok, Uli, 2010: Utusan Damai di Kemelut Perang: Perang Zending dalam Perang Toba, Berdasarkan Laporan I.L. Nommensen dan penginjil RMG lain, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, h.51.
[17] Walaupun Nommensen dkk berkoalisi dengan kolonial Belanda dalam Perang Batak. (BRMG 1878 (7), p.199-202 dan BRMG (12), p.361-381); Orang Batak tidak dendam, tapi masih menghormatinya.
[18] Simatupang, TB, 1991: Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, h. 40.