
Leluhur Suku Bangsa Batak mempunyai keahlian astronomi yang terbilang memadai yang disebut Parhalaan. Memiliki perhitungan hampir akurat tentang ‘pergerakan matahari dan bulan’ (arian dohot borngin – siang dan malam) selama 30 hari dalam sebulan serta 360 hari plus dan 12 bulan plus dalam setahun. Namun, sayang parhalaan (kalender astronomi) Batak itu tidak mengenal pencatatan tahun, walaupun mengenal adanya siklus tahunan atau tahun baru yang selalu dirayakan dengan upacara Mangase Taon (Persembahan Tahun).
Oleh Ch. Robin Simanullang, The Batak Institute
Dalam Mitologi Batak tentang alam semesta, makrokosmos dan mikrokosmos,[1] Banua Ginjang (Benua Atas) adalah jauh di langit tujuh tingkat; Banua Tonga (Benua Tengah) adalah Bumi dengan planet Matahari, Bulan dan Bintang; Banua Toru (Benua Bawah) adalah di bawah Bumi (di bawah tanah) dan Samudera Primordial gelap gulita. Bumi tidak bergerak, tetapi yang bergerak mengelilingi Bumi adalah Matahari dan Bulan secara berkejaran siang dan malam (Bandingkan Aristoteles dan Claudius Ptolemaeus.)[2] Matahari dengan cahaya terang pada siang hari; dan Bulan beserta Bintang-bintang (anak-anaknya Bulan) dengan cahaya lembut temaram pada malam hari. Kisah tentang hal ini dinarasikan dalam turiturian ‘Porbadaan ni Bulan dohot Mataniari’ (Perkelahian Bulan dengan Matahari) yang lazim dituturkan oleh kakek-nenek dalam keluarga Batak (terutama di Toba) sampai tahun 1950-an, yang juga telah ditulis dengan sangat baik oleh misionaris guru J.H Meerwaldt (1904) dalam Handleiding Tot de Beoefening der Bataksche Taal (Manual untuk latihan bahasa Batak).[3]
Alkisah (singkatnya), dahulu Matahari juga disertai planet lain sebagai anak-anaknya bernama Si Aji Mangarabar (Si Aji Menyebar). Sama seperti Bulan juga disertai bintang-bintang sebagai anak-anaknya. Jika Matahari terbit (binsar) ikut menyebar juga anak-anaknya (Si Aji Mangarabar). Demikian juga jika Bulan terbit (poltak) ikut menyebar juga anak-anaknya (Bintang na Rumiris, bintang-bintang). Mereka (matahari dan bulan) sudah sejak lama berkejaran dan berkelahi (tidak akur). Dari pergerakan matahari dan bulan tersebutlah diketahui ada hari per hari dan satu bulan 30 hari. Lalu, ketika Matahari beserta anak-anaknya memancarkan cahaya yang mengakibatkan suhu menjadi sangat panas, bukan hanya di Banua Tonga tetapi juga Banua Ginjang tingkat terbawah. Didenggal parniahapan ni manisia, rahar nang suansuanan, jala laut dohot Tao Toba pe mahiang. (Manusia menderita, tumbuhan pun mati kering, serta laut dan Danau Toba pun kering).
Manisia (Batak) pun melakukan upacara penyembahan (mamele) kepada Debata Mulajadi Nabolon dalam kesatuan totalitas Debata Batara Guru, Debata Soripada dan Debata Mangala Bulan dibagasan goar ni Debata Asiasi (Immanen). Ompung Debata Mulajadi Nabolon mengutus Batara Guru merespon penyembahan tersebut dengan menemui putrinya Si Boru Deak Parujar di Bulan, mengamanatkan supaya anak-anak matahari dimatikan. Setelah itu, Si Boru Deak Parujar, penguasa Bulan, memerintahkan bulan yang tidak pernah akur dengan matahari menjalin komunikasi melalui awan menawarkan persahabatan. Penawaran damai diterima oleh Matahari; Bulan menjamu matahari, dan saat dijamu, matahari melihat kuali besar penuh darah. “Darah siapa itu?” tanya Matahari. Bulan mengaku, itu darah anak-anaknya (bintang-bintang) yang telah dia sembelih (seat) mati semua. Sebagai syarat persahabatan mereka untuk bisa bersama-sama menyembah Debata Mulajadi Nabolon, Bulan meminta Matahari untuk juga menyembelih semua anak-anaknya. Matahari setuju dan segera menyembelih semua anak-anaknya dan menampung darahnya di kuali besar. Ternyata, itu hanya siasat Bulan untuk menipu Matahari. Air berwarna darah di kuali besar Bulan bukan darah anak-anaknya, tetapi air sirih yang ditampungnya selama setahun. Matahari merasa tertipu, dan perkelahian (saling kejar) pun terus berlangsung siang dan malam.[4]
Hal ini hanyalah dongeng metafora. Tapi astronomi (parhalaan) Batak berpijak pada pergerakan matahari dan bulan yang berkejaran mengitari Bumi yang juga dikenal oleh dunia sebagai teori geosentris tradisional. Seperti sistem kosmologi predominan Yunani kuno, sistem yang juga dikemukakan oleh Aristoteles dan Claudius Ptolemaeus.[5] Paling tidak ada dua pandangan tentang Bumi sebagai pusat dari alam semesta. Pertama matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-planet lain berputar mengitari bumi setiap hari; Setiap bintang berada pada suatu bulatan stelar atau selestial (stellar sphere atau celestial sphere), di mana bumi adalah pusatnya, yang berkeliling setiap hari, di seputar garis yang menghubungkan kutub utara dan selatan sebagai aksisnya. Bintang-bintang yang terdekat dengan khatulistiwa tampak naik dan turun paling jauh, tetapi setiap bintang kembali ke titik terbitnya setiap hari. Kedua, bumi tidak bergerak, tetap solid, stabil dan tetap di tempat. Selain itu ada juga dua pandangan tentang geosentrik bumi yakni: 1) yang memandang bumi datar (mitologi Batak, juga kosmologi kitab-kitab Latin kuno); 2) model Bumi bulat (filsuf Romawi kuno dan abad pertengahan).[6] Artinya, kosmologi Batak sepadan dengan kosmologi kuno lainnya.
Pergerakan Matahari terutama Bulan tersebutlah dasar perhitungan kalender Batak. Edwin M. Loeb (1935) dalam Sumatra: Its History and People menyebut perhitungan waktu Batak ditandai tahun panen dan tahun bulan. Tahun panen diperhitungkan sesuai dengan penanaman, pertumbuhan, dan kematangan jagung dan padi. Perpaduan masa panen taon jagong dan taon eme. Jagung ditanam dan matang dalam tiga atau empat bulan, padi dalam enam hingga delapan bulan, sehingga paduannya menjadi 12 bulan. Dalam kehidupan sehari-hari waktu diperhitungkan dengan periode panen ini, di mana seluruh tahun lunar dipahami, waktu dari panen ke panen, dua belas bulan. Dengan demikian orang Batak memiliki tahun 360 hari, dengan 30 hari dalam sebulan dan 12 bulan setahun. Imam (datu) melakukan pengamatan astronomi, dan menentukan posisi bulan untuk kalajengking besar (hala na godang) untuk memutuskan awal setiap tahun.[7]
Parhalaan (astronomi) Batak ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari mitologi penciptaan leluhur Batak [Baca Bab 2.2.4 Pohon Kehidupan dan Parhalaan (The Cosmological Myth): Pohon Kehidupan (baringin tumbur jati) bercabang delapan yang menunjuk delapan penjuru mata angin; 30 ranting yang menjadi nama-nama hari kalender (parhalaan) Batak; Sementara asal mula dari 12 bulan adalah 12 butir bekal Manuk Patiaraja selama mengerami, memakan 1 butir tiap bulan (30 hari) dan menetas setelah 12 butir itu habis, bulan ke-12). (Selengkapnya Baca: Bab.2.2.4. Pohon Kehidupan dan Parhalaan)
Seperti halnya (hampir mirip) dengan mitologi Sumeria yang juga melahirkan penanggalan 30 hari per bulan dan 360 hari per 12 bulan (per tahun). Walaupun harus diakui, Sumeria, suku bangsa pertama yang berdiam di wilayah Mesopotamia (Babilonia) sekitar 2300 sM, kehebatannya sangat mendunia, antara lain telah memberikan sumbangan yang penting bagi dunia dalam mengembangkan filsafat, matematika dan hitungan hari dengan dasar 60 atau sering disebut sixagesimal. Penemuan mereka tentang hitungan lingkaran adalah 360 derajat, dan satu jam adalah 60 menit, 1 menit adalah 60 detik, digunakan oleh dunia sampai sekarang. Hal ini menjadi dasar untuk perhitungan waktu untuk satu hari adalah 24 jam, satu bulan adalah 30 hari, dan satu tahun adalah 12 bulan.[8]
Suku Batak percaya bahwa gerhana matahari dan bulan disebabkan oleh pertempuran antara sang juara matahari, sang lau, dengan sang juara bulan, hala. Selama gerhana berlangsung, orang Batak membantu dengan teriakan nyaring dan penembakan senjata. Juga pada saat gempa bumi, kata “suhul, suhul, suhul” diteriakkan. Kata ini berarti “cengkeraman gagang pedang”, dan digunakan untuk mengingatkan ular raksasa Naga Padoha tentang gagang pedang (suhul) yang dengannya ia disematkan di bawah bumi.[9]
Edwin M. Loeb menyebut setiap hari tidak dibagi menjadi beberapa jam, tetapi waktu digambarkan relatif terhadap posisi matahari atau peristiwa-peristiwa yang terjadi pada interval kebiasaan dua puluh empat jam. Seperti pagi disebut “ketika ayam berkokok”.[10] Orang-orang Batak bisa mengetahui waktu hingga setengah jam dengan mengukur sudut bayangan lengan antara matahari dan cakrawala.[11]
Dalam hal waktu, leluhur Batak juga mempunyai dasar hitungan, walau belum menyebutnya dalam satuan angka, yakni: Tonga borngin (23.00 atau 01.00); Haroro ni panangko (sekitar 01.00-02.00); Tahuak manuk parjolo – panungguli (sekitar 02.00-03.00); Tahuak manuk paduahon – pandungoi (sekitar 03.00-04.00); Buhabuha ijuk (sekitar 04.00-05.00); Andos ari (sekitar 05.00-06.00); Manogot, Parbinsar ni mataniari (sekitar 06.00-07.00); Pangului (sekitar 07.00-08.00); Pangguit raja (sekitar 08.00-09.00); Sagang ni ari (sekitar 09.00-10.00); Parnangkok ni mata ni ari atau Huma na hos (sekitar 10.00-11.00); Hos ari atau Tonga ari (sekitar 11.00-13.00); Saguling ari (sekitar 13.00-14.00); Dua guling ari (sekitar 14.00-15.00); Botari Tolugala (sekitar 15.00-16.00); Botari Duagala (sekitar 16.00-17.00); Botari Sagala (sekitar 17.00-18.00), Mate mataniari atau Sundutari (sekitar 18.00-19.00); Golapgolap bontar atau Samoniari (sekitar 19.00-20.00); Tungkap hudon (sekitar 20.00-21.00); Borngin Modom (sekitar 21.00-22.00); Bagas Borngin (sekitar 22.00-23.00); dan Tonga Borngin (sekitar 23.00-01.00).[12]
Juga telah mempunyai hitungan 30 hari dalam satu bulan. Kisahnya, parhalaan (astronomi) Batak tentang jumlah hari per bulan tersebut adalah dari lamanya perputaran bulan dan matahari (berkejaran). Dalam turiturian (folklor) ‘Porbadaan ni mataniari dohot bulan’ (Pertikaian matahari dengan bulan), antara lain dikisahkan: Ia umbahen na diboto halak pe ari na gonop tolu pulu ari, sian bulan ma i. Umbahen na diboto deba pe ari na so jadi porulaonhononhon, manang ari na denggan pe, na jadi siporulaonhononhon, sian bulan do, umbahen na diboto halak.[13] (Orang mengetahui satu bulan genap tigapuluh hari, adalah dari Bulan. Juga mengapa diketahui kapan hari yang tidak baik atau hari yang baik untuk melakukan sesuatu kegiatan atau acara juga diketahui dari bulan).
Sementara waktu sepekan siklus kalender Batak sampai 1890, adalah 4 hari. Christine Dobbin (1983) dalam Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy—Central Sumatra, 1784-1847, menyebut secara umum pasar (pekan, Onan) beroperasi dalam siklus empat hari; yang ada di sekitar Tapanuli juga digambarkan oleh seorang penulis Inggris (William Marsden)pada tahun 1772.[14] Di mana Ari Onan atau Hari Pasar atau Hari Pekan adalah 4 hari per pekan (pekan setiap 4 hari). Tradisi ini berlangsung hingga 1890. Namun setelah kedatangan Belanda dan misionaris disepakati diubah, karena Ari Onan sering bentrok dengan Hari Minggu, sehingga kebaktian Minggu sering terkendala. Hari Pekan diubah mengikuti kalender Masehi menjadi setiap 7 hari, per pekan.[15] J. Tideman (1936) mengatakan orang Batak memiliki empat hari seminggu, di mana hari-hari pasar yang sangat penting bagi orang Batak ditetapkan. Ypes berpendapat, hitungan empat hari ini pasti lebih tua dari hitungan tujuh hari.[16]
Tentang tahun, orang Batak mengenal istilah sataon eme, satu tahun padi, satu musim panen padi, 7-8 bulan; sataon jagong, setahun jagung, 3-4 bulan; sataon bolon, 12 bulan,[17] dan Mangase Taon yaitu upacara bius tahunan, Horja Mangase Taon (Pesta Bona Taon, saat ini). J.C.M. Radermacher (1787) dalam tulisannya Beschryving van Het Eiland Sumatra, in Zo Verre Het Zelve tot Nog toe Bekend Is (Deskripsi Pulau Sumatera, Sejauh yang Diketahui Hingga Sekarang), penulis asing pertama mengenai akun waktu (Tydrekening, Parhalaan) Batak, menyebut pada hari pertama ‘Paha Sada’, mereka merayakan Tahun Baru dengan suguhan yang luar biasa. Kebahagiaan yang mereka harapkan setiap bulan dan tahun selalu datang dari ini, agar buah dari tanah atau panen berlimpah dari satu tahun ke tahun berikutnya, tanpa menghitung tahun mereka, dari ujung waktu tertentu. Tahun Baru mereka yang akan datang jatuh pada bulan April (Masehi), tetapi ini tidak selalu tepat, karena setiap tahun mereka memiliki lima hari lebih sedikit dari yang tahun Masehi miliki.”[18]
Walaupun orang Batak mempunyai perbendaharaan kata sataon[19] (setahun) atau sataon bolon (12 bulan), tapi tidak mempunyai penomoran tahun, dan perhitungan tahun ke tahun. Walau demikian, pengetahuan leluhur Batak tentang perhitungan 30 hari satu bulan dan 360 hari duabelas bulan atau satu tahun, sudah sangat memadai (logis) sebagai basis untuk mengembangkannya menjadi Kalender Batak Abadi dengan pencatatan tahun.
Sesungguhnya, adalah kewajiban generasi penerus Batak mengembangkan keahlian leluhur tersebut. Maka setelah menyandingkan dengan penanggalan Sumeria, Kalender Julian (Julius Caesar) dan kalender Gregorian, maka penulis (Teori Pusuk Buhit – The Hilltop Theory) menemukan formula penyusunan Kalender Batak terkini berbasis parhalaan leluhur Batak tersebut, karena memiliki persesuaian (benang merah) dengan penanggalan Sumeria, Kalender Julian dan kalender Gregorian yang berdasarkan tahun Masehi tersebut.
Tahun Kalender Batak adalah tahun penanggalan astronomi Batak (parhalaan) warisan leluhur, yang mempunyai siklus 12 bulan dan setiap setiap bulan terdiri dari 30 hari atau 360 hari per 12 bulan (tahun) dan siklus 4 harian per pekan. Hari Onan (pekan, pasar) di Tanah Batak dahulu (sampai 1890-an) adalah setiap 4 hari (sepekan 4 hari). Dan setiap empat tahun ada sklus iklim yang tergolong ekstrim, sehingga setiap 4 tahunan ada tambahan satu bulan (30 hari), yakni bulan ke-13 yang disebut Sipaha Li (Sipaha Sampulutolu) dan tahun berbulan 13 tersebut disebut Taon Li (Tahun Li).[20]
Astrologi Batak, berdasarkan pengalaman pergeseran waktu penanggalan musim tanam dan musim panen, berkaitan dengan upacara Horja Bius Mangase Taon,[21] dengan upacara ritual Mangalahat Horbo (kurban ternak Kerbau, Kuda, Lembu atau Kambing), sudah mampu mengitung harus adanya pergeseran penambahan bulan dalam setiap 4 tahun, yang ditandai perubahan musim panen dan musim tanam empat tahunan.
Namun untuk perhitungan yang lebih akurat sesuai dengan perhitungan tahun kabisat Gregorian (berbasis Tahun Masehi), adanya siklus penambahan 1 bulan (30 hari) dalam setiap 4 tahun astronomi Batak tersebut masih belum akurat. Sebab jumlah hari Batak dalam 12 bulan (setahun) adalah 30 x 12 = 360 hari, setiap tahun ada kekurangan 5 hari dari tahun Gregorian (Masehi, sebelum hitungan kabisat). Maka jika kekurangan 5 hari itu ditambahkan menjadi bulan ke-13 (30 hari) dalam siklus 4 tahun, masih akan ada kekurangan 10 hari, sebab 4 tahun x 5 hari masih 20 hari.
Maka kita membuat formula menjadi siklus 6 tahunan yakni menjadi 6 x 5 hari = 30 hari (satu bulan) setiap 6 tahun, sehingga menjadi lebih akurat tambahan satu bulan, menjadi 13 bulan setiap 6 tahun; Bulan ke-13 itu disebut Sipaha Li (Sipaha Sampulutolu); Sehingga jumlah hari 6 tahun Batak berjumlah 2.190 hari. Sama dengan tahun Masehi yang 365 hari per tahun per 6 tahun yakni 2.190 hari (sebelum hitungan kabisat). Kapan terjadi siklus 6 tahunan tersebut? Yakni pada setiap Tahun Batak yang dapat dibagi habis 6, disebut Taon Li (Tahun Li), 13 bulan.
Lalu dipadukan dengan tahun kabisat Masehi. Hal mana hitungan 365 hari per tahun Masehi tersebut, belum akurat. Yang kemudian disempurnakan dengan penanggalan Kalender Julian (Julius Caesar) yang diusulkan oleh astronom Sosigenes, diberlakukan sejak 1 Januari 45 sebelum Masehi, di mana 365 hari itu masih plus 5 jam, 48 menit, 45,1814 detik.
Maka jika kelebihan waktu 5 jam, 48 menit, 45,1814 detik itu tidak dihiraukan, maka setiap empat tahun akan ada kelebihan hampir 1 hari (tepatnya 23 jam 15 menit 0,7256 detik). Maka agar hitungannya lebih pas, setiap 4 tahun sekali (tahun yang bisa dibagi 4), diberi 1 hari tambahan pada bulan Februari menjadi 29 hari yang disebut Tahun Kabisat. Namun itu pun belum persis tepat, karena 1 hari tambahan itu belum 24 jam pas, tetapi 23 jam 15 menit 0,7256 detik.
Lalu, Paus Gregorius XIII atas usul Dr. Aloysius Lilius dari Napoli, Italia, meluncurkan algoritma kalender Gregorian[22] berdasarkan tahun Masehi, pada tanggal 24 Februari 1582, memberlakukan Tahun Kabisat dengan algoritma sbb:
- Jika angka tahun itu habis dibagi 400, maka tahun itu sudah pasti tahun kabisat.
- Jika angka tahun itu tidak habis dibagi 400 tetapi habis dibagi 100, maka tahun itu sudah pasti bukan merupakan tahun kabisat.
- Jika angka tahun itu tidak habis dibagi 400, tidak habis dibagi 100 akan tetapi habis dibagi 4, maka tahun itu merupakan tahun kabisat.
- Jika angka tahun tidak habis dibagi 400, tidak habis dibagi 100, dan tidak habis dibagi 4, maka tahun tersebut bukan merupakan tahun kabisat.
Maka kalender Batak pun sangat sempurna dikembangkan dengan menyesuaikan algoritma tahun kabisat Gregorian tersebut. Hal mana setiap tahun kabisat Masehi tersebut ditambahkan 1 hari pada bulan Sipaha Sampulu Dua menjadi 31 hari (Ringkar Li), sehingga lamanya waktu bumi mengitari matahari kalender Batak persis sama dengan kalender Masehi Gregorian.
Bulan Pertama Batak Sipaha Sada yakni bulan pertama sesudah musim panen menuju musim tanam berikutnya, yang dahulu dirayakan dengan Horja Bius Mangase Taon, saat ini lazim disebut Pesta Bona Taon, dan di Gereja Batak disebut Pesta Gotilon; Yakni sekitar bulan April dan Mei Tahun Masehi (penanggalan hari dan bulannya maju-mundur sekitar April-Mei), namun akumulasi siklus waktunya selalu persis sama.
Dalam perhitungan dan penentuan Tahun Batak ini, kita mempunyai logika kreatif memulai perhitungan Tahun Pertama Batak, dengan mengacu The Hilltop Theory (Bab 3.3) yang kemudian mendialogkan mitologi dan teori sejarah leluhur Batak tersebut dalam bab ini. Jadi, penentuan Tahun Batak ini adalah kearifan dialog Mitologi Batak dengan teori sejarah leluhur Batak (The Hilltop Theory – Teori Pusuk Buhit) berbasis Parhalaan Astronomi Batak dan algoritma kalender Gregorian; Kita menyebutnya: Kalender Batak Kreasi The Hilltop Theory; Atau Kalender Batak Kreasi Hita Batak, sesuai judul utama buku ini.
Salah satu inti dialog Mitologi Batak dengan sejarah (The Hilltop Theory) adalah kearifan Horja Bolon Batak Rea Mangase Taon sebagai Tonggo Raja (deklarasi) dimantapkannya Teologi Debata Mulajadi Nabolon Tritunggal dan Silsilah Si Raja Batak (dialog mitologi dan sejarah yang merupakan keturunan Medan bin Abraham (Si Raja Miokmiok, dalam mitologi silsilah Batak) dan juga pengaruh Gereja Nestorian di Barus abad -6-9 M);[23] yang kita sebut merupakan epifani (titik kisar, hijrah) mulai diberlakukannya sistem sosial kemasyarakatan Dalihan Na Tolu berbasis Silsilah Si Raja Batak antara kedua keturunannya (eponim) Guru Tatea Bulan sebagai Parboru atau Hulahula (dilambangkan Bulan) dan Raja Isumbaon sebagai Paranak atau Boru (dilambangkan Bintang) sekitar tahun 800-an M, tepatnya tahun 802 M (dipimpin Tantan Debata). Sesuai perhitungan (algoritma) siklus Taon Li, maka perhitungan Tahun Pertama Batak, ditulis Tahun 1 Batak disingkat 1 B bertepatan tahun 802 M yakni tahun pertama dimulainya sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Tahun sebelum Tahun Pertama dihitung mundur sebagai Tahun Turiturian Batak atau Tahun Mitologi Batak, yakni Tahun 1 Mitologi Batak disingkat tahun 1 MB bertepatan tahun 801 M. Inilah Epifani atau Toefani tahun kalender Batak.
Sesuai perhitungan tersebut, maka tahun 2020 M adalah bertepatan tahun 1218 B. Tepatnya, Tahun Baru Batak 1218 B atau Artia Sipaha Sada 1218 B, disingkat Artia 01-1218 B atau 01-01-1218 B jatuh pada hari Minggu 12 April 2020.
Dalam penanggalan kalender Batak semua hari (30 hari, plus 1 hari pada Tahun Kabisat) mempunyai namanya sendiri, dan tidak ada penamaan penanggalan mingguan (7 hari) seperti penanggalan Masehi. Walaupun ada siklus per pekan (Hari Onan) setiap 4 hari, tetapi penamaan hari bukan dikelompokkan 4 (per pekan) melainkan tetap 30 nama hari (per bulan, sipaha).
Maka dalam Kalender Batak yang dikembangkan berbasis Mitologi Batak dan The Hilltop Theory (teori sejarah Batak) ini, tetap mempertahankan keaslian nama-nama hari kalender Batak, dan memadukannya dengan penamaan 7 hari dalam kalender Masehi yang ternyata kompatibel.
Nama-nama hari kalender (parhalaan astronomi) Batak yakni: (1) Artia, (2) Suma, (3) Anggara, (4) Muda, (5) Boraspati, (6) Singkora, (7) Samisara, (8) Artia ni Aek, (9) Suma ni Mangodap, (10) Anggara Sampulu, (11) Muda ni Mangodap, (12) Boraspati ni Mangodap, (13) Singkora Purnama, (14) Samisara Purnama, (15) Tula, (16) Suma ni Holom, (17) Anggara ni Holom, (18) Muda ni Holom, (19) Boraspati ni Holom, (20) Singkora Mora Turun, (21) Samisara Mora Turun, (22) Antian ni Anggara, (23) Suma ni Mate, (24) Anggara na Begu (direvitalisasi menjadi Anggara na Homi), (25) Muda ni Mate, (26) Boraspati na Gok, (27) Singkora Hundul, (28) Samisara Bulan Mate, (29) Hurung, (30) Ringkar; dan pada Tahun Kabisat Masehi ada tambahan 1 hari yakni (31) Ringkar Li, pada Sipaha Sampuludua.[24]
Sementara, nama-nama Bulan Batak adalah: (1) Sipaha Sada disingkat Sipasa, (2) Sipaha Dua disingkat Sipadu, (3) Sipaha Tolu – Sipato, (4) Sipaha Opat – Sipaop, (5) Sipaha Lima – Sipali, (6) Sipaha Onom – Sipaon, (7) Sipaha Pitu – Sipapi, (8) Sipaha Ualu – Sipalu, (9) Sipaha Sia – Sipasi, (10) Sipaha Sampulu – Sisam, (11) Li atau Sipaha Sampulu Sada – Sisamsa, (12) Hurung atau Sipaha Sampulu Dua – Sisamdu, dan setiap Tahun Li yakni tahun Batak yang habis dibagi 6, ada bulan ke-13 yaitu Sipaha Li atau Sipaha Sampulu Tolu, disingkat Sisamto, disebut juga Lisamto.
Kalender Batak tahun 1218 B, bertepatan tahun 2020 M (Kabisat). Penyusunannya dipadankan (disatukan) dengan penanggalan Tahun Masehi, Batak/Masehi atau sebaliknya Masehi/Batak mengikuti format kalender Masehi. Jumlah hari Batak setiap bulan adalah 30 hari, namun pada setiap tahun kabisat Masehi, ada penambahan 1 hari pada bulan Sipaha Sampuludua menjadi 31 hari, seperti pada tahun ini (2020 M – 1218 B). Selain itu, karena tahun 1218 B dapat dibagi habis 6, maka tahun 1218 B ini adalah Tahun Li, menjadi 13 bulan (Sipaha Li). Berikut ini contoh Kalender Batak 1219 B (2021 Masehi dan 1219 Batak, bulan Mei Masehi dan Sipaha Sada (Sipasa) Batak.
Cuplikan Buku Hita Batak A Cultural Strategy.
Footnote:
[1] Diksi yang digunakan oleh Dr. Philip Lumban Tobing dalam disertasinya The Structure of the Toba-Batak Belief in the High God (1956).
[2] Siebeck, Hermann, 1922: Aristoteles, Stuttgart: FR. Frommanns Verlag (H. Kurt Z), s. 32-67; Lawson, Russell M. 2004: Science in the Ancient World: An Encyclopedia, Santa Barbara: ABC-CLIO, p. 29–30.
[3] Meerwaldt, J.H.,1904: blz.123-128.
[4] Turiturian Raja Kores Simanullang (Ompu R.Binsar Halomon Doli) dan Sofiana Boru Purba (Ompu R. Binsar Halomoan Boru, 1967-1970; Bandingkan: Meerwaldt, J.H.,1904: blz.123-128.
[5] Siebeck, Hermann, 1922: p. 29–30.
[6] Geosentrisme: https://id.wikipedia.org/wiki/Geosentrisme.
[7] Loeb, Edwin M., 1935: p.36-37.
[8] Durant, Will, 1942: Story of Civilization, Orient Our Heritage, New York: Simon and Schuster, p.130
[9] Loeb, Edwin M., 1935: p.37.
[10] Loeb, Edwin M., 1935: p.37.
[11] Loeb, Edwin M., 1935: p.28.
[12] Bandingkan: Meerwaldt, J.H.,1904: bl.127; dan Kalender Batak: Panjujuran Ari dan Parhalaan: https://batakpedia.org/kalender-batak-panjujuran-ari-dan-parhalaan/
[13] Meerwaldt, J.H.,1904: bl.127
[14] Dobbin, Christine, 1983: Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy—Central Sumatra, 1784-1847, Scandinavian Institute of Asian Studies, London and Malmo: Curzon Press Ltd, p.180.
[15] Nommensen, J.T., 1921: h.165.
[16] Tideman, J., 1936: Hindoe-Invloed in Noordelijk Batakland (Met Een Kaart); Uitgaven van Het Bataksch Instituut – No. 23; Amsterdam: N.V. Drukkerij „De Valk”, blz.12.
[17] Warneck, Johannes, 1906: h. 207.
[18] Radermacher, J.C.M., 1787: b.46.
[19] Meerwaldt, J.H.,1904: bl.126
[20] Simanullang, Guru William, 1988: Kompilasi wawancara dan percakapan.
[21] Mangase Taon: berasal dari kata ase dan taon. Ase, kurban; mangase, berkurban; upacara pengurbanan (persembahan) di ladang atau suatu tempat agar panen musim tanam berikutnya berhasil; pangasean, tempat persembahan. Mangase Taon artinya upacara kurban tahunan yang diselenggarakan setiap selesai panen menjelang musim tanam berikutnya, sekitar bulan April-Mei masehi. Biasanya dengan kurban kerbau (horbo), sehingga disebut Mangalahat Horbo. Saat ini populer disebut Pesta Bona Taon, atau di Gereja Batak disebut Pesta Gotilon (Pesta Panen).
[22] Leap Year: https://en.wikipedia.org/wiki/Leap_year; Tahun Kabisat: https://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_kabisat
[23]Guillot, Claude, dkk, 2008: Barus: Seribu Tahun Yang Lalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, h.34.
[24] Nama-nama hari ini hampir sama (sedikit bervariasi) dalam semua bahasa Batak (Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun, Pakpak dan Karo), namun secara prinsip adalah sama. Lihat Bab 2.2.4..