Kesra Prajurit Masih Wacana

0
40
Majalah Berita Indonesia Edisi 22
Majalah Berita Indonesia Edisi 22
Lama Membaca: 4 menit

VISI BERITA (61 Tahun TNI, 5 Oktober 2006) – Kearifan mulai terpancar dari sosok Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada usianya yang ke-61, tanggal 5 Oktober 2006. TNI, bersamaan dengan jatuh bangunnya perjalanan negara, memang pernah tergoda dan bergelimang kekuasaan selama 32 tahun. Awalnya, TNI hanya mengemban misi penyelamatan negara pasca kudeta berdarah (G-30-S/PKI) yang gagal, 30 September 1965, menewaskan tujuh jenderal senior TNI-AD. Namun, Pemilu demi Pemilu, diselubungi dengan slogan bahaya laten PKI, tangan-tangan militer merambah pentas kekuasaan politik, legislatif, eksekutif, dan bisnis.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 22 | Basic HTML

Peranan ini berakhir tragis pada era reformasi (1998-sekarang) yang menghujat dan menggugat semua peranan militer yang “bernoda” di masa lalu. Hujatan yang membuat ABRI (dulu) terpuruk; tuduhan pelanggaran HAM, pemaksaan demokrasi, pengerdilan partai politik, penyalahgunaan hukum, dan kekuasaan. “Hukuman” bagi TNI tidak hanya datang dari dalam, tetapi juga dari luar, yaitu embargo senjata oleh negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Namun ini belum seberapa jika dibandingkan dengan kekuasaan fasis militer (shogun) Jepang yang berlangsung 800 tahun, dan berakhir tragis pada Perang Dunia II. Jepang, memasuki abad ke-20 sampai sekarang ini, tanpa angkatan bersenjata, yang ada hanya pasukan bela diri.

Agaknya generasi muda perlu melihat sosok TNI tidak semata dari sisi gelapnya. Bersamaan dengan peringatan ulang tahun ke-61, kita perlu melihat peran positif TNI di masa lalu.

TNI lahir di tengah kancah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Hari-hari awal kemerdekaan (17 Agustus 1945), Indonesia baru memiliki Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) mulai 5 Oktober 1945. TKR berubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) untuk menyesuaikan diri dengan dasar militer internasional. Baru pada 3 Juni 1947, Presiden Soekarno secara resmi mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tetapi, tanggal 5 Oktober 1945 tetap dipilih sebagai hari lahir TNI. Saat itu, Bung Karno berusaha menyatukan dua kekuatan bersenjata; tentara reguler (TRI) dan badan-badan perjuangan rakyat bersenjata.

Sejak berdiri, TNI menghadapi rongrongan, baik yang berdimensi politik maupun militer. Rongrongan politik bersumber dari golongan komunis yang ingin menempatkannya di bawah pengaruh mereka. Sedangkan dalam dimensi militer, TNI menghadapi pergolakan bersenjata; pemberontakan PKI di Madiun (1948), Darul Islam (DI) di Jawa Barat dan Aceh serta berbagai pemberontakan bersenjata di daerah-daerah lain. Sementara itu, TNI masih menghadapi tekanan agresi militer Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta terpaksa memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta. Yogya pun diduduki oleh tentara Belanda, Bung Karno dan Bung Hatta dibuang ke Bengkulu. TNI kembali berubah menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) setelah Belanda berhasil membentuk pemerintahan boneka RIS, tahun 1950.

RIS tidak bertahan lama, dibubarkan tahun itu juga, APRIS berubah menjadi APRI. Lantas pemerintah menerapkan demokrasi liberal parlementer, tahun 1950-1959. Demokrasi ini mendorong tentara membentuk partai politik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI), dan ikut sebagai peserta Pemilu 1955. Namun demokrasi liberal menciptakan ketidakstabilan politik yang memaksa Soekarno, dengan dukungan TNI, mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959.

Presiden Soekarno membubarkan Dewan Konstituante dan menerapkan demokrasi terpimpin. Tiga tahun kemudian (1962), TNI berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang menggabungkan Kepolisian Negara.

Gerakan reformasi yang mulai meluncur akhir tahun 1997, berpuncak pada pengunduran diri Presiden Soeharto, 21 Mei 1998. Bersamaan dengan itu, ABRI menjalani tahun-tahun paling berat dalam sejarahnya. TNI harus melakukan reformasi internal, mencakup 23 poin; termasuk pengakhiran peran tentara di MPR dan DPR serta peran Dwi-Fungsi ABRI, pemutusan hubungan organisatoris dengan Partai Golkar, netralitas dalam Pemilu, dan pemisahan Polri dari ABRI setelah bergabung selama 36 tahun (1962-1998).

Baik semasa pemberontakan maupun di puncak reformasi, bersama rakyat TNI berhasil mencegah kehancuran bangsa dan dirinya sendiri. Sekarang, noda-noda masa lalu yang tercoreng di keningnya sedikit demi sedikit terhapus. TNI tidak lagi tergoda untuk terjun di dalam kancah politik praktis. Juga sudah ada larangan bagi anggota TNI aktif terjun ke arena pemilihan kepala daerah (Pilkada), kecuali menanggalkan baju tentaranya.

Advertisement

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 merumuskan kembali peran, fungsi, dan tugas TNI. Undang-undang tersebut membatasi ruang gerak TNI hanya dalam bidang pertahanan, mengarahkannya menjadi tentara yang profesional. Karena itu, TNI merumuskan kembali paradigma baru yang menjangkau jauh ke depan, sejalan dengan perkembangan zaman.

Konsekuensi logis dari profesionalisme TNI, dilaksanakannya kewajiban negara untuk memenuhi semua kebutuhan militer, baik dari segi peralatan perang dan pertahanan, maupun pendapatan dan kesejahteraan para prajurit. Sayangnya, sampai saat ini, negara belum menjangkau kebutuhan militer yang profesional.

Ekses-ekses yang muncul, karena alasan gaji dan tunjangan yang minim, banyak prajurit mencari penghasilan sampingan, yang halal bahkan yang haram—seperti membeking bisnis hitam, bahkan merampok. Perbuatan segelintir prajurit yang bermental lemah ini sedikit banyak mencoreng citra TNI yang sedang membangun profesionalisme dan netralitas.

Belakangan, reformasi dan netralitas TNI terganggu oleh munculnya wacana perlu tidaknya pemberian hak pilih para prajurit dalam Pemilu. Ada kalangan militer yang menyatakan, prajurit sudah siap memilih. Tetapi ada juga yang menyatakan belum siap. Tetapi para petinggi TNI bersikap hati-hati.

Sebelum pemberian hak pilih prajurit diputuskan, prinsip yang perlu dipertimbangkan; bahwa garis politik TNI adalah garis politik negara. Dikhawatirkan, pelibatan prajurit dalam agenda politik praktis (Pemilu), bisa membelokkan reformasi dan hakekat netralitas TNI.

Memasuki usianya yang ke-61, biarkanlah TNI memusatkan diri pada pemantapan profesionalisme agar tidak terkotak-kotak dalam kubu-kubu politik. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 22

Dari Redaksi

Surat Komentar

Highlight/Karikatur Berita

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Berita Khas

Berita Nasional

Berita Tokoh

Lentera

Berita Khusus

Berita Feature

Berita Ekonomi

Berita Iptek

Berita Profil

Berita Politik

Berita Hukum

Berita Daerah

Lintas Tajuk

Berita Olahraga

Berita Mancanegara

Berita Budaya

Berita Lingkungan

Berita Kesehatan

Berita Humaniora

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest


0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments