Keluarbiasaan Peninjauan Kembali

 
0
92
Keluarbiasaan Peninjauan Kembali
Romli Atmasasmita | TokohIndonesia.com | MS

[OPINI] – Oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM | Keluarbiasaan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) terletak pada, tidak ada batas waktu untuk pengajuannya selama terpidana menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan. Keluarbiasaan lain, PK hanya dapat diajukan oleh Terpidana, bukan oleh pihak lain termasuk penuntut umum.

Sistem hukum pidana Indonesia mengakui bahwa suatu tindak pidana memuat tiga hal penting, yaitu ada suatu perbuatan manusia (1), yang menimbulkan akibat hukum yang membahayakan kepentingan hukum orang lain atau ketertiban masyarakat (2), dan terhadap pelakunya dapat diminta pertanggungjawaban (pidana) karena kesalahannya (3).

Untuk membuktikan ketiga hal tersebut,KUHAP memberikan landasan hukum dimulainya proses penyelidikan, dilanjutkan kepada tahap penyidikan jika ada bukti permulaan yang cukup, dan menetapkan tersangkanya. Proses penetapan tersangka dilanjutkan ke tahap penuntutan jika telah lengkap seluruh persyaratan formil dan materiil atas perbuatan tersangka, dan dilanjutkan pemeriksaan di sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum kecuali dalam tindak pidana kesusilaan.

Dalam praktik, MA RI telah menyimpang dari ketentuan Pasal 263 KUHAP seperti dalam perkara Muchtar Pakpakahan dan Syahril Sabirin. i

Tenggang waktu tahapan proses tersebut sampai pada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan ketentuan KUHAP, menyita waktu selama 400 hari. Selama waktu menunggu jatuhnya putusan tersebut, seorang terdakwa dapat dikenakan penahanan. Semua tindakan hukum penahanan tersebut dibenarkan sepanjang menurut diskresi penyidik atau penuntut umum,bahkan oleh hakim; terdakwa yang bersangkutan patut dikenakan penahanan.

Alasan-alasannya adalah dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan bukti-bukti, dan dikhawatirkan mengulangi kejahatannya. Majelis hakim dalam praperadilan khusus terhadap wewenang penahanan ini hanya mengandalkan prosedur penahanan sematamata sebagai bukti bahwa penahanan tidak dilakukan sewenangwenang. Hampir 99% permohonan praperadilan ditolak majelis hakim pengadilan negeri karena alasan prosedur yang dipandang telah sah dan sesuai ketentuan KUHAP.

KUHAP juga memberikan kesempatan yang sama baik terhadap terdakwa dan jaksa penuntut umum untuk melakukan tugasnya seperti hak (bukan kewajiban) untuk banding dan kasasi; tidak ada diskriminasi dalam hal ini. Berdasarkan KUHAP, pada tingkat pemeriksaan kasasi, putusan Majelis Hakim Agung yang memutus bebas atau dilepas dari tuntutan hukum terhadap terdakwa, adalah bersifat ‘final and binding’.

Artinya khusus terhadap terdakwa tidak ada upaya hukum lain kecuali menerima putusan tersebut, dan bagi jaksa penuntut umum, tidak ada hak hukum untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK). Permohonan pengajuan PK menurut Pasal 263 KUHAP, hanya diberikan kepada terdakwa atau ahli warisnya.

Menyimpang

Dalam praktik, MA RI telah menyimpang dari ketentuan Pasal 263 KUHAP seperti dalam perkara Muchtar Pakpakahan dan Syahril Sabirin. Jika MA menolak permohonan kasasi terdakwa, jaksa penuntut wajib melaksanakan eksekusi putusan tersebut dan terdakwa harus menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Pengajuan PK oleh terdakwa atau ahli warisnya, tidak menunda eksekusi. Karena itulah, KUHAP tidak memberikan batas waktu untuk pengajuan permohonan PK oleh terdakwa.

Keluarbiasaan upaya hukum PK terletak pada, tidak ada batas waktu untuk pengajuannya dan sekalipun dalam status terpidana, upaya hukum tersebut masih terbuka lebar selama terpidana menjalani hukumannya di dalam lembaga pemasyarakatan. Keluarbiasaan lain, sesuai dengan KUHAP, PK hanya dapat diajukan oleh Terpidana, bukan oleh pihak lain termasuk penuntut umum. Satu-satunya dasar hukum beracara dalam perkara pidana, yaitu KUHAP, bukan UU lainnya termasuk UU Kekuasaan Kehakiman.

KUHAP merupakan lex specialis terhadap UU Kekuasaan Kehakiman. Memang UU tersebut juga memuat ketentuan mengenai PK, tetapi UU tersebut merupakan lex generali yaitu untuk perkara umum lainnya di luar perkara pidana. Untuk pengajuan PK oleh terdakwa atau ahli warisnya harus ditemukan novum yaitu: Pertama, keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Advertisement

Kedua, apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. Ketiga, apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

KUHAP juga memuat ketentuan bahwa PK oleh terdakwa atau ahli warisnya juga dapat diajukan jika suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Ketiga alasan untuk PK sebagaimana dimuat dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP jelas ditujukan untuk melindungi kepentinga nhukum terdakwa, bukan untuk melindungi kepentingan hukum negara yang diwakili kejaksaan.

Melindungi Terdakwa

Ketentuan KUHAP tentang hak pengajuan PK kepada terdakwa dan bukan kepada jaksa penuntut umum dapat dipahami karena beberapa alasan yaitu: Pertama, filosofi pembentukan KUHAP menganut pendekatan ‘due process of law’ yang sarat dengan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa. Berbeda dengan Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang menempatkan tersangka/terdakwa sebagai objek pemeriksaan dalam proses peradilan pidana.

Kedua, pendekatan normatif dalam KUHAP menganut asas lex certa yaitu norma yang bersifat regulatif, jelas, tidak dapat ditafsirkan lain selain yang diperintahkan dalam undang-undang (lex stricta). Contohnya, kalimat dalam Pasal 263ayat (1) bahwa, “Hak pengajuan PK hanya untuk terdakwa atau ahli warisnya”; tidak dapat ditafsirkan lain selain daripada perintah yang diatur dalam pasal tersebut.

Sekalipun dalam praktik, masih ada kelemahan-kelemahan dalam ketentuan tersebut, kelemahan tersebut hanya dapat diatasi dengan perubahan terhadap KUHAP itu sendiri. Demikian cara pembaruan hukum dalam sistem kodifikasi terutama di dalam sistem hukum civil law yang dianut juga dalam sistem hukum pidana di Indonesia sejak diberlakukannya KUHP Tahun 1944 dan KUHAP Tahun 1981.

Pendekatan normatif terhadap KUHAP juga harus menggunakan pendekatan sistematis dan abstraksi logis yaitu membaca dan menafsirkan norma regulatif dalam KUHAP harus terkait dengan ketentuan lainnya terutama di dalam satu BAB yang sama.Contoh, Bab XVIII tentang Ketentuan Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kesatu, Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Bagian Kedua dalam Bab yang sama tentang Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap.

Jika kedua bagian dalam Bab XVIII tersebut dihubungkan satu sama lain.Juga jelas bahwa ketentuan dalam bagian pertama diperuntukkan kepada Jaksa Agung untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum, dan ke t e n t u a n bagian kedua, diperuntukkan bagi terdakwa atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). Berdasarkan dua ketentuan tersebut, KUHAP telah dengan adil, tetapi pasti memberikan kesempatan yang sama kepada baik terdakwa atau ahli warisnya dan Jaksa Agung (negara).

Merujuk pada Bab XVIII KUHAP yang meliputi dua bagian tersebut jelas bahwa kasasi demi kepentingan hukum merupakan hak hukum terakhir bagi Jaksa Agung (Negara ) dalam membela kepentingan hukum yang lebih luas, dan hak hukum Jaksa Agung tersebut hanya berlaku untuk satu kali permohonan kasasi saja (Pasal 259 ayat 1). Sedangkan PK merupakan hak hukum terdakwa atau ahli warisnya jika ditemukan novum sebagaimana diuraikan di atas.

Ketentuan Bagian Kesatu dan Bagian Kedua dalam Bab XVIII KUHAP tersebut mencerminkan prinsip ‘equality before the law’, ‘proportionality’ dan “kepastian hukum dan keadilan” bagi baik terdakwa dan Jaksa Agung. Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa Bab XVIII merupakan ketentuan terakhir dan penutup tentang serangkaian hak yang diberikan kepada tersangka/terdakwa dan kejaksaan (negara) dalam proses peradilan pidana di Indonesia.

Pendekatan konstitusional terhadap praktik pengajuan PK oleh jaksa, selain merupakan pelanggaran terhadap norma hukum acara pidana yang berlaku, juga merupakan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara. Seorang terpidana yang telah dibebaskan atau dilepas dari tuntutan hukum oleh suatu putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai dengan norma KUHAP, maka kepadanya telah dipulihkan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya sebagai warga negara biasa yang memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan warga negara lainnya.

Atas dasar pemulihan hak dan martabat serta kedudukannya di muka hukum, penuntutan Jaksa Agung melalui PK dalam praktik merupakan pelanggaran atas prinsip ne bis in idem (seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap-Pasal 76 ayat (1) KUHP). Pengajuan PK oleh Jaksa Agung dalam praktik identik dengan “perampasan hak dan kemerdekaan” seseorang oleh aparatur hukum secara sewenang-wenang (abus de droit).

Aksi itu juga merupakan pelanggaran HAM sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1), Pasal 28 I ayat (1), (2), (4) dan ayat (5) UUD 1945 Bab XA UUD 1945. Merujuk pada dasar perundangundangan (KUHAP) dan dasar Konstitusi RI (UUD 1945) , tidak ada celah hukum sedikit pun bagi Jaksa Agung untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali.

Mahkamah Agung RI merupakan pilar kekuasaan kehakiman selain MK RI,dan sekaligus penentu arah politik hukum di dalam sistem hukum Indonesia sehingga apa pun putusan MA RI dalam setiap perkara akan memberikan warna tersendiri terhadap pembentukan hukum pidana dan acara pidana Indonesia di masa yad.Pemahaman filosofi, visi, misi KUHAP dan pendekatan normatif-abstraksi logis serta historis sosiologis dalam membaca dan menafsirkan KUHAP selamanya relevan dengan perlindungan hak-hak dasar warga negara di dalam UUD 1945 dalam proses pemeriksaan dan peradilan di Indonesia. Opini TokohIndonesia.com | rbh

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Penulis: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran. Pernah juga diterbitkan di Harian Sindo, 13 Januari 2011, di bawah judul: Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana.

Tokoh Terkait: Romli Atmasasmita, | Kategori: Opini | Tags: hukum, Mafia Hukum, PK, Pidana

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here