Opini Lainnya
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyelaraskan sistem peradilan pidana dengan dinamika ekonomi modern. Dengan mengadopsi prinsip ekonomi mikro dalam kurikulum hukum dan merevisi KUHAP, Indonesia berpotensi meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan keseimbangan antara keadilan dan efisiensi. Inovasi ini dapat menjadi terobosan penting dalam memerangi kejahatan ekonomi, keuangan, dan perbankan, serta mendorong pembangunan sistem hukum yang lebih responsif dan adaptif terhadap perubahan sosial-ekonomi.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Sistem peradilan pidana (SPP) di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Proses peradilan pidana dalam SPP meliputi tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, hingga eksekusi putusan pengadilan. Meskipun KUHAP mengatur ketentuan mengenai Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dan Surat Penghentian Penuntutan Perkara (SKP), penghentian perkara sangat jarang terjadi.
Tujuan dari proses peradilan pidana menurut KUHAP adalah untuk menemukan kebenaran materiil dari suatu perkara pidana, menjelaskan perbuatan yang didakwakan, menentukan siapa yang bersalah, dan menetapkan hukuman yang harus dijalani terhukum. KUHAP tidak mempertimbangkan seberapa besar efek jera yang dirasakan oleh terhukum selama menjalani hukumannya. Fokus KUHAP pada kebenaran materiil seringkali mengabaikan efisiensi dan efektivitas penggunaan hukum pidana untuk mencapai keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi pelaku, korban, masyarakat, dan negara.
Secara filosofis, sistem hukum acara peradilan pidana yang diadopsi oleh KUHAP tidak berbeda dengan hukum pidana pada umumnya, yang berlandaskan pada positivisme. Filosofi ini menekankan pada pembalasan dengan tujuan memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana dan mencegah orang lain meniru perbuatan tersebut. Namun, keberhasilan proses peradilan pidana diukur dari jumlah perkara yang ditangani oleh kejaksaan dan kepolisian serta jumlah pelaku kejahatan yang dipenjara, sehingga aspek kuantitas lebih diutamakan daripada kualitas proses peradilan itu sendiri. Itulah sebabnya, dulu, aspek kuantitas perkara pernah dijadikan salah satu syarat untuk kenaikan pangkat atau jabatan di kejaksaan, namun kemudian syarat tersebut dihapuskan.
Perubahan sosial-ekonomi yang cepat baik di tingkat nasional maupun internasional memengaruhi perkembangan hukum, baik dalam pembentukan hukum baru maupun dalam penegakan hukum. Saat ini, terdapat interdependensi antara hukum dan ekonomi yang bersifat timbal balik. Di negara-negara maju, hubungan ini saling melengkapi dan memperkuat. Namun di Indonesia, karena faktor sejarah, sosial, dan ekonomi yang masih tertinggal dibandingkan negara maju seperti anggota Uni Eropa dan Amerika Serikat, pengaruh ekonomi lebih dominan daripada hukum. Prinsip-prinsip ekonomi seperti efisiensi, keseimbangan, dan maksimisasi (EKM) telah memberikan kontribusi yang lebih positif dibandingkan prinsip-prinsip hukum yang berlandaskan pada kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Karakter ekonomi yang mengikuti prinsip EKM memiliki tujuan yang lebih terukur dan pasti dengan menggunakan metode penelitian induktif. Sebaliknya, tujuan hukum tidak terukur dan hanya menggunakan metode penelitian deduktif, suatu analisis hukum menggunakan metoda deduktif-abstraksi logis, yang sering kali tidak menyentuh aspek empiris. Akibatnya, hukum sejak abad 18 sering dianggap skeptis karena hanya fokus pada masa kini tanpa melihat masa depan. Dalam perkataan lain, hukum berbeda dengan ekonomi, tidak mengenal prediksi atau prospek dan probabilitas, selain fakta hari ini.
Untuk mengatasi kesenjangan antara hukum dan ekonomi dalam upaya membangun sistem perekonomian dan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN, perlu dilakukan beberapa langkah. Salah satunya adalah memasukkan prinsip-prinsip ekonomi mikro seperti efisiensi, keseimbangan, dan maksimisasi ke dalam pendidikan hukum pascasarjana serta penegasan dalam RUU KUHP/KUHAP yang akan datang. Misalnya, dalam kurikulum S2 pendidikan hukum, mata kuliah politik ekonomi mikro dengan 2 SKS bisa ditambahkan. Dalam KUHP/KUHAP yang baru, perlu dimasukkan ketentuan normatif mengenai asas tiada pidana tanpa kesalahan dan tiada kesalahan tanpa kemanfaatan (geen straf zonder schuld, geen schuld zonder nut).
Upaya perubahan ini, baik secara teoritis maupun praktis, diharapkan dapat memperkuat politik hukum pidana Indonesia dalam mencegah dan mengatasi tindak pidana khusus di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan. Tantangan utama dalam mewujudkan gagasan ini terletak pada kemauan kuat dari akademisi dan praktisi hukum untuk melakukan perubahan mendasar dalam pemikiran dan praktik hukum di lapangan, termasuk melakukan terobosan hukum (legal breakthrough). (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK