Saleh Afiff, Sebuah Kata Kerja

 
0
592
Saleh Afiff, Sebuah Kata Kerja
e-ti | matanews

[OPINI] – Saleh Afiff adalah sebuah kata kerja. Suaranya mungkin tak terdengar bingar. Tak keras menghantam. Mereka yang mengharap sebuah teriakan galak membela petani mungkin akan kecewa.

Saleh Afiff memang tak bicara dari dataran emosi. Ia lebih berbicara dari pemahaman kritis. Ia bicara dari semangat untuk tak berhenti berpikir dan berpihak pada yang kecil, pada kesejahteraan. Saleh Afiff memang sebuah kata kerja.

Pada 28 Juni, Profesor Saleh Afiff meninggal dunia. Apa yang harus dijelaskan tentang Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini? Saya tak pernah jadi muridnya langsung karena Pak Afiff—begitu saya memanggilnya—konsentrasi mengajar ekonomi pertanian di FEUI, sedangkan saya mengambil konsentrasi ekonomi internasional.

Interaksi saya dengan Pak Afiff datang lewat pelbagai diskusi tentang ekonomi Indonesia. Biasanya, Pak Afiff menelepon saya atau mengirim e-mail tentang pelbagai perkembangan ekonomi. Ciri khasnya: datang dengan pertanyaan yang tajam dan tak mudah percaya dengan argumentasi lawan bicaranya.

Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) periode 1968-1970 ini punya perhatian khusus pada pertanian. Bulan Juni 1968, tulisannya bersama Leon A Mears muncul di jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) tentang program Bimas dan produksi beras (A New Look at the Bimas Program and Rice Production).

Dalam tulisan itu Mears dan Afiff menulis, Bimas ternyata berkembang jauh lebih cepat dari yang ditargetkan. Keduanya juga menulis, dalam kasus Inmas personal finance atau private credit yang ada ternyata memberi manfaat amat besar untuk penggunaan input, meski tingkat bunga yang harus dibayar petani relatif tinggi. Satu hal yang menarik dari tulisan ini, gagasan Pak Afiff dan Mears tentang peran swasta dalam menyediakan input dan juga aspek pemasaran.

Merujuk kasus Filipina, Afiff dan Mears menunjukkan, peran swasta dalam distribusi fertilizer dan insektisida amat membantu mengurangi beban pemerintah. Menarik, karena tahun 1968 Pak Afiff sudah bicara mengenai peran swasta, sesuatu yang bagi banyak ekonom di era itu dianggap barang asing.

Tradisi Keynesian

Pak Afiff yang menamatkan PhD-nya di Oregon, Amerika Serikat, tentu dibesarkan dalam satu tradisi pemikiran Keynesian. Di mana peran dari pemerintah dianggap begitu penting. Karena itu, menarik jika pada tahun 1968 Pak Afiff sudah bicara soal peran swasta, suatu topik yang praktis tak terpikirkan, terutama di era ketika pemerintah dianggap sebagai dewa penyelamat di dalam pelbagai hal.

Bersama Mears, Walter Falcon, dan Peter Timmer (1980), Pak Afiff menulis risalah, Elements of Food and Nutrition Policy in Indonesia dalam buku yang di edit Gustav Papanek. Buku ini merupakan salah satu “klasik” tentang ekonomi Indonesia. Di sini Pak Afiff bicara soal pola insentif dan perlunya perubahan pola insentif dalam produksi dan konsumsi tanaman pangan.

Advertisement

Dari karya-karya ini saja kita bisa melihat bagaimana perhatian Pak Afiff tentang ekonomi pertanian. Bulan lalu di Stanford University, saya bicara panjang dengan Walter Falcon. Dan, diskusi melebar sampai ke soal ekonom yang memiliki perhatian besar mengenai masalah pertanian, Saleh Afiff tentu saja.

Perhatian dalam hal kesejahteraan tak berhenti sampai di sana. Beberapa bulan terakhir sebelum meninggal, Pak Afiff kerap mengirim bahan tentang masalah kesejahteraan. E-mail-nya kepada saya tanggal 14 Juni 2005, misalnya, datang dengan berita: satu dari lima anak tidak bersekolah. Tanggal 20 dan 21 Juni 2005, Pak Afiff mengirim satu artikel di Kompas melalui e-mail. Isinya: Sumber daya manusia yang kian terabaikan. Saya tak akan mengubah tulisan ini menjadi daftar e-mail Saleh Afiff, saya hanya ingin memberikan ilustrasi bagaimana sampai di usia tuanya Pak Afiff masih memiliki perhatian begitu besar terhadap masalah kesejahteraan dan kebutuhan pokok.

Mencari bukti

Saya juga ingat ketika isu kenaikan harga BBM sedang menghangat, Pak Afiff kerap menelepon dan mendiskusikan program dana kompensasi dan kekurangan-kekurangan yang ada dalam program itu.

Tak mudah meyakinkan Pak Afiff karena sikap kritisnya yang kuat. Kerap kali dalam pembicaraan telepon yang panjang, saya berusaha meyakinkan tentang beberapa perkembangan dalam ekonomi Indonesia.

Yang menarik, setelah beberapa hari Pak Afiff kembali menelepon saya dan mengatakan, “Ok, saya setuju, saya sudah lihat datanya”. Artinya, selama beberapa hari ia mencari bukti apakah argumen saya punya bukti empiris atau tidak. Kadang saya jawab sambil bercanda, “Bapak masa enggak percaya sama saya”.

Sekian derajat skeptisisme memang selalu dibutuhkan di dalam ilmu pengetahuan. Itulah yang akan selalu menjaga jarak kita dengan apa yang kita teliti. Itulah yang membuat kita menjadi tetap obyektif dan tak sepenuhnya terbawa oleh sekadar keyakinan atau dogma, “yang dalam banyak hal bisa salah. Pak Afiff memberi contoh yang baik tentang sikap kritis ini.

Tanggal 28 Juni pagi, saya menerima SMS bahwa Pak Afiff comma dan di rawat di Rumah Sakit Pertamina. Belum sempat saya menjenguk beliau, sore hari Pak Billy Judono menelepon saya dan memberitahukan berita duka itu: Pak Afiff meninggal dunia. Saya segera menghubungi Prof Sadli. Dan saya masih ingat komentar sedih Pak Sadli: “Kehilangan besar buat saya, saya kehilangan teman diskusi.”

Pak Sadli benar, Pak Afiff memang kawan berdiskusi yang amat bersemangat. Pak Afiff memang tak bingar. Ia tak bersuara galak. Namun di balik itu, Pak Afiff adalah sebuah dinamika untuk terus memerhatikan kesejahteraan orang banyak. Saleh Afiff memang sebuah kata kerja. (Kompas 2 Juli 2005 )MUHAMMAD Chatib Basri, Ekonom

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Tokoh Terkait: Saleh Afiff, | Kategori: Opini | Tags: Menteri, negara, pendayagunaan, aparatur, Bappenas

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini