
[WAWANCARA] – Masalah tenaga kerja tidak asing lagi bagi Drs H Serta Ginting. Selama 30 tahun lebih ia bekerja sebagai karyawan PT Perkebunan Nusantara III (Persero). Dia juga pernah mengetuai Federasi SP-Bun PTP Nusantara I-XIV, yang tentu saja banyak bersentuhan dengan masalah ketenagakerjaan.
Di SOKSI, ormas di mana ia memulai kiprah politiknya semasih di Rantauprapat, Ginting dipercaya sebagai Ketua Bidang Ketenagakerjaan. Terlebih dalam kedudukannya sebagai anggota Komisi IX DPR yang membidangi Tenaga Kerja, Kependudukan, Kesehatan dan Transmigrasi, komitmen dan perhatiannya terhadap perbaikan nasib dan kesejahteraan para pekerja di dalam maupun di luar negeri (TKI), tak perlu diragukan lagi.
Tak mengherankan jika Serta Ginting selama ini dikenal sebagai salah satu anggota DPR yang sangat vokal dalam memperjuangkan perbaikan nasib dan kepentingan buruh (pekerja).
Beberapa waktu lalu, di sela kesibukannya yang sangat padat, ia meluangkan waktu menerima wartawan Tokoh Indonesia, untuk wawancara khusus. Wawancara berlangsung dalam tiga kesempatan, di Jakarta dan Medan. Bukan hanya seputar ketenagakerjaan, ia juga memaparkan obsesinya di bidang peningkatan kesejahteraan rakyat kecil, perluasan lapangan kerja, hingga strategi pembangunan Sumatera Utara, daerah kelahirannya. Berikut petikannya:
MTI: Sebagai putra daerah dan anggota DPR dari provinsi ini, bagaimana Anda melihat pembangunan Sumut, dan ke depan harus diarahkan ke mana?
Serta Ginting (SG): Pembangunan di Provinsi Sumatera Utara selama ini memang banyak membuahkan hasil yang konkrit. Pembangunan sektor perkebunan misalnya, maju pesat. Ratus ribuan hektar lahan perkebunan telah dibangun terutama sejak dicanangkannya Pola PIR Perkebunan mulai tahun 1980-an. Namun, pembangunan selama ini tidak serta-merta mengangkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat Sumut. Ketimpangan pembangunan antardaerah, kemiskinan, diskriminasi khususnya dalam mendapatkan dana perbankan, masih sangat menyolok. Data menunjukkan bahwa tahun 2004, dari total penduduk 12,15 juta orang, sekitar 15, 5 persen di antaranya masih tergolong miskin. Tingkat kesejahteraan masyarakat di kawasan barat dan timur masih sangat timpang. Ini harus segera dipecahkan.
MTI: Bagaimana strategi untuk mempercepat pengentasan masyarakat miskin sekaligus untuk mendorong gerak pembangunan di kawasan barat? Dan sejauhmana pula peran gubernur untuk mempercepat proses pemerataan pembangunan tersebut?
SG: Peran dan figur seorang gubernur memang sangat menentukan. Ketimpangan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang makin menganga di Sumut hanya bisa diatasi jika gubernur memiliki komitmen tinggi terhadap perbaikan nasib rakyat kecil. Dana yang ada di perbankan misalnya harus disalurkan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas pembangunan. Jangan ditumpuk saja seperti yang terjadi selama ini. Atau disalurkan hanya ke kelompok masyarakat tertentu. Selama ini, ribuan pengusaha kecil dan lemah tak memiliki akses ke perbankan.
Ratusan pengusaha kecil dan pengrajin di Deli Serdang, misalnya, untuk mendapatkan modal Rp 5 juta saja sangat sulit. Akibatnya, usaha kecil ini tidak pernah berkembang, dan mereka tetap dibelit kemiskinan dari waktu ke waktu. Tegasnya, diskriminasi harus ditiadakan. Pemerataan untuk berusaha dan berbisnis harus dimulai dari hulunya, yakni memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh anggota masyarakat untuk mendapatkan kredit perbankan.
MTI: Pengusaha putra daerah selalu kalah bersaing dengan kelompok lain karena, konon, mereka memang tidak mampu. Pendapat Anda?
SG: Itu tidak bisa dijadikan alasan. Kalau memang lemah dalam manajemen dan modal, ya dibantulah. Masak mereka harus dibiarkan begitu saja? Kalau begini terus, kapan mereka bisa bangkit? Dan ini adalah tugas Pemda yang simpul utamanya ada pada gubernur selaku pemegang kekuasaan tertinggi di daerahnya.
MTI: Baru-baru ini wacana pemekaran Sumut cukup hangat dengan gagasan pembentukan Provinsi Tapanuli. Komentar Anda?
SG: Masalah utama di Sumut sekarang ini adalah pengangguran. Bukan hanya pengangguran terbuka, tapi juga pengangguran intelektual. Maksud saya, sekarang banyak orang pintar di instansi/kantor pemerintah daerah tapi kemampuan mereka tidak dimanfatkan secara maksimal. Nah, dengan pemekaran wilayah, tenaga-tenaga terdidik ini akan disebar ulang untuk mengisi kantor-kantor yang baru dibentuk.
Dengan demikian, pengangguran otomatis akan berkurang secara signifikan. Pada tahap awal setelah provinsi terbentuk, provinsi yang baru memang masih harus mengandalkan alokasi DAU, DAK atau Dana Dekonsentrasi dari Pusat. Tapi pembangunan sarana fisik seperti perkantoran, jalan akses, pelabuhan udara, dan sebagainya, dalam jangka pendek otomatis akan menyerap banyak tenaga kerja. Cuma, kenapa ya, harus memilih nama “Provinsi Tapanuli”? Nias pasti kurang sreg disebut sebagai orang Tapanuli. Kenapa bukan “Provinsi Sumatera Utara Bagian Barat”, misalnya. Ini ‘kan lebih netral dan bisa diterima oleh kabupaten di luar Tapanuli.
MTI: Soal figur gubernur menurut Anda, kriterianya apa saja?
SG: Ia harus bisa memahami dan menghargai keragaman suku, etnis, agama, serta kondisi spesifik masing-masing daerah. Jadi, ya, harus marragam-ragamlah (pluralis) jugalah! Gubernur harus faham apa yang benar-benar dibutuhkan oleh Tapanuli Utara, Deli Serdang, Labuhan Batu, Langkat, dan sebagainya. Ia juga harus mengembangkan keterbukaan, khususnya mengenai program pembangunan yang disusun oleh Bappeda. Rakyat harus diberi kesempatan untuk menilai setiap program. Jika rencana yang digagas oleh masyarakat memang lebih baik, ya ini harus diakomodasikan.
Pembangunan jangan hanya maunya gubernur dan Sekda, tapi rakyat harus dilibatkan Sosok pemimpin Sumatera Utara juga harus bisa diterima oleh semua kalangan. Ia harus mampu mengakomodasikan aspirasi kedelapan etnis/suku utama di daerah ini, dengan keragaman agama, budaya dan adat-istiadatnya. Figur gubernur dan wakilnya di masa mendatang harus kuat dalam kepribadian, tetapi tetap luwes dan merakyat. Untuk bisa diterima oleh masyarakat Sumut, yang bersangkutan juga harus bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Untuk menguji figur kepemimpinan sejauh mana dia layak dan bersih diperlukan pengawasan dari luar. Pengawasan yang melibatkan akademisi, pers, hingga LSM.
MTI: Beberapa waktu lalu, Anda sangat intens bahkan bersuara keras terhadap masalah TKI illegal di Malaysia. Bagaimana Anda mencermati kasus ini?
SG: Ini akibat sistem dan prosedur pengiriman tenaga kerja yang masih sangat birokratis dan berbelit-belit. Hasil pengecekan kita di lapangan menunjukkan bahwa situasi ini seolah dikondisikan supaya calo bisa berkeliaran. Biaya yang harus dikeluarkan oleh TKI pun menjadi sangat tinggi, bisa dua kali lipat dari biaya resminya. Ke Malaysia misalnya, seharusnya cukup Rp 2 juta per orang.
Tapi karena harus lewat calo, biayanya membengkak, bisa sampai dua kali lipat. Akibat dari situasi ini, banyak calon tenaga kerja dengan cara sendiri mencoba masuk ke Malaysia. Tapi di sana mereka ditangkapi dan dituding sebagai pendatang haram. Masalah menjadi sangat serius karena jumlah mereka sampai ribuan. Saya sangat menyesalkan kenapa pemerintah baru turun tangan setelah kasusnya meledak. Kalau sejak awal diurus dengan benar, kasus ini tidak akan terulang lagi.
MTI: Jadi kuncinya adalah penyederhanaan sistem dan prosedur pemberangkatan TKI?
SG: Ya, jangan justru dipersulit. Jasa mereka harus dihargai dengan memperlakukan mereka secara manusiawi. Apalah artinya disanjung setinggi langit jika di luar negeri mereka dimaki-maki, dianiaya, dikejar-kejar bahkan tidak sedikit yang dihukum cambuk. Yang lebih memilukan lagi, ada TKI yang ditembaki oleh Tentara Diraja Malaysia di tengah laut. Ini amat ironis dengan predikat TKI sebagai pahlawan devisa. Dan pemerintah harus proaktif, jemput bola. Seperti masalah TKI di Malaysia tempo hari. Kan lebih baik jika aparat pemerintah yang mendatangi mereka dan menyelesaikan masalahnya di sana. Kalau TKI illegal tersebut yang disuruh datang ke Indonesia, berapa biaya yang harus dikeluarkan? Dan ini sudah pasti akan ada pungutan lagi, menambah beban TKI.
MTI: Ketika terjadi kisruh antara tenaga kerja dengan manajemen PTPN II beberapa waktu lalu, sebagai sesepuh Federasi SP-Bun dan anggota Komisi IX, Anda juga aktif membantu penyelesaian masalahnya. Tapi kenapa kasusnya harus sampai ke Jakarta ? Di sana kan ada SP-Bun?
SG: Saya segera mengimbau seluruh pihak yang terkait agar duduk bersama. Waktu itu saya mengharap jajaran Direksi PTP Nusantara II serta SP-Bun setempat menyelesaikan kasus ini secara internal. Seharusnya kasus ini tak perlu sampai ke DPR. Tapi ini juga akibat lemahnya pengawasan instansi terkait. Kondisi di lapangan samasekali tidak sesuai dengan laporan yang sampai ke Komisi IX. Laporan yang masuk hanya enak didengar, padahal kenyataan di lapangan sangat berbeda.
MTI: Apa sebetulnya yang terjadi?
SG: Tuntutan para karyawan sebenarnya masih dalam batas-batas wajar, normatif. Yakni agar direksi perusahaan negara ini memperhatikan usul perbaikan upah karyawan. Upah dinilai sudah tak sesuai lagi dengan kondisi saat itu. Termasuk di sini masalah keikutsertaan mereka di Jamsostek. Karena itu, seharusnya masalah bisa segera dipecahkan asalkan kedua belah pihak mengedepankan cara-cara persuasif dan akal sehat, menjauhkan sikap untuk menang sendiri.
Kasus ini juga sudah cukup lama dilaporkan ke departemen teknis. Namun ternyata instansi yang bersangkutan lamban mengambil sikap, sehingga persoalan sempat mengambang. Mestinya, Depnakertrans langsung masuk dan mencari solusinya. Tapi ini tidak. Akibatnya, kesabaran para pekerja habis dan mereka tak henti-hentinya melakukan unjuk rasa. Tokoh pekerjanya pun dipindahkan oleh direksi. Itu memang hak direksi. Tapi apakah dengan begitu persoalan selesai?
MTI: Tempo hari pemerintah ingin mengamandemen UU Ketenagakerjaan. Bahkan draf revisi/amandemennya sudah disiapkan. Namun kalangan pekerja menolaknya habis-habisan karena dinilai merugikan kepentingan mereka. Anda sendiri menyatakan mendukung kelompok pekerja. Pertimbangannya apa?
SG: Draf amandemen hasil godokan pemerintah tersebut memang mengandung sejumlah klausul yang dinilai merugikan kaum pekerja. Antara lain, dalam draft amandemen UUK tersebut, posisi dan status pekerja cenderung ditempatkan sekadar buruh dan kuli di negerinya sendiri. Ini justru bertentangan dengan nilai-nilai reformasi yang digagas oleh masyarakat, termasuk oleh pekerja. Sangat disayangkan juga, kenapa pemerintah tidak segera mengajukan draf amandemen itu ke DPR untuk segera dibahas.
Jika ini sudah masuk ke Komisi IX, pembahasannya akan lebih terarah dan tertib. Kemungkinan terjadinya tindakan anarkhis yang akan merugikan semua pihak, juga akan bisa terhindarkan.
MTI: Jadi posisi Anda waktu itu di pihak pekerja?
SG: Sikap saya sangat jelas, mendukung aspirasi para pekerja. Kenapa? Pemerintah jangan mengorbankan pekerja atau buruh hanya karena ingin menarik investor. Kita memang membutuhkan investasi untuk membantu menggerakkan roda perekonomian di dalam negeri. Tapi buruh jangan sampai ditekan apalagi diposisikan hanya seperti kuli. Ini jelas kita tolak.
MTI: Kalau terlalu berpihak kepada pekerja atau buruh, investor luar negeri mungkin tak mau masuk ke Indonesia.
SG: Justru perlindungan terhadap pekerja harus menjadi pertimbangan utama dalam menarik investor. Penting disadari oleh semua pihak bahwa penghargaan atas martabat pekerja justru akan menciptakan iklim yang kondusif. Pada gilirannya mewujudkan hubungan yang harmonis antara pekerja dan pengusaha. Namun jika dari awal saja, misalnya melalui draf RUU sudah tercium aroma yang tidak sedap alias bibit pertentangan, iklim dan hubungan yang harmonis tersebut tentu saja tidak akan pernah terujud.
Saling curiga dan disharmoni akan semakin menajam di antara kedua belah pihak. Bukan hanya merugikan pekerja dan pengusaha, tapi pemerintah juga akan direpotkan. Karena itu saya termasuk yang menolak keras usulan amandemen UUK tersebut. Draf amandemen tersebut seharusnya menawarkan konsep perbaikan dan perlindungan yang lebih baik terhadap buruh. Jangan terlalu memihak kepentingan pengusaha atau investor.
Karena itu, kalau kita menghargai martabat kaum buruh dan pekerja, itu justru akan menjadi daya tarik bagi para investor, khususnya dari negara-negara yang menjunjung tinggi hak azasi manusia.
MTI: Beberapa waktu lalu, pemerintah meluncurkan paket bantuan berupa dana kompensasi BBM kepada masyarakat miskin. Anda konon tidak setuju dengan pemberian paket seperti itu. Alasannya?
SG: Karena itu tidak mendidik masyarakat. Kebijakan pemberian paket bantuan berupa uang membuat mereka malas bekerja dan lebih berharap menerima bantuan/pemberian. Padahal, masyarakat kita sejak dulu terkenal sebagai pekerja keras.
Di samping itu, paket bantuan, selain jumlahnya tidak seberapa, dampak ekonomisnya juga nol. Artinya akan habis begitu saja untuk dikonsumsi, bukan untuk menunjang usaha produktif. Kan lebih bagus kalau misalnya dana yang berjumlah triliunan rupiah itu diakumulasikan dan dimanfaatkan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di daerah-daerah, seperti di lahan eks Proyek Lahan Gambut Sejuta hektar di Kalteng sana?
Di samping produktif, ini juga akan menciptakan lapangan kerja baru dalam jumlah besar-besaran. Belum lagi dampak gandanya terhadap pembangunan daerah, pasti akan cukup signifikan. Patut juga diingat bahwa dana kompensasi BBM itu berasal dari kebijakan yang pahit, yakni menaikkan harga BBM yang dampaknya sangat luas. Banyak perusahaan bangkrut, sehingga terpaksa mem-PHK karyawannya. Kan wajar jika hasil kompensasi tersebut digunakan untuk menciptakan lapangan kerja baru guna menekan angka pengangguran. mti-tum