Jokowi, Sarat Politik Drama dan Rasa

Pernyataan Presiden Jokowi tentang kondisi politik jelang Pemilu 2024 yang menurutnya terlalu banyak drama dan perasaannya, mengingatkan publik pada peribahasa: “Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak”. Publik di berbagai platform media sosial memandang justru Jokowi sendirilah sutradara sekaligus aktor utamanya bersama keluarga dan kroni-kroninya yang mabuk kekuasaan. Itu drakor (drama kotor) politik yang kehilangan rasa dan etika moral. Drakor berdarah dingin.
Presiden Jokowi saat memberi sambutan pada HUT ke-59 Golkar yang digelar di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin (6/11/2023) mengatakan: “Saya melihat akhir-akhir ini, yang kita lihat adalah terlalu banyak dramanya, terlalu banyak drakornya, terlalu banyak sinetronnya, sinetron yang kita lihat. Mestinya kan pertarungan gagasan, mestinya kan pertarungan ide, bukan pertarungan perasaan. Kalau yang terjadi pertarungan perasaan repot semua kita. Tidak usah saya teruskan nanti kemana-mana,” ujarnya agak sinis.
Pernyataan Jokowi itu disambut senyum-tawa oleh para petinggi Golkar bersama beberapa petinggi partai Koalisi Indonesia Maju yang mengusung pasangan Capres Prabowo dan Cawapres Gibran putra sulung Jokowi. Ekspresi mereka menunjukkan kepuasan tersendiri. Para pengamat politik yang berkecenderungan berpihak pada Prabowo – Gibran/Jokowi pun memandang pernyataan Jokowi (ayah Gibran) itu merupakan sindiran kepada PDI Perjuangan. Mereka seperti tidak melihat fakta lebih nyata bahwa justru Jokowi sendirilah produsen, sutradara dan aktor utama drakor politik itu.
Mereka seperti lupa tentang peribahasa klasik yang sudah mengingatkan: ‘Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak’; yang berarti kesalahan diri sendiri walaupun sangat besar tetapi tidak tampak atau terlihat kecil, sedangkan kesalahan orang lain terlihat sangat besar walaupun sebenarnya kesalahan tersebut sangat kecil.
Mari kita kilas balik fakta-fakta yang berkorelasi dengan drakor politik tersebut.
Pertama, adalah PDI Perjuangan yang mengusung dan berjuang (selama 20-an tahun) supaya Jokowi dipilih rakyat menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI dua periode. Juga mengusung putranya Gibran menjadi Walikota Solo dan menantunya Babby menjadi Walikota Medan. Awalnya Jokowi sangat bangga sebagai kader (petugas) partai dan tak sungkan mencium tangan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Belakangan berubah merasa dilecehkan jika disebut petugas partai dan merasa tidak perlu lagi menghormati Megawati, bahkan merasa sangat terhina jika Megawati tidak membungkuk kepadanya seperti Ketua Umum Partai Koalisi Indonesia Maju lainnya. Ini adalah soal perasaan.
Kedua, dengan alasan direndahkan dan tidak dihormati di atas, Jokowi pun mendramatisirnya dan memainkan drama politik yang cenderung kotor. Dia dan keluarganya pura-pura tegak lurus mendukung Capres PDI Perjuangan Ganjar Pranowo; dan di saat bersamaan menunjukkan dukungan kepada Capres Gerindra Prabowo Subianto. Drakor ini dengan sangat apik diskenariokan dan dilakoninya sampai Rakernas IV PDI Perjuangan (29/9/2023) seolah-olah Jokowi dan keluarganya masih loyal pada PDI Perjuangan.
Ketiga, di sisi lain drama Jokowi dan keluarganya memasuki babak baru ketika Kaesang, putra bungsu Jokowi, masuk PSI dan dua hari kemudian diangkat menjadi Ketua Umum (25/9/2023). Jokowi masih bersembunyi (main drama) di balik pernyataan, “Kaesang itu telah berumah tangga, itu urusannya sendiri.”
Keempat, drama babak baru itu dilengkapi ketika Rakernas Projo (14/10/2023) yang mendeklarasikan dukungan kepada Capres Prabowo, walaupun Jokowi masih berusaha mengaburkannya. Sementara, drama pencawapresan Gibran semakin kencang menuju klimaks. Prabowo yang sejak 2022 sudah berulangkali meminta Gibran sebagai Cawapresnya, semakin terbuka lebih mengutamakan Gibran daripada Cawapres yang dijagokan Golkar dan PAN dan partai koalisi lainnya.
Kelima, Ironisnya, drakor itu berpuncak di Mahkamah Konstitusi. Ketika MK (16/10/2023) mengabulkan uji materi UU Pemilu tentang syarat usia Capres/Cawapres dengan mengutak-atiknya dari minimum 40 tahun dengan penambahan berpengalaman sebagai kepala daerah; yang sangat dramatis memberikan karpet merah kepada Gibran memenuhi syarat sebagai Cawapres pendamping Prabowo. Setelah itu, Golkar dalam Rapimnas mendeklarasikan Gibran sebagai Cawapres (21/10/2023).
Keenam, drakor itu bermuara pada deklarasi Gibran sebagai Cawapres pendamping Capres Prabowo oleh Koalisi Indonesia Baru dan mendaftarkannya ke KPU (25/10/2023). Presiden Jokowi menyebut, sebagai orangtua hanya merestui dan mendoakannya. Sejak itu, Jokowi tidak bisa lagi bersembunyi di balik skenario drakornya. Namun, Jokowi yang tidak lagi tegak lurus mendukung Capres PDI Perjuangan, tidak menyatakan diri keluar dari PDI Perjuangan. Demikian pula Gibran belum mengembalikan KTA PDI Perjuangan; juga menantunya Bobby Nasution, masih bersandiwara sebagai anggota PDI Perjuangan.
Ketujuh, drakor sebagai Presiden, Jokowi menegaskan posisinya yang netral, termasuk penegasan di hadapan para Pejabat Gubernur/Bupati/Walikota, tetapi di sisi lain para aparat di daerah menurunkan baliho Capres lain dan polisi malakukan patroli ke kantor partai lainnya. Drakor kenetralan ini ditandai dengan mengundang tiga Capres makan bersama di Istana bersama Presiden Jokowi. Anies tampaknya sangat menyadari undangan makan ini adalah drakor, sehingga dia meminta supaya semua pejabat pemerintah netral.
Kedelapan, bukti kuat dari rangkaian drakor politik ini adalah Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang memberhentikan Anwar Usman (ipar Jokowi, paman Gibran) dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi akibat pelanggaran etik berat ketika ikut memutuskan uji materi syarat Capres/Cawapres dimana dia mempunyai konflik kepentingan dan bernuansa adanya intervensi dan nepotisme.
Ini adalah hanya beberapa bukti drakor politik yang oleh sebagian besar publik memandang dan merasakannya di skenario dan dilakoni Presiden Jokowi dan keluarganya bersama kroni-kroninya yang ketagihan kekuasaan. Presiden Jokowi dan pihak istana membantahnya, begitu pula para kroni-kroninya. Bahkan pengungkapan fakta-fakta seperti ini dipandang oleh Presiden Jokowi, “terlalu banyak dramanya, terlalu banyak drakornya, terlalu banyak sinetronnya. Mestinya kan pertarungan gagasan, mestinya kan pertarungan ide, bukan pertarungan perasaan. Kalau yang terjadi pertarungan perasaan repot semua kita.”
Ya, itu drakor (drama kotor) politik yang kehilangan rasa dan etika moral. Drakor berdarah dingin.
Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang