Mencari Pimpinan KPK Setengah Malaikat

 
0
103
Mencari Pimpinan KPK Setengah Malaikat
Karikatur Cari KPK Setengah Malaikat | Tokoh.id | Al Amin

[OPINI] – VISI BERITA – Indonesia mencari orang yang extraordinary, luar biasa, setengah malaikat, untuk memimpin KPK. Orang berintegritas moral tinggi, bersih, jujur, cakap, berani, tegas dan memiliki reputasi yang baik; Berkomitmen memberantas korupsi, bergaya hidup sederhana (bersahaja), tidak memiliki cacat di masa lalu, sudah selesai dengan kepentingan diri sendiri dan berani (siap) mati (berkorban) demi bangsa dan negara. Negarawan (pejabat negara) setengah malaikat!

Salah satu aspirasi rakyat pada gerakan reformasi 1998 adalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Aspirasi itu direspon Pemerintah dan MPR/DPR dengan menetapkan Tap MPR dan beberapa UU tentang pemberantasan korupsi, di antaranya UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

KPK itu dibentuk untuk memberantas korupsi yang sudah semakin sitematis, merajalela dan telah memelaratkan rakyat, sehingga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Hal mana Kepolisian dan Kejaksaan terbukti tidak sanggup memberantasnya secara optimal. Maka, kepada KPK diberikan kewenangan (kekuasaan) yang luar biasa (extraordinary measures) untuk menegakkan hukum pemberantasan kejahatan korupsi yang luar biasa itu.

Pemberian kewenangan luar biasa kepada KPK yang nyaris tanpa pengawasan (independen) itu, tentu mengharuskan persyaratan layak tidaknya seseorang menjadi Pimpinan (Komisioner) KPK juga mesti luar biasa. Hal ini untuk mencegah terjadinya abuse of power dan abuse of institution oleh oknum Pimpinan KPK itu. Yang jika terjadi, tidak hanya akan justru menghambat upaya pemberantasan korupsi (kepentingan umum) melainkan juga berpotensi merampas hak-hak asasi manusia (individu).

Kejadian yang menimpa KPK Jilid II dan (terutama) KPK Jilid III sangat berharga dijadikan sebagai pembelajaran. Jangan lagi ada Pimpinan KPK yang terpaksa diberhentikan (sementara) karena tersangkut pelanggaran hukum (kini dan masa lalu) dan pelanggaran etika-moral. Seperti yang dialami Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah (KPK Jilid II); Serta yang baru saja dialami Abraham Samad dan Bambang Widjojanto (KPK Jilid III). Cacat masa lalu dan pelanggaran kode etik KPK telah menjerumuskan mereka ke dalam lembah ’kriminalisasi’ yang memaksa Presiden memberhentikan sementara mereka dan mengeluarkan Perpu guna mengangkat Pelaksana Tugas menggantikannya.

Apalagi kesalahan (jika terbukti benar) Abraham Samad (Ketua KPK), yang diduga telah melakukan abuse of power dan abuse of institution untuk kepentingan politik pribadinya. Bagi seorang yang dipercaya menjabat Ketua KPK, tentu hal ini adalah kejahatan luar biasa, yang amat sangat tidak patut.

Apalagi kesalahan (jika terbukti benar) Abraham Samad (Ketua KPK), yang diduga telah melakukan abuse of power dan abuse of institution untuk kepentingan politik pribadinya. Bagi seorang yang dipercaya menjabat Ketua KPK, tentu hal ini adalah kejahatan luar biasa, yang amat sangat tidak patut.

Secara internal, Pimpinan KPK terdahulu (Jilid I) sesungguhnya sudah sangat menyadari hal ini. Sehingga mereka mengeluarkan Keputusan Pimpinan KPK No. Kep-06/P.KPK/02/2004 Tentang Kode Etik Pimpinan KPK. Kode Etik KPK itu diawali dengan kalimat (kesadaran) bahwa kwenangan luar biasa yang dimiliki oleh pimpinan KPK mengalir dari kewenangan KPK dan kewenangan yang melekat dalam jabatannya selaku pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam UU No.30 Tahun 2002.

Sehingga mereka membuat Kode Etik Pimpinan KPK sebagai norma yang harus dilakukan oleh Pimpinan KPK dalam menjalani kehidupan pribadinya, dan dalam mengelola organisasi KPK. Kode Etik itu mengatur rinci perihal asas dan nilai-nilai dasar pribadi (basic individual values) yang mesti dianut Pimpinan KPK, dan sanksi yang akan dikenakan kepada yang melanggarnya.

Tapi, sangat disesalkan, tampaknya KPK Jilid II, terutama Jilid III, tidak mematuhinya lagi. Sehingga KPK terjerumus dan terjerembab ke lembah terlemah.

Di mana letak kesalahannya? Tentu banyak faktor. Tapi kali ini kita memfokuskan pada faktor awal, yakni proses seleksi dan pemilihan kelima pimpinan KPK itu. Bayangkan, seorang yang tiga kali ’melamar’ layaknya pencari kerja terpilih jadi Ketua KPK, tanpa pernah teruji dalam jabatan publik, hanya karena seorang penggiat antikorupsi. Seorang ’pembenci’ kopruptor terpilih juga jadi Wakil Ketua KPK. Mereka kemudian diserahi wewenang menegakkan keadilan. Bagaimana keadilan bisa ditegakkan dengan kebencian?

Advertisement

Bagaimana Pemerintah (Pansel) dan DPR masih bisa terkesima mendengar teriakan populer seperti itu? Bukankah korupsi (kejahatan luar biasa) mestinya diberantas oleh penegak hukum luar biasa yang mumpuni menegakkan hukum yang berkeadilan, tanpa kebencian?

Seorang awam bisa saja menyatakan diri sebagai pembenci koruptor, tapi seorang penegak hukum (apalagi Pimpinan KPK) mestinya paham bahwa menghukum tersangka korupsi itu bukanlah dengan dalil kebencian, melainkan dalil hukum yang berkeadilan.

Maka kita berharap, Pansel dan DPR yang akan menyeleksi dan memilih Pimpinan KPK Jilid IV nanti kiranya bisa memilih orang-orang luar biasa, setengah malaikat, yang mumpuni dalam menegakkan hukum pemberantasan korupsi. Visi Berita Majalah Berita Indonesia (Berindo) Penulis: Ch. Robin Simanullang | TokohIndonesia.com

Tokoh Terkait: Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, Amien Sunaryadi, Antasari Azhar, Bambang Widjojanto, Bibit Samad Rianto, Busyro Muqoddas, Ch. Robin Simanullang, Chandra Hamzah, Erry Riyana Hardjapamekas, Joko Widodo, Romli Atmasasmita, Taufiequrachman Ruki, Zulkarnain, | Kategori: Opini – VISI BERITA | Tags: KPK, antikorupsi, Setengah Malaikat

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here