04 | Pendulang Suara Putaran Kedua

Dwitunggal Capres-Cawapres Susilo Bambang Yudhoyono – Muhammad Jusuf Kalla dinilai punya keunggulan dan dapat saling melengkapi untuk memimpin bangsa ini melakukan perubahan menuju Indonesia yang aman, adil dan sejahtera. Banyak pihak melihat, posisi Jusuf Kalla sebagai Cawapres akan menjadi faktor penting untuk mendulang suara bagi kemenangan pasangan ini dalam Pemilu Presiden putaran kedua, melengkapi popularitas Susilo BY yang telah terbukti mencapai puncak pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden putaran pertama.
Telah terbukti, popularitas pasangan ini, terutama popularitas Susilo BY, telah menjadi faktor paling berpengaruh dalam mendulang suara pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden putaran pertama. Popularitas Susilo telah mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif (5 April 2004) yang kemudian mencalonkan pasangan ini sebagai kontestan Pemilu Presiden 5 Juli 2004.
Kejelian dan kesigapan Susilo meminang Jusuf Kalla menjadi Cawapres telah makin mendongkrak popularitas Susilo dan makin mengukuhkan kompetensi pasangan ini. Banyak pihak menilai, Jusuf Kalla merupakan sosok yang paling berkarakter, bekepribadian dan kompeten sebagai Cawapres. Bahkan diperkirakan siapa pun Capres, apakah Megawati, Wiranto atau Amien Rais jika berpasangan dengan Jusuf Kalla akan lebih berpeluang menjadi pemenang, sekurang-kurangnya masuk putaran kedua.
Kesigapan Susilo, yang kala itu popularitasnya memuncak, mengajak Jusuf Kalla, sebelum Capres lainnya meminang dan menentukan pilihan, telah pula membuat pasangan ini selangkah lebih maju dari Capres-Cawapres lainnya. Ketika itu, Jusuf Kalla mengambil langkah strategis sekaligus realistis pamit mengundurkan diri sebagai kontestan Capres Konvensi Partai Golkar dengan menyambut pinangan Susilo untuk berpasangan dicalonkan Partai Demokrat.
Jusuf Kalla secara khusus menemui Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung, yang kala itu telah dibebaskan Mahkamah Agung dari tuduhan korupsi dana Bulog. Jusuf Kalla mengatakan bahwa dengan kebebasan itu, Akbar lebih pantas menjadi Capres Partai Golkar. Sekaligus ia pun pamit untuk menjadi Cawapres mendampingi Susilo, Capres Partai Demokrat.
Lalu pasangan ini pun meraih suara terpanyak dalam Pemilu Presiden putaran pertama, sebesar 39,838,184 atau 33.574%, untuk bersaing dengan pasangan urutan kedua yang perolehan suaranya terpaut lebih 8 juta, yakni Megawati Soekarnoputri – KH Hasyim Muzadi yang meraih 31,569,104 (26,605%) suara.
Diikuti posisi tiga pasangan Wiranto – Solahuddin Wahid (Partai Golkar-PKB) yang meraih 26,286,788 (22,154 %) suara, posisi empat Amien Rais – Siswono Yudohusodo (PAN) 17,392,931 (14,658 %) suara dan posisi lima Hamzah-Agum Gumelar (PPP) 3,569,861 (3,009 %) suara dari 118,656,868 total suara sah dan 2,636,976 suara tidak sah. Berdasarkan hasil perolehan suara ini, tidak ada pasangan Capres-Cawapres yang meraih lebih 50 persen suara, maka Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan Capres-Cawapres peraih suara terbanyak urutan satu dan dua maju ke Pemilu Presiden putaran kedua.
Persaingan di Pemilu Presiden putaran kedua, diperkirakan akan lebih ketat. Walaupun pasangan Susilo-Kalla telah memiliki modal dasar lebih baik (33.574%) dibanding pesaingnya (26,605%), berbagai kemungkinan masih bisa mungkin terjadi. Apalagi bila pasangan ini, tidak bisa meningkatkan atau sekurangnya mempertahankan popularitas setelah mencapai puncak (klimaks) dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden putaran pertama.
Sebab jika ternyata popularitas pasangan ini, terutama popularitas Susilo BY, benar-benar telah mencapai puncak pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden putaran pertama, adalah menjadi ‘hukum alam’ akan mulai cenderung menurun (antiklimaks) pada putaran berikutnya. Hal ini paralel pula dengan petuah klasik, bahwa mempertahankan kemenangan (popularitas) jauh lebih sulit dibandingkan merebutnya.
Kerja keras dan kejituan strategi menjadi syarat mutlak untuk mampu mempertahankan papularitas dan kemenangan pasangan ini, terutama mempertahankan popularitas Susilo, yang menurut berbagai pihak justru sudah cenderung menurun belakangan ini.
Jusuf Kalla sendiri, dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia, menampik dugaan kecenderungan menurunnya popularitas Susilo. Jika diamati dari hasil berbagai survei, hasil Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden putaran pertama, kata Jusuf Kalla, tidak mengindikasikan penurunan popularitas tersebut. Survei pada bulan Mei 2004 menunjukkan angka tertinggi antara 54-60%, ketika Capres lain belum menentukan pasangan, sementara Susilo sudah resmi meminang Jusuf Kalla.
Lalu setelah semua pasangan Capres-Cawapres dideklarasikan, responden memiliki lima pilihan maka wajar saja jumlah yang 100% menjadi terbagi dan angka persentasi Susilo-Kalla berkurang. Namun hal itu bukan berarti popularitas menurun. Terbukti pada Pemilu Legislatif perolehan suara Partai Demokrat mencapai delapan persen dan justru memuncak menjadi 33.57% pada Pemilu Presiden putaran pertama.
Terakhir hasil survei IFES (Yayasan Internaional untuk Sistem Pemilu) juga mengindikasikan peluang pasangan ini lebih besar untuk memenangkan Pemilu Presiden putaran kedua 20 September 2004.
Survei yang dilakukan pada 7-17 Juli 2004 dengan melibatkan 1.250 responden dari 32 propinsi, itu mengindikasikan tingkat kepercayaan publik kepada pasangan Susilo-Kalla masih lebih tinggi dibanding kepada pasangan Mega-Hasyim. Meskipun popularitas kedua pasangan cenderung menurun, tapi penurunan popularitas Mega jauh lebih merosot dibanding Susilo. Susilo masih dinilai baik oleh 81 persen responden, sedangkan Mega hanya 65%. Survei ini, menurut Yanti B Sugarda, mempunyai tingkat kepercayaan 95% dengan margin of error 2,8%.
Maka Jusuf Kalla sangat optimis pasangannya akan memenangkan Pemilu Presiden putaran kedua dengan perolehan suara di atas 60 persen sampai mendekati 70 persen. Keyakinan ini diperkuat analisis dari hasil perolehan suara Pemilu Presiden putaran pertama. Bahwa sebanyak 74 persen rakyat pemilih menginginkan perubahan (pemilih empat pasangan Capres-Cawapres) dan hanya 26 persen yang ingin mempertahankan status quo (pemilih Mega-Hasyim).
Di samping itu, untuk memenangkan Pilpres putaran kedua, selain berupaya mempertahankan popularitas, pasangan ini juga secara intensif melakukan komunikasi politik, baik komunikasi politik langsung dengan rakyat maupun komunikasi politik dengan para elit partai dan ormas.
Walaupun banyak pihak sempat salah penafsiran atas pernyataan Susilo mengenai istilah koalisi terbatas yang akan mereka bangun. Koalisi terbatas bukan berarti menafikan pentingnya struktur dan mesin politik partai. Melainkan, maksudnya, perlu dibangun suatu sistem demokrasi yang bukan pelangi seperti Kabinet Gotong-Royong. Dalam kabinet ini hampir semua partai terakomodasi namun di parlemen belum tentu mendukung. Tidak jelas, kadang tidak mendukung dan kadang mendukung.
Pendulang Suara
Dalam hal komunikasi politik itu, pasangan dwitunggal ini terlihat bisa saling melengkapi. Pasangan ini memang dinilai banyak pihak paling ideal terlihat dari selama tiga tahun dalam kabinet selalu saling bekerja sama dan saling melengkapi. Maka tak terlalu berlebihan bila pasangan ini disebut laksana padanan dwitunggal Proklamator Soekarno-Hatta, setidaknya dalam faktor Jawa dan luar Jawa.
Bagi orang yang tidak terlalu memahami padanan pasangan ini, terkesan bahwa di antara mereka terjadi persepsi berbeda mengenai komunikasi politik atau aliansi politik dengan elit partai politik lain. Padahal mereka mempunyai pandangan yang sama tentang perlunya komunikasi politik, selain langsung kepada rakyat pemilih juga kepada elit partai. Hanya saja, menurut Jusuf Kalla, ada pembagian tugas dan saling melengkapi di antara mereka.
Banyak pihak menilai, peranan Jusuf Kalla dalam menjalin komunikasi politik dengan para elit partai akan memberikan dukungan signifikan dalam perolehan suara pasangan ini pada putaran kedua. Latar belakangnya sebagai seorang pengusaha sukses yang piawai bernegosiasi dan sebagai kader Golkar selama lebih 39 tahun, serta kedalaman keagamaan dan jiwa kebangsaan yang kental, membuatnya bijak dan bajik dalam politik praktis dan akan sangat bermakna memberi kontribusi pendulangan suara bagi pasangan ini pada putaran kedua.
Kenapa perannya lebih bermakna pada putaran kedua? Sebab partai-partai lain tidak lagi mempunyai Capres-Cawapres pada putaran kedua, setelah Capres-Cawapresnya tereliminasi di putaran pertama. Apalagi dia sebagai kader Golkar yang sempat lolos ke putaran akhir Konvensi Nasional Partai Golkar, diyakini memiliki basis massa, baik di Jawa terutama di luar Jawa. Belum lagi kedekatannya dengan massa dan elit-elit politik berbasis Islam, bahkan dengan massa dan elit politik nonmuslim. Hal ini bisa terlihat dari peranannya ketika memprakarsai dan memimpin proses perdamaian Malino untuk Poso dan Maluku.
Jusuf Kalla sendiri memang tidak memandang peranannya persis seperti itu. Melainkan, dia hanya ingin mengoptimalkan keberadaannya sebagai orang kedua dalam berpasangan dengan Susilo B. Yudhoyono, dalam konteks kerjasama. “Sebenarnya, itu hanya pembagian tugas saja. Kita ini sepakat pembagian tugas seperti itu. Supaya dalam setiap perundingan itu jangan langsung yang nomor satu. Tapi sebaiknya didahului orang nomor dua, karena nomor dua bisa lebih fleksibel,” kata Jusuf Kalla dalam percakapan dengan wartawan Tokoh Indonesia di kantornya, Jalan Pasar Minggu, Jakarta.
“Saya sebagai wakil harus lebih fleksibel. Apalagi, karena background pengusaha kan tiap hari berunding. Jadi saya berunding dengan siapa saja,” tambahnya meyakinkan.
Pengalaman dan pola hidupnya yang sederhana dan bersahaja, membuatnya lebih fleksibel dan selalu akrab berkomunikasi dengan siapa saja. Apalagi dengan orang yang sudah mengenalnya. Ia seorang pengusaha sukses yang jujur dan berjiwa sosial. Sekaligus juga seorang politisi yang sudah lebih 39 tahun aktif di Partai Golkar (mulai dari Sekber Pemuda Golkar). Kiprahnya saat menjabat Menteri Perdagangan dan Perindustrian, terutama saat menjabat Menko Kesra sangat memberi makna pada kinerja kabinet secara keseluruhan.
Dialah yang memprakarsai dan sekaligus memimpin proses perdamaian di Poso dan Maluku. Kordinasi bidang Kesra yang menjadi bagian tanggung jawabnya benar-benar leading. Bahkan tak jarang dia meneyelesaikan permasalahan yang berada di luar bidang tanggung jawabnya. Kata kuncinya adalah keteladanan, kemauan bekerja keras, hidup bersahaja dan anti-KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Tidak ada orang yang sudah mengenal Jusuf Kalla meragukan komitmennya untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa ini, antara lain dengan tidak mudah meminta-minta bantuan atau pinjaman dari luar negeri, tetapi dengan bekerja keras, hidup sederhana dan antikorupsi.
Mengenai pernyataan ini, sebagaimana juga ditulis Kompas, banyak pihak menyebut bahwa Kalla tidak berlebihan dalam masalah ini. Ia yang sebelum menjadi menteri telah menjadi usahawan besar di antaranya di bidang otomotif, baru mengganti mobilnya setelah kendaraan itu berusia di atas enam tahun.
Contoh kebersahajaan lainnya, soal ponsel. Ia tidak suka gonta-ganti telepon seluler karena menganggap ponsel merupakan alat komunikasi, bukan mode. Pakaiannya pun sederhana, bukan dari merek-merek kaum borjuis. Karena, menurutnya, ini kan soal fungsi. “Kalau ponsel saya masih baik, untuk apa diganti? Kalau saya nyaman dengan pakaian sederhana, mengapa harus mengenakan pakaian bermerek yang harganya sepuluh juta satu setel itu?”
Ia juga jarang makan di restoran. Ia suka makan nasi kotak yang disediakan kantornya. Ini menyebabkan stafnya, kalau bukan karena masalah dinas, jarang keluar kantor untuk makan. Mereka lebih bertekun pada pekerjaan.
Sikapnya yang sederhana ini membuat para stafnya, yang memahami kultur timur, sungkan hidup berlebihan. Mobil yang dipakai umumnya mobil sederhana, bukan dari kelompok luks.
Pamit dari Konvensi
Dalam beberapa kali kesempatan berkomunikasi dengan rakyat dan kader-kader Golkar dan partai lain, ia menguraikan bahwa permasalahan yang dihadapi bangsa ini adalah ketidakadilan dan kemiskinan. Itulah masalah utama yang makin membulatkan tekadnya sempat ikut maju dalam proses pencalonan presiden dalam Konvensi Partai Golkar sebelum menjadi calon wakil presiden mendampingi Susilo BY dari Partai Demokrat. Dalam hal layak tidaknya dia didukung dan dipilih, dengan lugas ia mengatakan agar dirinya dinilai dari apa yang telah dilakukannya.
Secara pribadi, ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden RI. Akan tetapi, ia melihat adanya peluang untuk ikut lebih berperan memajukan negeri ini menjadi bangsa yang terpandang di muka bumi jika berkesempatan menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Menjadi bangsa yang mempunyai harkat dan jati diri. Sebuah bangsa yang memiliki kekayaan alam berlimpah yang tidak sepantasnya miskin.
Sebenarnya dorongan itu dimulai dalam pertemuan dengan CGI di Bali beberapa waktu lalu. Waktu itu hadir hampir semua duta besar, ada IMF dan lain-lain. Waktu itu dia menyampaikan paper bahwa Indonesia baru bisa stabil kalau perekonomian tumbuh 6 %, tidak mungkin dengan 3,5 % seperti sekarang ini.
Di Indonesia ini pengganguran 10 juta, setiap pertumbuhan 1 % hanya menampung kira-kira 500 ribu pekerja baru, kalau pertumbuhan 3,5 % maka lapangan kerja terbuka 1,7 juta. Sedangkan setiap tahun muncul pencari kerja baru kira-kira 2,5 juta orang, jadi setiap tahun pengganguran selalu bertambah.
Lalu dalam pertemuan itu ada yang bilang, “Hai Jusuf, pertumbuhan ekonomi Indonesia ini tanpa diurus pun akan tumbuh 3,5%.” Kemudian, dia bertanya: “Kenapa Anda bilang begitu?” Orang itu bilang: “Pada waktu Gus Dur jadi presiden, dalam 3 bulan beliau mengganti Menteri Perekonomiannya sampai tiga kali, Menteri Keuangan tiga kali, Menko Polkam juga tiga kali, beliau tidak bisa melihat, tetapi pertumbuhan 3,5 %. Jadi tanpa diurus pun masih tetap tumbuh 3,5 %.”
Kalau begitu, dia bilang, Indonesia harus diurus lebih baik. “Kemudian saya berpikir, dari pengalaman sudah dua kali jadi menteri, saya tahu permasalahan negeri ini, saya yakin pasti lebih baik daripada masa-masa sulit itu,” kenang Jusuf Kalla.
Setelah konsultasi dengan teman-temannya, dia pun maju mengikuti Konvensi Capres Partai Golkar. Apalagi setelah melihat calon-calon yang ingin maju, ia rasa setidak-tidaknya bisa bersaing dengan baik. Ia sudah berpengalaman duduk di pemerintahan dan insya A llah dapat mengatasi berbagai persoalan, sehingga ia mengikuti proses yang demokratis itu.
Kepada keluarga juga ia sampaikan bahwa ini risikonya tinggi: Pertama, besar biayanya; Kedua, keluarga harus berkorban agak jauh darinya. “Jika saya presiden atau wakil presiden harus makin jauh, karena hampir semua presiden yang jatuh, karena terlalu dekat dengan keluarga. Berkorban tapi jaga jarak, ini termasuk beresiko tinggi, itulah tekad saya untuk maju ke pencalonan itu,” katanya mengenai ketetapannya mengikuti konvensi Golkar. Ketetapan ini juga berlaku manakala dia menjadi Cawapres dari Partai Demokrat.
Selain itu, ia punya kerinduan menjadikan bangsa dan negara ini menjadi negara yang tidak mudah mengharapkan pinjaman dan bantuan. Melainkan harus menjadi bangsa besar yang kaya dan punya jati diri. Hal itu harus diraih dengan keteladanan pemimpin yang berkemauan bekerja keras, hidup sederhana dan antikorup. Bersih saja tidak cukup, tetapi harus kuat. Sebaliknya kuat saja tidak cukup, tetapi harus bersih.
Ia melihat ada peluang melalui pemilihan presiden 2004 untuk melahirkan kepemimpinan nasional yang kuat, jujur, bersih dan berwibawa. Ia yakin rakyat membutuhkan dan akan memilih pemimpin yang teladan, mau bekerja keras, hidup sederhana dan antikorupsi. Itu yang mendorongnya untuk ikut maju. “Keyakinan saya bertambah kuat setelah menerima begitu banyak dukungan dari berbagai lapisan masyarakat dan DPD-DPD Partai Golkar ketika itu,” katanya. Ia pun meraih suara yang signifikan dalam prakonvensi.
Lalu setelah Akbar Tanjung bebas dari perkaranya, menjelang Konvensi Nasional, bersamaan dengan adanya pinangan Susilo Bambang Yudhhoyono untuk berpasangan jadi Capres-Cawapres dari Partai Demokrat, ia pun realistis dan pamit dengan baik-baik dari Konvensi Nasional Capres Partai Golkar.
Keteladanan
Menurutnya, keteladanan menjadi satu kunci kepemimpinan yang kuat dan berwibawa. Keteladanan bukan hanya sekedar mengimbau atau menganjurkan, tapi harus secara nyata melakukannya. Ini tema besar yang harus dikembangkan. Paradigma kerja keras, hidup sederhana, antikorup dan budaya malu semestinya akan menjadi mudah diaplikasikan apabila para pemimpin bangsa, dari yang terbesar sampai yang terkecil memberi contoh kepada rakyat perbuatan-perbuatan ideal itu. Jika pemimpinnya hidup sederhana, tidak suka berfoya-foya, bawahan pemimpin itu setidaknya sungkan hidup berlebihan.
Seorang pemimpin harus menggerakkan para stafnya untuk selalu mendahulukan hidup sederhana. Para staf akan bisa benar, karena komandannya. Kalau komandannya tidak aneh-aneh, anak buahnya yang di bawah pasti akan tidak aneh-aneh.
Jusuf Kalla menunjuk contoh negara lain yang pemimpinnya menjadi panutan. Misalnya ketika Zhu Rongji menjadi Perdana Menteri Cina. Zhu sangat dihormati, pertama-tama bukan saja karena ia dikenal sebagai salah seorang arsitek terkemuka perekonomian modern Cina, tetapi juga karena kejujuran-nya. Ia ibarat Judge Bao (tokoh dalam cerita rakyat Cina yang adil dan amat bengis terhadap penjahat).
Ketika menjadi perdana menteri, Zhu meminta aparat hukum Cina menyediakan 100 peti mati. Sebanyak 99 peti mati dialokasikan untuk para koruptor jahat, dan satu untuk dia sendiri, kalau terbukti korup. Alhasil, semua pejabat atau warga yang korup dikenai hukuman mati. Korupsi memang tidak bisa hilang dari bumi Cina, tetapi siapa pun amat takut berbuat korupsi.
Zhu kemudian begitu dihormati karena ia konsisten. Meski menjadi PM, ia hidup sangat sederhana. Tidak ada yang bisa mengutak-atik kehidupannya karena ia hidup bersih dan sederhana. Ini, fakta bahwa contoh kesederhanaan atau contoh hidup yang benar itu mesti benar-benar diberikan oleh pemimpin. “Maka, saya sangat percaya pada pedoman leadership itu,” kata Jusuf Kalla.
Contoh lain pemimpin panutan adalah Nelson Mandela, ketika tampil sebagai pemimpin Afrika Selatan. Ia bukan saja sederhana, tetapi memelopori gerakan rekonsiliasi, sehingga Afrika Selatan dapat menyelesaikan masalahnya dengan penuh kedamaian. Afrika Selatan tidak terjebak dalam sebuah terowongan dendam kesumat pada rezim kulit putih. Sikap ini malah memberi Afrika Selatan sebuah panggung terhormat, sehingga negara itu dikenal utuh sebagai bangsa besar.
Selain itu, juga Mahatma Gandhi memberi teladan tentang kehidupan yang sederhana. Di Indonesia, sejumlah pemimpin yang juga patut menjadi panutan, Bung Hatta (alm), mantan Jaksa Agung Baharuddin Lopa (alm), Jenderal (Purn) M Jusuf dan Jenderal Pol (Purn) Hoegeng. atur-tsl | Majalah Tokoh Indonesia Volume 14