Doktrin Kodja: Kepentingan Nasional
Soeparno Prawiroadiredjo02 | Karya Perusahaan Negara Kodja

Setelah doktrin usaha dimantapkan, serta kemampuan rancang bangun dan rekayasa, kemampuan manajemen dan pelaksana lapangan, siap, maka PT Kodja mulai bergerak maju, hingga menonjol di antara BUMN kapal, dan selalu menyajikan keuntungan dan cashflow yang positif.
Bahkan, tidak berapa lama kemudian, Menteri Peridustrian mengambil kebijakan untuk menggabungkan lima perusahaan industri kapal milik negara ke dalam PT Kodja. Kelima perusahaan BUMN itu adalah industri kapal PN Alir Manjaya di Palembang, PN Pakin di Pasar lkan, PN IPPA di Cirebon dan Semarang, industri kapal milik PN IKI di Padang dan galangan milik Departemen Peridustrian di Sabang.
Kala itu, dari kelima industri kapal milik negara itu, yang paling tidak semrawut adalah yang di Padang, tetapi berkat kepemimpinan Soeparno dan direksi lainnya, dibantu Ir. Suyoto, semuanya bisa diperbaiki. Ir. Suyoto dikemudian hari menjabat Direktur Utama PT Kodja Bahari (Persero). Kemudian, PT Kodja (Persero) mulai merambah kegiatan-kegiatan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Pertama, Perakitan sebuah kapal keruk hydro-elektrik untuk Departemen Pekerjaan Umum, yang semua peralatannya disupply dari Rusia, seluruhnya ada 2 kapal. Kapal kedua dirakit di pelataran TNI-AL Surabaya. Project Officernya di PT Kodja adalah Kuncoro NA, sedang Project Officer di TNI-AL adalah Mayor (L) Hari Ananda (Alm). Kedua proyek ini diselesaikan dengan baik dengan mendapat pujian dari team pengawas Rusia maupun Direktur Jenderal Pengairan, Dr. Ir. Suyono Sosrodarsono (1967).
Kedua, oleh Direktur Utama PT Bahtera Adhiguna (Persero), PT Kodja diminta untuk merancang bangun dua buah Logcarrier 7,000 DWT dan mengevaluasi tender yang masuk dalam rangka kredit luar negeri. Pilihan jatuh kepada DaeWoo Corporation dan dibangun di DaeDong Shipyard, Busan, Korea Selatan. Harga kedua kapal tersebut USD.10 juta dengan penyelesaian satu tahun.
PT Kodja kemudian juga diserahi tugas pengawasan atas pembangunan kedua kapal tersebut. Team pengawas ditunjuk, yakni Djokowibowo, Ir. Sudarman Sellang dan Ir. Sofyan Samsuddin. Dua yang disebut belakangan ini mahasiswa yang direkrut dari Universitas Hasanuddin, yang pada waktu mereka menjadi pengawas belum menyandang gelar insinyur.
Harga USD.10 juta untuk dua kapal termasuk murah, saingannya dari Jepang menawarkan antara USD.15-17 juta. Baik kapal yang dibangun di Jepang maupun di Korea dua-duanya memenuhi persyaratan keselamatan internasional, tetapi dalam hal kenyamanan jauh dari itu. Hal ini dapat dimaklumi sebab pada waktu itu di Semenanjung Korea baru terjadi perang yang dahsyat, semuanya masih serba terbatas.
Perihal ini, Soeparno mengungkapkan, walaupun kala itu PT Kodja menyampaikan bersedia menyetujui kenaikan harga, jawabannya tetap tidak mungkin, sebab kapal ini dibeli dengan kredit, dan Pemerintah Korea telah menetapkan pagunya.
Ketiga, di awal delapan puluhan, Pemerintah Belanda memberikan kredit untuk pembangunan kapal-kapal tunda untuk digunakan oleh pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Industri perkapalan Indonesia menuntut agar kapal-kapal tersebut dibangun di Indonesia, sedangkan industri perkapalan Belanda menuntut sebaliknya. Tututan mereka ini didukung oleh parlemen Belanda. Jalan tengahnya adalah kedua indusri itu harus bekerja sama, yakni ada enam Belanda dan enam Indonesia.
Mekanismenya adalah keenam Balanda tersebut menawarkan paket materialnya kepada keenam industri perkapalan Indonesia, yang kemudian menawarkannya kepada Panita Pemerintah. Dengan cara ini, setiap industri kapal membuat enam buah penawaran. Jadi enam industri menawarkan 36 penawaran. Ini pekerjaan rumit. Karena itu PT Kodja mengajak salah satu industri perkapalan Belanda untuk bekerjasama bilateral saja.Seperti sudah dapat ditebak, PT Kodja memenangkan tender tersebut dan sesuai dengan doktrinnya pekerjaan itu dibagi bersama industri perkapalan nasional lainnya.
Keempat, dengan keberhasilan-keberhasilan yang dicapai, PT Kodja (Persero) memutuskan untuk ikut dalam tender internasional pembangunan kapal keruk timah untuk PT Timah (Persero). Ternyata PT Kodja memenangkan tender yang diikuti oleh enam galangan dari beberapa negara.
Lalu, karena belum berpengalaman membangun kapal untuk mengeruk timah, PT Kodja berusaha menjalin kerjasama dengan pabrik-pabrik kapal keruk di luar negeri. Namun tidak ada yang bersedia menanggapinya. Padahal, untuk mengajukan tender proposal harus diketahui nilai setiap komponen dari kapal keruk itu. Sementara, setiap pabrik komponen atau supplier yang dimintai penawaran tidak ada yang menjawab atau kalaupun menjawab tetapi memberikan harga yang kelewat tinggi.
Rupanya mereka tidak memperhitungkan PT Kodja. Ternyata, hal itu suatu kekeliruan yang membuat mereka kelak menyesal. Sebab, Soeparno dan semua jajaran PT Kodja tak mau menyerah dengan kondisi itu. Soeparno berangkat ke Eropa mencari langsung partner. Lalu, secara kreatif dan cekatan masalah itu berhasil diatasi dengan negosiasi yang sederhana dan bersahaja dan langsung melakukan kerjasama dengan sebuah Consulting Firm ahli kapal keruk, Alluvial Dredging Ltd, Glasgow, Inggris.
Perjanjian dengan Alluvial amat sederhana, yaitu PT Kodja harus memenangkan proyek kapal keruk ini. Untuk itu, Alluvial membuatkan estimate paket perlengkapan dengan semurah-murahnya. Kalau proyek dimenangkan, supply paket material akan diberikan kepada Alluvial. Estimate paket yang diberikan Alluvial adalah USD.17 juta. Dengan harga paket ini, PT Kodja menawarkan kapal keruk dalam Rupiah, yang waktu itu setara dengan harga USD.35 juta. Sementara, para pesaing menawarkan antara USD.38 s/d 42 juta.
Dalam pelaksanaannya, harga paket tersebut diperoleh dengan harga USD.10 juta. Turun sampai USD 7 juta. Nah, ini jujurnya orang Eropa. Lalu, sesuai perjanjian, Allivial memperoleh fee 7% dari nilai paket, yaitu USD.700 ribu. Terdapat penghematan sekitar USD.6,300 juta.
Kala itu, hal ini menjadi perbincangan menarik bagi kalangan industri kapal nasional maupun internasional, terutama di kalanagan pemimpin BUMN. Sehingga Direktur PT Timah, Letjen TNI Ramli, kala itu kepada para pembantunya, menganjurkan untuk belajar dari PT Kodja, bagaimana melakukan procurement dengan baik.
Waktu itu, semua tender barang-barang milik pemerintah dan BUMN telah ditangani oleh Kantor Menteri Muda Urusan Pemakaian Produk-produk Dalam Negeri (UPDN) yang baru dibentuk. Menteri Mudanya adalah Ir. Ginanjar Kartasasmita[3] dan orang keduanya adalah Dipl.Ing Harsono Djoyosudarmo.
Telah menjadi kebiasaan kronis di UPDN bahwa nilai-nilai tender yang telah dimenangkan dibabat dengan bengisnya, sehingga nilai kontrak jauh di bawah nilai penawaran tender yang dimenangkan, tidak ada lagi dana cadangan. Hasil pembabatan yang bengis itu kemudian dilaporkan sebagai prestasi penghematan keuangan negara kepada Presiden. Sebagai hadiah atas prestasinya oleh Presiden Soeharto, Dipl.-Ing Harsono kemudian diangkat sebagai Menteri Muda Agraria di Kabinet Pembangunan V. Konon, di kementerian ini pun juga dilakukan pembabatan-pembabatan.
Bagi PT Kodja waktu itu, kerugian akibat pembabatan yang kelewat batas itu dikompensasi dengan penghematan pembelian paket komponen sebesar USD.6,3 juta, dan pengimporan pelat-pelat kapal yang melebihi kebutuhan. Kapal Keruk Timah memerlukan pelat kapal dengan kelebaran 3200 meter yang belum dimanufaktur oleh PT Krakatau Steel (Persero) dan harga pelat impor lebih murah dari pada produk dalam negeri.
Dengan kelebihan impor pelat tersebut memberikan keuntungan ganda kepada PT Kodja, yakni: Harga yang lebih murah dari harga produksi dalam negeri; Lebar pelat 3200MM menyebabkan biaya produksi yang rendah; dan, Stok yang berlebih itu memberikan keuntungan dalam mengikuti tender-tender Pemerintah, di mana ketersediaan material baja memungkinkan PT Kodja memperoleh down payment antara 30 – 40%, yang pada keadaan normalnya hanya 10 – 15%. Hal ini amat menolong cashflow.
Maka, segera setelah kontrak pembangunan ditanda tangani, dibentuk Team Engineering yang dipimpin oleh Ir. Sudarman Sellang dan Team Pelaksana yang dipimpin oleh Djokowibowo. Bersama dengan PT Timah dibentuk Team Engineering KK Singkep 1 yang bertugas menyiapkan Detailed Engineering & Design yang melibatkan lebih dari 100 orang ahli di kedua belah pihak.
Sebagai pengawas umum pembangunan ditunjuk Ir. Oemar Ali Soewarno (Alm), ahli teknik utama PT Timah dan wakilnya, Pinster, warga negara Indonesia keturunan Belanda. Dan kapal keruk dibangun di building berth PT Carya Putra yang dibangun oleh Verolme Shipyards yang di bawah penguasaan PT Pelita Bahari, tetapi tidak pernah digunakannya. KK Singkep 1 adalah kapal pertama dibangun di atas bulding berth peninggalan Presiden Soekarno tersebut.
Namun, terjadi hal-hal yang aneh pada waktu peluncuran. Walaupun telah diperhitungkan dan dipersiapkan dengan baik serta diawasi oleh expert dari Aluvial, badan kapal tersebut menolak meluncur, sedangkan upacara telah menanti. Akhirnya, upacara batal dan expert Alluvial pulang ke negerinya tanpa menghasilan apa-apa tetapi tetap minta dibayar.
Lalu, Oemar Ali Soewarno yang menurut pengakuannya sendiri menguasi ilmu gaib, dengan caranya sendiri, yaitu bersemedi, berhasil meluncurkannya. Pada dini hari esok harinya, tanpa diketahui orang dan disentuh siapapun, KK Singkep 1 terapung dengan rapi di tempat yang sudah disediakan. Kapal kemudian ditarik ke Galangan JI. Martadinata untuk outfitting sampai selesai dan dibawa ke tempat operasinya, Pulau Kondur, Riau.
Selain hal unik itu ada beberapa kali terjadi hal-hal yang tidak diharapkan selama pembangunan KK Singkep 1. Di antaranya, tanki di lambung kiri setelah dicat sehari sebelumnya, meledak dan robek sepanjang 100 meter. Kejadian itu segera tersebar luas dan cepat. Keesokan harinya Direksi PT Kodja dipanggil menghadap Menteri Perhubungan Marsekal-TNI Rusmin Nuryadin, dengan tegoran mengapa kejadian itu tidak dilaporkan. Namun, Direksi menjawab bahwa kejadian itu terlalu sepele untuk dilaporkan kepada menteri karena kerusakan yang ditimbulkan hanya sobekan dek seluas 1 m2, yaitu 100 m x 1 cm, yang juga sudah diperbaiki. Jawaban itu membuat menteri merasa puas dan pimpinan PT Kodja merasa lega. Kerusakan diperbaiki dalam hari itu juga dan ledakan tidak meninggalkan bekasnya.
Dalam kurun waktu pembangunan kapal keruk ini, yang kemudian diberi nama KK Singkep 1, terjadi devaluasi yang cukup parah sehingga pembangunan terhenti cukup lama. Menteri Muda UPDN tidak setuju dilakukan penyesuaian nilai kontrak. Konon, tanpa sepengetahuan Menteri Muda, Dipl.-Ing Harsono melaporkan kasus ini kepada Mensesneg Sudharmono SH[4], sehingga semuanya menjadi cair. Dosa pembabatan tehadap PT Kodja telah ditebusnya. Menurut pendapat banyak orang, Dipl.-Ing Harsono termasuk pejabat yang paling bersih di-negara ini. Perusahaan Negara Kodja sependapat dengan itu.
Sebelumnya, untuk pembangunan KK Singkep 1 ini dibentuk sebuah konsorsium yang dipimpin oleh PT Kodja, beranggotakan PT Dok & Perkapalan Tanjung Priok, PT Pelita Bahari dan sebuah perusahaan swasta. Dalam prakteknya ketiga perusahaan ini adalah subkontraktor pembuat komponen-komponen badan kapal. Dari sudut industri nasional, pembagian kerja itu bertujuan memperkaya pengalaman pemrosesan konstruksi baja secara ban berjalan. Disayangkan, PT Pelita Bahari menyubkontrakkan bagiannya kepada satu industri baja di Bekasi. Industri ini yang kemudian menjadi raksasa konstruksi baja. Pembuatan komponen-komponen baja ini telah diselesaikan jauh sebelum devaluasi, demikian juga pembayarannya, sehingga tidak kena imbasnya.
Penyelesaian kapal dari mulai perakitan, instalasi peralatan, trial test di Tanjung Priok, penyeberangan ke tempat operasi yaitu pulau Kondur, Riau dan comissioning di Kondur serta garansi, semuanya merupakan tanggung jawab PT Kodja. Sebagai Guarantee Engineer ditunjuk Djokowibowo.
Kapal Keruk pada hakekatnya bukanlah kapal yang layak laut, oleh karena itu izin berlayar dari Syahbandar hanya diberikan untuk sekali jalan. Pelayaran ke Kondur diasuransikan pada Lloyd’s London.
Kelima, Konsortium Reparasi Oil Storage Tank “Cintanatomas”. Oil Storage Tank “Cintanatomas” 400,000 DWT yang berlabuh di Teluk Jakarta, memerlukan perawatan dan reparasi tahunan, baik kapalnya maupun lingkup pekerjaannya cukup besar. Penanganannya dilakukan secara konsorsium dengan pola Konsorsium KK Singkep 1.
Kosorsium terdiri dari PT Kodja, PT Dok dan Perkapalan Tg. Priok dan PT Pelita Bahari. Dengan pengalaman yang diperoleh dari KK Singkep 1, maka semuanya telah menjadi rutin dan lancar.
Keenam, penyambungan kapal dalam keadaan terapung. Dalam rangka pembangunan armada nasional, pemerintah memprogramkan pembangunan kapal type Caraka Jaya 4200 DWT yang panjangnya 100 M, yang dibagikan kepada galangan yang memiliki bulding berth/slipway sepanjang kapal tersebut. Karena panjang slipway PT Kodja hanya 45 M, maka PT Kodja tidak pernah dipertimbangkan untuk membangunnya.
Lalu, Soeparno melaporkan hal itu kepada Menteri Perindustrian Dr. Ir. Hartarto Sastrosunarto. Sekaligus Soeparno menjelaskan bahwa PT Kodja mampu membangun kapal yang panjangnya 100 meter tersebut. Sehingga kemudian dengan campur tangan Menteri Perindustrian, maka PT Kodja diberi kesempatan membangun sebuah kapal.
Lalu, bagaimana caranya membangun kapal yang panjangnya 100 meter di slipway yang penjangnya hanya 45 meter. PT Kodja memecahankannya secara kreatif dengan membangun kapal dalam 2 bagian. Kemudian kedua bagian kapal itu diluncurkan bersama-sama dan disambung dalam keadaan mengapung. Tentu, hal ini hanya dapat dilaksanakan berkat kecermatan Team Engineering dan Team Pelaksana Lapangan PT Kodja.
Selain itu, kemudian diperoleh kontrak dari Malaysia untuk pembuatan body Kapal keruk yang panjangnya 120 meter. Body ini pun dibuat dalam dua bagian dan diselesaikan dalam waktu sebulan, karena material berupa baja sisa KK Singkep 1 sudah ada, demikian juga pengalamannya.
Order Malaysia ini dikonsultani oleh ahli Kapal Keruk, namanya Hewit, orang Inggris. Di tengah pembangunannya, si Hewitt baru sadar bahwa panjang slipway hanya 45 meter. Karena itu, dia sempat merasa diperdayakan. Dari Inggris dia menelpon menyatakan kekecewaannya karena seumur-umurnya belum pernah mengalami kasus seperti itu. Manajemen PT Kodja mempersilahkannya datang karena seminggu lagi body itu sudah mengapung di air dan akan segera serah terima. PT Kodja pun menerima bonus karena penyelesaian yang lebih pendek dari jadwal. Hewitt pun datang tetapi pulang tanpa pamit.
Ketujuh, atas prakarsa Menteri Perindustrian Hartarto dan Kepala Staf TNI-AL Laksamana TNI R. Kasenda[5] (1986-1989) disepakati adanya perawatan kapal-kapal perang TNI-AL secara terjadwal dan teratur. Untuk itu dibentuk “home doctor Service” (HDS), dimana setiap Perusahaan Perkapalan BUMN mendapat bagian untuk merawat kapal-kapal tertentu. PT Kodja berperan besar pada pembentukan HDS tersebut.
Kedelapan, bahan bakar selalu merupakan komoditas vital di dunia, dimana armada tanker internasional selalu terjepit waktu agar keberadaannya di pelabuhan dapat diperpendek. Oleh karena itu, perawatan dan reparasi peralatan banyak dilakukan selama kapal dalam pelayaran. Untuk melayani tantangan itu PT Kodja membentuk Team “Sailing Repair”, yang ikut berlayar bersama tanker yang dirawatnya.
Bagi anggota Perusahaan Negara Kodja, hal ini mula-mula menyenangkan karena bisa melihat dunia, seperti Singapore, Hongkong, Jedah, Kuwait, dan Panama. Tetapi ada kendala, karena mereka tidak bisa meninggalkan rumah dan keluarga terlalu lama. Karena itu kegiatan ini tidak diteruskan. Lagi pula banyak pekerjaan yang menanti. Kegiatan ini dipimpin oleh D.M. Fatahangi dan Djuhaeni[6].
Kesembilan, dengan semakin kokohnya kemampuan rancang bangun dan rekayasa serta kemampuan manajemen, Perusahaan Negara Kodja menjajagi penggunaan ferocement dalam pembangunan kapal, bekerja sama dengan Consulting Engineer Alexander & Poore, New Zealand dengan dana bantuan R&D dari PT Semen Gresik yang pada waktu itu dipimpin oleh Ir. Sotion Ardjanggi. Pengendalian sehari-hari dilakukan oleh Ir. Hamdi Gafar dan Muhamad Umar SE.
Ferrocement hakekatnya adalah beton yang diperkuat dengan “steelfibre” sehingga memiliki kelenturan tinggi dan ketebalan yang tipis, yang dapat mencapai ketebalan 1,5 cm. Dikombinasikan dengan teknologi “prestressing” dan “post-tensioning” maka diperoleh konstruksi yang tahan beban dan tahan benturan.
Dengan bahan baku ferrocement telah dibangun satu kapal type Maruta Jaya pesanan BPPT, dua buah kapal tunda 12,0 meter, satu buah water barge 30 meter dan Oil-barge 30 meter, dua-duanya pesanan Pertamina, yang merupakan bantuan Pertamina untuk R&D. Dari Oil-barge diperoleh pengalaman yang menarik, yaitu beton itu dapat kedap air, kedap udara tetapi tidak kedap minyak. Walaupun kemudian bagian dalamnya dilapisi dengan epoxy sampai 3 lapis tetap saja tidak diperoleh kekedapan. Epoxy pun ditembus minyak. Akhirnya Oil-barge itu menjadi Water-barge.
Untuk mengatasi pasang surut sungai Batanghari sebesar 7 meter, pelabuhan Jambi memerlukan dermaga apung agar dapat disinggahi kapal sepanjang tahun. Karena air Batanghari cenderung “asam” maka pilihannya adalah dermaga apung dari ferrocement yang tidak memerlukan perawatan seumur hidupnya, dengan teknologi “post-tensioning”.
Dermaga ini dilengkapi dengan dua bush ramp, satu untuk digunakan pada waktu air pasang, yang satu lagi untuk air surut. Kekuatan dek diperhitungkan untuk beban truk 7 ton, demikian juga rampnya. Dermaga dapat disandari oleh kapal 4,200 DWT, yaitu kapal type Caraka Jaya. Untuk menghadapi kemungkinan yang tak terduga, dermaga tersebut diisi dengan poly-urithane, sehingga ke depannya bersifat abadi. Dermaga Apung Jambi diresmikan oleh Wakil Presiden RI Adam Malik[7].
Kemudian, dalam mengantisipasi rehabilitasi rel kereta api dan pembangunan jalan kereta api untuk angkutan batubara dari Bukit Asam ke Tarahan, PT Kodja mengembangkan teknologinya dalam pembuatan bantalan beton dengan teknologi “prestressing”, yang juga digunakan di beberapa rugs rel kereta api di Jakarta. Dalam tender Bukit Asam oleh Kantor Menteri UPDN, Perusahaan Negara Kodja dikalahkan oleh pesaing bukan dalam negeri dengan alasan yang tidak jelas. Kekalahan ini dilaporkan kepada Menteri Perhubungan Marsekal Rusmin Nuryadin yang menerima laporan itu dengan muka masam.
Prototype bantalan beton ini diujicoba di Puspitek Serpong, merupakan uji coba yang pertama di Puspitek. Ujicoba antara lain meliputi simulasi pembebanan sebanyak 2 juta kali dimana bantalan tidak boleh mengalami kerusakan. Berat bantalan beton buatan PT Kodja ini 200 kg. Dibandingkan berat bantalan yang sejenis di Australia dan New Zealand mencapai 220 kg. Hal ini mungkin disebabkan karena digunakan lebih banyak tendon dan steelfibre daripada di kedua negara tersebut. Sementara itu PT Wijaya Karya juga mengembangkan pembuatan bantalan beton dengan teknologi yang lebih modern dan bentuknya yang lebih manis.
Proyek ini diawali dengan pembentukan Team Ferrocement yang diketuai oleh Ir. Sudarman Sellang dengan sekretaris Suyanto dan staf teknik Yamin Yinca, Fatahangi, Tend Usman dan Baharudin Sellang. Empat orang yang terakhir ini waktu itu masih berstatus mahasiswa. Kegiatan ferrocement ini kemudian dipisahkan dari perusahaan induk dan menjadi anak perusahaan PT Ferrocement Indonesia.
Kesepuluh, pasaran ekspor juga mulai digarap oleh Perusahaan Negara Kodja dengan cara mengikuti tender di negara-negara setempat. Sasaran adalah negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Indonesia telah mulai banyak dikenal di bagian dunia itu karena telah ada expor hasil industri berupa mesin-mesin pertanian dari pabrik mesin Agrindo di Surabaya dan bantuan teknik penangkapan ikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan.
Kesebelas, mengikuti tender di beberapa negara, antara lain di Mesir untuk tender kapal tunda terusan Suez dan tender kapal tunda dan Splitsbarge untuk beberapa pelabuhan di Iran. Dalam ekspor kapal, PT Kodja didukung sepenuhnya oleh Bank Bumi Daya ( Sekarang Bank Mandiri), mulai dari tender bond sampai dengan bridging finance.
Pengalaman tender di beberapa negara tersebut, antara lain Perusahaan Negara Kodja kalah tender di Mesir karena pesaing menawarkan pembangunan dari kapal-kapal tunda itu akan dilakukan di Mesir sendiri. Kebijaksanaan ini tentu menguntungkan Mesir karena “nilai tambah” tetap ada di dalam negara itu sendiri.
Lalu, dalam tender kapal tunda di Iran, dilakukan kerjasama dengan Toyo Menka (sekarang Itochu) dari Jepang, di mana ToMen mensupply komponen-komponen kapalnya, PT Kodja membangun kapal-kapalnya dan mengekspornya. Dengan demikian nilai tambah ada di dalam negeri. Komunikasi ke dan dari Iran tidak terlalu mudah dan keputusan yang tidak satu atap menjadi salah satu sebab belum dapat diulanginya kegiatan ekspor itu.
Selain itu, dalam pemasarannya ke Eropa, PT Kodja merintis pembangunan kapal ferry Ro-Ro dai Rederi AB Gotland dan beberapa Chemical Tankers dari Eropa. Kelanjutan pembagunan dari kapal-kapal ini kemudian beralih ke PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero), dimana PT Kodja menjadi salah satu komponennya. Diharapkan Manajemen DKB dapat melanjutkan pelaporan pembangunan kapal-kapal ini. Bio TokohIndonesia.com | crs-ms
Footnote:
[3] Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, Marsekal Muda TNI-AU, lahir di Bandung, 9 April 1941. Menjabat Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (1983-1988), Ketua BKPM (1985-1988), Menteri Pertambangan dan Energi (1988-1993), Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas (1993-1998), Menko Ekonomi Keuangan dan Industri (1988), Wakil Ketua MPR RI (1999-2004) dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (2004-2009) (www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/g/ginandjar-kartasasmita/)
[4] Sudharmono, SH (1927-2006), Letnan Jendral TNI (Purn). Wakil Presiden Republik Indonesia ke-5 periode 1988-1993, ini lahir di Gresik, Jawa Timur, 12 Maret 1927, dan meninggal di Jakarta, 25 Januari 2006. Dia cukup lama mendampingi Presiden Soeharto baik sebagai Menteri Negara Sekretaris Negara dan Wakil Presiden maupun Koordinator Yayasan-yayasan yang didirikan Pak Harto. (www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/s/sudharmono/)
[5] Laksamana Rudolf Kasenda, lahir di Rantepao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1934 dan meninggal di Jakarta, 11 Juli 2010 pada umur 76 tahun. Dia menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Laut tahun 1986-1989. Sebelumnya, dia pernah bertugas sebagai Wakil Asisten Operasi KSAL (1975-1978), Asisten Logistik Hankam (1978-1981), Panglima Armada RI (1981), dan Deputi Logistik KSAL (1985). Selain itu, alumni SLA di Ujungpandang (1952) dan Akademi Angkatan Laut, Surabaya (1955), ini juga pernah menjadi Duta Besar untuk Korea Selatan (1990-1993). (www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/r/rudolf-kasenda/)
[6] Djuhaeni saat ini menjabat Direktur Teknik PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari.
[7] Adam Malik (1917-1984), Si Kancil Pengubah Sejarah. Wakil Presiden RI (23 Maret 1978-1983) ini lahir di Pematang Siantar, 22 Juli 1917 dan meninggal di Bandung, 5 September 1984. Dia merupakan personifikasi utuh dari kedekatan antara diplomasi dan media massa. Jangan kaget, kalau pria otodidak yang secara formal hanya tamatan SD (HIS), ini pernah menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York dan merupakan salah satu pendiri LKBN Antara. Kemahirannya memadukan diplomasi dan media massa menghantarkannya menimba berbagai pengalaman sebagai duta besar, menteri, Ketua DPR hingga menjadi wakil presiden.