Doktrin Kodja: Kepentingan Nasional
Soeparno Prawiroadiredjo03 | Bergerak dengan Keterbatasan Dana

Soeparno Prawiroadiredjo, Dipl.Ing mengemudikan bahtera usaha PT Kodja (Persero) mulai tahun 1966, dengan keterbatasan dana (modal). Sebab waktu itu, pemerintah tidak memiliki dana (melakukan investasi) bagi pengembangan usaha PT Kodja. Direksi PT Kodja menyadari sepenuhnya keterbatasan pemerintah itu. Sebab kondisi ekonomi Indonesia saat itu masih amat sulit, setelah peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965. Sehingga, waktu itu, PT Kodja praktis hanya memiliki dana dari penggantian slipway yang ditinggalkan di kanal Kodja.
Sementara, pembangunan di lokasi Jalan Martadinata dibiayai dengan surplus usaha dan sisa-sisa material dari proyek-proyek yang selesai dikerjakan, berupa Kantor Pusat, Kantor produksi, Bengkel Pelat, Bengkel Mekanik, Bengkel Pipa, Gudang Produksi dan Dermaga untuk reparasi. Selain itu juga dibangun sebuah Dok Apung dengan kapasitas 3.000 DWT dengan rancang bangun sendiri.
Untuk itu dibentuk team rancang bangun dan team pengawas yang dipimpin oleh Ir. Supiar Lahadeng (Alm); nilai Dok tersebut pada waktu itu diperkirakan USD.5.000.000.- sedangkan nilai Rancang Bangunnya USD.250.000-, ini sama dengan penawaran sebuah Consulting Engineering Firm dari Australia.
Maka untuk keperluan keuangan, Soeparno, sejak awal juga menyadari pentingnya hubungan yang baik dengan perbankan. Pada tahun 60-an di Tanjung Priok hanya beroperasi Bank BNI 1946 dan Bank Bumi Daya. Khususnya dengan Bank Bumi Daya (BBD)[8], dijalin hubungan yang erat. Sehingga tender bond dan bridging finance untuk proyek-proyek dalam dan luar negeri serta biaya-biaya operasional selalu dapat diatasi dengan bantuan BBD.
Hubungan baik itu, terutama berkat usaha Drs. Supawidjo yang selalu mengomunisasikan kepentingan perusahaan dengan baik. Uluran tangan dari Kepala dan Wakil Kepala Cabang Tanjung Priok, Kusnadi dan Reni dan perhatian khusus dari Direktur Utama BBD Drs. Samaun Samadikun (1931-2006), merupakan jaminan bagi PT Kodja untuk tidak ragu-ragu menangani sesuatu proyek.
Pada awal delapan puluhan, di Eropa terdapat overcapacity industri kapal. Lalu, dengan menggunakan dana surplusnya sendiri PT Kodja membeli sebuah galangan di Norwegia dengan harga yang jauh di bawah harga nominalnya, yaitu hanya USD.20 juta.
Untuk menghemat biaya, dikirim tim bongkar dipimpin oleh Djokowibowo, yang kemudian disusun rapi di dalam palkah kapal untuk diangkut ke Indonesia. Djokowibowo melaporkan semuanya tanpa kecuali telah diangkat, dari kabel berdiameter terbesar sampai yang terkecil, dari pipa berdiameter terbesar sampai yang terkecil, dari baut berdiameter terbesar sampai yang terkecil semuanya diangkut habis.
Dari teman-teman Norwegia yang terlibat dalam pembelian ini mengatakan bahwa Tim Kodja lebih efisien dibanding dengan tim China yang juga membeli galangan di sana.
Perlengkapan ini digunakan untuk melengkapi galangan PT Kodja, di Jalan Martadinata, tetapi sebagian besar digunakan untuk melengkapi Galangan Cilincing, di mana Building Berth Verolme berada. (Sebenarnya galangan Cilincing adalah kepanjangan dari galangan Martadinata). KK Singkep 1, Kapal Ferry Gotland dan kapal-kapal lain berikutnya dibangun dengan menggunakan peralatan ini.
Pembentukan Anak Perusahaan
Kemudian sejalan dengan bergerak majunya perusahaan, mulai dilakukan pembentukan anak perusahaan. Hal ini dilakukan karena terdapat peralatan dan SDM dengan keahlian khusus di luar tekologi perkapalan dan juga terdapat pasar yang jelas.
Anak perusahaan yang pertama adalah PT AIRIN dengan kegiatan utama Cargo Forwarding dengan pertimbangan adanya peralatan yang cukup dan SDM yang telah tersedia. Kegiatannya dipusatkan di Tanjung Priok dan Pelabuhan Udara Kemayoran. Pendiri PT AIRIN adalah Drs. Supawidjo (Alm), Drs. Alkmal Wahid dan Arifin (Alm), yang kemudian menjadi Direksi yang pertama.
Bidang Usaha PT Airin adalah Cargo Forwarding dan Pergudangan. Sedangkan captive marketnya adalah perusahaan induk dan anak-anak perusahaan lainnya. Hingga saat ini (2010) PT AIRIN tetap aksis dan terus berkembang yang juga telah memiliki container depot. Sebagian dari lapangan PT AIRIN di Cilincing digunakan pula sebagai pelabuhan ekspor kendaraan bermotor.
Anak perusahaan kedua adalah PT Teknologi Engineering Perawatan (TEP), yang kegiatannya adalah perawatan mesin dan peralatannya secara kimiawi. Kegiatan ini disponsori dan dipimpin langsung oleh Direktur Usaha PT Kodja, Aminudin Firman Siregar SE (Alm) yang terus mengembangkannya. TEP adalah buah tangannya.
Sebagai Direktur Utama yang pertama adalah Aminudin Firman Siregar SE, dengan tiga Direktur yaitu Irawan Satjadipura yang kemudian digantikan oleh Otto Ulaan, Deddy Suhardi S.H dan Mukhlis Hamid, SE.
Sejak awal pendiriannya, TEP bekerja sama dengan VECOM BV dari Negeri Belanda dan dengan Buckman dari Amerika. Keduaya adalah produsen bahan-bahan kimia untuk perawatan. Kerjasama ini hingga sekarang masih terus berlangsung. Dari hasil penggunaan teknologi dari kedua perusahaan itu, TEP melahirkan produknya sendiri yang dinamakan Buckom.
Langganan dari TEP ini adalah Perusahaan Listrik Negara, Industri Kimia dan Petrokimia, Industri Gula yang semuanya tersebar di seluruh Indonesia. Maka, karena pelanggannya ada di seluruh pelosok Indonesia, dibentuk perwakilan-perwakilan di daerah, paling sedikit terdapat satu perwakilan di setiap provinsi.
Kemudian, dari pengalamannya dapat dikembangkan sebuah rancangan Cooling Tower untuk industri pupuk dan komposisi kimia bernama Buckom untuk perawatan mesin dan perlengkapan.
Perputaran SDM di PT TEP amat cepat dibandingkan dengan di bidang kegiatan lainnya. Setelah menimba ilmu dan menguasai teknologinya, mereka mengundurkan diri dari TEP untuk bekerja mandiri. TEP menjadi tempat persemaian, satu hal yang membanggakan. PT Kodja tentu amat bangga dapat ikut serta membentuk manusia-manusia yang mandiri.
Anak perusahaan ketiga adalah PT Ferrocement Indonesia, didirikan untuk menampung kegiatan yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan induk. Berlokasi di ujung dari Pelabuhan Pasar Ikan seluas 3 HA, yang diperoleh dari administrator pelabuhan, yang juga dekat dengan Pelabuhan Perikanan Nusantara Nizam Zachman. Di lokasi itu pula direncanakan pembangunan kapal-kapal penangkap ikan.
Di lokasi ini dibangun perkantoran, pergudangan dan fasilitas prestressing untuk pembuatan bantalan beton plus infrastruktur, terutama sarana jalan. Juga telah dimulai pembangunan slipway. Namun, lokasi ini kemudian terkena penggusuran karena peruntukannya adalah pergudangan.
Direktur utama pertama adalah Kapten (L) Ansar Sar’an, lulusan Akademi Penerbangan Curug, yang namanya disebut sebagai Perwira Penerbangan Andalan dalam buku Rajawali Samudra. Yang bersangkutan kemudian diangkat sebagai Direktur Teknik dan Produksi PT Kodja. Direktur utama yang kedua, dan yang terakhir, adalah Letnan (L) Abukusmana, yang tugas terakhirnya adalah mengemasi peralatan yang bisa diselamatkan untuk dicarikan lokasi baru.
Sementara itu PT Kodja sudah berada dalam proses penggabungan ke dalam PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero). Dalam keadaan mengambang tersebut dan sasaran mendapatkan order bantalan beton untuk jalur Bukit Asam- Tarahan yang gagal, eksistensi PT Ferrocement Indonesia tidak diteruskan. Terlalu besar resikonya bagi sebuah perusahaan yang memproduksikan satu macam komodity saja.
Selain ketiga anak perusahaan itu, PT Kodja juga mendirikan Yayasan Dana Pensiun. Yayasan ini memiliki tiga anak perusahaan, yakni PT Anugrah Dian Prima yang dipimpin oleh Jorymont Hutajulu, PT Prima Perkasa yang dipimpin oleh Maksum Priatna, dan PT Kopertamin yang dipimpin oleh Murtedjo.
Kemudian, tahun 1988, terjadi beberapa mutasi di lingkungan pemerintahan, bersamaan dengan mulai bekerjanya Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Direktur Utama Dipl.Ing Soeparno Prawiroadiredjo diangkat menjadi Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin dan Elektronika Departemen Perindustrian. Sehubungan dengan itu, diangkat Direksi Keempat PT Kodja (Persero) yang terdiri dari Irawan Satjadipura sebagai Direktur Utama, AF Siregar, SE, Suwarni Farouk dan Ansar Ta’san masing-masing sebagai Direktur. Direksi keempat ini meneruskan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh Direksi sebelumnya. Bio TokohIndonesia.com | crs-ms
Footnote:
[8] Bank Bumi Daya (BBD) kemudian pada Juli 1999 bergabung bersama Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) menjadi Bank Mandiri. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk berdiri pada tanggal 2 Oktober 1998 sebagai bagian dari program restrukturisasi perbankan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia.