Doktrin Kodja: Kepentingan Nasional
Soeparno Prawiroadiredjo05 | Sejarah PT Kodja (Persero)

Nama Kodja telah dikenal secara nasional maupun internasional karena nama tersebut terkait dengan Tanjung Priok, pelabuhan utama Indonesia. Kodja adalah pusat dari kota Tanjung Priok, Jakarta Utara, di mana transaksi bisnis, expor, impor, perdagangan dan rekreasi dilakukan.
Anak buah kapal mancanegara maupun Indonesia yang berlabuh di Tanjung Priok dapat beristirahat dan mencari hiburan di Kodja setelah sekian lama di tengah lautan.Saat ini ada lima institusi yang telah menggunakan nama Kodja yaitu: Kelurahan Kodja, Kecamatan Kodja, Pasar Kodja, Rumah Sakit Kodja dan yang terakhir adalah Perusahaan Negara Kodja.
Nama Perusahaan Negara Kodja itu diberikan oleh pemerintah ketika mendirikan perusahaan ini tahun 1964. Kemudian berubah menjadi Perseroan Terbatas Kodja Indonesia (Persero), disingkat PT Kodja (Persero).
Pendirian Perusahaan Negara Kodja bermula setelah selesainya konfrontasi Indonesia-Belanda tahun 1962. Saat hubungan dagang antara kedua negara dihidupkan kembali. Perusahaan Belanda pertama yang datang mengulurkan kemitraan adalah perusahaan galangan kapal Verolme, dengan menawarkan kepada Presiden Soekarno kerjasama pembangunan galangan kapal.
Tawaran kemitraan ini disambut. Ditetapkan lokasi galangan kapal tersebut di Cilincing, Tanjung Priok, tepatnya di lahan milik TNI-AL. Karena itulah TNI-AL menjadi salah satu pemilik galangan tersebut. Verolme pun menyiapkan rancangan galangan dan menyupply peralatan yang diperlukan.
Presiden Soekarno menyerahkan manajemen galangan tersebut kepada Laksamana Muda (Tituler) Mardanus, seorang perintis industri perkapalan Indonesia, pemilik galangan kapal PT Carya di Kampung Bandan. Oleh karena itu galangan di Cilincing itu diberi nama PT Carya Putra.
Lalu, segera dilakukan pembangunan Building Berth yang dapat digunakan untuk membangun tanker sebesar 30,000 dwt atau kapal yang sederajat. Berbagai peralatan yang diperlukan telah tiba di bawah pembinaan Departemen Perhubungan Laut.
Saat itu, mulai terjadi dualisme pembinaan, galangannya dibina oleh TNI-AL sedangkan materialnya oleh Departemen Perhubungan Laut, tanpa koordinasi. Di lain pihak, pembiayaan pembangunan galangan dari Departemen Keuangan pun terhenti. Sementara, setelah operasi pembebasan Irian Barat (Trikora), Armada Niaga Nasional sudah harus segera direhabilitasi yang tentu memerlukan material yang cukup besar.
Oleh karena itu, pada tahun 1964, Menteri Perhubungan Laut, Letjen Marinir Ali Sadikin[9], memprakarsai berdirinya Perusahaan Negara Kodja, melalui PP No. 40 tahun 1964, sebuah BUMN yang bergerak dalam bidang penyediaan bahan baku, bahan penolong dan perlengkapan untuk kebutuhan industri maritim dan perkapalan.
Kemudian, melalui Akta Notaris Imas Fatimah SH Nomor 1 tanggal 1 Maret 1977 status Perusahaan Negara Kodja berubah menjadi PT Galangan Kodja Indonesia (Persero), disingkat PT Kodja (Persero) sejalan dengan Peraturan Pemerintah tentang perubahan Status Perusahaan Negara menjadi Perja, Perum dan Persero.
Pemberian nama Kodja menjadi nama BUMN yang baru didirikan tersebut, selain karena berlokasi di Kodja, juga didasarkan pada pertimbangan bahwa Kodja sudah akrab dikenal di telinga masyarakat Indonesia maupun Internasional. Di kalangan pelayaran internasional nama Kodja sama terkenalnya dengan Tanjung Priok, Pelabuhan Utama Indonesia. Oleh karena itu BUMN tersebut diberi nama Perusahaan Negara Kodja.
Ada pun embrio Perusahaan Negara Kodja ini adalah Jawatan Pelayaran yang merupakan salah satu unit dari Departemen Perhubungan Laut yang khusus menangani jasa perbengkelan/layanan perbaikan bagi kapal-kapal negara, BUMN maupun swasta.
Dengan demikian, aset Jawatan Pelayaran dialihkan ke Perusahaan Negara Kodja. Sebagai jawatan pemerintah, biaya operasional Jawatan Pelayaran ditanggung oleh Departemen Keuangan, di mana biaya personil merupakan biaya yang tetap yang harus tersedia tepat waktu.
Demikian pula semua bahan baku, bahan penolong, perlengkapan untuk industri maritim dan perkapalan yang sedianya diperuntukkan buat PT Carya Putra, menjadi modal kerja dari Perusahaan Negara Kodja yang baru dibentuk.
Perusahaan Negara Kodja berkantor di Jalan Sulawesi No. 1, Tanjung Priok, dengan kegiatan reparasi kapal di Kanal Kodja dan kegiatan bangunan baru di Jalan Donggala. Sedang pergudangan digunakan gudang ex Jawatan Pelayaran, yang menurut PP 40 Tahun 1960 beralih menjadi milik Perusahaan Negara Kodja.
Beberapa tahun kemudian, lokasi ini diambil oleh Pelabuhan Tanjung Priok dalam rangka perluasan. Sebagai gantinya, kepada Perusahaan Negara Kodja diberikan lokasi di Volker, Jalan Martadinata, Tanjung Priok. Semua asset berupa fasilitas reparasi dan bangungan kapal, pergudangan dan kantor dihancurkan, tidak ada yang dapat dibawa pergi karena semuanya itu tertancap di tanah.
Namun, dalam kepindahan ke Jalan Martadinata itu banyak yang memberikan bantuan. Untuk mengurug lokasi di JI. Martadinata, Administrator Pelabuhan Tanjung Priok JE Habibie, ketika itu (1972-1978), memberikan bekas bongkaran pelabuhan sejumlah 30.000 truk. Sedangkan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Pongky Supardjo (1978–1984) memberikan kemudahan yang memperlancar kepindahan itu.
Lalu, atas usulan Menteri Perhubungan Prof. Dr. Emil Salim[10], pemerintah memberikan dana PMP sebesar Rp. 120.juta untuk membangun slipway sebagai pengganti yang ditinggalkan di Kanal Kodja. Walaupun jauh dari memadai, seluruh anggota Perusahaan Negara Kodja amat berterima kasih atas pemberian PMP itu, karena sebuah galangan kapal tanpa slipway adalah sama saja dengan sebuah bengkel sepeda.
Untuk membangun slipway diperlukan rel kereta api, seperti yang dipakai oleh PJKA. Maka diajukan permohonan untuk membeli rel bekas kepada Direktur Utama PJKA, yang kala itu dijabat Ir. Pantiarso (1978-1981), sekarang sudah Alm. Namun PJKA tidak dapat meloloskan permohonan itu karena rel-rel bekas itu masih merupakan aset negara, tetapi kalau dipinjam saja akan diizinkan. Entah bagaimana ceriteranya rel-rel yang dipinjam itu ternyata semuanya rel baru, yang sekarang masih tertancap di slipway. Itu kejadian 1978-1980. Dapat dipastikan, bahwa Ir. Pantiarso telah menyadari bahwa rel-rel tersebut tidak akan bisa diambil kembali. Tindakan tersebut merupakan sinyal solidaritas antar BUMN.
Sementara itu, PT Carya Putra berubah menjadi PT Pelita Bahari, sebuah Perusahaan dalam lingkungan TNI-AL, dengan Direktur Utama-nya yang Pertama Laksamana Muda TNI Suwandi.
Direksi Pertama
Ir. Triwitono Mulyoharsono, yang merupakan konseptor pendirian Perusahaan Negara Kodja, dipercaya menjadi Direktur Utama PN Kodja yang pertama. Dia didampingi Subroto Mulyodarsono, pejabat Jawatan Pelayaran, sebagai direktur.
Namun, situasi pada waktu Perusahaan Negara Kodja didirikan masih kurang menguntungkan dari segi politik maupun ekonomi. Semua serikat buruh berafiliasi dengan partai-partai politik yang sedang giat berebut pengaruh, yang terus dibawa ke tingkat perusahaan oleh para serikat buruh tersebut. Dampaknya, direksi tidak dapat fokus kepada pengembangan perusahaan.
Sementara itu, terjadi pemberhentian dari Perwira Pertama dan Menengah TNI-AL yang sebagian besar kemudian ditugaskan di lingkungan Departemen Perhubungan Laut.
Direksi Kedua
Dalam iklim politik seperti itu dan keadaan ekonomi yang terus merosot, Direksi yang dipimpin oleh Triwitono tidak dapat bertahan. Kemudian digantikan oleh Direksi baru yang terdiri dari Kolonel (L) Abubakar sebagai Direktur Utama, serta Mayor (L) Aminudin Firman Siregar dan Mayor (L) Bargot Sutan Harahap, masing-masing sebagai direktur. Keduanya termasuk para Perwira Menengah yang diberhentikan.
Namun, tekanan situasi politik dan ekonomi masih terus berlanjut. Berpuncak pada pemberontakan G30S /PKI tahun 1965 yang menyebabkan kegiatan ekonomi terhenti. Demikian juga operasional dari Perusahaan Negara Kodja, ikut terhenti. Akibat pemberontakan tersebut, keberadaan serikat buruh yang berafiliasi dengan PKI dilarang dan dilakukan screening terhadap anggotanya. Dari beberapa anggota perusahaan memang terdapat beberapa yang termasuk dalam Golongan A dan B dan dikirim ke pulau Buru. Golongan C, yaitu yang dinilai sebagai golongan “ikut-ikutan” dibagi menjadi golongan C1 dan C2. Golongan C1 diberhentikan dengan pesangon, sedangkan Golongan C2 diperkenankan terus bekerja.
Sementara, persaingan antara serikat buruh yang tidak terkena larangan makin menjadi-jadi dan melakukan rapat-rapat di perusahaan sehingga menganggu ketertiban kerja dan anggota yang lain. Hal ini terjadi karena tidak ada kegiatan. Persaingan ini berhenti setelah kegiatan operasional perusahaan berangsur pulih. Sementara itu, menjelang Pelita 1, ekonomi terpimpin mulai berangsur menuju ke ekonomi pasar.
Di bidang pemerintahan terjadi perubahan struktur. Departemen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan Darat dan Departemen Perhubungan Udara digabung menjadi Departemen Perhubungan, sehingga Departemen Perhubungn Laut berubah menjadi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Direksi Ketiga
Direksi Perusahaan Negara Kodja juga mengalami perubahan yang ketiga kalinya. Dipl. Ing Soeparno Prawiroadiredjo, yang sebelumnya menjabat Kepala Direktorat Perkapalan dan Kepala Biro Pembangunan Perusahaan (pelayaran, industri kapal dan pelabuhan), Departemen Perhubunan Laut, dipercaya sebagai Direktur Utama.
Dia didampingi tiga direktur, yakni Mayor (L) Aminudin Firman Siregar, Mayor (L) Bargot Sutan Harahap dan Dipl. Ing Loranto Waluyo. Kemudian, karena meninggal, Dipl.-Ing Loranto Waluyo digantikan oleh Kapten (Laut) Irawan Satjadipura, tamatan Akademi Angkatan Laut dan Naval Post Graduate School di Frunze, Uni Sovyet. Direksi yang ketiga ini yang kemudian berhasil memimpin Perusahaan Negara Kodja selama 22 tahun dari 1966 s/d 1988.
Direksi di bawah pimpinan Dipl. Ing Soeparno Prawiroadiredjo berhasil menjadikan Perusahaan Negara Kodja – PT Kodja (Persero) – menjadi salah satu perusahaan galangan kapal milik negara yang mempunyai daya saing pada kancah internasional.
Dengan kepemimpinan yang baik, berhasil membina hubungan dekat mulai dari direksi sampai karyawan terbawah, maka setiap anggota merasa berkontribusi terhadap pengembangan perusahaan dan merasa ikut memilikinya. Dengan soliditas ini maka tidak sulit memberikan reward kepada yang berjasa, tetapi sebaliknya tidak pernah memberikan punnishment, karena memang tidak perlu.
Semuanya bekerja dengan kreatif, cerdas dan bersemangat. Untuk mempertinggi etos kerja Direksi selalu bersikap adil terhadap anggotanya. Kepada setiap anggota diberikan perumahan, kendaraan dan kesejahteraan yang diambil dari surplus usaha dan dibebankan kepada proyek-proyek yang dimenangkan. Hubungan yang solid ini layaknya hubungan dalam satu keluarga.
Dengan kepemimpinan yang baik, kemampuan rancang bangun dan rekayasa, kemampuan manajemen dan pelaksana lapangan, yang cekatan pula, maka Perusahaan Negara Kodja mulai menonjol di antara BUMN kapal, dan selalu menyajikan keuntungan dan cashflow yang positif.
Melihat keberhasilan kepemimpinan PT Kodja (Persero) itu, Menteri Peridustrian pun mengambil keputusan menggabungkan industri kapal PN Alir Manjaya di Palembang, PN Pakin di Pasar lkan, PN IPPA di Cirebon dan Semarang, industri kapal milik PN IKI di Padang dan galangan milik Departemen Peridustrian di Sabang, ke dalam PT Kodja (Persero).
Setelah itu, kegiatan perusahaan merambah ke bidang lain yang sebelumnya belum pernah dilakukan. (Selengkapnya baca: Kinerja Perusahaan Negara Kodja). Berbagai keberhasilan lainnya pun diraih. Sehingga PT Kodja kemudian merasa perlu membentuk beberapa anak perusahan. Pembentukan Anak Perusahaan dilakukan karena terdapat peralatan dan SDM dengan keahlian khusus di luar tekologi perkapalan dan terdapat pasar yang jelas.
Ketiga anak perusahaan itu adalah PT AIRIN dengan kegiatan utama Cargo Forwarding; PT Teknologi Engineering Perawatan (TEP), yang kegiatannya adalah perawatan mesin dan peralatannya secara kimiawi; dan PT Ferrocement Indonesia, untuk menampung kegiatan yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan induk.
Selain itu, PT Kodja juga memiliki Yayasan Dana Pensiun. Yayasan ini memiliki tiga anak perusahaan yakni PT Anugrah Dian Prima, PT Prima Perkasa dan PT Kopertamin.
Ada pun Direksi dan Pimpinan lengkap Perusahaan Negara Kodja yang ketiga serta anak-anak perusahaannya, adalah: Dipl Ing. Soeparno Prawiroadiredjo – Direktur Utama; AY Siregar, SE- Direktur Usaha; B.S. Harahap- Direktur Adm & Keuangan; Irawan Satjadipura – Direktur Tehnik/ Produksi;
Ny. Suwarni Farouk, SH- Sekretaris Perusahaan; Panoedjoe- Kepala BPPP; Ir. Sophian Syamsuddin- Manager Pemasaran; Qodri Ghozali, SH- Kepala Biro Adm Tehnik; Muth Arifin- Manager Import; Ir.Nurdin Djaka- Kepala Biro Konstruksi; Ir.Sudarman Sellang – Manager Galangan Jakarta – I; Ir. Supiar Lahadeng – Manager Galangan Jakarta – II; Ir. Baharuddin S.- Manager Ferrocement; Ansar Saran- Manager Galangan Palembang; Ir. Suradi Markam- Manager Galangan Padang; Ir. Amin Malalangi- Manager Galangan Sabang; Ir. Ganda Sumitro- Manager Galangan Belawan; Ir. A Tend Usman-Manager Galangan Banjarmasin; Otto J.P Ulaan-Kasubdit TEP; Drs. Soepawidjo-Direktur Utama PT AIRIN; Abu Kusmana K.-Kepala Divisi Perdagangan.
Direksi keempat
Dalam tahun 1988 terjadi beberapa mutasi di lingkungan pemerintahan. Direktur Utama Dipl.Ing Soeparno Prawiroadiredjo diangkat menjadi Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin dan Elektronika Departemen Perindustrian.
Direksi Perusahaan Negara Kodja pun kemudian terdiri dari Irawan Satjadipura sebagai Direktur Utama, AF Siregar, SE, Suwarni Farouk dan Ansar Ta’san masing-masing sebagai Direktur. Direksi keempat ini meneruskan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh Direksi sebelumnya.
PT Dok Kodja Bahari
Kemudian, tahun 1990, Menteri Perindustrian mengambil kebijakan menggabung empat perusahaan galangan kapal nasional (BUMN), menjadi PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero). Keempat perusahaan itu adalah PT. Dok & Perkapalan Tanjung Priok (Persero) yang didirikan sejak 1891, PT. Kodja (Persero) yang didirikan sejak tahun 1964, PT. Pelita Bahari (Persero) didirikan sejak 1964, dan PT. Dok & Galangan Kapal Nusantara (Persero) yang didirikan sejak tahun 1964.
Penggabungan ini bertujuan mengonsolidasikan sinergi di antara galangan kapal BUMN itu untuk meningkatkan produktivitas dan efektifitas. Karena PT Kodja (Persero) dianggap berpengalaman dalam penggabungan dan memimpin konsorsium, maka sebagai Direktur Utama DKB yang pertama ditunjuk Direktur Utama PT Kodja Irawan Satjadipura. Sedangkan Komisaris Utama pertama adalah Soeparno (1990-1994), mantan Direktur Utama PT Kodja (1966-1988). Bio TokohIndonesia.com | crs-ms
Footnote:
[9] Ali Sadikin (1927-2008), Paling Berjasa Membangun Jakarta. Letnan Jenderal TNI KKO yang akrab dipanggil Bang Ali, ini menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana karena dinilai berjasa luar biasa terhadap negara dan bangsa, khususnya mengembangkan Kota Jakarta sebagai Kota Metropolitan. Presiden Soekarno mengangkat putera bangsa kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 ini sebagai Gubernur Jakarta lantaran dianggap kopig alias keras kepala. Dia berhasil sebagai pemimpin justru karena pembawaannya yang keras itu. Meninggal di RS Gleneagles, Singapura, 20 Mei 2008 dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. (www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/a/ali-sadikin/)
[9] Emil Salim, Prof. Dr, Mencari Kearifan Masa Lalu. Pria kelahiran Lahat, Sumsel, 8 Juni 1930, ini memiliki kecerdasan dan daya analisa setiap kali mengambil kesimpulan, menyampaikan pendapat dan beragumentasi. Keterbukaan sikap dan keterusterangann menempatkannya menjadi seorang pribadi yang disenangi banyak orang. Ia termasuk salah seorang peletak dasar ekonomi Orde Baru yang dijuliki “Berkeley Mafia” yang dikenal lurus dan bersih. Guru Besar FEUI ini pernah menjabat Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara merangkap Wakil Kepala Bappenas (1971-1973), Menteri Perhubungan (Kabinet Pembangunan II (1973-1978), Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Kabinet Pembangunan III 1978-1983) dan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Kabinet Pembangunan IV-V 1983-1993). Pada era reformasi dia menjabat Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN-1999-2000) dan Anggota Dewan Penasihat Presiden (2007-2009).