Futurolog Politik Indonesia

Suhardiman
0
808
Lama Membaca: 18 menit

04 | Yakin Hidup 100 Tahun

Suhardiman
Suhardiman | Tokoh.ID

Entah kenapa tiba-tiba Prof Dr H Suhar-diman, SE merasa didatangi seorang malaikat. Malaikat itu fungsinya, menurut dia, memang macam-macam. Yang datang kepadanya kebetulan malaikat pencabut nyawa. Malaikat itu seolah ngomong ke-padanya bahwa kedatangannya sebenarnya untukmencabut nyawanya. Tapi mendadak ada perintah supaya ditunda. Pertimbangannya, “karena kamu masih dibutuhkan oleh bangsa dan negaramu di sana,” ujar Suhardiman menirukan kata-kata sang malaikat. Ditunda berapa lama? Seratus tahun? “Jadi umur saya nanti seratus lebih, ha-ha-ha…!” ketawanya berderai.

DR Suhardiman bukan saja dikenal sebagai tokoh nasional, organisator ulung dan politikus yang disegani. Ia juga digelari sebagai “dukun politik” dengan ramalan-ramalannya politiknya yang sering membuat heboh. Ia juga termasuk pentolan, pembina salah satu jenis olah raga beladiri yang mengandalkan tenaga dalam. Bahkan ia juga diposisikan sebagai “suhu” di olahraga beladiri tersebut.

Ini menjadi salah satu keunikan Suhardiman. Walau menyandang sejumlah gelar akademis, predikat profesor dan doktor yang merupakan simbol dari dunia rasional dan ilmiah, toh ia percaya juga terhadap hal-hal yang berbau gaib dan supernatural.

Ketika jatuh sakit, yang secara klinis lumrah terjadi pada setiap orang, Profesor Suhardiman dengan nada berkelakar, menghubung-hubungkan sakitnya itu dengan dunia santet. Namun, kepercayaan pada diri sendirinya begitu tebal. Ia tak pernah yakin ada orang yang mampu menyantetnya.

Ketika terkena penyakit jantung tahun 1995, misalnya, ia justru melakukan meditasi, perenungan dan instrospeksi. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang salah sehingga ia harus didera penyakit. Uniknya lagi, seperti pernah dituturkannya, meditasinya bahkan diiringi lagu-lagu. Tapi lagunya hanya berlangsung dalam hati dan tidak diiringi musik. Menurutnya banyak juga orang yang senang melakukan meditasi dengan diiringi musik. Tapi ia sendiri tidak.

Meditasi dan pengaturan pernafasan merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan, tandasnya. Kenapa? Menurut Suhardiman, pernafasan teramat penting bagi mahluk hidup. Soalnya, kehidupan dimulai dengan tarikan nafas dan kematian juga ditandai dengan hembusan nafas terakhir. Menurutnya, begitu lahir, oleh Tuhan, kita masing-masing sudah dibekali sekian banyak persediaan “keluar masuk nafas”. Semakin banyak persediaan itu umur seseorng akan makin panjang. Begitu juga sebaliknya, makin sedikit stok “keluar masuk nafas” yang didapatkan, seseorang tidak akan berumur panjang.

Dengan Orajira
Yang tak kalah penting menurutnya yakni keseimbangan jiwa dan rasa. Untuk itu, Suhardiman menegaskan pentingnya Orajira, olahraga jiwa dan rasa. “Olahraga hanya untuk kebutuhan lahiriah, tapi jiwa belum. Untuk itu jiwa juga perlu menjalani kegiatan olah rasa,” tandasnya.

Berbekalkan prinsip seperti itu, maka eyang yang sudah ubanan ini selalu optimis akan kesehatannya. Bahkan sangat optimis. “Ngggak ada cerita saya akan terkena sakit ini, sakit itu”, tandasnya. Karena itu, ia sangat kaget dan tak habis pikir, kok bisa jatuh sakit seperti di tahun 1995 itu. Penyakit jantung lagi, langganan orang kaya dan para politikus.

Tapi, ia masih belum yakin. Soalnya, ia begitu telaten menjaga keseimbangan hidup, jiwa dan raga. Ia pun segera introspeksi dan memperbaiki hal-hal yang dirasa menyimpang. Latihan ini dan itu. Dan itu semua dikategorikannya sebagai in-put. Sedangkan output-nya, bahkan yang paling besar yakni kegiat-an politik, berpolitik.

“Dalam politik kan jatuh bangun. Makan pikiran dan pera-saan” ujarnya menjelas-kan. Selain itu, juga rokok. Dulu ia mampu menghabiskan lima bungkus kretek filter sehari. Lalu fast-food, makanan seperti ampla, dsb. Ia mengaku terus terang bahwa out-put-nya lebih besar daripada in put. Tapi ia masih merasa beruntung karena ini diimbangi oleh in-put. “Kalau tidak, mungkin Tuhan telah memanggil saya,” ujarnya terkekeh.

Advertisement

Tapi akhirnya, ia terkena sakit juga. Tak kepalang tanggung, terjadi tiga hari berturut-turut. Habis mandi pagi, tulang di beberapa bagian terasa dipukul-pukul (dengan tenaga dalam), lalu memar. Lima menit, sakitnya memang sempat hilang. Tapi esoknya, habis mandi, sakit lagi, 10 menit. Hari ketiga, 15 menit.

“Pada hari ketiga sudah ditangani oleh profesor yang di Tangerang itu, Profesor Lui” katanya.

Ketika sakitnya dihubung-hubungkan dengan Gendeng Pamungkas, ia menampik. Terhadap Pamungkas, ia memang negatif thinking. Tapi dalam kaitan dengan penyakitnya, orang ini samasekali dianggap bersih.

Satu kali, ia pernah kedatangan seseorang yang termasuk tokoh di dunia hitam. Selama tiga setengah jam ia dijejali kisah dan cerita tentang santet. Mulai santet dalam negeri, bahkan santet di luar negeri. “Saya cuma dengarin aja. Saya ‘kan awam” katanya enteng.

Tentang awal penyakitnya, “Gejalanya ia rasakan saat di Ever Green, Puncak. Mau duduk sakit, mau tiduran juga nggak bisa. Sampai setengah duabelas malam, ia mondar-mandir saja di living room.

Nalurinya memang sangat tajam. Ia kemudian merasa semutan pada kedua tangan. “Iner-inerji saya bilang, saya sakit jantung”. Lalu ia membangunkan anaknya Uke dan menelpon anaknya yang tinggal di rumah dinas.

Malam itu juga ia digotong ke RS MMC Kuningan. Pakai ambulans. Di MMC ia dirawat satu hari satu malam. Oleh anak-anaknya, dengan pertimbangan apa kemudian dipindahkan ke RS Harapan Kita. Di sana ia ditangani dokter Asikin.
“Prof Asikin bilang, tahan diri,Pak! Jawaban saya secara otak. Orang udah lemas gini, kok diminta tahan diri?” ujarnya mengingat-ingat.

Namun dalam situasi gawat pun, nalurinya sebagai “orang pintar” masih berfungsi. Ia pun melakukan sesuatu yang selama ini dia yakin, pernafasan. Tarik nafas, kemudian pelan-pelan dikeluarkan. Itu berlangsung kira-kira sepuluh kali. Ia masih sadar ketika disuntik. Tapi cairan dalam suntikan yang harus melalui paru-paru itu tidak bisa merembes masuk. “Karena terblokir oleh tumpukan nikotin di paru-paru saya,” ujarnya. Sejak itulah ia berhenti total merokok. “Saya masih ingin hidup,” katanya.

Menurut teori, dalam sebulan ia sudah harus dioperasi. Jangan sampai kelewat. Ia pun diterbangkan ke Australia, hanya ditemani anaknya yang pertama dan kedua.

Operasi semacam itu seharusnya cukup tiga setengah jam. Tapi ini rada lain. Setelah tiga setengah jam, ia belum juga keluar dari kamar operasi. “Anak-anak kan worry”. Dan tambah cemas setelah empat setengah jam dan hingga lima setengah jam.

Jangan Sabtu
Ia pun mulai mencium semacam firasat. “Kalau harus punya gawe (meninggal-Red) yang penting jangan sampai hari Sabtu.” Entah kenapa, ia seperti ketakutan jika harus meninggal di hari Sabtu.

Setelah lima setengah jam, akhirnya keluar juga dari ruang operasi. Rupa-rupanya ada satu vlektor bank yang hilang. Jangan-jangan ketinggalan di dalam tubuhnya saat operasi. Kalau demikian, berarti ia harus di blek lagi?

Setelah dicari-cari, benda tersebut akhirnya diketemukan di bali sarung tangan dokter.

Sesudah menjalani operasi 1995, ia mengaku daya tahan tubuhnya melorot drastis. Namun, setiap bangun pagi, ia masih kuat berjalan tanpa alas kaki, selama beberapa jam. Sekarang, paling banter setengah jam, lalu senam sampai keluar keringat.

Selain ke Australia, Suhardiman juga pernah berobat ke Jepang. Tahun berapa, ia mengaku sudah lupa. Waktu itu, ia diobati oleh tiga anggota tim dokter kepresidenan, antara lain Mayor Jenderal dr Rubiono Kertopati yang kini almarhum. Gelagat adanya penyakit aneh waktu itu sudah dirasakannya. Tapi oleh para dokter, tetap dirahasiakan. Yang pertama kali diberitahu adalah Bobby, anak pertamanya. “Saya mengidap kanker lever”.

Ketika itu, medical report oleh Profesor Obata dibantu oleh tiga orang asisten, yang masih muda-muda. Yang satu ahli kanker, yang satu ahli bagian dalam, yang satunya lagi analis. Sang profesor mengatakan ia harus dirawat dua bulan. Tapi menurut yang muda-muda, cukup dua minggu. Mereka akhirnya kompromi, cukup sebulan saja.

Dalam sebulan itu, ia sudah diberitahu apa saja yang akan dijalani. Mulai dari minggu pertama, kedua, ketiga hingga minggu ke empat. “Di sana itu dokter hanya boleh praktek di dua rumah sakit. Kalau di sini dokter kan bisa ke mana saja,” ujarnya membandingkan pelayanan dokter.

Lalu tengah malam, ia pun berdoa. Aneh bin ajaib, tiba-tiba, sakitnya hilang. Atau barangkali memang bukan kanker? Ia menjadi agak ragu. Lever bengkak dan kanker ‘kan beda? Dalam hati, ia menggugat bercampur heran. Tiga dokter, yang katanya profesional ternyata bodoh. Kok saya disangka terkena kanker? “Ini pasti muzijat!”

Dasar paranormal. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa didatangi seorang malaikat. Malaikat itu fungsinya, menurut dia, memang macam-macam. Yang datang kepadanya kebetulan malaikat pencabut nyawa. Malaikat itu seolah ngomong kepada Suhardiman bahwa kedatangannya sebenarnya untuk mencabut nyawanya. Tapi mendadak ada perintah supaya ditunda. “Pertimbangannya, karena kamu masih dibutuhkan oleh bangsa dan negaramu di sana,” ujar Suhardiman menirukan kata-kata sang malaikat.

Ditunda berapa lama? Seratus tahun? “Jadi umur saya nanti seratus lebih, ha-ha-ha”

Oleh-oleh lainnya selama berobat di Jepang, yakni soal umur manusia yang dikaitkan dengan profesinya. Mengutip ucapan Profesor Obata, umur yang terpendek dialami para sumo. Alasannya, hidup mereka kurang harmonis. Postur tubuhnya juga tidak harmonis dan sering berkelahi. Kelompok kedua adalah dokter. Hah, kalau dokter masuk kelompok umur pendek, kenapa Profesor Obata memilih profesi dokter?

Akhirnya ia faham. Beban mental yang harus dipikul seorang dokter berat sekali. Antara lain kepada pasien dijanjikan bakal sembuh dalam waktu dua minggu. Ternyata lewat dua minggu pasien masih juga sakit, bahkan terkadang makin parah. Ini jadi beban pikiran dan tanggung jawab berat buat dokter yang bersangkutan, sehingga memperpendek umurnya.

Kelompok umur pendek ketiga adalah wartawan. Mengapa? Menurut profesor, ini juga akibat ketegangan mental yang luar biasa sewaktu menjalankan tugas. Setiap isu harus melalui proses yang melelahkan dan terkadang menegangkan. Satu isu yang diangkat jadi berita, bisa berdampak kurang baik bagi media tempatnya bekerja. Kalau sampai medianya diancam atau ditutup, wartawan yang bersangkutan akan merasa sangat bersalah.

“Jadi karena masalah tanggung jawab juga,” ujar Suhardiman yang selama ini dikenal cukup akrab dengan para wartawan itu. mti/sh-tum

Data Singkat
Suhardiman, Pendiri & Ketua Dewan Penasehat Depinas SOKSI / Futurolog Politik Indonesia | Ensiklopedi | Soksi, Pendiri Soksi, Dukun Politik
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments