Futurolog Politik Indonesia

[ Suhardiman ]
 
0
623

02 | Tolak Carik Desa Jadi Dukun Politik

Suhardiman
Suhardiman | TokohID

Ayahnya yang menjabat kepala desa bercita-cita menempa Suhardiman remaja menjadi juru tulis atau carik desa. Suhardiman menolaknya secara halus karena ingin melanjutkan sekolah. Dia pun menjadi tentara dan lulus Akademi Militer tahun 1949. Namun, dalam karir, dia banyak bergumul dalam dunia politik. Intiusi politiknya sangat peka dan menjangkau jauh ke depan, sehingga dia digelari dukun politik.

Dalam soal agama, ayah dan ibunya, meskipun penganut kepercayaan Kejawen, tidak memaksakan putera-puteri mereka mengikuti kepercayaan mereka. Suatu hari ayahnya bilang pada Suhardiman: “Kamu ikuti bapak, tetapi kalau tidak mampu masuk saja Islam.” Suhardiman lebih memilih Islam daripada kepercayaan Kejawen.

Suhardiman kecil secara tak sengaja masuk sekolah dasar swasta. Tetapi setamat sekolah rakyat, dia ingin meneruskan pendidikannya ke sekolah pemerintah. Sayang, tidak berhasil. Tidak berarti dia berhenti sekolah. Dia harus menerima kenyataan, menjatuhkan pilihan pada sekolah swasta, masuk ke HIS (SMP) Muhammadiyah. Meskipun bersekolah di SMP Muhammadiyah, salah satu organisasi terbesar Islam, tidak secara otomatis mendorong Suhardiman rajin shalat.

Di antara anggota keluarganya, hanya dia dan kakak perempuan ayahnya yang memilih agama Islam. Suatu hari, di dalam perenungannya tentang Tuhan, di depan mata Suhardiman tiba-tiba muncul bayangan uaknya yang sedang menunaikan shalat. Lantas Suhardiman terus berpikir dan merenung, bahwa sebagai muslim dia harus menunaikan shalat. “Itulah tekad yang muncul di pikiran saya waktu itu,” kata Suhardiman.

Suhardiman yang lahir di Solo, Jawa Tengah, tanggal 16 Desember 1924, ketika menyelesaikan sekolah menengah pertama, penjajah Belanda bertekuk lutut pada penjajah Jepang, tahun 1941. Tak lama kemudian, Suhardiman menamatkan HIS, lantas dari Solo berangkat ke Blitar untuk menempuh pendidikan sekolah guru laki-laki. Di Blitar terdapat dua macam sekolah guru, yakni untuk laki-laki dan perempuan. Setelah tamat sekolah guru empat tahun, Suhardiman merantau ke Jakarta (1945) untuk meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi. Tetapi karena pergolakan bersenjata berkecamuk tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, Suhardiman tidak sempat menyelesaikan pendidikan SMA. Padahal dia berniat masuk sekolah tinggi olahraga.

Pendidikan Suhardiman terbengkalai karena masuknya tentara Sekutu (Gurkha, Inggris) yang dibonceng oleh tentara NICA Belanda. Maka terjadi konflik bersenjata secara sporadis antara pasukan Sekutu dan para pejuang kemerdekaan yang dipersenjatai dengan senjata-senjata api yang dirampas dari Jepang. Suhardiman bersama teman-temannya terseret di dalam pergolakan, tetapi mereka tidak memiliki ilmu berperang. Sementara itu, Suhardiman bersama lima kawannya—dia lupa nama-nama mereka—mendengar di Yogyakarta dibuka Akademi Militer. Mereka pun berangkat ke Yogya untuk mengikuti ujian masuk. Tetapi kelima-limanya tidak ada yang lulus. Lalu Suhardiman dipercaya oleh ke empat temannya sebagai koordinator untuk menanyakan, kenapa mereka tidak lulus. Waktu itu, Suhardiman ingin menemui pimpinan AM, tetapi dia diterima oleh Letkol Ismail. Suhardiman menanyakan perihal tersebut kepada Letkol Ismail, dan dijawab, mereka memang tidak lulus.

Setelah mendapat kepastian tersebut, mereka mengambil keputusan untuk berangkat ke Kediri, Jawa Timur, untuk menemui paman salah seorang temannya yang berpangkat Mayor TNI. Setelah bertemu dengan sang Mayor, mereka malahan dikirim ke medan perlawanan rakyat di Surabaya dengan pangkat masing-masing Kopral. Mereka bertugas di sana selama tiga tahun. Tetapi ketika bertugas di divisi Surabaya, selain menghadapi aksi polisional Belanda, mereka harus melawan pemberontakan PKI yang meletus di Madiun, tahun 1948. Waktu itu.

Suhardiman bergabung dalam Kompi Sayidiman yang diperbantukan di Batalyon Nasuhi. Di dalam batalyon tersebut kemudian dibentuk lagi satu kompi, diberi nama Kompi II, Suhardiman dan dua temannya bergabung di Kompi II. Tak lama kemudian, Suhardiman dan dua temannya, Himawan, Sutanto dan Urip Widodo, dikirim oleh divisi Surabaya untuk belajar ke Akademi Milter Yogya. Selama menempuh pendidikan militer, Suhardiman, bersama teman-temannya, juga terlibat di dalam peperangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, sampai dia lulus AM tahun 1949.

Hadapi PKI
Ketika menempuh pendidikan di AM, Suhardiman memimpin Kompi Suhardiman, dan pernah mengalami kejadian unik ketika berhadapan dengan kaum komunis. Dalam perjalanan naik gunung menuju Wonosari, kompi Suhardiman mendapat laporan dari rakyat bahwa lurah mereka tokoh PKI. Lalu Suhardiman meminta pertimbangan dari para taruna, kemudian mengambil keputusan untuk menetapkan tiga taruna yang dilibatkan di dalam penangkapan lurah tersebut. Padahal sosok fisik lurah tersebut, tinggi besar. Tanpa mengalami perlawanan berarti, lurah itu ditangkap, kemudian digelandang ke kantor wedana.

Ketika digelandang ke kantor wedana, sang lurah mengenakan celana hitam sebatas lutut dan kaos oblong putih. Di dalam perjalanan kedua tangan lurah itu diikat. Mendapat pukulan bertubi-tubi dari warganya, lurah itu tidak melawan, tidak menjerit, diam saja. Seorang warga membakar sabut kelapa, kemudian dilempar ke tubuh sang lurah, tetapi dia tidak terbakar ataupun luka. Warga semakin marah sehingga mendesak, sang lurah harus dihukum mati. Lantas Suhardiman meminta nasihat dari seorang kolonel, dan dijawab, “terserah Suhardiman, sebab kamu yang berkuasa.” Kolonel itu membubuhkan tanda tangan hukuman mati, diperkuat oleh Suhardiman. Akhirnya lurah tersebut dikenakan eksekusi tembak mati.

Advertisement

Di dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, kembali terjadi keanehan. Di tembak dari segala sudut, lurah tersebut tidak tembus peluru. Kemudian disabet dengan celurit, dia tidak luka. Lantas ada seorang warga yang menyeletuk: “Dia punya aji-aji (pegangan).” Tanya Suhardiman: “Pegangannya apa?”

“Aji-aji itu ada di celana kolornya,” kata warga tersebut lebih lanjut. Lalu aji-aji itu diambil dari celana kolor lurah. Kemudian dia ditembak lagi, langsung mati. Percaya atau tidak, kata Suhardiman, kawan-kawannya yang melakukan tugas eksekusi, di antaranya Suwardi, menderita gangguan jiwa atau stres berat.

Kemudian Kompi Suhardiman melanjutkan perjalanan. Tetapi sebelum masuk ke Jimbaran, mereka bertemu dengan tentara PKI yang melarikan diri. Maka pertempuran pun tak terelakkan. Di dalam pertempuran tersebut, dua taruna anak buah Suhardiman, gugur. Selaku petinggi AM, Letkol Ismail datang mengontrol. Dia marah-marah lantaran ada taruna yang tewas. Tetapi Suhardiman ingin menjaga kewibawaannya di hadapan anak buah, menantang Letkol Ismail. Kata Suhardiman: “Anda pulang saja, saya yang berkuasa di sini.” Lantas Letkol Ismail kembali ke Yogya.

Saat itu (tahun 1948), Suhardiman belum tamat AM, sedang menunggu pengumuman hasil ujian akhir. Setelah dia lulus, Letkol Ismail bilang kepadanya: “Suhardiman walaupun kamu sudah lulus kamu harus tambah pendidikan teori.” Sebenarnya ketika menempuh pendidikan di Akademi Militer, Suhardiman belum tamat SMA. Namun setelah menyelesaikan AM, dia dikirim ke Amerika untuk menunaikan pendidikan tambahan selama tiga bulan. Sepulang dari AS, dia ditugaskan menjadi instruktur di Sekolah Staf Komando Darat (SSKD), Bandung. Selain menjadi instruktur, dia juga bertugas di kesatuan. Suhardiman masih sempat menyisihkan waktu untuk menyelesaikan pendidikan SMA-nya. Setelah lulus SMA, dia melanjutkan ke pendidikan tinggi di Akademi Perniagaan Parahiyangan, Bandung.

Saat itu Markas Besar Angkatan Darat memintanya bertugas di Jakarta, tetapi Suhardiman meminta penangguhan karena harus menyelesaikan kuliahnya. Berkat ketekunannya, Suhardiman menyandang gelar sarjana muda pertama di APP. Setelah itu dia melapor ke MABAD, malah disuruh memilih: tugas di Bandung atau di mana. Suhardiman tidak segera memberi jawaban, meminta waktu untuk berpikir dan kembali ke Bandung. Tiga hari kemudian, Suhardiman berangkat ke Jakarta, dan meminta diperbantukan pada Mayjen Suprayogi, Menteri untuk Urusan Stabilisasi Ekonomi. Lantas dia ditugaskan sebagai perwira TNI yang diperbantukan pada kantor sekretariat menteri.

Tidak berapa lama setelah Suhardiman menempati tugas barunya, pemerintah menerapkan kebijakan untuk menasionalisasi semua perusahaan milik Belanda. Semua perusahaan milik Belanda, meskipun sahamnya hanya tiga persen, diambil alih. Sebagai pelaksana kebijakan tersebut, pemerintah membentuk Badan Nasionalisasi (Banas). Suhardiman juga diperbantukan sebagai sekretaris Banas yang dipimpin oleh PM Juanda, tetapi ketua harian dipegang oleh Suprayogi.

Saat itu, meskipun pangkatnya masih rendah, Suhardiman sudah bergaul dengan menteri-menteri. “Sopo aku sopo koe (siapa saya siapa dia), sudah begitu.” Lama Suhardiman bertugas di situ. Setelah itu, dia disuruh memilih mau dikaryakan di mana. Dia memilih bertugas di USINDO, lalu menjadi Presiden Direktur PN Jaya Bhakti. Belum sampai dua tahun memimpin perusahaan milik negara tersebut, Suhardiman menerima perintah tidak langsung dari Jenderal AH Nasution, supaya dia menjauhkan diri dari Presiden Soekarno (Bung Karno). “Wah itu tidak bisa,” jawab Suhardiman. Suhardiman hampir dua minggu sekali bertemu Bung Karno. Dia sering dipanggil ke Istana Bogor untuk berbicara tentang banyak hal dengan Bung Karno.

Ketika Suhardiman memimpin PN Jaya Bhakti, Departemen Perdagangan dipimpin oleh Adam Malik, bekas Dubes RI di Moskow. Untuk memberantas tindak korupsi, dibentuk Operasi Budi. Pagi sekali, ke kantor Suhardiman datang rombongan beranggotakan tujuh orang jaksa. Salah seorang di antara mereka, Gautama, meminta Suhardiman mengisi formulir. Sebelum mengisi, Suhardiman mengusulkan agar di dalam formulir itu dicantumkan pertanyaan: “Asal-usul kekayaan dari mana?” Tetapi dijawab oleh Gautama: “Ya sudah, isi saja nilai kekayaannya.” Padahal kekayaan itu, asalnya dari mana harus jelas; bisa dari warisan, hasil usaha atau dari mana. Usulan Suhardiman tidak digubris. Akhirnya dia tulis saja jumlah kekayaannya.

Masalah ini berkepanjangan. Hampir setiap dua hari sekali, Suhardiman dipanggil ke Kejaksaan Agung, dan diperiksa. Tetapi setiap dipanggil kejaksaan, dia selalu optimis. Ketika diperiksa di Kejagung, Kolonel Mukito berjalan mondar-mandir di depannya. “Kurang ajar nih orang,” kata Suhardiman dalam hati. Dia diperiksa oleh dua jaksa. Ternyata, Jaksa Gautama, satu dari kedua jaksa tersebut, berindikasi PKI. Rupanya, anggota-anggota Operasi Budi kesusupan PKI. Suhardiman, pada malam harinya dibawa oleh Letjen Suadi ke rumah Brigjen Sutoyo. Brigjen Sutoyo mengatakan, kesalahan tersebut hanya miss management. Saat itu istilah itu masih baru, sehingga Suhardiman menanyakan, “apa sih artinya miss management? ” Dia juga ingin dijelaskan tentang perbedaan antara miss management dan good management. “Pokoknya, saya bantah,” kata Suhardiman.

Kemudian, perkara Suhardiman sampai juga di pengadilan. Di situ, dia berkenalan dengan seorang hakim. Intinya, hakim itu memberi saran: “Nanti Mas Hardiman, jika diperiksa di pengadilan katakan yang itu-itu saja, tidak usah ditambah dan tidak dikurang.” Hakim itu berterus terang bahwa dia mendapat instruksi untuk menjebloskan Suhardiman ke dalam penjara, tetapi itu bertentangan dengan hati nuraninya sebagai hakim. Suhardiman meminta tolong kepada hakim tersebut agar dia dibebaskan dari semua tuntutan.

Tatkala menjalani pemeriksaan di pengadilan, Letjen Suadi (almarhum), membisikinya: “Dik, ayo kita ke Pak Nas. Operasi Budi dibentuk oleh Pak Nasution. Suhardiman, ketika itu masih berpangkat Mayor, malah menolak. Kemudian Letjen Suadi datang lagi mengajaknya bertandang ke Jalan Teuku Umar, rumah kediaman Jenderal Nasution. Suhardiman akhirnya tidak bisa mengelak. Mereka pergi ke Teuku Umar, dan Suhardiman tetap mengatakan kepada Jenderal Nasution bahwa dia telah dinyatakan oleh pengadilan tidak terbukti bersalah. Lalu Suhardiman meminta Pak Nasution mengumumkan di surat-surat kabar, menyatakan secara terbuka bahwa dia tidak bersalah. Sebab dia terus mendapat tudingan dan hujatan dari PKI. Tetapi Jenderal Nasution tidak pernah mengumumkannya.

Di era itu, PKI menjadi partai super. Pasukan Pengawal Presiden (Cakrabirawa) yang dipimpin oleh Letkol Untung, kemudian menjadi pemimpin G-30-S/PKI dan Dewan Revolusi Pusat, gagal melakukan kudeta tanggal 30 September 1965. Di bawah komandan lapangan Letkol A. Latief, G-30-S/PKI membunuh enam jenderal yang mereka tuding sebagai anggota Dewan Jenderal dukungan Barat yang akan mengkudeta Bung Karno (presiden) yang sedang sakit-sakitan. Saat itu, Suhardiman berseragam militer, sedang sarapan pagi di Hotel Indonesia. Dia didekati Pak Mujono (kemudian menjadi Ketua Mahkamah Agung), sembari berbisik di telinganya: “Mas Hardiman apa sudah dengar para jenderal diculik?” Secara spontan Suhardiman berkomentar: “Ini pasti perbuatan PKI. Dan benar, memang PKI.

Dukun Politik
Suhardiman melanjutkan pendidikan tingginya di perguruan tinggi sangat bergengsi- Universitas Indonesia – mengambil jurusan Ekonomi Perusahaan. Dia meraih gelar sarjana ekonomi. Kemudian melanjutkan ke program doktoral di Universitas 17 Agustus, mengambil jurusan bisnis administrasi.

Suhardiman memiliki kelebihan yang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Tuhan memberikan bekal kepada setiap manusia—pikiran dan naluri. Pada Suhardiman, nalurinya lebih tajam dari pikirannya. Misalnya, tiba-tiba saja hatinya terketuk ingin pergi ke Sogo, Grand Hyatt, Jakarta. Sepanjang perjalanan, otaknya terus berpikir dan menganalisa, “kenapa saya harus ke Sogo?” Tiba-tiba, dia menemukan jawabannya. Besok dia harus main tenis, padahal sepatu tenisnya rusak. Jadi dia harus ke Sogo untuk membeli sepatu tenis. Jika dia sudah merasa yakin dan pikirannya membenarkan, dia tidak peduli apakah orang lain setuju atau tidak.

Kedekatannya dengan Presiden Soeharto, akrab dipanggil Pak Harto, tidak sedekat seperti dengan Bung Karno. Dia merasa seperti ada jarak dengan Pak Harto. Tetapi pernah dua kali dimarahi Pak Harto. Dalam perjalanan, ketika Pak Harto masih Pejabat Presiden, Suhardiman berkantor di Merdeka Barat, menjadi sekretarisnya Mensesneg Alamsyah Prawiranegara (almarhum).

Suatu saat, ajudan Bung Karno, Letkol Polisi Sumirat, menelpon: “Pak Suhardiman di panggil Bapak ke Istana, harap cepat datang.
“Saya sedang rapat, belum bisa ditinggalkan,” jawab Suhardiman.
“Kira-kira berapa lama?” tanya Sumirat.
“Satu jam,” jawab Suhardiman.

Tetapi Sumirat meminta telepon tidak ditutup karena harus melapor ke Bung Karno. Kemudian, Suhardiman melapor lebih dulu ke Pak Alamsyah bahwa dia dipanggil Bung Karno. Saat itu, Suhardiman baru saja kembali dari menjalani misi rahasia di Taiwan.

Suhardiman lalu dijemput oleh Soemirat dengan jip hard top. Jip tersebut, tahun 1960-an, dianggap jip paling hebat. Turun dari jip, Suhardiman bertanya: “Bapak di mana?”

“Di sana,” jawab Soemirat. Suhardiman tidak mengenalnya, karena Bung Karno mengenakan pakaian kebesaran, tidak pakai kopiah, hanya bersarung dan kaos oblong. Bung Karno duduk di kursi, Suhardiman ingin menuju ke kursi di depan mejanya. Bung Karno melarangnya. “Jangan, kamu di sini, di samping saya.” Soalnya, Suhardiman takut bersikap sembarangan terhadap Bung Karno. Lalu dia duduk di kursi di samping Bung Karno. Setelah itu, Bung Karno bilang, “Har, kamu sebagai generasi muda, Bapak ingin tanya kepada kamu.” Suhardiman saat itu merasa bangga sekali karena seorang presiden yang sangat dihormati ingin bertanya kepadanya.

“Ada apa rame-rame di situ?” tanya Bung Karno. Lalu Suhardiman menjawab: “Ada demonstrasi-demontrasi, antara lain menuntut Bapak turun.”

“Tidak bisa. Saya diangkat oleh MPRS,” sergah Bung Karno.
“Tapi tuntutan itu sudah melembaga, Pak.,” komentar Suhardiman.
“Melembaga?” sela Bung Karno dalam nada tanya. “Saya dipilih langsung oleh wakil rakyat yang menjatuhkan saya harus rakyat atau MPR yang akan datang,” jawab Bung Karno.

Dalam hati Suhardiman mengiyakan. Bung Karno yang mengatakan dia akan mempertanggungjawabkan semuanya di depan sidang umum MPRS.

Kemudian, Bung Karno menyampaikan pidato pertanggungjawaban di depan SU-MPRS, tetapi ditolak. Pidato tersebut dipotong-potong yang tinggal hanya Nawaksara. Bung Karno turun dari panggung politik, dan Suhardiman berada di dekatnya ketika Bung Karno meninggal tahun 1970.

Lalu, ketika Pak Harto menjadi Pejabat Presiden, Suhardiman dikirim ke Jepang, Taiwan dan Israel untuk menjalani misi rahasia. Di Taiwan, dia membicarakan hubungan bisnis antara Indonesia dan Taiwan. Kemudian, dia ke Israel. Saat itu, bahkan sampai sekarang, Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Dia masuk ke Israel memakai nama samaran Suhardi, paspornya diubah. Di sana, dia bertemu dengan Jenderal Mose Dayan. Mereka membicarakan tentang bentuk hubungan dengan Israel. Akhirya, dari segi intelijen, ada pembukaan hubungan perwakilan dengan Israel. Suhardiman diberi senjata oleh penguasa militer Israel. Namun lima senjata milik Suhardiman disita dan dikembalikan ke TNI (ABRI) sewaktu dilancarkan Operasi Sapujagad.

Lepaskan Rokok
Suhardiman, memperoleh gelar profesor (guru besar) dari Universitas Muhammadiyah, Medan, Sumatra Utara. Kadang-kadang dia diminta mengajar di Universitas Muhammadiah, Medan. Suhardiman juga memperoleh kepercayaan menjadi guru besar bela diri Tangan Kosong (Tako) yang dipimpinnya. Gelar itu diberikan oleh pemegang Dan Tujuh Sahrun Isak (alm) yang menjadi suhu Tako. Dia tiga kali kena stroke, tetapi tidak sampai meninggal.

Sahrun Isak, seorang warga negara Thailand, sering datang ke rumah Suhardiman di Cipete. Suhunya itu perokok berat. Suatu hari Suhardiman menyarankan suhunya (guru) agar berhenti merokok. Tetapi dia jawab: “Akh, masa’ karena merokok mati.” Tak lama kemudian, sang suhu me-ninggal karena stroke yang keempat kalinya. Suhardiman sendiri tadinya perokok berat, tetapi melepaskan diri dari kecanduan nikotin sejak mendapat serangan jantung sepuluh tahun lalu. mti/sahbuddin hamzah

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here