Profesor Pencegah Konflik Komunal

Tamrin A Tomagola
 
0
239
Tamrin A Tomagola
Tamrin A Tomagola | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Profesor Sosiologi dari Universitas Indonesia ini sangat banyak tahu tentang konflik komunal yang belakangan sering terjadi di Indonesia. Doktor bidang sosiologi media, University of Esex UK (1990), kelahiran Galela, Halmahera Utara, 17 April 1947, ini sangat banyak menulis perihal konflik komunal tersebut.

Peraih gelar master (MA) dari Australian National University, Australia (1982), menjabat dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (1988-2000) dan Staf Ahli Menteri Menteri Negara Riset dan Tehnologi (2000-2003). Pengajar pasca-sarjana FISIP-UI, ini menjabat Sekjen Asosiasi Sosiolog Indonesia selama dua periode (1993-1998).

Sebagai dosen, dia pernah mendapat berbagai penghargaan di antaranya sebagai dosen teladan di Fakultas Sosial dan Politik , UI (1982) dan Dosen Favorit di FISIPOL UI (2001). Dia juga menerima Piagam penghargaan atas Partisipasi dan Jasa-jasa dalam membantu Penegakan Ham di Indonesia.

Suami dari Siti Hidayati, MA, ini sangat aktif menulis diberbagai jurnal dan media tentang masalah sosial seperti Konflik Komunal di Indonesia tahun 2003, Halmahera berdarah tahun 2000, Tragedi Maluku Utara tahun 2000 serta tulisan-tulisan lain yang terkait dengan sosial, politik, militer dan konflik . Ia juga menulis tentang masalah sosial dan gender.

Dia juga aktif sebagai narasumber di berbagai forum nasional dan internasional di antaranya Asian Conference on Diversity and Coexistence di Srilangka pada 2003, Regional Workshop on Indigenous Peoples and Poverty Reduction yang diselenggarakan oleh ADB, Manila, 25-26 October 2001, International Workshop on Political Violence in Asia di Oslo, Norwegia pada tahun 2000, ESCAP Meeting on Culture and The Care of The Elderly, Bangkok 1998.

Masa Kecil

Masa kecil, sejak lahir hingga sekolah dasar, ia tinggal Galela, Halmahera Utara. Sejak sekolah dasar, ia sudah senang pelajaran sejarah. Setamat SD (1959), dia melanjut ke SMP Ternate (1962) dan SMA Ternate (1965) SMP dan SMA). Setelah tamat SMA, Tamrin ingin melanjut ke universitas. Tapi karena ketiadaan biaya, dia pulang ke Galela, mengajar SMP, untuk cari uang.

Setelah punya tabungan, Tamrin berangkat ke Jakarta, untuk mewujudkan impian melanjutkan sekolah ke Universitas Indonesia. Ia menumpang kapal carteran pedagang Arab yang penuh kopra. Tapi, di perjalanan uangnya sudah habis. Dia beruntung di kapal itu berkenalan dengan Al Habsy, seorang keturunan Arab.

Saat mendarat di Jakarta, uangnya hanya sedikit. Untuk biaya tes masuk UI pilihannya saja tidak cukup. Seorang familinya, membantunya sehingga Tamrin dapat mengikuti tes. Dia memilih Jurusan Sosiologi FISIP UI dan lulus tes. Dia tidak memilih keinginan ayahnya, Ali Amal seorang guru dan aktivis Muhammadiyah, agar memilih jurusan ilmu pasti dan menjadi dokter.

Bukan hanya ayahnya yang menentang pilihannya, seorang pamannya bekerja sebagai jaksa, malah menyuruhnya lebih baik pulang untuk mengurus kebun kelapa daripada memilih jurusan sosiologi. Namun anak sulung dari sepuluh bersaudara ini berketetapan memilih jurusan sosial dan ingin menjadi guru.

Selama kuliah di Jakarta, dia tinggal dalam satu keluarga dengan Ahmad Sulaeman, anggota DPR dari Masyumi, di daerah Kramatjati, Jakarta Timur. Suatu ketika, karena ketiadaan uang, dia pernah jalan kaki dari Kramatjati sampai ke kampus di Salemba. Setelah tingkat dua, dia berusaha mencetak diktat kuliah pembangunan sosial dan menjualnya ke teman-temannya. Hasilnya, cukup untuk naik angkot dari Kramatjati sampai Salemba dan makan siang.

Advertisement

Melihat kegiatannya jualan diktat, ada saja orang yang sirik dan melaporkan kepada dosen, Soerjono Wirjodiatmodjo. Dia sempat takut akan dimarahi. Tapi, ternyata sang dosen tidak marah, malah mengangkatnya menjadi asisten. Sebagai asisten dosen, dia mendapat honor Rp 25 per bulan. Untuk menambah pundi-pundi, Tamrin juga bekerja sambilan di perpustakaan.

Melihat kegigihannya, sudah meraih sarjana muda, pembantu dekan II membantu menguruskannya menjadi pegawai negeri golongan 2B (1970). Dia pun rajin mengikuti survei untuk mendapat biaya kuliah. Pada saat melaqkukan survei itu ia berkenalan dengan Siti Hidayati, yang kemudian dinikahinya tahun 1972 dan dikaruniai satu anak, Fathia Aigate. Setelah menikah barulah dia lulus S1 dengan spesialisasi sosiologi umum pada 1974, dan menjadi pengajar di almamaternya.

Kemudian Thamrin memperoleh beasiswa studi S2 ke Canbera, Australia dengan spesialisasi sosial demografi. Lulus 1982 dengan tesis berjudul: Educational Defferences in West Java and West Sumatera: Sosio-historical Perspektives. Lalu, Tamrin mengikuti kursus ilmu statistik di Belanda.

Keberuntungan kembali menghinggapinya saat terikat kontrak dengan LP3ES untuk sebuah penelitian di Semarang, ia mendapat beasiswa untuk studi S3 di Inggris. Tamrin melepaskan tugas penelitian tersebut setelah ada yang menggantikannya. Dia meraih gelar Ph.D. pada 1990 dengan disertasinya berjudul Indonesian Woman Magazines as an Ideological Medium.

Ketika mahasiswa bergerak menyuarakan reformasi, Tamrin ikut berperan sebagai aktor intelektual dalam gerakan penurunan Presiden Soeharto. Ketiaka Pak Harto pulang dari Mesir, ia ikut demo di UI. Bukan itu saja, bahkan membuat pengumuman mogok kuliah sampai Soeharto berhenti jadi presiden.

Kemudian Thamrin aktif di LSM Lerai, yang punya misi memperjuangkan perdamaian di Maluku. Hatinya menangis melihat saudara-saudaranya saling bunuh-bunuhan di Maluku. Banyak teman-temannya yang Kristen dan Islam, yang ketika kecil sangat akrab, tapi saat kerusuhan itu jadi bunuh-bunuhan. Bayangan teman-temannya waktu kanak-kanak dan mati oleh teman sendiri terus membayangi dirinya. Dia menghadapi banyak tantangan dalam aktivitas LSM-nya, di antaranya di intimidasi dan dilaporkan ke polisi. ti/chr

Sumber:
komunitasdemokrasi.or.id dan www. pdat.co.id

Anak Macan yang “Keblinger”

Kepolisian RI telah terpuruk menjadi alat mainan kekuasaan. Serentetan peristiwa akhir-akhir ini semakin menguatkan kesimpulan itu. Mulai dari penyerbuan brutal kampus Universitas Nasional 25 Mei lalu hingga pembiaran penyerangan oleh kelompok beratribut KLI/FPI terhadap aksi damai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan hari Minggu, 1 Juni lalu, di silang Monas benar-benar membuat publik terperangah.

Bagaimana mungkin kepolisian yang sudah dilengkapi satuan intelijen sampai kecolongan tidak mendeteksi gerakan kelompok penyerang yang sangat tidak beradab di depan Istana Negara? Kok bisa aparat kepolisian yang dibiayai dengan uang rakyat tidak berdaya melindungi warga negara yang sedang mewujudkan hak konstitusional mereka yang jelas-jelas terpatri baik dalam alinea keempat Mukadimah UUD 1945 dan pada Pasal 28 dan 29? Mengapa aparat kepolisian ciut nyalinya berhadapan dengan organisasi yang sudah tersohor keberingasan dan kekerasannya selama ini?

Pada ujung sederet pertanyaan keheran- an ini, sebetulnya ada harapan besar warga masyarakat agar kepolisian RI dikembalikan kepada rakyat sebagai pengayom yang menyejukkan sekaligus menegakkan konstitusi dan sila-sila Pancasila.

Memelihara anak macan

Episode serbuan brutal ke kampus Unas dan penganiayaan perempuan, anak-anak, dan laki-laki peserta aksi damai di kawasan Monas kembali menyegarkan ingatan publik akan praktik zalim serupa pada masa Orde Baru. Pada masa itu, baik intelijen militer maupun kepolisian banyak yang memelihara kelompok “anak macan” sebagai perpanjangan tangan aparat keamanan. Pemeliharaan kelompok “anak- anak macan” ini menguntungkan semua yang terlibat. Warga masyarakat yang tergabung dalam berbagai organisasi “anak macan” ini bukan saja mendapatkan keuntungan material pada saat angka pengangguran di kalangan muda cukup tinggi, tetapi juga gengsi sosial di hadapan kelompok sebaya dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

Bagi aparat keamanan yang memelihara organisasi “anak macan”, resmi atau tidak resmi, juga bak sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau keuntungan dilalui. Pertama, tidak perlu pengeluaran dana khusus untuk penjagaan keamanan karena berbagai organisasi “anak macan” dapat mencari dana sendiri dengan menakut-nakuti warga masyarakat sembari memamerkan bahwa mereka punya beking kuat di belakang mereka.

Kedua, aparat keamanan, khususnya intelijen, dapat memperoleh banyak informasi berharga tentang gejolak dalam masyarakat dengan hanya “ongki”, ongkang-ongkang kaki, saja. Ketiga, bila terjadi ekses yang berlebihan dan ada korban jiwa berjatuhan, aparat keamanan dapat cuci tangan dengan berdalih bahwa yang terjadi adalah perang antargang semata, seperti dalam kasus Petrus hampir dua dekade silam.

Terakhir yang tak kurang pentingnya, ulah berbagai organisasi kelompok “anak macan” peliharaan kepolisian ini dapat dijadikan alat penekan atas pengusaha tempat-tempat hiburan untuk menaikkan tarif upeti keamanan. Praktik-praktik ini sangat marak pada masa Orba dan bukan tidak mungkin tradisi “budidaya” kelompok “anak macan” ini terus berlangsung.

Semakin Keblinger?

Warisan tradisi memelihara kelompok/ organisasi “anak macan” ini harus segera dihentikan mengingat beberapa pertimbangan berikut. Pertama, nama baik berbagai penguasa politik dan militer, baik yang sudah mantan maupun yang masih aktif, dapat dimanipulasi oleh berbagai kelompok “anak macan” yang sudah telanjur ikut dibesarkan itu. Beberapa mantan penguasa pada masa Orde Baru dari pihak militer dan kepolisian yang namanya telanjur tercantum, baik sebagai pendiri maupun dalam susunan pengurus FPI, perlu segera mengambil jarak dan menegaskan bahwa mereka tidak lagi menjadi pelindung FPI yang sering membuat onar dan kekerasan di berbagai tempat itu.

Kedua, rezim pemerintah yang sedang tersudut-panik kehabisan amunisi argumen akal sehat bisa saja dengan mudah mengalihkan perhatian masyarakat dari persoalan pokok yang meresahkan, menggilanya harga-harga yang terpicu oleh kenaikan harga BBM, dengan memanfaatkan kelompok-kelompok “anak macan” ini sebagai pengalih perhatian. Konflik vertikal masyarakat/mahasiswa versus pemerintah dialihkan jadi konflik horizontal sesama elemen masyarakat. Upaya pengalihan perhatian dengan menciptakan konflik horizontal hanya akan merusak citra pemerintah dan kepolisian RI.

Ketiga, martabat negara, khususnya Presiden dan aparat kepolisian, bisa sangat kedodoran bila ada “anak macan” yang demikian lantang di depan kamera televisi menantang kepala negara ataupun aparatnya untuk menangkap mereka, dengan mengancam akan mempertahankan diri sampai titik darah penghabisan. Bahkan, ia tega menghina mantan presiden yang dikatakan cacat fisik dan buta hatinya. Bukan itu saja, para kelompok “anak macan” bahkan menganjurkan pembunuhan atas nama agama terhadap sesama anggota umatnya sendiri.

Sungguh terhina prestise seorang kepala negara dan aparat keamanannya bila sudah secara keblinger ditantang oleh kelompok “anak macan” yang telanjur dipe- lihara ini. Publik sangat mendukung pernyataan Presiden SBY bahwa negara tidak boleh kalah, apalagi mengalah, kepada kelompok “anak-anak macan” ini. Namun, masyarakat menunggu bukti, bukan janji atau rapat terus. Tidak mustahil rakyat dapat berprasangka aksi FPI justru sepengetahuan intelijen polisi dan negara!

Keempat, Presiden SBY seyogianya memulihkan martabatnya dan juga martabat negara dengan segera menangkap dan menyeret ke pengadilan para pelaku kekerasan di kampus Unas dan di silang Monas. Jangan pernah biarkan negara dilecehkan habis seperti sekarang ini.

Akhirnya, kelima, negara tidak perlu kikir lagi untuk menyediakan dana rutin dan pengembangan kepolisian semaksimal mungkin agar sama sekali tertutup celah alasan untuk meneruskan tradisi memelihara kelompok “anak macan” dalam wujud apa pun.

Semakin negara berdaya melindungi dan membela rakyatnya, rakyat pun tidak akan enggan membela negara. Bela negara dan bela rakyat harus diucapkan dan ditegakkan setarikan napas. TI, Kompas-Rabu, 4 Juni 2008

Data Singkat
Tamrin A Tomagola, Sosiolog, Guru Besar FSIP-UI / Profesor Pencegah Konflik Komunal | Ensiklopedi | Guru Besar, Dosen, UI, sosiolog, Dekan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini