
[DIREKTORI] Saat usia baru berkepala tiga, doktor lulusan Prancis ini menjadi dekan termuda dan guru besar termuda sepanjang sejarah Universitas Indonesia (UI). Karakternya yang ramah dan enerjik ditambah dengan kompetensi yang memadai diharapkan bisa menyokong proses transformasi UI menjadi universitas berkelas global.
Setelah terpilih sebagai Dekan Fakultas Ekonomi (FE) UI periode 2009-2013, nama Firmanzah langsung menghiasi halaman media massa. Pasalnya, ia meluluhlantakkan pakem senioritas di Universitas Indonesia. Pesaingnya saat itu tak kalah hebat. Ia mampu mengungguli Prof. Sidharta Utama Ph.D. CFA (Wakil Dekan FE-UI saat itu) dan Arindra A. Zainal, Ph.D.
Sebelum masuk tiga besar kandidat, pria kelahiran 7 Juli 1976 ini juga harus bersaing dengan calon yang jam terbangnya sudah tinggi seperti Dr. Ir. Nining Indrayono Soesilo M.A. (kakak kandung Menteri Keuangan Sri Mulyani), Dr. Chaerul Djakman dan Dr. Syaiful Choeryanto. “Kelebihan Fiz adalah pada human relations-nya yang baik. Anaknya rendah hati. Mau mendengar dan mau belajar. Hal ini penting untuk menjalankan sebuah organisasi,” demikian penilaian Rektor UI Prof. Dr. der Soz Gumilar Rusliwa Somantri saat itu.
Selain itu, keunggulan pria yang mahir berbahasa Inggris dan Prancis ini terletak pada kompetensi. Terutama pada pengalaman mengajar di universitas luar negeri dan produktivitas mencetak buku. Selama 2005-2007, ia menjadi pengajar tamu di tiga universitas di Prancis, yaitu University of Pau et Pays der I’Adour (APPA), Universite de Science et Technologie de Lille, dan Universite de Grenoble II. Ia juga mengajar di University of Nanchang, Cina, dan Amos Tuck Business School, America Serikat.
Dua tahun setelah dikukuhkan menjadi Dekan FEUI (14/4/2008), pria yang akrab disapa Fiz ini dikukuhkan sebagai guru besar tetap dalam bidang ilmu manajemen strategis pada 18 Agustus 2010. Saat itu, Firmanzah menyampaikan pidato berjudul ‘Coordination-Capability dan Daya Saing Nasional: Peran Boundary-Spanner dalam Perspektif Struktural-Interaksionisme.’
Firmanzah yang pada masa kecilnya bercita-cita menjadi astronot ini mengaku, tidak pernah bermimpi menjadi dekan atau guru besar universitas terpopuler di Indonesia, apalagi di usia yang muda. Namun kenyataannya, justru di usia muda lah, ia berprestasi gemilang. Sebagai intelektual muda, mantan Kepala Humas dan Protokol UI ini aktif dalam kegiatan seminar atau forum internasional, publikasi dalam jurnal ilmiah, tulisan populer dan buku. Beragam tema diusungnya seperti globalisasi, pemasaran dan pengelolaan partai politik, hingga tentang bagaimana menciptakan keunggulan komparatif. Tercatat lebih dari 20 publikasi jurnal ilmiah, baik dalam maupun luar negeri, sudah dihasilkannya.
Sebagai Dekan FEUI, Fiz menyiapkan dua program utama. Pertama, membuat FE-UI berkontribusi nyata untuk perbaikan perekonomian nasional. Kedua, membawa FE-UI menjadi fakultas bertaraf internasional. Menurut Fiz, FE-UI harus bisa bersaing dengan National University of Singapore, Nanyang Technology University, serta universitas di Australia dan Eropa. Untuk itu, Fiz akan menambah jumlah mata kuliah berbahasa Inggris dan pelatihan dosen supaya bisa lancar mengajar denga bahasa Inggris. FE-UI juga akan mengembangkan student-centered learning serta memperbanyak konferensi internasional dan pengajar tamu dari luar negeri.
Firmanzah yang pada masa kecilnya bercita-cita menjadi astronot ini mengaku, tidak pernah bermimpi menjadi dekan atau guru besar universitas terpopuler di Indonesia, apalagi di usia yang muda. Namun kenyataannya, justru di usia muda lah, ia berprestasi gemilang. Sebagai intelektual muda, mantan Kepala Humas dan Protokol UI ini aktif dalam kegiatan seminar atau forum internasional, publikasi dalam jurnal ilmiah, tulisan populer dan buku.
Diasuh Ibu
Jika melihat berbagai prestasi yang dicapainya, rasanya tak ada seorang pun yang menyangka kalau suami Ratna Indraswari ini terlahir dari keluarga yang “broken home”. Ketika baru berusia dua tahun, Fiz kecil harus dihadapkan pada kenyataan pahit atas perceraian kedua orang tuanya. Sejak perceraian itu, ia tidak pernah lagi melihat ayahnya. Fiz dan dan saudara-saudaranya kemudian hidup di bawah pengasuhan sang ibu. Predikat ibunya yang kawin cerai tiga kali, tidak membuat minder anak ke-8 dari 9 bersaudara ini.
Meski buta huruf, ibunya Kusweni membimbingnya dengan baik. Karakter ibunya yang dia sebut keras, pintar dan cerdas, telah mengantarkannya menjadi seperti sekarang. Dengan bangga ia menyebut, sang bunda tidaklah hanya sebagai ibu rumah tangga biasa baginya, tetapi juga sebagai pendidik yang mengajarkan banyak norma hidup. Fiz mengenang sang ibu sebagai sosok wanita pekerja keras. Usahanya sebagai distributor buah-buahan cukup sukses. Dengan begitu, dia dan delapan saudaranya yang lain hampir semua dapat mengenyam pendidikan tinggi.
Dalam mendidik anak-anaknya, ibunya tidaklah kaku. “Ibu bilang, mau belajar kayak apa, terserah. Yang penting, nilainya bagus,” ujarnya. Selain meneladani semangat juang tinggi dari ibunya, Fiz juga diajari berempati terhadap orang lain. Karena menurut ibunya, orang pintar banyak, tetapi hanya sedikit yang mau mengerti dan memahami orang lain. Oleh sebab itu, Firmanzah mengaku dari kecil sudah mengetahui visinya yakni menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.
Titik balik perjalanan hidup pria yang menghabiskan masa SD hingga SMA di kota pahlawan, Surabaya ini dimulai saat ia masuk kuliah di Fakultas Ekonomi UI dan lulus dalam waktu 3,5 tahun pada 1998. Setamatnya dari FE-UI, ia bekerja sebagai analis pasar pada sebuah perusahaan asuransi dan menjadi asisten dosen di UI. Fiz kemudian meneruskan pendidikannya ke Universitas Lille di Prancis. Di sana ia mendalami bidang strategi organisasi dan manajemen atas beasiswa dari universitas tersebut. Firmanzah juga sekaligus menjalani studinya pada tingkat doktoral dalam bidang manajemen internasional dan strategis di Universitas Pau and Pays De l’Adour dan selesai pada 2005.
Setelah menyelesaikan studi doktoralnya, Fiz sempat mengajar setahun di Prancis hingga akhirnya memutuskan pulang ke Tanah Air dan bekerja di UI pada 2005. Ia kembali ke Indonesia atas permintaan Dekan FE UI saat itu, Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro. Hingga pada akhirnya 14 April 2008, Firmanzah mengukir sejarah di kampus yang resmi berdiri pada 1950 itu. Ia terpilih sebagai dekan FE UI menggantikan Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro. eti | mlp