Guru Besar Hukum Pidana Termuda

Eddy OS Hiariej
 
3
25064
Eddy OS Hiariej
Eddy OS Hiariej | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Prof. Dr. Eddy OS Hiariej, SH, Mhum lahir di Ambon 10 April 1973 dengan nama Edward Omar Sharif Hiariej. Sarjana hukum (1998), Magister humaniora (2004) dan Doktor (2009) dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Dia menjadi dosen (1999) dan Guru Besar (Profesor) hukum pidana termuda (1 September 2010) di almamaternya (UGM), Yogyakarta.

Prof. Eddy meraih gelar tertinggi di bidang akademis tersebut dalam usia 37 tahun, satu tahun lebih muda dibanding Prof Hikmahanto Juwana mendapat gelar profesor termuda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) di usia 38 tahun. Saat diusulkan, usia Eddy masih 36 tahun.

Dia juga mencetak rekor tercepat ketika menyelesaikan program doktoral selama 2 tahun 20 hari. Menurut catatan TokohIndonesia.com, rekor ini belum terpecahkan, setidaknya di UGM. Dia terdaftar sebagai mahasiswa doktor, 7 Februari 2007 dan meraih doktor 27 Februari 2009.

Bagaimana Eddy bisa mencetak rekor tersebut? Ini jawaban Eddy: “Orang biasanya begitu sekolah doktor baru mulai riset, saya tidak. Saya sudah mengumpulkan bahan itu sejak saya short course, tiga bulan, di Strasbourg, Prancis, 2001. Jadi saya katakan kepada pembimbing saya, Prof. Sugeng Istanto, ‘Prof, saya sudah punya bahan untuk disertasi’.1]

Prof. Sugeng Istanto pun menyetujui disertasi Eddy membahas soal penyimpangan asas legalitas dalam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM). Lalu Eddy yang pernah menjadi Asisten Wakil Rektor Kemahasiswaan UGM (2002 – 2007), menyelesaikan draft disertasi pertamanya pada Maret 2008. Kemudian, kurang dari setahun, Eddy pun sudah siap menghadapi ujian terbuka. Sayang, Prof. Sugeng Istanto meninggal pada Sabtu, 11 Oktober 2008, sehingga promotornya digantikan oleh Prof. Marsudi Triatmodjo dan co-promotor Prof. Harkristuti Harkrisnowo.

Memang, sejak remaja, Eddy sudah berminat berkecimpung dalam dunia hukum. Almarhum ayahnya pun pernah mengatakan bahwa karakteristik dan cara bicara Eddy, cocoknya jadi jaksa. Tetapi, ketika Eddy duduk di bangku SMA dan sudah berniat masuk fakultas hokum, ayahnya mengatakan agar Eddy kelak tak jadi pengacara saja. Tampaknya, Sang Ayah menjelang akhir hayatnya, lebih menginginkannya jadi pengacara daripada jaksa supaya bisa membela orang daripada mendakwa.

Tapi keinginannya masuk Fakultas Hukum UGM tak segera bisa terpenuhi. Setamat SMA tahun 1992, Eddy langsung mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Tapi, dia tidak lulus tes UMPTN tersebut. Eddy sangat kecewa, bahkan sempat stres selama enam bulan. Karena stres, dia liburan ke mana-mana. Kemudian, setelah enam bulan, mulai Desember 1992, dia memusatkan pikiran dan waktu untuk betul-betul intens belajar sampai UMPTN berikutnya. Sehingga, UMPTN 2013, Eddy pun diterima masuk FH UGM.

Dia pun mengikuti perkuliahan dengan tekun, sehingga mendapat perhatian Dekan FH UGM Prof. Maria Soemardjono ketika itu. Saat semester lima, Prof. Maria Soemardjono mengatakan kepadanya pertama kali agar Eddy menjadi dosen. Eddy merasakan hubungannya dengan Prof. Maria sangat dekat. Saking dekatnya, sehingga orang mengatakan kalau Eddy adalah anak keempat Prof. Maria. Bagi Eddy, Prof. Maria memang merupakan pakar hukum yang menjadi panutannya.

Satu ketika Prof. Maria bertanya kepada Eddy: “Kamu selesai kuliah mau ke mana?” Saat itu, Eddy menjawab belum tahu akan ke mana. Lalu, Prof. Maria kembali menyarankan agar Eddy menjadi dosen di almamaternya. Saat itu Eddy sudah berpengalaman menjadi pengajar di salah satu bimbingan belajar di Yogyakarta.

Maka seusai wisuda program sarjana 19 November 1998, Eddy mengikuti tes penerimaan dosen. Hasil tes diumumkan 6 Desember 1998 dan dia diterima. Maka mulai 6 Desember itu dia sudah aktif mengajar sebagai asisten sampai SK pengangkatannya jadi dosen terbit 1 Maret 1999.

Advertisement

Eddy tidak jadi berprofesi pengacara atau jaksa. Eddy pun merasakan lebih senang menjadi dosen, karena dia dapat banyak berinteraksi dengan orang, dan karena mau tidak mau sebagai dosen dia harus terus belajar dan belajar. Serta, dia juga senang karena bisa bebas dari aturan seragam layaknya jaksa. Lebih lagi merasa senang jadi dosen, karena, “katanya sih tujuh golongan yang masuk surga itu salah satunya adalah golongan yang selalu memberikan ilmunya kepada orang lain,” ujar Eddy yang hobi membaca dan menulis, serta olahraga tenis dan renang, itu seraya tersenyum.2]

Sebagai dosen, dia aktif dalam bidang penelitian. Dia banyak melakukan riset, antara lain, meneliti implikasi reposisi TNI – Polri dalam Bidang Hukum (2000); Penelitian Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan (2002); Riset Unggulan Terpadu mengenai Regulasi Dunia Maya: Pengaturan Perdagangan, Pembinaan Dan Pelembagaan Serta Penanggulangan Kejahatan Di Bidang Teknologi Infomrasi (2003); Penanggulangan Illegal Logging di Kalimantan Barat (2004); Kajian mengenai pengaturan mata uang (2005); Kajian mengenai pengembalian aset kejahatan (2008).

Dia sudah menulis lebih dari 100 karya tulis ilmiah dan artikel yang dimuat dalam majalah ilimiah dan berbagai media cetak. Dia juga telah menulis beberapa buku, antara lain: Curah Gagas Dari Bulaksumur: Meluruskan Jalan Reformasi, 2003; Rekomendasi Untuk Presiden, 2004; Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, 2006; Pengembalian Aset Kejahatan, 2008; Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, 2009; Pengantar Hukum Pidana Internasional, 2009; Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, 2010; dan Teori dan Hukum Pembuktian, 2012.

Berani Bersikap

Nama Eddy Hiariej juga sudah populer karena dia sering tampil sebagai saksi ahli di pengadilan. Dia bersedia menjadi saksi ahli, baik atas pengajuan jaksa penuntut umum ataupun pengacara (pembela). Demi kebenaran dan keadilan yang diyakininya, mantan Kepala Divisi Korupsi dan Perundang-undangan Pukat Korupsi UGM, itu tak takut menjadi saksi ahli, termasuk saksi ahli yang meringankan bagi terdakwa korupsi. Suatu keberanian bersikap, terutama ketika banyak ahli hukum dan praktisi hukum, takut dituduh tidak berpihak pada semangat pemberantasan korupsi.

Antara lain dia bersedia menjadi saksi ahli kasus korupsi dana gempa Rp 2,085 miliar pada 12 Agustus 2011 dengan terdakwa Lurah Mangunan, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Jiyono, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta; dan persidangan kasus korupsi gratifikasi buku ajar Bantul Rp 500 juta pada 21 Juli 2011 dengan terdakwa Sekretaris Daerah Bantul nonaktif, Gendut Sudarto, di Pengadilan Negeri Yogyakarta.

Sehingga aktivis antikorupsi menuntut Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, membentuk komite etik independen untuk memeriksanya (2011). Direktur Pukat Korupsi UGM Zainal Arifin Mochtar mengakui pihaknya sudah melakukan investigasi. Ternyata banyak kasus korupsi yang dibela Eddy, baik tingkat lokal DIY maupun nasional. Seperti menjadi saksi ahli meringankan terdakwa kasus Century, Robert Tantular.

Eddy pun pernah mendapat teguran keras dari Direktur Pukat Korupsi pertama, Denny Indrayana, karena Eddy melanggar aturan internal Pukat Korupsi yang melarangnya menjadi saksi ahli koruptor.

Namun, sikap Pukat Korusi UGM berbeda ketika Eddy bersedia menjadi saksi ahli dalam kasus dugaan korupsi dan penyalagunaan wewenang dalam sistem payment gateway. yang menimpa (tersangka) Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana.

Namun, secara gentle, Eddy telah melayangkan surat pengunduran diri dari Pukat Korupsi UGM pada 15 Agustus 2011. Eddy menjelaskan alasannya, bahwa keterangannya sebagai saksi ahli terdakwa kasus korupsi menyebabkan posisi Pukat Korupsi sulit dan dinilai melemahkan semangat pemberantasan korupsi serta untuk mencegah konflik kepentingan.

Eddy pun menjelaskan, kesaksian yang ia berikan itu atas putusan pengadilan dan bersifat obyektif. Dia bisa menjadi saksi ahli atas penunjukan jaksa atau penasihat hukum terdakwa. Dia bersedia menjadi saksi ahli terdakwa jika menurutnya, kasus itu tak cukup bukti dan terdakwa tak bersalah.

Pada era kebebasan di era reformasi ini, sikap seperti ini tidaklah populer. Tapi Eddy memilihnya. Termasuk dia juga tidak hanya mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi juga berani mengkritiknya, ketika banyak orang takut.

Menurut Eddy, berdasarkan karakteristik dalam due process of law dan dihubungkan dengan kinerja KPK dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, lebih menitikberatkan pada penindakan bila dibandingkan dengan pencegahan dan menejemen internal. Penindakan oleh KPK itu, kata Eddy, lebih pada segi kuantitatif dan kecepatan dalam memproses perkara. Dia menegaskan hal itu bukanlah karakteristik due process of law melainkan crime control model yang tidak dianut dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Dia juga menyoroti penyadapan yang dilakukan KPK. Hal ini bersifat dilematis karena kewenangan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan oleh KPK yang bersifat absolut dan cenderung melanggar hak asasi manusia di satu sisi dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu di KPK, sedangkan di sisi lain, instrumen yang bersifat khusus ini dibutuhkan dalam mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sudah sangat akut di Indonesia. Selengkapnya baca: Kinerja KPK: Crime Control Modelhttp://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/342-makalah/4437-kinerja-kpk–crime-control-model

Pidato Pemberantasan Korupsi

Ketika dikukuhkan menjadi Guru Besar Hukum Pidana, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH, Mhum menyampaikan pidato berjudul “Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi. Di depan sejumlah audiens di Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada, Senin, 30 Januari 2012, Eddy yang sudah ditetapkan menjadi profesor di bidang hukum pidana pada 31 Agustus 2010, dan akhirnya berkesempatan menyampaikan pidatonya yang bertema korupsi itu menyoroti tiga hal.

Pertama, mengenai persoalan korupsi itu sendiri. Menurutnya, korupsi hampir selalu dilakukan terorganisir dan sistematis, tidak dilakukan tunggal, modus operandinya sulit jadi susah dibuktikan, selalu berkaitan dengan kekuasaan, kejahatan berkaitan dengan nasib orang banyak, keuangan negara yang harusnya bermanfaat.

Dia membeberkan data dari Bank Dunia per bulan Juni 2007, aset Indonesia yang dikorupsi telah mencapai 15-35 milyar USD, yang apabila dimanfaatkan sebagaimana mestinya telah mampu menyediakan air bersih, pendidikan, pangan, dan berbagai kebutuhan primer lainnya untuk sekian juta penduduk Indonesia.

Menurut Eddy, adapun dampak yang melatarbelakangi internasionalisasi korupsi yang ada di Indonesia antara lain dapat merusak demokrasi, seperti isu money politics, merusak aturan hukum, yaitu political bribery, seperti undang-undang yang dibentuk di DPR semuanya memiliki harga.

Dampak dari korupsi itu, katanya, antara lain dapat pula mengganggu pembangunan berkelanjutan, terutama korupsi sumber daya alam, seperti perhutanan, perkebunan, pertambangan. Korupsi dapat pula merusak pasar dan merusak kualitas hidup masyarakat Indonesia, dan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia karena ketiadaan pemenuhan hak-hak yang harus didapatkan oleh masyarakat Indonesia.

Kedua, adalah persoalan pengembalian aset. Serangkaian tindakan yang dimulai dari pelacakan, pembekuan, penyitaan, perampasan, pengelolaan, pemanfaatan dan pemeliharaan aset. Ada beberapa prasyarat pengembalian aset antara lain seperti kemauan politik negara, sistem hukum seperti harmonisasi perundang-undangan dan sistem peradilan, kerjasama kelembagaan antara yudikatif dan non-yudikatif, kerjasama internasional, aset biasanya disimpan di luar teritori Indonesia.

Ketiga, persoalan pembuktian. Ada beberapa hal dalam konsep pembuktian, antara lain bukti harus relevan dan berkaitan dgn fakta-fakta yang menuju kebenaran dari suatu peristiwa hukum, setiap bukti harus dpt diterima. Bukti yang dapat diterima sudah tentu relevan, tapi bukti yang relevan belum tentu dapat diterima. Selain itu ada pula yang disebut exclusionary rule, yang mensyaratkan tidak diakuinya bukti yang diperoleh secara melawan hukum., misalnya perolehan alat bukti yang tidak sah. Evaluasi terhadap bukti, antara lain keseuaian bukti satu dengan yang lain, yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam ambil keputusan.

Para audiens mengapresiasi pidato pengukuhan profesor tersebut dengan tepuk tangan gemuruh. Acara ditutup dengan tasyakur di Grha Sabha Pramana yang dihadiri oleh civitas akademika Fakultas Hukum UGM, serta keluarga dan kolega. Sejumlah guru besar hadir, antara lain Prof. Dr. Romli Atmasasmita (guru besar Universitas Padjadjaran), Prof. Dr. Mahfud MD (guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan ketua Mahkamah Konstitusi RI), Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Prof. Dr. Saldi Isra (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang), Prof. Dr. Ade Saptomo (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang), Prof. Dr. Guntur Hamzah (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hassanudin Makassar), Prof. Dr. Eddy Suandi Hamid (Rektor Universitas Islam Indonesia), Prof. Dr. Jawahir Tantowi (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia), dan Prof. Dr. Ridwan Khairandi (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia).

Pembuktian Terbalik

Dalam pidatonya, Prof Eddy menyoroti peluang pengembalian aset kejahatan korupsi melalui pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik secara keperdataan yang telah dipraktikkan di beberapa negara, seperti Amerika, Inggris, dan beberapa negara Eropa lainnya dapat dijadikan rujukan pemberlakuan pembuktian terbalik dalam pengembalian aset kejahatan korupsi di Indonesia. Pengaturan pembuktian terbalik untuk mengembalikan aset kejahatan korupsi berikut prosedur acaranya harus dimuat dalam undang-undang sebagai suatu pengecualian prosedur pembuktian yang berlaku pada umumnya dengan mengingat sifat dan karakter korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang bersifat internasional.

Pengembalian aset kejahatan korupsi yang saat ini berlaku di Indonesia hanya melalui sarana hukum pidana dengan membuktikan terlebih dulu kesalahan tersangka/terdakwa melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali jika tersangka atau terdakwa meninggal dunia, maka dapat dilakukan gugatan perdata.

Pembuktian terbalik dalam pengembalian aset kejahatan korupsi hingga saat ini memang belum diatur secara jelas dan rinci. Dalam konteks perundang-undangan di Indonesia, dalam hal pembuktian terbalik absolut, terdakwa diembani kewajiban untuk membuktikan bahwa harta yang dimiliki bukan berasal dari kejahatan dianut dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 77 undang-undang a quo menyebutkan, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidana. Seharusnya, undang-undang itu tegas mengatur konsekuensi dari pembuktian terbalik yang dilakukan oleh terdakwa. Sayangnya, berdasarkan Pasal 77 juncto Pasal 78 Undang-Undang tersebut tidak diatur prosedur beracaranya atau setidak-tidaknya mengatur konsekuensi dari pembuktian terbalik.

Pembuktian terbalik dalam pengembalian aset kejahatan korupsi dapat digunakan melalui sarana hukum, baik perdata maupun pidana. Pengembalian aset kejahatan korupsi tanpa melalui penuntutan pidana secara implisit tercantum dalam Pasal 51 Ayat (1) UNCAC perihal bantuan hukum timbal balik di antara setiap negara peserta konvensi berkenaan dengan kekayaan yang diperoleh, melalui atau terlibat dalam kejahatan yang ditetapkan dalam UNCAC. Pengembalian aset yang berasal dari tindak pidana melalui jalur keperdataan dengan menggunakan pembuktian terbalik tidak serta merta melanggar asas praduga tak bersalah atau privileged against self-incrimination, meskipun tidak perlu dibuktikan kesalahan terdakwa.

Tindakan represif terhadap kejahatan korupsi tidak hanya dengan menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga dengan upaya mengembalikan aset kejahatan yang dikorupsi. Ada beberapa prasyarat dalam pengembalian aset kejahatan ialah kemauan politik negara, sistem hukum, kerja sama kelembagaan, serta kerja sama internasional. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com

Footnotes:
1] Prof. Eddy O. S. Hiariej: Dulu Gagal Masuk FH, Kini Jadi Profesor Hukum Pidana, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55c83b3016c68/prof-eddy-o-s-hiariej–dulu-gagal-masuk-fh–kini-jadi-profesor-hukum-pidana
2] Ibid.

Data Singkat
Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana UGM / Guru Besar Hukum Pidana Termuda | Direktori | UGM, Hukum Pidana, antikorupsi, Eddy O.S Hiariej, Guru Besar Termuda

3 KOMENTAR

  1. Mohon dijelaskan konsep saksi ahli, karena setahu saya terminologi yang digunakan adalah Pemberi Keterangan Ahli.

  2. Saya awam, spt nya jadi rancu kalo istilah lama “saksi ahli” dpkai. Saksi bicara faktual, yg dilihat, diketahui,disaksikan sendiri, bernuansa Tkp..Ahli, bicara soal dogma, azas,teori. pengalaman, pengetahuan. Mungkin krn itu peng-istilahannya dipisahkan. Kemarin di MK dikatakan Saksi faktual Kuasa Hukum dan Ahli dri Kuasa Hukum. Tksh.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini