Masih Banyak PR
Djoko Santoso
[DIREKTORI] Bagi Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) Pendidikan di Indonesia masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, terutama di sektor pendidikan di perguruan tinggi. Permasalah tenaga pengajar (dosen), fasilitas di perguruan tinggi, hingga disparitas antara perguruan tinggi negeri dan swasta yang masih besar.
“Kesan saya ketika duduk disini adalah pekerjaan kita masih banyak. Kalau urusannya tentu nasional. Kalau dulu saya hanya mengurus daru universitas saja (ITB). Sekarang ribuan universitas. Menang cara pengelolaanya harus berbeda,” urai Djoko kepada INDOPOS ketika ditemui di ruang kerjanya Gedung D Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), Jakarta.
Langkah yang harus dilakukan, papar doktor ilmu teknik ITB tersebut, bagaimana memberikan kenaikan sehingga perguruan tinggi yang belum sesuai standar bisa mencapai level tersebut. “Kalau di Bandung saya mengurus kampus yang sudah diatas. Permasalahannya di Indonesia perguruan tinggi yang sudah diatas ini hanya 1 persen. Disini juga harus memikirkan yang 99 persen ini. Artinya, fokus lebih ke arah yang bawah. Bagaimana menjadikan perguruan tinggi lebih bermutu,” beber Djoko.
Dari 270 ribu jumlah dosen swasta dan negeri yang ada di Indonesia, kata mantan Pembantu Rektor II ITB tersebuj, baru separuhnya yang me-menuhu kualifikasi sebagai dosen atau memiliki gelar magister (S2) dan doktor (S3). Amanat tersebut tertuang dalam undang undang nomor 14/2005 tenttang guru dan dosen. Kemendiknas sudah menyiapkan beberapa terobosan baru. Misalnya dengan melakukan percepatan doktor dan memberikan beasiswa. Bagi yang sudah terlanjur menjadi dosen akan disekolahkan kembali untuk meningkatkan kualifikasi sesuai undang undang.
“Kalau idealnya, sesuai ketentuan 2014 semua dosen di perguruan tinggi minimal sudah S2. Tapi, kebanyakandisen S1 yang ada di perguruan tinggi adalah orang-orang yang sudah sepuh (tua). Sebentar lagi akan memasuki masa pensiun,” kata Dosen Teladan ITB 1977 tersebut. Mengantisipasi dosen-dosen yang memasuki masa pensiun, pemerintah mendidikan dosen madya untuk naik peringkat. Peta tersebut sudah dimiliki. Tidak hanya dosen perguruan tinggi negeri, pemerintah juga harus memikirkan dosen-dosen di perguruan tinggi swasta.
“Kawan-kawan swasta harus membuat terobosan. Tidak bisa nanti membuat buku terus buku ada kaitan pendidkan tapi tidak dipelihara,” tandasnya. Sambil mendidik dosen madya, katanya, penambahan dosen baru juga terus dilakukan. Penambahan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dan kebutuhan ajar. Diperkirakan angka partisipasi kasar (APK) sampai 2014 akan menerima sebanyak 400 ribu orang. Dari angka tersebut, Kemendiknas sudah me-mikirkan untuk menambah dosen lagi. “Yang pensiun harus ada penggantinya. Bagaimana menambah ini dan kekurangannya. Kita akan mengangkat dosen terus,” katanya. Djoko menceritakan, ketika masih memimpin ITB dulu, jumlah mahasiswa hanya 12 ribu dan dosen 1.200. Kemudian, karena dampak undang undang (BHP) Badan Hukum Pendidikan (sekarang sudah dibatalkan), ITB tidak mengangkat atau menerima dosen baru. Akibatnya, ketika kebutuhanmahasiswa akan pendidikan tinggi meningkat, ITBS tidak mampu menambah kapasitas.
“Selama 5 tahun ITB tidak mengangkat dosen baru. Sekarang ini jumlah mahasiswa mencapai 20 ribu tapi dosen turun menjadi 1.000 orang saja. Solusinya, pada waktu saya menjadi rektor tahun kedua, saya memaksakan mengangkat dosen,” katanya.
Selain masalah tenaga pengajar, saran dan prasarana di perguruan tinggidinilai masih kurang memadai. Terutama PTN baru. Secara bertahap, pemerintah akan meningkatkan fasilitas tersebut.
Jadi dengan pendanaan yang ada kita coba distribusikan ke semua perguruan tinggi agar pelan-pelan selalu mengikut standarnya,” harap mantan Ketua Senat Akademik ITB tersebut. Untuk swasta sendiri, kata Djoko, masalahnya berbeda dengan negeri. Swasta mendirikan tentunya dengan tujuan sendiri. Tapi harus diingat kalau tidak hanya mendirikan saja. Pihak yayasaan harus memikirkan keberlangsungannya. Sebab ada tanggungjawab kepada masyarakat.
“Di sisi lain membantu pemerintah memperkuat aspek pendidikan. Sesuai pola penganggaran dikasih bantuan. Bantuan untuk melengkapi saran dan prasarana. Beasiswa untuk dosen pasti,” terang Djoko. Rumitnya masalah pendidikan tinggi, kata Djoko, membuat kemajuan di Indonesia lambat. Disaat Indonesia ingin menjadi negara industri, tapi sumber daya manusia masih kurang. Terlebih, keinganan untuk menjadi negara industri salah besar. Sebab, banyak negara maju sebenarnya adalah negara pertanian. Hanya saja pertanian yang digabungkan dengan industri.
“Memang dari mana jagung yang kita makan? Dari Amerika. Begitu juga dengan kedelai dan kapas. Kita ini masih cocok tanam. Cocok tanam sama industri beda. Kalau industri itu yang diukur pakai bahasa sederhana untungnya berapa,” katanya. Semua masalah tersebut, papar Djoko, bermula dari pendidikan. Ada hubungan pendidikan dan GDP. Pendidikan ini kalau diurut lagi sampai wilayah citizen indeks. Citizen indeks itu kalau menulis di jumal internasional dikutip ahli lain mendapaikan poin.
“Kalau Indonesia masih rendah. Ada hubungan dengan kesejahteraan dengan jumlah tulisan. Kalau bisa menulis pendidikan pasti tinggi. Tapi, karya orang Indonesia masih jarang. Itu pekerjaan saya. Semuanya dari pendidikan,” katanya.
***
Ditangkap Tentara saat Malari
Memasuki masa reformasi, Indonesia selalu dihiasi demonstrasi mahasiswa setiap harinya. Mulai dari mengkritisi kebijakan pemerintah pusaf dan daerah hingga kebijakan di lingkungan kampus. Maraknya mahasiswa yang berdemo ketimbang kuliah membuat Djoko prihatin. Menurutnya, mahasiswa yang suka demo adalah mahasiswa jaman d-ahulu. Sama seperti ketika dirinya .masih menimba ilmu di ITB. “Itu mahasiswa jaman dulu. Sama seperti pengalaman saya 30 tahun lalu di Bandung. Sama se-perti mahasiswa jaman saya kuliah,” ujar Djoko.
Ketika masih aktif di kampus dulu, dirinya juga sering ikut demo. Bahkan, ketika peristiwa malapetak 15 Januari (Malari) dirinya sempat ditangkap tentara gara-gara memprotes kebijakan pemerintah. Beruntung Djoko hanay ditahan selama* 1 hari. Sebab dirinya hanya anak buah, bukan tokoh utama demo. “Saya katakan saya dulu seperti itu. Tapi alasannya ada. Dulu juga sempat ikut ditangkap. Alasannya karena yang berkuasa tidak mau berhenti. Supaya ada kreasi baru dan kemungkinan jadi lebih baik. Kalau hanya satu seperti itu saja. Kalau ada yang abru kemungkinan bisa lebih baik,” urainya.
Tapi sekarang ini, lanjut peraih penghargaan satya lancana karyasatya 10 pada J 997 tersebut, alasan mahasiswa demo sekarang ini sudah tidak ada. Semua pemimpin hanya diberikan dua kali masa jabatan. Setelah itu harus turun. “Saya jelaskan ke dia (mahasiswa) sekarang jaman sudah berubah. Kamu berfikir sama seperti saya 30 tahun yang lalu,” katanya.
Dilajutkan mantan Ketua Forum Rektor Perguruan Tinggi Negeri (MRPTNI) ini, ketika ditangkap saat Malari, dirinya dimasukan ke sebuah rumah. Tidak ada rasa takut ketika itu, sebab Djoko ditangkap bersama rekan-rekannya dari Bandung. “Abis itu dicari pentolannya. Saya Cuma kroco. Kita tidak sempat dipukul. Cuma ditanya dari mana? Mau pulang tidak? Saya bilang mau pulang pak. Lalu dibebasin,” terang Djoko.
Semasa mahasiwa sekitar tahun 1972-1976, kata Djoko dirinya juga suka mengikuti tren terkini. Ketika itu, trennya adalah mahasiwa rabutnya gondrong (panjang). Karena rambut tersebut, membuat Djoko mudah dikenalitentara dan ditangkap saat demo. “Pokoknya-yang rambutnya gondrong diangkut semua,” ingatnya. Meskipun mengikuti tren rambut gondrong, kata Djoko, dirinya tidak mampu mengikuti tren berpakaian kalai itu. Gaya celana cutbray tidak diikuti pria kelahiran Bandung, 9 September 1953 tersebut, sebab, gaya berpakain kalau itu cukup mahal. Sementara Djoko tidak mampu membelinya. Untuk pakaian kuliah, papar Djoko, dirinya selalu memakai bawa wajib latih militer (wala-wa) atau baju tentara. Baju tersebut didapatkan sarjana teknik geologi ITB ini ketika mengikuti Walawa selama 1,5 bulan di dua tempat terpisah, yaitu Bandung dan Cikole. Di Bandung adalah teori dan praktiknya di Cikole.
“Dulu ketika Walawa dikasih baju. Lumayan buat kuliah. Baju itu tahan sampai 3 tahun,” beber Djoko. Dengan mengikuti Walawa selama 1,5 bulan, katanya.banyak sekali pengalaman dan ilmu yang didapatkan. Salah satunya adalah kedipsilinan waktu. Djoko masih ingat, saat pendidikan biasanya sekitar pukul 04.00 pagi, dibunyikan senapan. Setiap orang harus keluar dengan pakaian lengkap plus senjata.
“Padahal baru bangun tidur kan. Sepatu ada ketuker. Masih ada yang belum pakai baju. Tapi didikan itu membuat kita bagus,” katanya. Ketika pendidikan, ujar Djoko, dirinya juga sempat diajari berlatih menembak. Baginya, menembak tidak terlalu sulit.
Kedisiplinan tersebut, urainya, masih dibawah hingga kini dalam pekerjaan barunya sebagai Dirjen Pendidikan Tinggi. Setiap hari, Djoko harus rela pulang diatas pukul 20.00 untuk menyelesaikan semua pekerjaan.
“Dari dulu selalu sibuk. Biasanya saya berangkat pukul 7.30 dan pulang diatas 20.00. tergantung kebutuhan. Pokoknya harusselesai dan meja saya bersih. Kalau tidak banyak pekerjaan 1 yang menumpuk. Itu ukurannya orang gaya bekerja masing-masing menyesuaikan. Barang-, kali itu yang paling pas bagi saya,” katanya.
Agar tidak stres, Djoko memberikan tips bekerja tidak memakai hati. Tetapi memakai otak dan rasa. Kalau pakai hati, bisa menyebabkan penyakit. “Seperti ini (diskusi) bisa menghilangkan stres,” kilahnya, (edi) e-ti
Sumber: Indopos, Minggu, 7 November 2010