Takdirnya Jadi Rimbawan
Joedarso Djojosoebroto
[DIREKTORI] Ia seorang rimbawan. Profesi yang tadinya merupakan pilihan alternatif baginya. Selepas lulus SMA, sebenarnya pilihan utamanya ingin menjadi sinder pabrik gula, yang dianggapnya suatu profesi yang mempunyai keistimewaan tersendiri. Namun takdir membawanya menjadi rimbawan (orang yang bertugas di tengah hutan-rimba). Ia pun menekuni pekerjaan bidang kehutanan itu dengan serius. Bahkan, kalau bicara mengenai kehutanan, dia langsung terlihat menggebu.
Mendambakan seperti kehidupan sinder yang sering diperhatikaannya ketika kecil, akhirnya menuntun putra Jawa Timur, ini hingga menjalani hidup seperti sekarang ini. Kebetulan di dekat rumah saya di Pasuruan, Jawa Timur, banyak pabrik gula. Saya melihat, kehidupan seorang sinder sangat enak. Ke mana-mana naik jip, punya rumah dinas besar, dan semua buruh pabrik selalu takut jika berhadapan dengan mereka…” katanya mengisahkankan alasannya sehingga sejak kecil punya cita-cita menjadi sinder pabrik gula.
Untuk memuluskan cita-citanya maka pria kelahiran 29 September 1943, ini selepas menamatkan sekolahnya dari SMA Negeri Probolinggo pada tahun 1963, dia berangkat hendak mendaftar ke IPB (Institut Pertanian Bogor) di Bogor. “Bayangan saya masuk IPB, pilih jurusan pertanian dan nanti jadi sinder pabrik.” katanya. Namun cita-citanya rupanya tidak semulus seperti yang dipikirkannya. Dia terlambat sampai di Bogor, jurusan pertanian sudah tak menerima pendaftaran mahasiswa baru.
Putra seorang anggota kepolisian, ini mengaku saat itu sangat kecewa. Namun petugas pendaftar menawarkan dua jurusan yang masih bisa menerima, yakni jurusan perikanan dan kehutanan. Akhirnya dia memutuskan mengambil jurusan kehutanan. “Kepalang basah sudah sampai Bogor, saya putuskan masuk kehutanan” akunya.
Itulah perjalanan pria yang meraih gelar insinyur tahun 1972, ini menjadi seorang ‘rimbawan’. Namun walaupun bidang kehutanan merupakan pilihan alternatifnya, bukan berarti tidak ditekuninya dengan serius. Malahan sebaliknya, kalau bicara mengenai kehutanan, dia langsung terlihat menggebu. “Mengelola hutan industri kuncinya satu, kita harus mencintai setiap batang pohon bagaikan anak sendiri…” ucapnya dengan penuh yakin.
Di awal kariernya, dia langsung dikirim ke Kalimantan Barat, menjadi pegawai Perhutani disana. Di suatu kesempatan, dia menangani suatu proyek penghutanan lahan alang-alang di lembah Sungai Musi, Palembang Sumatera Selatan. Mengenai proyek dimaksud, dia menyebutkan bahwa proyek tersebut punya tiga sasaran utama yakni; memperbaiki lingkungan hidup, meningkatkan produktivitas lahan dan menciptakan lapangan kerja.
Dalam pengerjaannya, dia lebih teliti dan lebih serius misalnya dalam pemilihan pohon, dia sengaja memilih jenis pohon cepat tumbuh serta cocok untuk bahan baku kertas. Sekitar 95 persen Acasia mangium, sisanya Eucalyptus urophylla, Pinus mercusii, Paraserianthes falcataria dan Gmelina arborea. Sehingga dengan kerja kerasnya, memilih benih unggulan serta pemeliharaan teratur, maka jika tahun 1991 mereka baru menanam 27.928 ha, kini sudah menghutankan 200.000 ha lebih.
Dan yang paling membanggakan, dengan usia delapan tahun mereka sudah panen. “Ini paling membanggakan, kami sudah mampu memanen pohon dalam waktu delapan tahun. Sedangkan kompetitor kita Kanada, harus menunggu sekitar 40 tahun….” ujarnya. Sedangkan lahan yang baru dipanen tersebut, mereka langsung menanam tanaman baru lagi di sana.
Beberapa tahun yang lalu kota Jakarta tenggelam direndam banjir, demikian juga hal yang sama dialami oleh beberapa provinsi lain di Indonesia. Keterangan resmi menyebutkan bahwa banjir terjadi akibat curah hujan terlampau besar, air tak bisa lagi tertampung. Tetapi, daerah aliran Sungai Musi dan beberapa anak-anak sungai di Sumatera Selatan yang tadinya wilayah langganan banjir, saat itu justru bisa terbebas.
Daerah itu, seperti Lembah Sungai Musi, Lematang, Komering, Rawas, dan Ogan, ini selama bertahun-tahun setiap musim hujan selalu dilanda banjir. Namun sejak tahun 1995 (empat tahun setelah proyek penghutanan), wilayah tersebut tidak lagi tersentuh oleh banjir meskipun hujan turun sangat deras. Ini merupakan dampak tidak langsung dari mulai berfungsinya Hutan Tanaman Industri (HTI) setempat sehingga hydro-orologis setempat sudah dipulihkan.
Joedarso, pria pendiam yang lebih senang menyebut dirinya ‘rimbawan’, ini dengan tulus berkata, “Media massa sering kurang adil. Setiap kali musibah datang selalu ditulis dengan huruf besar. Hanya saja kalau ada daerah bisa dibebaskan dari ancaman banjir, jarang sekali diberitakan…”
Citra negatif atau katakanlah persepsi negatif kepada para pelaku di bidang kehutanan ini memang sudah melekat sejak lama. Pencitraan yang tidak bisa disalahkan begitu saja. Hal mana diakibatkan oleh banyaknya perilaku menyimpang di bidang ini seperti; penebangan liar, -namun resmi-, yang tidak terlepas dari peran serta para pegawai kehutanan sendiri, baik yang aktif di lapangan maupun mereka yang sebenarnya harus menegakkan peraturan. Dan akibat dari ulah para pelaku-pelaku bidang kehutanan tersebut sungguh sangat mengganggu keharmonisan tatanan kehidupan, dimana kawasan hutan alam semakin gundul, yang berakibat pada terganggunya lingkungan seperti rusaknya ekosistem serta datangnya musibah banjir yang mengakibatkan dampak yang lebih besar lagi.
Namun Joedarso yang bergabung di PT. Musi Hutan Persada (MHP), Perusahaan yang memegang HTI beberapa wilayah untuk menghutankan kembali wilayah Lembah Sungai Musi, Kawasan hutan seluas 77.682 ha di Subanjeriji, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, 19.741 ha di Martapura, dan 198.741 ha terletak di Benakat, ini bertindak terbalik dengan pemegang HPH yang dikenal selama ini, dia mengatakan bahwa mereka pemegang HTI pasti melakukan penanaman.
Joedarso sendiri mengatakan bahwa tanpa lebih dulu menanam pohon, tidak ada yang akan mereka tebang . Dia mengatakan, “Kalau saya pribadi lebih senang memakai TPTP, Tebang Pasti Tanam Pasti…”.
Sistem pengelolaan dalam HTI, sangat berlainan dengan pengelolaan dalam HPH. Dimana hak para pemegang HPH yang menyebabkan adanya kebiasaan buruk pada mereka yang selalu menebang habis seluruh pepohonan setempat, tidak didapati di dalam sistem HTI ini, sebab lahan yang dicadangkan bukanlah berupa hutan alam yang sudah ada pohonnya, melainkan berupa belukar dan padang ilalang. Pokoknya, tanah tidak produktif yang sudah lama dibiarkan telantar.
Dengan hak yang demikian itu, maka bersama rekan-rekannya sejak tahun 1991, telah mengubah belukar tidak produktif yang luasnya kira-kira 300.000 ha di Kabupaten Lahat, Ogan Komering Ulu, Muara Enim dan Musi Rawas (Sumsel) menjadi kawasan hutan yang kini telah merimbun lebat. Bahkan, hasilnya sudah mereka nikmati.
PT. Musi Hutan Persada sejak tahun 1999, sudah mulai memetik hasil, panen penebangan pepohonan generasi pertama yakni pohon yang mereka tanam pada awal musim penghujan tahun 1991 ketika mulai membuka belukar tersebut. Dan yang menambah lengkapnya prestasi panen pohon mereka adalah sejak beberapa tahun lalu, hasilnya telah mulai diekspor dalam bentuk pulp yaitu bubur kertas -bahan baku pembuatan aneka macam kertas- jadi bukan dalam bentuk kayu gelondongan lagi. Hal tersebut bisa terlaksana sebab PT MHP telah mengikat kontrak dengan PT Tanjungenim Lestari Pulp & Paper, Pabrik pengolah potongan kayu menjadi pulp, yang dibangun di pinggir Sungai Musi, dimana dalam kontrak disebutkan bahwa seluruh tebangan PT MHP akan langsung ditampung oleh PT. TLP&Paper.
Selama ini telah dianjurkan kepada para pemegang HPH agar memakai sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) dengan maksud agar pohon-pohon kecil yang belum layak panen tidak diganggu sebagai pengganti pohon yang sudah ditebang. Namun TPI ini kemudian diplesetkan menjadi Tebang Pasti Tanam Insya Allah (TPTI). Begitulah perilaku para pengusaha hutan kita yang selama ini berpikiran sempit dan hanya ingin mengeruk untung secepatnya. Mereka menebang habis segala macam jenis pohon di kawasan hutan yang mereka kelola, sementara kewajiban menanam pohon pengganti tidak dilakukan. Kalaupun akan mereka lakukan, tetapi tidak sesigap/secepat ketika mereka menebang. Penanaman pohon penggantipun hanya sedikit, memilih benih tanpa seleksi, asal tanam, ditambah lagi dengan kurangnya upaya pemeliharaan. Sehingga tidak mengherankan, begitu izin HPH-nya habis, yang tersisa hanya tanah gundul sebab hutannya sudah ditebang habis namun tidak ditanami kembali.
Hal tersebut terjadi memang sangat banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lemahnya pengawasan, luas serta terpencilnya kawasan hutan yang harus diamati, minimnya peralatan, sistem pengelolaan yang kacau, serta lunturnya dedikasi para petugas sendiri.
Menanggapi masalah yang satu ini Joedarso mengatakan, “Semua ilmu tentang pengelolaan hutan sudah diajarkan. Tetapi penerapannya di lapangan selalu terpulang kepada pribadi masing-masing…”jk