Pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia ini merupakan orang kepercayaan Soekarno-Hatta. Ia pernah diberi mandat untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), pernah memegang jabatan penting, seperti Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, dan Wakil Perdana Menteri.
Raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1893-1939 ini berperan aktif dalam pergerakan nasional dengan membantu pergerakan Budi Oetomo dan pendirian Sarekat Islam. Ia menunjukkan dukungannya baik berupa fasilitas, materi, maupun moral. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada 2011.
Kendati ia tidak termasuk pendiri Budi Utomo (20 Mei 1908), namanya selalu dikaitkan dengan organisasi kebangkitan nasional itu. Sebab, sesungguhnya dialah penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar STOVIA Jakarta itu. Pahlawan Nasional ini lahir di desa Mlati, Yogyakarta, pada tanggal 7 Januari 1852. Ia wafat pada tanggal 26 Mei 1917 dan dimakamkan di desa Mlati, Yogyakarta.
Sebagai seorang pejuang yang gigih dan berpendirian teguh, ia tidak mau didikte oleh penjajah Belanda. Dalam beberapa kali kejadian, ia tidak hanya menahan serangan Belanda, tapi justru yang memulai perang.
Melalui organisasi wanita Aisyiah, Siti Walidah atau Nyi Ahmad Dahlan sangat membantu perjuangan kemerdekaan. Di awal revolusi, ia menganjurkan kaum wanita untuk mendirikan dapur umum. Ia juga rajin bertukar pikiran tentang perjuangan dengan Presiden Soekarno dan Jenderal Sudirman.
Ia turut bertempur saat perang mempertahankan kemerdekaan berkecamuk di Kalimantan. Kiprahnya bagi kemajuan masyarakat ia tunjukkan saat menjadi Bupati Kotawaringin, Gubernur Kalimantan Tengah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Dalam upaya mempersatukan seluruh Indonesia, doktor ilmu pasti pertama Indonesia ini pernah mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan "Manifes Ratulangi", yakni seruan kepada pemimpin-pemimpin Indonesia bagian Timur untuk menentang setiap usaha yang bertujuan memisahkan Indonesia bagian Timur dari NKRI.
Kiprahnya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia ditandai dengan keterlibatannya sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Gubernur...
Sultan terakhir kesultanan Siak ini dengan lantang menolak tunduk pada Belanda dan Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, dia sangat total dalam mendukung terbentuknya RI. Dia menyatakan Kerajaan Siak sebagai bagian dari wilayah RI dan menyumbang hampir seluruh harta kekayaannya untuk pemerintah RI. Sehingga di akhir hayatnya, sultan berdarah Melayu ini tidak lagi memiliki apa-apa untuk diwariskan.
Pahlawan nasional Indonesia asal Nusa Tenggara Timur pertama ini dikenal aktif dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Selama penjajahan Jepang, ia turut memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia melalui surat kabar asuhannya 'Timor Syuho'. Dukungan terhadap kedaulatan RI pasca proklamasi ditunjukkan saat ia terlibat sebagai anggota parlemen dan menteri di Negara Indonesia Timur (NIT).
Tatkala Kerajaan Luwu memilih tunduk pada Belanda, Opu Daeng Risaju lebih memilih kehilangan gelar kebangsawanannya dan tetap pada pendirian menentang penjajahan. Aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) ini ditangkap dan ditahan berulang kali bahkan disiksa hingga tuli.
Salah satu pendiri Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) ini sudah dipercaya menjadi Pejabat Kepala Staf ALRI pada usia 38 tahun. Selama bertugas, ia banyak berkecimpung di dunia pendidikan dengan mendirikan sekolah Angkatan Laut (SAL) di Kalibakung, Tegal dan Kepala Pendidikan dan Latihan di Sarangan, Magetan. Ia pernah menjadi Wakil Kepala Staf AL Daerah Aceh, Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya, Komandan KRI Hang Tuah, dan Dubes RI untuk Pakistan. Jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut dicopot karena sikapnya yang mengutuk keras pemberontakan G30S/PKI.
Prof. Dr. Wilhelmus Zakaria Johannes menjadi dokter Indonesia pertama yang mempelajari ilmu radiologi di Belanda dan menjadi ahli rontgen pertama yang sangat berjasa dalam pengembangan ilmu kedokteran di Indonesia. Guru besar radiologi yang pertama di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini meninggal di Belanda saat menjalankan tugas membangun kembali Universitas Indonesia yang terlantar selama Perang Kemerdekaan.
Semasa hidup, Prof. Dr. Hazairin, SH dikenal sebagai pakar hukum adat yang produktif. Ia pernah ikut bergerilya untuk mempertahankan kemerdekaan, menjadi dosen dan Guru Besar di sejumlah universitas, menulis banyak buku, dan turut serta melakukan pembinaan hukum nasional. Dalam dunia politik, ia pernah mendirikan partai dan menjadi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I.
Ia mengerahkan anggota Barisan Pelopor untuk mengamankan pelaksanaan acara pembacaan teks proklamasi di Pegangsaan Timur, membentuk Barisan Pelopor Istimewa sebagai pengawal pribadi Presiden Soekarno dan membentuk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) untuk melawan aksi-aksi antipemerintah yang dilakukan oleh PKI. Perjuangannya terhenti setelah dia diculik dan dibunuh oleh PKI. Hingga kini, jasad dan makamnya tak tahu entah di mana.