Menyentil Ironi Lewat Monolog
Butet KartaredjasaKonten ini Hanya untuk Subscriber

[SELEBRITI] Meski bukan aktor pertama yang mampu berakting tunggal di atas panggung, kelihaiannya melakukan monolog selalu mengundang decak kagum. Aksi monolognya yang paling melekat di benak masyarakat adalah saat ia menirukan suara mantan presiden RI, HM Soeharto. Belakangan, penggiat kesenian di sejumlah teater ini aktif mengelola yayasan dan komunitas serta mengisi acara program mingguan “Sentilan-Sentilun” di sebuah stasiun televisi swasta.
Butet Kartaredjasa lahir dengan nama lengkap Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa di Yogyakarta, 21 November 1961. Bakat seni diwarisinya dari sang ayah, mendiang Bagong Kusudiardja, yang dikenal sebagai pelukis dan koreografer ternama. Ketertarikan Butet pada dunia kesenian kemudian mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa pada tahun 1978.
Semasa sekolah, Butet sudah aktif berteater antara lain di sanggar Teater Kita-Kita, Sanggar Bambu, dan Teater SSRI. Selain sebagai aktor, ia juga mampu bertindak sebagai sutradara. Beberapa pementasan yang pernah disutradarainya adalah Kisah Cinta, Abu, dan Sepasang Mata Indah. Tahun 1979, kemampuan aktingnya bahkan pernah diganjar penghargaan sebagai Aktor Terbaik Festival Teater SLTA se-DIY. Dua tahun berikutnya, Butet kembali meraih penghargaan serupa sebagai Aktor sekaligus Sutradara Terbaik.
Setelah lulus dari sekolah menengah, ia melanjutkan studi seninya ke Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia. Sayangnya, setelah sempat lima tahun menuntut ilmu, Butet gagal menyelesaikan kuliahnya. Meski tidak memiliki gelar sarjana di belakang namanya, nyatanya tak menghentikan hasratnya untuk terus berkecimpung di dunia seni.
Kakak kandung musisi Djaduk Ferianto ini juga pandai merangkai kata. Kemampuannya menulis liputan terutama di bidang sosial budaya telah dimuat di berbagai harian media lokal maupun nasional, diantaranya KR, Bernas, Kompas, Mutiara, Sinar Harapan, Hai, Merdeka, Topik, Zaman, dan masih banyak lagi.
Ketika menjadi kuli tinta, prestasi Butet di atas rata-rata wartawan biasa. Ia pernah menyabet juara pertama Lomba Esai TIM tahun 1982. Setahun berikutnya, Butet meraih Juara Pertama Lomba Esai Tentang Wartawan, LP3Y.
Walau sibuk berburu berita, kegiatan berteater masih terus dilakoninya dari sanggar satu ke sanggar lain, mulai dari Teater Dinasti, Teater Gandrik, Komunitas Pak Kanjeng, hingga Teater Pak.
Semenjak ayahnya, Bagong Kussudiardja wafat di tahun 2004, tanggung jawab Butet kian bertambah. Butet didaulat keluarganya memimpin Yayasan Bagong Kussudiardja dimana ia harus menata dan mengelola kelompok-kelompok kesenian yang ada di dalamnya, yakni Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Pusat Latihan Tari Bagong K, Komunitas Seni Kua Etnika, Teater Gandrik dan Orkes Sinten Remen.
Selama berkiprah di panggung teater, pria yang beristrikan seorang wanita asal Kutai, Kalimantan Timur bernama Rulyani Isfihana ini telah memainkan puluhan repertoar teater, antara lain Kesandung, Pasar Seret, Pensiunan, Sinden, Isyu, Dhemit, Orde Tabung, Kera-Kera, Upeti, Proyek, Flu, Buruk Muka Cermin Dijual, Khayangan Goyang, Juru Kunci, Juragan Abiyoso, Tangis, dan Brigade Maling. Pada 2001, Butet juga bergabung dalam sanggar Teater Koma pimpinan N. Riantiarno dan sempat terlibat dalam pementasan lakon Republik Bagong.
Sedangkan untuk monolog, diawalinya sejak tahun 1986 lewat judul Racun Tembakau, kemudian Lidah Pingsan, Benggol Maling, Raja Rimba Jadi Pawang, Iblis Nganggur, Mayat Terhormat, dan Guru Ngambeg. Sebelum Butet dikenal luas dengan aksi monolognya, sudah ada sejumlah nama yang juga dikenal piawai bermonolog, mereka adalah Basiyo, Cak Durasim dan Bing Slamet.
Meski bukan aktor pertama yang mampu berakting tunggal di atas panggung, kelihaiannya melakukan monolog selalu mengundang decak kagum. Mimik wajah, intonasi suara, hingga pembawaannya yang menarik membuat siapa pun yang menyaksikan betah duduk berlama-lama. Aksi monolognya yang paling melekat di benak masyarakat adalah saat ia menirukan suara mantan presiden RI, Soeharto.
Kendati dilakukan sendirian, monolog bukan seni yang mudah untuk dilakoni. Selain butuh penjiwaan yang amat mendalam, juga dibutuhkan stamina saat memainkan naskah drama yang durasinya sekitar 1-2 jam. Monolog bagi seorang Butet Kartaredjasa tak ubahnya olahraga yang menguras banyak energi. “Yah, beginilah positifnya monolog bagi hidup saya, saya jadi punya kesempatan membakar kalori. Setidaknya setiap latihan bisa membakar 300 kalori. Saya jadi merasa lebih sehat, nggak kepikiran mati muda,” katanya.
Walau tergolong pecandu rokok, Butet tetap beranggapan bahwa kesehatan seyogyanya menjadi agenda utama perjuangan seorang aktor. Baru kemudian memperjuangkan pikiran dan estetika. Setidaknya, itulah yang menjadi dasar mengapa seniman yang dinobatkan sebagai Tokoh Seni versi PWI Yogyakarta 1991 ini siap untuk bermain monolog.
Selain berteater, totalitas aktingnya juga terekam dalam sejumlah judul sinetron diantaranya Kucing Pak Selatiban, Ketulusan Kartika, Air Kehidupan, dan Cintaku Terhalang Tembok. Butet juga tak mau ketinggalan saat industri perfilman mulai bergeliat di penghujung tahun 90-an.
Diawali pada 1999, saat ia memerankan tokoh penjahat bernama Pak Raden dalam film keluarga berjudul Petualangan Sherina, produksi Miles Production. Kemudian dilanjutkan dengan sederet judul lain seperti Golden Goal, Tiga Doa Tiga Cinta, Jagad X Code, Drupadi, dan Banyu Biru.
Di sela-sela kegiatannya di teater dan berakting di sejumlah film dan sinetron, Butet mendirikan Kua Etnika bersama Djaduk Ferianto, Purwanto dan Indra Tranggono di tahun 1995. Kua Etnika merupakan wadah pengembangan gagasan kreatif di bidang seni pertunjukan terutama musik dan teater.
Setahun setelah mendirikan Kua Etnika, Butet mendirikan Galang Communication, sebuah institusi yang awalnya bergerak di bidang periklanan dan studio grafis. Saat ini institusi tersebut lebih berkonsentrasi dalam kegiatan penerbitan, percetakan dan yayasan. Tahun 1997, Butet mendirikan Yayasan Galang yang bergerak dalam pelayanan kampanye publik untuk masalah-masalah kesehatan reproduksi berperspektif gender. Saat ini posisinya di Galang sudah non aktif dan hanya bertindak sebagai komisaris.
Semenjak ayahnya, Bagong Kussudiardja wafat di tahun 2004, tanggung jawab Butet kian bertambah. Butet didaulat keluarganya memimpin Yayasan Bagong Kussudiardja dimana ia harus menata dan mengelola kelompok-kelompok kesenian yang ada di dalamnya, yakni Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Pusat Latihan Tari Bagong K, Komunitas Seni Kua Etnika, Teater Gandrik dan Orkes Sinten Remen.
Meski terbilang cukup sukses di segala bidang seni yang ia geluti, ayah tiga anak ini mengaku tidak pernah membuat rencana jangka panjang, semua perannya dijalani bagai air mengalir. Semua tergantung “mood” dan keluangan waktu yang dimilikinya. Demikian halnya dengan aktivitasnya di Kua Etnika, yang sulit untuk direncanakan dengan baik. Menurut Butet, yang menjadi hambatannya antara lain karena sulitnya mempersamakan ambisi serta dorongan kebutuhan berkesenian secara kolektif.
Apalagi mantan wartawan Tabloid Monitor ini bukan tipe pemimpin yang egois. Ia tak ingin memaksakan kehendaknya hanya berdasarkan ambisi atau dorongan kreatifnya semata. Begitu juga saat harus melakukan monolog, ia tak mau hanya berdasarkan dorongannya sebagai pemain, tapi juga harus ada dorongan dari penulisnya. Walaupun dalam praktek, hal itu amat sulit untuk diwujudkan lantaran ketidaksamaan ambisi dan dorongan tadi. Butet sadar, jika dipaksakan, ia hanya akan merepotkan diri sendiri, lebih dari itu, organisasi egaliter yang ia bayangkan tidak akan terwujud.
Di antara segudang kesibukan yang ada, wajah Butet juga rutin menghiasi layar kaca tiap Senin malam di program Sentilan-Sentilun. Dalam program yang tayang di Metro TV itu, Butet berduet dengan aktor gaek Slamet Rahardjo. Sentilan-Sentilun merupakan program televisi yang melontarkan kritikan kepada pemerintah dengan sentuhan komedi.
Butet juga masih aktif di bidang tulis menulis. Selain menulis kolom dan esai di berbagai media massa, Butet merilis buku pertamanya yang berisi kumpulan kolom “Presiden Guyonan” pada tahun 2008.
Pada tahun 2011, Butet menggagas program “Indonesia Kita” bersama Agus Noor dan Djaduk Ferianto. Indonesia Kita merupakan forum pergelaran seni untuk meyakini kembali proses keIndonesiaan melalui jalan kesenian dan kebudayaan. Menurut Butet, program tersebut juga dirancang sebagai wadah di mana isu-isu kreatif seperti status Yogya dan pluralisme Indonesia dapat diperdebatkan melalui karya seni. Kegiatan forum kesenian ini diawali dengan pertunjukan Laskar Dagelan pada Maret 2011, kemudian bulan-bulan berikutnya disusul Beta Maluku, Kartolo Mbalelo, Mak Jogi, dan ditutup dengan Kutukan Kudungga pada Oktober 2011.
Penggemar mobil kuno ini ternyata tak hanya berkomitmen tinggi pada profesinya sebagai seniman namun juga pada keluarga. Di tengah padatnya jadwal manggung, Butet selalu menyempatkan waktunya bercengkrama dengan istri dan ketiga anaknya yang kini beranjak dewasa. Kalau memungkinkan, ia akan mengajak mereka turut serta menemaninya. Tanggung jawab sebagai kepala keluarga, amanah itulah yang selalu ia junjung tinggi. Apapun yang ia lakukan dan ia peroleh, baik materi maupun non materi, semata-mata untuk anak dan istrinya.
Dalam urusan mendidik anak pun, ayah dari Giras, Suci, dan Galuh ini tak mau terlalu mendikte. Sebagai orangtua, ia hanya menjalankan fungsi kontrol, selebihnya ia lebih nyaman menyerahkan pilihan akhir pada mereka. Pria berkacamata minus 4 ini tak ingin menetapkan target apa saja yang harus dicapai mereka. Sekolah tidak perlu terlalu pandai, yang penting dapat memenuhi kewajiban sebaik mungkin. Yang ia tumbuhkan pada diri anak-anaknya hanya kemampuan menyeleksi tindakan-tindakannya sendiri, serta mencoba meyakinkan mereka bahwa apa pun yang terjadi, merekalah yang menentukan. muli, red