Pergulatan Si Buaya Keroncong

[ Mus Mulyadi ]
 
0
714
Mus Mulyadi
Mus Mulyadi | Tokoh.ID

[SELEBRITI] Di Indonesia, ia dijuluki Buaya Keroncong. Di luar negeri seperti Belanda dan Amerika Serikat, ia terkenal dengan sebutan The King of Keroncong. Namun semenjak didera kebutaan akibat penyakit diabetes, produktivitas penyanyi yang telah merilis sedikitnya 80 album keroncong dan belasan album rohani ini merosot drastis.

Mus Mulyadi lahir di Surabaya pada 14 Agustrus 1945 dari pasangan Ali Sukarni dan Musimah. Anak ketiga dari tiga bersaudara yang terlahir dengan nama Mulyadi ini sejak usia muda sudah akrab dengan dunia musik. Adiknya, Mus Mujiono, juga menekuni dunia musik. Jika sang kakak dikenal sebagai musisi keroncong, Mus Mujiono lebih memilih jazz sebagai bidang keahliannya.

Sebelum namanya dikenal masyarakat sebagai penyanyi, Mus Mulyadi mengawali karirnya di dunia musik dengan menjadi pelatih band Irama Puspita yang kemudian berubah nama menjadi Dara Puspita. Setelah itu pada tahun 1964, ia mendirikan sebuah grup band bernama Arista Birawa. Dalam band tersebut, ia bertindak sebagai vokalis merangkap bassist bersama Sonata Tanjung. Bersama Arista Birawa, Mus Mulyadi berhasil menelurkan satu album yang diproduksi PT Demita Record pada tahun 1965.

Pada tahun 1967, bersama tiga orang rekannya sesama musisi, Mus Mulyadi meninggalkan Surabaya untuk menghadiri sebuah undangan manggung di Singapura. Namun sesampainya di sana, undangan yang disampaikan seorang teman itu nyatanya tak pernah ada. Sadar telah menjadi korban penipuan, Mus dkk pun mencari cara untuk pulang ke Indonesia. Namun apalah daya, karena tak punya cukup dana, ia pun memutar otak untuk menghasilkan uang agar dapat kembali berkumpul dengan keluarga di Surabaya.

Di negara yang terkenal dengan kebersihannya itu, kenyataan hidup tak semudah seperti yang ia bayangkan. Selama beberapa saat ia sempat hidup menganggur. Dalam keadaan tak menentu serta tanpa sumber penghasilan, Mus Mulyadi tetap giat menekuni dunia musik yang sejak lama telah menjadi pilihan hidupnya. Ia pun mulai belajar menciptakan lagu. Satu demi satu lagu ciptaannya ia kumpulkan hingga akhirnya terciptalah sebanyak 10 lagu. Dua di antaranya berjudul ‘Sedetik Dibelai Kasih’ dan ‘Jumpa dan Bahagia’. Lagu-lagu tersebut kemudian ia tawarkan kepada Live Recording Jurong di tahun 1969. Ketekunan Mus mulai menuai hasil di Singapura. Ia berhasil mendapatkan uang 2.800 dollar Singapura untuk dua LP (piringan hitam) yang merekam hasil karyanya.

Setelah mengantongi cukup uang, Mus Mulyadi dan tiga rekannya akhirnya berhasil menginjakkan kakinya lagi di Tanah Air. Perjalanan karirnya di ranah musik terus berlanjut. Pada tahun 1971, ia masuk dapur rekaman untuk merekam album solonya di Remaco diiringi kelompok musik pimpinan pencipta lagu ternama, A. Riyanto, Empat Nada Band. Merasa tertarik dengan suara indah milik Mus Mulyadi, A. Riyanto kemudian meminta Mus Mulyadi untuk bergabung dengan Empat Nada Band. Di kemudian hari band tersebut berganti nama menjadi Favourite Band yang mengusung aliran musik pop.

Grup band tersebut akhirnya membuat album kaset di bawah label Musica. Bersama Empat Nada Band, Mus Mulyadi berhasil mencetak lagu-lagu pop yang menjadi hits seperti Cari Kawan Lain, Angin Malam, Seuntai Bunga Tanda Cinta, dan Nada Indah. Album tersebut ternyata mendulang sukses besar di pasaran dan membawa berkah tersendiri khususnya bagi Mus Mulyadi, sang vokalis yang kemudian dibuatkan lagu berbahasa Jawa oleh Is Haryanto berjudul Rek Ayo Rek. Lagu yang identik dengan masyarakat Surabaya itu mendapat sambutan hangat dari pencinta musik Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, Mus Mulyadi pun sedikit memberikan inovasi baru pada musiknya. Jika sebelumnya ia banyak menyanyikan lagu-lagu berirama pop, kali ini ia mencoba memberikan sedikit sentuhan keroncong. Meski awalnya hanya coba-coba, ternyata pop keroncong yang dipopulerkan Mus banyak disukai masyarakat. Sebut saja Kota Solo, Dinda Bestari, Dewi Murni, Telomoyo dan Jembatan Merah yang di masanya sangat populer di telinga dan bibir masyarakat Indonesia.

Album Mus Mulyadi yang memuat lagu-lagu hits tersebut laris manis diborong para penggemarnya. Sejak itu Mus Mulyadi mendapat julukan sebagai Buaya Keroncong. Nama besar Mus Mulyadi bukan hanya menggema di Indonesia tapi juga hingga berbagai negara seperti Belanda dan Amerika Serikat. Di sana ia terkenal dengan sebutan The King of Keroncong.

Seperti penyanyi keroncong pada umumnya, warna suara Mus Mulyadi pun memiliki cengkok yang khas. Tentang keistimewaannya tersebut, ia hanya berujar, “Modal saya cuma berani berimprovisasi. Saya itu punya feeling, biasanya orang kalau dari fa ke mi atau mi ke fa, itu kan hanya dua tangga nada, saya bisa enam tangga nada. Saya berani memainkan tangga nada,” kata penyanyi yang telah merilis sedikitnya 80 album keroncong dan belasan album rohani ini.

Advertisement

Selain sibuk berkarir sebagai musisi, suami penyanyi era 80-an Helen Sparingga ini juga pernah merambah dunia seni peran dengan membintangi film Putri Solo, sebuah film produksi PT. Agasam Film yang yang dirilis tahun 1974. Dalam film yang disutradarai Fred Young itu, ia beradu akting dengan Mieske Bianca Handoko, Harris Sudarsono, Ratmi B-29, Rendra Karno, S.Poniman, Chitra Dewi dan Debby Cynthia Dewi.

Seperti penyanyi keroncong pada umumnya, warna suara Mus Mulyadi pun memiliki cengkok yang khas. Tentang keistimewaannya tersebut, ia hanya berujar, “Modal saya cuma berani berimprovisasi. Saya itu punya feeling, biasanya orang kalau dari fa ke mi atau mi ke fa, itu kan hanya dua tangga nada, saya bisa enam tangga nada. Saya berani memainkan tangga nada,” kata penyanyi yang telah merilis sedikitnya 80 album keroncong dan belasan album rohani ini.

Namun ketenaran dan gemerlapnya dunia panggung bagi Mus Mulyadi tidak bertahan selamanya. Di saat masa keemasannya telah berlalu, Mus Mulyadi hanya bisa tergolek lemah tak berdaya akibat penyakit diabetes yang belakangan telah menyebabkan kebutaan permanen. Dalam acara Satu Jam Lebih Dekat bersama Mus Mulyadi di TVOne, ia mengatakan sudah benar-benar tak bisa melihat. Kalau ada cahaya terang, ia dapat merasakan bahwa ada cahaya, tetapi tetap tak dapat melihat. Tinggallah penyanyi yang selama kurang lebih satu dekade lamanya mempopulerkan musik keroncong hingga ke mancanegara ini melewati masa senjanya dengan kegelapan.

Nasib malang yang menimpanya itu berawal sejak tahun 1984 dimana dari tahun ke tahun penglihatannya terus menurun. Penderitaan semakin parah karena Mus Mulyadi juga mengidap penyakit diabetes turunan. Sebenarnya penyakit tersebut telah terdeteksi sejak tahun 1982. Sayangnya Mus Mulyadi tak menggubris nasihat dokter yang menyarankannya untuk mengurangi asupan gula. Ia tetap mengkonsumsi nasi dalam jumlah banyak, tidak ada pantangan lauk, hanya minuman beralkohol saja yang tidak ia tenggak. Untungnya, begadang dan mabuk-mabukan tidak pernah menjadi kebiasannya. Mungkin hal itulah yang kemungkinan menyelamatkan kualitas vokalnya.

Meski sadar penyakit berbahaya telah menggerogoti tubuhnya, tak lantas membuat ayah dua anak ini membatasi kegiatannya di panggung tarik suara. Malahan jam terbangnya sebagai penyanyi justru kian tinggi. Jadwal manggungnya tak hanya di dalam negeri. Ia kerap bolak-balik diundang menyanyi ke Suriname, sebuah negara di benua Afrika yang banyak dihuni etnis Jawa. Setelah tampil biasanya Mus diajak ke London, Belanda, atau negara-negara Eropa lainnya yang terkenal dengan kelezatan kulinernya. Oleh sebab itu, Mus Mulyadi pun enggan membatasi makanan yang disantapnya.

Memasuki tahun 90-an, dengan pola makan yang berantakan seperti itu, kadar gula Mus Mulyadi mulai mencapai tahap yang mengkhawatirkan sehingga menyebabkan komplikasi ke mata kanannya. Secara perlahan penglihatannya mulai berkurang. Awalnya ia berpikir hal tersebut merupakan gangguan mata biasa seiring bertambahnya usia. Bukannya memeriksakan diri ke dokter, ia malah memutuskan untuk sekadar mengganti kacamata bacanya. Namun setelah berkali-kali berganti kacamata, masalah tak selesai begitu saja.

Dalam sakitnya, ia lebih memilih diam. Mus Mulyadi tak ingin merepotkan sang istri yang saat itu masih aktif menyanyi. Kecurigaan Mus Mulyadi mulai memuncak setelah mata kanannya mulai terasa redup dan sakit. Barulah kemudian ia memeriksakan kesehatannya ke rumah sakit. Mus Mulyadi yang awalnya suka melanggar anjuran dokter, akhirnya mulai taat meminum obat secara teratur. Tapi begitu mulai membaik, ia kembali tidak disiplin menerapkan pola makan yang sehat, obat pun mulai ditinggalkannya.

Puncaknya, sekitar tahun 2004, kadar gula darah Mus Mulyadi sempat mencapai di atas 460 mg/dl. Hal itu benar-benar membuat dia syok, terlebih fungsi penglihatannya hanya tinggal sekitar 16 persen saja. Karena kian memburuk, dokter menyarankan untuk melakukan operasi mata.

Pada September 2009, Mus Mulyadi akhirnya masuk kamar operasi untuk memulihkan mata kanannya. Setelah dioperasi, penglihatannya mulai berfungsi lagi. Bukan main gembiranya, rasa syukur pun tak hentinya diucapkan karena ia bisa melihat istri dan buah hatinya lagi.

Sepulangnya dari rumah sakit, ia sebenarnya masih diharuskan memeriksakan diri ke dokter secara rutin dan menjaga pola makannya. Namun untuk kesekian kalinya, hal itu kembali dilanggarnya, penglihatan mata kanannya pun kembali meredup. Di saat yang sama, ia masih punya harapan karena mata sebelah kiri masih bisa untuk melihat.

Tapi, siapa sangka pada Desember 2009, penglihatan sebelah kiri juga meredup dan lama-lama tak bisa melihat sama sekali. Kehilangan penglihatan secara permanen membuat Mus Mulyadi kian terpukul. Selama beberapa hari ia sempat merasa marah pada dirinya sendiri, ia pun merasa tak berguna lagi. Keadaan kian memilukan karena tepat di perayaan Natal, anak-anak dan cucunya yang bermukim di Australia datang mengunjunginya. Mus Mulyadi tak bisa lagi bermain dengan sang cucu tercinta. Padahal menurut cerita Mus Mulyadi, tiap kali ia bertemu dengan bocah lucu itu, ia kerap bermain gitar, sementara sang cucu yang menabuh drumnya.

Mengurung diri di kamar menjadi pilihan Mus Mulyadi saat menjalani masa-masa terberatnya. Saking depresinya, ia sempat berniat untuk mengakhiri hidupnya. Namun niat bodoh itu seketika diurungkannya setelah ia mengingat bahwa ia masih punya Tuhan. Untuk meringankan deritanya, Mus mulai membuka diri dengan seluruh anggota keluarganya. Mereka pun bertangis-tangisan.

Sejak itu Mus Mulyadi lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Setiap saat, kapan pun ia mau, ia memutar kaset yang berisi Firman Tuhan. Sebagai orang beriman, ia yakin dengan cara seperti itulah kepercayaan dirinya dapat kembali pulih. Ketakutan Mus Mulyadi bakal ditinggalkan para penggemarnya pun sedikit terobati saat Presiden Yudhoyono memercayakan satu lagu ciptaannya, Kuyakin Sampai Di Sana untuk ia nyanyikan dengan irama keroncong. Dengan kepercayaan diri dan mengabaikan rasa sakit pula, ia mampu menyelesaikan dua album kompilasi teranyarnya. Satu berisi lagu-lagu keroncong dan satu lagi lagu pop Jawa.

Mus Mulyadi sebelumnya tak pernah menyangka kalau kemunculannya di hadapan publik masih memiliki magnet yang cukup kuat. Media pun gencar memberitakan kondisi kesehatannya sehingga banyak teman-teman lama yang mengirimkan doa. Ia juga tak pernah mengira jika para penggemarnya masih setia menunggu kemunculan karya terbarunya. Mus Mulyadi pun boleh bernafas lega karena mereka menerima kondisinya apa adanya.

Di usianya yang hampir menembus kepala tujuh, kemana pun kakek tiga cucu ini melangkahkan kaki, ia harus dipapah oleh sang istri, yang siang dan malam setia menemaninya. Ujian tak kalah berat pun tak pelak ikut dirasakan isterinya, Helen. Wanita yang masih terlihat cantik di usia paruh baya ini berusaha untuk tetap tegar. Ia bahkan mengatakan semakin dekat dengan sang suami. Peran Helen bukan hanya sebagai pendamping hidup namun juga ‘juru rawat pribadi’. Helenlah yang kini mengatur pola makannya agar kadar gula darah Mus Mulyadi tidak naik-turun secara drastis. Setiap hari setiap bangun tidur, kadar darah Mus rutin diperiksa. Bila tak terlalu tinggi atau rendah, ia cukup minum obat saja. Bila kadarnya tinggi, ia harus disuntik insulin.

Mus Mulyadi sebenarnya tak mau menjadi beban bagi wanita yang dinikahinya di tahun 1975 itu. Oleh sebab itu, ia pun benar-benar disiplin menjaga pola makan agar penyakitnya tak merembet dan mempengaruhi organ tubuhnya yang lain.

Dalam kondisi yang seperti itu pun, Mus Mulyadi masih ingin tetap bernyanyi untuk masyarakat. Ide dari anak-anaknya untuk melakukan transplantasi mata pun seringkali terlintas dalam benaknya. Namun kalau pun mendapatkan donor mata, ia yakin harganya mahal.

Penyakit diabetes memang tidak sepenuhnya mengganggu karir menyanyi seorang Mus Mulyadi. Tetapi, tanpa penglihatan normal, ia merasa gerakannya menjadi tidak maksimal. Ibaratnya bila dulu bisa bertindak 100 persen, kini hanya 40 persen. Kalau soal vokal, Mus Mulyadi berani menjamin masih 100 persen. Di tengah sakitnya, ia hanya bisa berpesan kepada seluruh penggemarnya, serta teman sesama artis yang kini tengah menderita sakit, janganlah terbawa oleh rasa sakit itu. Lebih baik digunakan untuk tetap berkarya saja dan harus tetap semangat. eti | muli, red

Data Singkat
Mus Mulyadi, Penyanyi / Pergulatan Si Buaya Keroncong | Selebriti | Keroncong, Penyanyi

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here